Negeri di Tangan Sarjana Palsu

Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Pameo ini rasanya tepat gambarkan suasana hati saya. Hati saya yang sering teriris-iris saat mendengar perjalanan teman-teman dari luar negeri.

Hehehe. Iri ya elo, Bro! Sindir bathin melihat ketakmampuan tuannya jalan-jalan ke luar negeri.

Hehehe… Wokay itu kenyataan yang saya hadapi. Tapi kini saya tak ingin curhat soal rezeki. Saya ingin berbagi soal serius yang melanda negeri ini. Sesuatu yang sepele, tapi terbukti hempaskan bangsa kita.

Kemarin HP saya kemasukan info dari teman yang berkabar tentang Afrika Selatan. Lepas dari benar tidaknya, bagi saya isinya amat penting. Setidaknya jadi pengingat, bahwa tradisi buruk kita akan terus hancurkan negeri.

Info dari Afsel itu sederhana. Dikatakan bahwa di gerbang salah satu kampus terpampang tulisan: Untuk hancurkan bangsa, tak perlu dengan bom, roket, dan senjata berat. Cukup dengan permudah siswa curang dalam ujian dan longgar dalam disiplin belajar.

Otomatis pikiran langsung nyungsep ke buku Character Building yang saya tulis. Bahasannya sama, karakter bangsa. Dua dari tiga nilai Karakter Dasar di buku itu, pas dengan apa yang disinggung di kampus itu: Jujur dan disiplin. Sekarang kita fokus soal jujur. Yang disiplin kita bahas di lain waktu.

Bicara kejujuran, coba angkat tangan. Siapa di antara kita yang dulu sekolah tak pernah menyontek? Ada pasti. Tapi berapa jumlahnya? Suka atau tak suka, tak jujur alias khianat jadi satu tradisi buruk kita yang sulit dikerat.

Beberapa tahun yang lalu, ada kabar ironi tentang kejujuran di Surabaya. Banyak media mengangkatnya. Karena tak mau nyontek, ada siswa malah dibully. Bahkan yang membully, katanya gurunya pula. Malah katanya, diolok-olok kampungnya. Dianggap sok suci, sok berbeda, dan sok pahlawan.

Orang jujur jadi bencana di Indonesia. Ini yang dibilang: Orang jujur itu benar di jalan sesat. Artinya jelas jalan itu dipenuhi orang sesat. Yang benar jelas berbahaya. Maka yang jujur harus dibenamkan.

Contoh lain ada seorang bupati yang mengajar karakter di Lemhanas. Dia berkisah tentang sikap anaknya. Dua minggu jelang ujian nasional (UN), anak lelakinya tak juga belajar. Ketika ditanya, jawabnya tak percaya tapi nyata: Ibu guru bilang jika nanti tak bisa jawab soal, datang saja ke toilet.

Sumpah! Kita paham masuk toilet ketika tak bisa jawab soal UN. Tapi bangsa lain, bahkan negeri jiran pasti bingungnya. Apa hubungan ujian dan toilet. Ketika dipahamkan, bisa jadi mereka geleng-geleng kepala. Hal yang mustahil di luar negeri, niscaya di negeri kita.

Di sekolah fenomena kepalsuan terus berlangsung. Selamat pagi Bu Guru, sapa siswa.
Selamat pagi anak-anak, kata bu Guru dengan basa-basi karena sudah biasa. Ketakjujuran telah dimulai. Ucapan basa basi bukankah kepalsuan.

Anak-anak, ayo kita belajar sejarah. Esensinya sejarah itu cermin. Cermin hanya bisa tampakkan apa yang di depan. Di belakang tubuh tak tampak. Yang tak tampak jelas sensitif. Juga bisa tenggelamkan fakta dan kebenaran.

Malah juga sudah jadi rahasia umum, sebagian sejarah Indonesia palsu. Seorang filsuf bilang: Untuk hilangkan masa depan sebuah negara, hapus saja sejarahnya. Lalu anak-anak pun kini belajar yang palsu-palsu. Ekonomi, geografi, hukum, dan matematika palsu.

Kita punya sumber daya tak terbatas. Tapi ekonomi dan hukum apa yang kita pelajari hingga rakyat tetap miskin. Bagi hasil kita teramat sedikit. Maka sesungguhnya matematika apa yang kita pelajari.

Ketika ujian, ada pula anak yang tak lulus. Dia pun datang ke guru. Minta diubah angka palsunya dengan kepalsuan lagi. Sambil mengatakan tak usah repot anak-anak, kata guru tapi dengan ucapan palsu. Sebab tangan kirinya tetap kantongi amplop.

Maka kini lahirlah sejumlah sarjana palsu yang mengelola Indonesia. Kira-kira apa jadinya? Jika punya cita-cita, apa itu cita-cita palsu? Bagai kapal. Indonesia memang telah dan terus berlayar. Tapi simak jangan-jangan kapalnya kapal palsu. Sarjananya sebagian palsu. Dan cita-citanya cuma pemanis. Maka entah. Apakah kapal Indonesia tahu kemana berlayar dan apa yang hendak diraih?

Karenanya banyak hal ditutup-tutupi. Malpraktek dan kematian pasien ditutupi. Karena dokternya lulus dengan curang. Rumah ambruk karena di tangan arsitek curang. Perusahaan bangkrut digenggam akuntan maling. Keadilan rusak di tangan hakim tak jujur.

Bila guru tak jujur, bangsa ini banyak lahirkan negarawan palsu. Saat negarawan palsu berkuasa, sesungguhnya negeri ini telah ambruk. Tampaknya negeri masih berdiri. Tapi percayakah, pembusukan dari dalam terjadi dengan sempurna.

Pengelola negeri mustinya amankan aset bangsa. Tetapi karena kecurangan telah lahirkan negarawan palsu, maka korupsi kita sudah demikian akut. Mengapa? Sebab korupsi di Indonesia telah berjalan berpuluh-puluh tahun, terlembaga, dan sistematis. Korupsi yang mustinya jadi musuh nomor wahid, kini malah jadi teman mengelola negeri.

Kebodohan memang telah menyergap rata pada anak bangsa. Mengapa? Sekali lagi karena diajari guru yang lulusnya curang juga. Tugas guru mendidik ahlak murid. Pertanyaannya: Siapa yang musti perbaiki ahlak perilaku guru yang curang?

Saya pun jadi ingat seorang shohib yang jadi wartawan. Dia menulis buku yang judulnya membuat kita senyum kecut, mangkel, dan akhirnya anggukan kepala juga. Judulnya: Jujur, Saya Tidak Jujur.

Nah kini semua terpulang pada kita. Jujur. Maukah kita terima ini sebagai bahan berbenah. Atau kita sisihkan karena kita yakin tulisan ini pun tak jujur.

(Dimuat di Opini Republika, 10 Februari 2017)

Memimpin Orkestra Kebinekaan

Sumber : Kompas, Senin, 23 Januari 2017

Berjalanlah ke segenap penjuru mata angin bumi Nusantara. Indonesia memiliki 81.626 desa yang tersebar di 98 kota, 416 kabupaten, dan 34 provinsi.

Jelajahi utara dan selatan hingga mentokdi kedua ujungnya masing-masing adalah Pulau Miangas dan Pulau Dana. Kali lain, lancongi pula penjuru timur dan barat Indonesia hingga singgah di Merauke dan Pulau Batutigabelas. Panjang keduanya sekitar 5.530 km atau 1/7 keliling bumi, sesuatu yang menyebabkan kita memiliki tiga pembedaan waktu.

Populasi seluruh pulau terhuni, pada 2015 saja, tercatat melampaui angka 255 juta jiwa (65 juta rumah tangga), terbanyak keempat setelah Tiongkok, India, dan AS. Suku bangsa kita 1.128 jumlahnya, berbicara dalam 719 bahasa etnik. Kemajemukan akan terasa dengan melihat adat istiadat, ragam pakaian, makanan, dan bahasa lokal suku-suku yang ada. Bahasa daerah, misalnya, terkadang hanya dipisahkan oleh selajur sungai kecil atau satu bukit saja.

Susuri jajaran desa dan kota sepanjang zamrud khatulistiwa. Ratusan bahkan mungkin ribuan jenis kuliner khas daerah menyambut kita di mana-mana. Begitu pula aneka rupa lanskap bumi, tarian, arsitektur, seni rupa, seni pertunjukan, alat musik, hingga lagu daerah. Semua itu jadi penanda betapa kita memang bangsa yang tidak saja besar, tetapi juga sangat majemuk.

Membandingkan dengan India, Tiongkok, serta negara-negara di benua Amerika, Afrika, dan bahkan Eropa, sulit mencari padanan dari kemajemukan yang kita miliki. Syukurlah kita memiliki bahasa Indonesia, bahasa pemersatu, sarana komunikasi yang dapat mencairkan dan menautkan keberagaman yang luar biasa itu. Meski, tentu saja, mengelola bangsa sebesar dan semajemuk ini tak cukup dengan modal bahasa. Merujuk pada Bhinneka Tunggal Ika, tantangan terbesar kita saat ini tampaknya justru terletak pada pengurusan aspek ika-nya.

Wajah keikaan kita saat ini tengah diwarnai oleh menganganya kesenjangan ekonomi yang kian dirasakan sebagai ketakadilan. Sebanyak 1 persen masyarakat terkaya menguasai 50 persen kekayaan nasional. Kohesi sosial sedang dalam tekanan besar yang ditandai dengan munculnya potensi konflik antarkelompok.Patut cemas kiranya, apalagi jika konflik antarkelompok itu melibatkan unsur yang amat sensitif, yaitu agama, yang dapat mengoyak rasa saling percaya antarsesama anak bangsa.

Demokrasi dan kehidupan politik yang jadi hulu dari seluruh proses berbangsa bernegara semakin merosot kredibilitasnya. Partai politik gagal melahirkan kader-kader yang amanah, sebaliknya semakin marak kasus korupsi yang menjerat mereka. Perilaku sebagian elite politik yang abai terhadap norma umum dan kepatutan, cepat atau lambat, cenderung akan menggiring bangsa ini pada kondisi mencabik-cabik diri sendiri.

Mengelola ika adalah mengelola bangsa sebesar dan semajemuk ini beserta segenap tantangan yang ada. Jantungnya terletak pada kemampuan dan kapasitas kepemimpinan kolektif bangsa yang tidak cukup dengan kualitas “biasa-biasa saja”.Lebih dari sekadar memahami dan menghayati bineka, siapa pun pengelola negeri ini harus mencintai kebinekaan sekaligus piawai dalam mengurus keikaan.

Belajar dari orkestra

Patut kita kiranya belajar dari dirigen orkestra. Tengoklah dirigen, di mana pun, pasti memulai kerjanya dengan partitur komposisi di tangan, di kepala, dan di hatinya. Tak penting apakah komposisi itu digubahnya sendiri atau warisan dari komposer maestro, atau kombinasi dari keduanya.

Pemimpin orkestra memeriksa semua lini untuk meyakinkan bahwa semua ready. Di kepalanya, tak satu pemain instrumen atau pendukung pun yang tidak penting.Jangan lupa, ada banyak penyukses pula di belakang panggung, sisi yang tak terlihat langsung. Ada penata suara, penata lampu, penata panggung, penata busana, perias wajah, penyedia logistik, penjaga karcis, operator listrik, pramubakti, sampai pramusaji dan tukang parkir.

Tengok juga instrumen kayu (simbol kelenturan dan kelembutan) dan instrumen logam (simbol kekakuan). Keduanya tak saling menidakkan atau menyangkal, tetapi justru saling mengiyakan dan mengisi. Demikian pula instrumen berdawai, tiup, dan gebuk (perkusi), semua tidak saling menjerat dan baku pukul, melainkan saling meminjam-pakai kemuliaan masing- masing. Cakap tidaknya seorang dirigen bisa dinilai dari kemampuannya memahami keunikan dan lalu menempatkan masingmasing pemusik secara wajar sesuai “permintaan” komposisi yang dimainkannya.

Menarik mencermati cara sang dirigen menempatkan diri. Dirigen pantang menonjolkan diri karena ia sosok yang berada di antara semuanya.

Konser memang penting, tetapi bukan yang terpenting. Konser itu semata momentum atau etalase pembuktian dari sekian ratus jam proses pengompakan tim. Itu sekadar buah dari kerja keras tim yang dipimpin dirigen.Berbeda dengan momentum konser yang penuh artifisial dan pamrih mengejar tampilan yang sememikat mungkin, dalam proses latihan, semua yang berbau artifisial dan pencitraan dibabat habis. Bahkan, dalam takaran tertentu, “haram” hukumnya.

Akhirnya, mengelola bangsa itu butuh kepemimpinan berlapis-lapis. Keberlapisan itu harus mampu jadi perekat dari semua ide, talenta, dan kecakapan terbaik di bidangnya masing-masing. Bukan sebaliknya, menonjolkan kebinekaan yang memicu konflik dan perpecahan. Lalu, bagaimana dengan dominasi, kontrol, dan manipulasi?

Di alam demokrasi dan serba terbuka seperti sekarang ini, dominasi sudah tidak relevan lagi. Yang berharga adalah kemampuan mengundang partisipasi. Kontrol ketat tidak akan diapresiasi, bahkan akan dilawan. Yang dihargai adalah memberdayakan semua potensi. Manipulasi? Apalagi! Ia makin sulit dapat tempat dan tak bisa disembunyikan. Yang dicari adalah sikap jujur, terbuka, menjunjung tinggi integritas dan meritokrasi.

SUDIRMAN SAID, KETUA INSTITUT HARKAT NEGERI/DOSEN KEPEMIMPINAN STAN

Kekurangan Ahok Adalah Dia Tampil Sebagai ‘Superman’

Mengurus pemerintahan, kata Sudirman Said sebagai ketua Tim Sinkronisasi, tidak sama mengurus perusahaan.

tirto.id – Sejak pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno memenangkan Pilkada Jakarta, Sudirman Said dipercaya memimpin Tim Sinkronisasi untuk melakukan komunikasi dengan jajaran birokrasi Pemprov Jakarta. Tim Anies-Sandiaga ini rutin menggelar pertemuan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) setiap Selasa dan Kamis. Mereka memaparkan program yang bakal direalisasikan gubernur dan wakil gubernur terpilih ketika resmi menjabat, Oktober mendatang.

Kepada kami, Sudirman bicara mengenai kerja Tim Sinkronisasi dan berkata kepemimpinan Jakarta di tangan Anies-Sandiaga “jauh lebih partisipatif dan lebih bersahabat,” termasuk berkomunikasi dengan para politikus di legislatif.

Berikut wawancara Sudirman Said kepada Arbi Sumandoyo dan Dieqy Hasbi Widhana mengenai program kerja Anies-Sandiaga di kantornya, bilangan Tirtayasa, Melawai, Selasa kemarin.

Sejauh ini apa saja yang dibicarakan Tim Sinkronisasi dalam pertemuan rutin dengan Pemprov DKI?

Tentu saja tim ini dibentuk oleh Pak Anies-Sandi untuk menjadi jembatan pada waktu menjalankan tugas-tugasnya di pemerintahan DKI. Karena yang dikerjakan adalah mengintegrasikan seluruh program, seluruh rencana kerja, yang disampaikan selama kampanye ke dalam program kerja secara formal. Artinya, institusi pemerintahan ini kan segala sesuatunya mesti direncanakan, mesti ditata. Karena itu makin jauh hari menyiapkan perencanaan, makin baik. Itu yang sedang dikerjakan.

Tugas tim adalah memastikan supaya janji-janji kampanye diintegrasikan ke dalam program, baik jangka pendek atau pendek sekali, yang disebut 100 hari itu, jangka setahun ke depan, sampai selesai periode 5 tahun.

Ada tiga problem yang harus dipecahkan. Satu, supaya program-program yang sifatnya sangat pendek bisa masuk dalam APBD Perubahan 2017. Kedua, dalam waktu yang sama, kita harus meyakinkan bahwa APBD 2018 juga mengakomodasi program-program itu. Ketiga, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Saya bersyukur karena seluruh proses ini berjalan baik sesuai jadwal, sesuai rencana. Komunikasi dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKPD) berjalan dengan baik. Komunikasi dengan legislatif juga berjalan dengan baik. Jadi tidak ada hambatan, tidak ada halangan yang berarti.

Yang tidak terjadi dengan mulus adalah komunikasi gubernur baru terpilih dengan Pak Djarot (Saiful Hidayat). Dengan Pak Ahok dulu sempat ketemu, selesai dan baik sekali. Dengan Pak Djarot, sudah dikirimi surat, sudah dikirimi pesan, tapi sampai hari ini belum ada pertemuan. Tapi itu tidak mengurangi progres yang kita capai.

Sekarang ini kami sedang fokus memasukkan materi-materi rencana kerja atau janji kerja kampanye itu ke dalam draf RPJMD. Setiap minggu, ada dua kali Focus Group Discussion (FGD), diskusi kelompok terarah, setiap Selasa dan Kamis. FGD mengundang SKPD yang bersangkutan, dari kita, pengamat, dan para ahli di luar. Itu nanti diintegrasikan dalam RPJMD.

Program Anies-Sandiaga yang masuk dalam RPJMD itu apa saja? Dan apa program kerja 100 hari Anies-Sandiaga?

Seluruh program Anies-Sandiaga itu turunan dari visi yang disebutnya bagaimana membuat Kota Jakarta lebih maju, maju kotanya dan bahagia warganya. Turunannya ada 23 janji. Intinya, bagaimana Anies-Sandiaga bisa memberikan suatu pola kepemimpinan baru yang lebih partisipatif, lebih memanusiakan birokrat, lebih bersahabat dengan stakeholder, lebih bisa berkomunikasi dengan legislatif.

Secara konten memang ada hal baru, tetapi lebih penting bagaimana cara memimpin. Gaya menjadi penting.

Saya kira semua orang tahu gaya Pak Anies dan Pak Sandiaga yang simpatik dan komunikatif. Pak Anies mengatakan tegas tidak harus galak, tidak harus arogan, bersih tidak harus sombong.

Ke-23 janji itu sudah diterjemahkan dalam 500 program kerja. Sudah diterjemahkan ke dalam 3.313 kegiatan. Jadi sudah sangat rinci dan perincian itu sudah dapat dikerjakan karena kerjasama dengan SKPD. Karena SKPD itu yang tahu apa yang disebut nomenklatur,budget, dan lainnya.

Apa yang menonjol dan sering disebutkan itu akan diinisiasi hari-hari pertama ketika beliau duduklah. Umpamanya, DP Nol Rupiah.

DP Nol Rupiah itu begitu nanti beliau duduk sebagai gubernur dan wagub, sudah pasti akan dilakukan persiapan regulasi, persiapan institusinya bagaimana, persiapan budget, dan segala macam. Karena ini program jangka panjang, tidak akan selesai tahun 2017, kan. Karena itu enggak apa-apa di 2017 mungkin persiapan-persiapan, nanti mulai eksekusi pada 2018. Nah, ini juga mesti dicek nanti kalau sudah jadi, angka budget seperti apa.

Program OK OCE, pengembangan enterpreneur di tiap-tiap kecamatan. Regulasinya segera disiapkan, institusinya disiapkan, budget disiapkan. Atau KJP Plus. Ini tidak serta-merta begitu duduk langsung berjalan. Jadi, semua yang sudah disampaikan publik, terus didorong, dilaksanakan. Karena betul seperti yang Anda bilang, itu janji, janji itu harus ditunaikan.

Tugas kami menyiapkan program supaya masuk dalam dokumen resmi. Kemudian, setelah dilantik, yang akan melaksanakan adalah SKPD yang bersangkutan. Nah, tim ini akan bubar sesudah pelantikan atau bahkan sebelum pelantikan kami sudah dibubarkan.

Dari draf RPJMD yang sudah disusun, apakah program Pemprov DKI sejalan dengan janji kampanye Anies Baswedan?

Tidak ada hal yang tidak bisa diubah termasuk regulasi. Mengenai pertanyaan, sejauh mana program-program yang diusulkan Pak Anies-Sandiaga sesuai apa yang dikerjakan? RPJMD itu, kan, dua proses dasar. Satu namanya proses teknokrasi. Mau siapa pun gubernurnya, pasti analisis mengenai keadaan daerah, kajian strategis apa yang bisa dikerjakan, tantangannya apa kebutuhan itu pasti akan diuraikan dengan baik oleh SKPD terkait. Koordinatornya adalah kepala Bappeda yang bekerja dengan seluruh instansi terkait.

Komponen kedua disebut komponen politis ini tergantung visi dan misi gubernur terpilih. Jadi ini yang menjadi fokus kami. Kami tentu saja bisa memodifikasi kalau memang analisis itu dianggap tidak pas. Jadi, apa yang kami lakukan di depan itu memahami dan membaca dengan detail apa yang sudah dirumuskan. Kemudian kami mengisi di bagian yang disebut sebagai proses politik.

Proses politik dikerjakan antara gubernur sampai akhirnya diintegrasikan, terus dibawa ke DPRD. Karena RPJMD mesti di-approve dan mesti menjadi peraturan daerah.

Kalau ditanya sejauh mana, apa yang dipikirkan Pak Anies-Sandiaga sesuai dengan yang dikerjakan selama ini? Saya kira setiap pemimpin punya warna. Ke-23 program, saya kira, banyak hal baru.

Urban farming: bagaimana mendorong tanah yang tidak termanfaatkan menjadi lahan tanaman yang bermanfaat seperti cabai atau apalah. Kemudian KJP Plus yang covered-nya diperluas. Acuannya semua warga Jakarta membayar pajak, karena itu tidak bisa dibeda-bedakan mana yang sekolah di negeri, swasta, sampai agama. Karena itu kemudian diperluas. Kemudian Kartu Pangan itu dimaksudkan memperkuat bagaimana memberi subsidi terhadap warga paling miskin.

Jadi banyak warna baru. Itu 23 item yang sudah diketahui masyarakat. Konsekuensi dari program yang sudah populer pasti akan ditagih masyarakat.

Soal DP Nol Persen dan KJP Plus, skema realisasi programnya seperti apa?

Pesan dari KJP Plus, KJS Plus, itu memperluas sasaran, meyakinkan semua (warga) berhak mendapat perlakuan yang sama. Nah, teknisnya, pertama kami mesti memutakhirkan data siapa yang berhak dulu. Tentu saja dari sekarang sudah bisa dilakukan. Tapi kewenangan untuk eksekusi baru ada setelah dilantik.

Kemudian kedua: karena terjadi perluasan covered maka meyakinkan ada penambahan kebutuhan anggaran. Itu harus dicek dalam anggaran 2018: betul-betul sudah tersedia atau belum? Ketiga, mengevaluasi unit pelaksananya sambil memberikan pemahaman baru bahwa ini memang covered-nya diperluas. Menurut saya, ini bukan hal yang sulit karena pada dasarnya KJP sudah jalan, tinggal ditambahin.

Mengenai DP Nol Rupiah, mungkin ini hal baru, harus dilihat regulasinya juga. Termasuk bicara dengan perbankan, developer. Tapi, intinya, Pemda ingin turun tangan, ingin melakukan suatu intervensi atau kontribusi bagaimana caranya agar warga paling miskin memperoleh rumah dengan cara-cara yang lebih baik.

Nah, yang mendasari ide ini: rumah bukan sekadar tempat tinggal tapi juga aset ekonomi. Semakin ketinggalan penduduk miskin tidak memiliki rumah, gap-nya makin lebar. Tapi, kalau seumpama masyarakat miskin itu mendapatkan subsidi dalam bentuk uang muka, bentuknya cicilan yang lebih ringan, maka pada suatu ketika siapa pun bisa punya rumah dan rumah itu bisa diagunkan, dikembangkan.

Sehingga aspek ekonominya bisa memberi manfaat dan tidak makin ketinggalan. Warga bolak-balik ngontrak rumah tapi harga rumah di Jakarta makin tidak terjangkau. Regulasinya mesti disiapkan dengan baik, budget mesti disiapkan, timnya mesti disiapkan. Tetapi yang saya tangkap dari banyak stakeholder, semua pihak menyambut gagasan baik ini, gagasan DP Nol Rupiah. Bahkan di beberapa daerah sudah muncul inisiatif untuk meniru itu. Nasional juga sudah ada namanya DP 1 Persen.

Lahan Jakarta terbatas, banyak dikuasai swasta, apakah realistis program DP Nol Persen direalisasikan pada 2018?

Saya lupa angka kesenjangan warga Jakarta yang memiliki rumah dan yang tidak dimiliki. Tapi sekarang pertanyaannya gini, lebih realistis mana dimulai meski tidak selesai seluruhnya dengan dibiarkan sama sekali? Itu makin njomplang. Jadi ya sudah, berapapun yang bisa dikerjakan pada tahun pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, kerjakan saja dulu. Sudah pasti sebagai program baru akan ada banyak tantangan. Tapi, kata Pak Anies sama Pak Sandiaga, ini kan soal keberpihakan pemerintah kepada masyarakat. Ya kita bisa mulai dari yang paling bawah.

Tapi saya juga paham tidak mungkin selesai seluruhnya. Tapi makin tidak dikerjakan, makin tidak selesai. Jadi ini bukan soal realistis atau tidak, tapi soal tekad untuk membuat golongan ekonomi paling rentan mendapatkan haknya atas perumahan.

Bagaimana soal pengawasannya? Bila kita lihat di era Ahok atau sebelumnya, banyak ditemukan jual-beli Rusun, dengan kata lain tidak tepat sasaran?

Saya ingin membahas dari segi gaya kepemimpinan. Saya dosen mata kuliah kepemimpinan, jadi saya paham betul teori dan praktiknya.

Menurut saya, semakin rumit program, semakin besar institusi, semakin besar urusan kita, semakin tidak mungkin tergantung pada individu. Artinya, yang mestinya dibangun sistem, tim yang kuat, partisipasi. Menurut saya, kekurangan gubernur lama adalah dia tampil sebagai ‘Superman’ yang seolah-olah semuanya bisa ditangani sendiri. Akibatnya apa? Seperti yang tadi Anda bilang, kontrol sistem tidak berlaku. Seolah-olah apa yang dikehendaki itu jadi.

Gaya seperti ini dalam lingkungan yang rumit seperti DKI Jakarta ini rentan menimbulkan ‘One Man Show’ dan akhirnya aspek-aspek tata kelola bisa ditubruk. Kalau kita lihat beberapa aspek yang mulai kita dalami, banyak hal yang dilakukan itu kemudian ditinggalkan begitu saja. Menurut saya, gaya Pak Anies dan Pak Sandiaga adalah orang-orang yang terbiasa bekerja dengan institusi. Dia pasti akan menggunakan institusinya untuk merencanakan, eksekusi, mengawasi.

Kemudian faktor keterlibatan warga yang disebut “membangun sebagai gerakan”. Kalau semua itu bisa dikerjakan, saya yakin gayanya Pak Anies dan Pak Sandiaga, rasanya program-program yang baru tadi menjadi hal yang diminati masyarakat, menimbulkan antusias. Jadi, semakin sentralistik figur seseorang dalam zaman modern, makin berpotensi menimbulkan banyak masalah. Saya melihat ke depan ini akan ada perubahan.

Ya saya nontonlah video-video itu, bagaimana Ahok di depan SKPD mengomel dan segala macam. Itu, kan, membuat orang menjadi segan menyampaikan hal yang benar. Itu yang menurut saya akan menjadi pembeda.

Seberapa kompleks mengurus Jakarta yang Anda bilang tadi?

Misalnya reklamasi. Itu dari segi government, kepemerintahan,banyak sekali hal yang dilanggar. Tidak heran kalau kemudian ada kasus sampai KPK menangkap orang yang terlibat. Dan jejak yang ditinggalkan luar biasa. Bagaimana mungkin bangunan belum ada izinnya sudah dijual atau pulau belum ada zonasinya dibangun.

Kemudian dalam urusan kompensasi, kontribusi-kontribusi itu hitungannya sangat subjektif dalam artian tidak diketahui masyarakat umum. Begitupun yang mendapatkan hak untuk membangun itu tidak diketahui umum. Jadi, ada cerita-cerita bangunan belum ada izin mendirikan bangunan (IMB) sudah dibangun.

Aspek-aspek ini kalau Anda tanya seberapa rumit ini rumit. Ini tidak hanya reklamasi, tapi juga urusan-urusan dalam hal kompensasi. Rumitnya dari penentuan hak dan kewajiban bagaimana sampai pengelola aset. Kalau Anda baca beberapa media akhir-akhir ini, banyak sekali kewajiban-kewajiban pengembang yang belum tertagih dan itu mungkin tidak cukup dicatat dengan baik.

Menurut saya, arah Pak Anies dan Pak Sandiaga sudah baik, sudah sangat tepat bahwa beliau ingin mengembalikan aspek tata kelola. Karena, menurut saya, mengurus publik ini bukan soal kecepatan semata-mata. Tapi secara kehati-hatian, soal praktik government yang baik. Jadi berbeda dengan ngurus perusahaan.

Ngurus perusahaan itu yang penting cepat, profit tinggi, dan efisien. Tapi ini urusan masyarakat, tidak bisa begitu. Menurut saya, arah dari Pak Anies dan Sandiaga untuk mengembalikan aspek-aspek government itu sangat tepat.

Soal reklamasi, apa yang akan dilakukan untuk menepati janji politik menyetop proyek tersebut?

Dalam hal ini saya belum bisa bicara detail. Tapi secara prinsip sudah jelas arahan dari gubernur dan wagub: pemerintah DKI tidak akan melanjutkan program reklamasi. Kami sedang mencari jalan bagaimana yang sudah dibangun, yang sudah dikerjakan, itu memberi manfaat pada publik.

Kajian hukum, kajian lingkungan hidup, kajian ekonomi sedang terus dilengkapi. Referensinya cukup banyaklah, para ahli memberikan keterangan-keterangan. Tapi bagaimana prosesnya, ditunggu sampai gubernur dan wagub resmi duduk. Kemudian, biarkan beliau mengambil keputusan.

Tetap pada komitmen awal?

Iya, kalau itu sih, iya. Pada setiap kesempatan, kami berdiskusi mengenai reklamasi. Selalu kami tanya bagaimana perkembangan pemikirannya? Beliau berdua konsisten. Kami jalankan apa yang menjadi komitmen dan janji kami.

Ketika fora diskusi kemarin, apa saja yang dipaparkan oleh Tim Sinkronisasi mengenai reklamasi?

Yang melakukan pemaparan bukan cuma kami, SKPD juga. SKPD misalnya dari biro hukum bercerita mengenai bagaimana kasus hukum yang dilewati dan pelanggaran apa yang terjadi, keputusan pengadilan, dan segala macam.

Kemudian Dinas Lingkungan Hidup cerita terkait lingkungan. Pelayanan Terpadu Satu Pintu cerita mengenai perizinan dan segala macam. Dari kami malah lebih sedikit presentasinya karena hanya menyampaikan kesimpulan atau poin-poin hasil kajian kami. Kami juga tidak mendiskusikan. Jadi tidak ada diskusi, lebih pada tukar informasi.

Soal program yang akan disertakan dalam APBD Perubahan, apakah nanti diakomodasi?

Tidak ada alasan, tidak ada regulasi, tidak ada dasar hukum untuk tidak mengakomodir. Gubernur terpilih, kan, memang punya kewenangan penuh untuk menjalankan apa yang menjadi visinya. Tentu saja basisnya adalah sepanjang sesuai peraturan perundangan.

Mengenai tarik-menarik itu kesan saja. Menurut saya outgoing leaders atau pemimpin yang akan pergi, kan, kewajibannya menyelesaikan tugasnya dengan baik. Semakin standar etikanya tinggi, pemimpin yang pergi itu semakin memberi ruang pada yang akan datang untuk membuka pintu untuk handovers.

Saya mengamati di mana-mana ini soal etika. Biasanya pemimpin yang akan pergi itu etikanya tidak mengambil keputusan yang strategis. Malah kalau harus mengambil keputusan, harus berkonsultasi dengan gubernur yang baru. Jadi, saya juga heran kenapa berkomunikasi pun tidak mau.

Kalau Anda tanya soal akomodasi, semuanya akan diakomodasi. Kalaupun belum, nanti tinggal tunggu waktu saja nanti begitu duduk (sebagai gubernur dan wakil gubernur) bisa dilakukan perubahan. Apalagi sebagian besar fraksi dan anggota DPRD support pemimpin yang baru ini. Jadi makin tidak punya alasan untuk tidak diakomodasi, semuanya akan masuk.

Program apa yang belum bisa diakomodasi karena terganjal Pergub?

Enggak ada. Semuanya masuk. Ngomong di publik saja seperti ramai. Enggak ada pada level diskusi, misalnya. Tapi nanti akan diketok oleh DPRD. Tapi komunikasi kami dengan DPRD, beliau-beliau mengatakan kasih tahu kepada kami apa-apa yang mesti dijaga, apa yang mesti dikawal. Jadi dari segi dukungan kiri-kanan, apalagi SKPD itu kan instrumennya pemimpin, jadi sudah pasti akan ikut.

Apa saja program yang diajukan?

Ke-23 janji politik itu menjadi ukuran utama. Itu seperti OK OCE, DP Nol Rupiah, KJP Plus, buka lapangan kerja, stabilitas harga pangan. Itu begitu duduk nanti pasti akan menjadi prioritas.

Saya tidak lihat persoalan mengenai anggaran. Bahkan umpamanya sampai Oktober 2017 tidak dapat anggaran karena gubernur sekarang tidak mengakomodasi, ya nanti November 2017 ajukan anggaran baru saja.

Tapi soal pembahasan anggaran, kabarnya akhir Juli ini akan diketuk?

Itu schedule normal, kan. Tapi karena ada pergantian gubernur, bisa juga mengusulkan jadwal baru. Dulu (tahun kemarin) malah sudah lewat tahun anggaran baru diketok.

Saat ini Tim Sinkronisasi menyusun program 5 tahun dalam draf RPJMD, bisa dijelaskan capaian tahapan di tahun pertama, kedua, dan seterusnya untuk mewujudkan program prioritas?

Kita belum sampai pada tahapan itu karena memang schedule dalam dokumen RPJMD itu formula standar. Artinya, dokumennya adalah dokumen yang dari waktu ke waktu di-review dan diperbarui. Nah, proses politiknya ini yang bagian kami. Sekarang baru sampai pada tahap FGD untuk membahas materi-materi yang strategis. Misalnya, bagaimana program kesehatan, pendidikan bagaimana, ketahanan pangan, infrastruktur, dan seterusnya.

Bulan Juli ini selesai FGD dan Agustus-September baru kami bicara mengenai pendapat-pendapat, termasuk tahun pertama apa, kedua apa. Termasuk nanti September sudah keluar angka (anggaran) dalam setahun diperlukan budget berapa, sumbernya dari mana. Sampai akhirnya diharapkan pada akhir September, sebelum gubernur dilantik, sudah ada draf. Nah draf itu, begitu nanti gubernur dilantik, akan dibawa ke DPRD. Jadi Anda bisa tanya soal itu nanti bulan Agustus.

(tirto.id – dqy/fhr)

Dipublikasikan di tirto.id pada 12 Juli 2017
Reporter:Arbi Sumandoyo & Dieqy Hasbi Widhana

Memperingati Hari Antikorupsi, IHN dan MTI menggelar wayangan dan Diskusi

Dalam rangka memperingati Hari Korupsi Dunia, Masyarakat Transparansi Indonesia ( MTI ) dan Institut Harkat Negeri (IHN) menggelar pagelaran Wayang dan diskusi panel di Balai Sarwono, 9 Desember 2017. Wayangan Sudomolo dibawakan oleh dalang wayang politik Ki Dalang Dr. Rohmad Hadiwijoyo.

Lakon Bambang Sudomolo ini menceritakan kegigihan Raden Sadewa dalam memerangi dan mencegah koalisi kejahatan, termasuk korupsi yang dimotori para Kurawa. Koalisi jahat Kurawa semakin berani karena back up dua raksasa, Kolonjoyo dan Kolontoko di belakang Kurawa. Koalisi jahat antara Kurawa dan Kolonjoyo ingin membinasakan peran Kunti, Pandawa, dan Kresna (KPK).

Kekuatan tiga serangkai harus dihilangkan kalau perlu dikriminalisasi, karena ketiganya menjadi musuh kejahatan, termasuk para koruptor. Semar sebagai pangejawantah dari rakyat dan pamongnya satria utama berada di belakang Kunti, Pandawa, dan Kresna. Semar sebagai pamong selalu mengingatkan para satria Pandawa untuk memegang amanah rakyat. Perilaku menyimpang termasuk memakan uang rakyat harus dihindari dan diberantas.

Keberadaan pamong Semar menyulitkan gerak para Kurawa. Sehingga koalisi jahat Kurawa untuk menyerang Pandawa dapat dipatahkan. Dan para perilaku kejahatan Kolonjoyo, Kolontoko, dan Durga berhasil disadarkan untuk kembali ke jalan yang benar. Atas jasa Semar dan Sadewa, satria paling muda klan Pandawa, koalihat dapat dilumpuhkan. Atas jasanya tersebut para dewa memberi gelar Bambang Sudomolo kepada Sadewa. Gelar itu bermakna satria memilki keberanian dalam mencegah dan memberantas korupsi dan kejahatan di bumi nusantara.

Acara ini juga dilengkapi dengan diskusi yang menghadirkan beberapa tokoh nasional seperti Dr. Refly Harun, Prof. Siti Zuhro, Najwa Shihab, Said Didu dan Sudirman Said. Diskusi yang dipimpin oleh Ki dalang Rohmad ini membahas isu-isu nasional terkait korupsi dan kepemimpinan negeri.

^ Tokoh-tokoh nasional yang turut menghadiri acara hari antikorupsi di Balai Sarwono.

Gubernur Jakarta terpilih, Anies Baswedan, juga ikut menghadiri acara ini. Dalam kesempatan ini, Anies juga menyampaikan niatnya untuk berkomitmen antikorupsi. Bahkan insyaallah kita memiliki sebuah tim khusus di Pemprov DKI yang khusus pencegahan korupsi di pemerintahan DKI, imbuh Anies di dalam forum ini.

Berpihak Pada Kewajaran, Antologi Pemikiran Sudirman Said

Minggu (21 Mei 2017) bertempat di Rumah Jawa Galeri Jl. Kemang Timur Raya No.99, Sudirman Said mengadakan acara peluncuran buku perdana yang merupakan antologi pemikiran beliau yang ditulis maupun yang dipublikasikan sejak Sudirman menjabat Menteri ESDM (27 Oktober 2014) hingga dirgahayu ke-54 tahunnya yang jatuh pada 16 April 2017. Durasi penulisan seluruh tulisan, kecuali esai Ibuku Keren! Tidak Sekolah tapi Visioner (ditulis pada pengujung 2013), mencakup 30 bulan.

Sesuai judul, buku ini pada dasarnya merupakan percikan pemikiran Sudirman Said berupa epigram, esai/opini, wawancara, hingga pidato/ceramah. Tema utama yang mendominasi antara lain: integritas, kompetensi, dan kepemimpinan. Keseluruhannya terangkum dalam 170 tulisan yang kemudian dihimpun menjadi sebuah buku setebal 550 halaman.

Sudirman Said yang pernah menjadi koresponden majalah Tempo di Washington, hingga saat ini masih gemar menulis di sela-sela kesibukannya. Seusai bertugas sebagai Menteri ESDM, banyak kolega mengusulkan agar ada baiknya puluhan bahkan ratusan coretan yang Ia tulis pada saat menjabat tidak disimpan saja. Banyak informasi, isu, peristiwa, dan pengalaman yang perlu didokumentasikan dan dibagikan agar bisa diketahui dan dimanfaatkan khalayak yang lebih luas, setidaknya oleh kalangan terdekat. Timbang-ditimbang, akhirnya usulan para kolega tersebut diterima dan diwujudkan, hingga jadilah buku ini. Andai boleh berharap, catatan-catatan yang terhimpun di buku ini semoga menjadi bahan pembelajaran bagi generasi mendatang, seberapa pun kecilnya, kata Sudirman Said.

Perasaan berutang pada negara dan kehormatan diberi privilese, sejak terpilih sebagai mahasiswa STAN, yang belakangan mengubah total perjalanan hidup Sudiman dan keluarga (lebih jauh, baca Orang Biasa), hingga dalam perjalanan dan posisinya saat ini. Saya sadar sepenuhnya, bahwa tidak menjadi apa-apa saja saya sudah harus banyak bersyukur. Ketika ternyata saya menjadi apa-apa, dan kemudian kemenjadian itu selesai, saya tentu harus lebih banyak bersyukur lagi, ungkap Sudirman.

Anugerah dan kemujuran dari Tuhan itu, belajar dari wiyana dr. Rajiman Wedyodiningrat (baca Tenaga dalam Dokter Radjiman), pasti bukan dimaksudkan untuk diri Sudirman dan berhenti pada Sudirman semata. Itu harus dibagi-sebarkan. Buku ini adalah salah satu medium bagi upaya penyebaran anugerah dan kemujuran itu.

Keseluruh materi dalam buku ini disusun sesuai urut kronologis dan dipilih-pilah ke dalam empat bab, yakni:
Winaya (epigram-epigram yang singset dan sublim, didominasi cuitan di akun twitter @sudirmansaid), terdiri dari 109 epigram yang dibuhul dalam 6 tandan subbab, masing-masing berjumlah 22, 11, 18, 14, 36, dan 8 epigram; Wacana (cetusan ide dalam suatu esai/opini yang hampir seluruhnya telah dipublikasikan): 21 esai/opini; Wawancara (tanya-jawab oleh pewarta yang kemudian dipublikasikan di media bersangkutan): 26 wawancara dan Wicara (transkripsi pidato/ceramah): 14 transkrip.

Pada acara peluncuran buku Berpihak Pada Kewajaran tersebut tampak hadir sejumlah tokoh Nasional, di antaranya: Kuntoro Mangkusubroto, Nur Pamudji, Edriana Noerdin, Timbo Siahaan, Ferry Mursyidan Baldan, Tatat Utomo Dananjaya, Rocky Gerung, Erwin Aksa, Agung Wicaksono, Silmy Karim, Bambang Harymurti, Effendi Gazali, Erry Riyana Hardjapamekas, dan teman-teman Sudirman Said lainnya. Turut diundang pula Arif Zulkifli (Pimred Majalah Tempo) dan Budiman Tanuredjo (Pimred Harian Kompas) sebagai pengulas buku. Acara peluncuran buku yang berlangsung hangat dalam balutan suasana Jawa tersebut dipandu oleh Ichan Loulembah.

Diklat Pemimpin Perubahan, Menyemai Pemimpin Muda Inspiratif

Pada 19-21 Maret 2017 Institut Harkat Negeri bekerja sama dengan Paradigma Center menyelenggarakan sebuah diklat untuk para pemuda di Purwokerto dengan tema Diklat Pemimpin Perubahan: Menyemai Pemimpin Muda Inspiratif. Diklat tersebut dilaksanakan di Nirwana Resort, Baturraden, Purwokerto. Diklat Pemimpin Perubahan ini merupakan diklat pertama yang diselenggarakan oleh IHN untuk menemukan dan memotivasi bibit-bibit pemimpin muda di masa depan. Diklat ini dihadiri oleh perwakilan pemuda dari berbagai organisasi di Purwokerto, di antaranya perwakilan dari HMI, IMM, Komunitas Beasiswa, Komunitas Pengobatan Leluhur dan perwakilan dari Karang Taruna.

Konsep Diklat Pemimpin Perubahan dibuat dengan memadukan metode presentasi dari tokoh-tokoh terkemuka dan fasilitasi game dari psikolog. Para pemateri yang hadir dalam diklat di antaranya adalah Sudirman Said, Erie Sudewo, Nizar Suhendra dan M. Ichsan Loulembah. Dalam presentasi Sudirman Said, beliau memaparkan kondisi Indonesia di tengah percaturan global sedangkan M. Ichsan Loulembah memberi gambaran tentang Indonesia dulu dan kini. Kedua materi tersebut bertujuan untuk memberikan aerial view terkait wawasan terhadap negara Indonesia. Materi kemudian dilanjutkan oleh Nizar Suhendra tentang Kepemimpinan dan Kepeloporan Pemuda serta materi tentang Karakter Pemimpin oleh Erie Sudewo.

Pada setiap sesi materi selalu dielaborasi dengan fasilitasi game yang dipandu oleh Sahala Harahap dan Diah Indrapati. Melalui game elaborasi tersebut peserta dapat aktif berpartisipasi dan berkoordinasi bersama dengan peserta lainnya. Misalnya pada asset based-thinking game. Peserta dituntut untuk mengubah cara pandang terhadap potensi yang dimiliki organisasinya. Demikian juga dengan simulasi X-Y game, peserta dibuat untuk bisa berdiskusi dengan sesama anggota kelompoknya dalam merumuskan untuk memilih respon jawaban mereka atas kombinasi X-Y yang dirasa dapat memberikan manfaat terbesar bagi kelompok. Permainan ini dapat mensimulasi setiap peserta dalam menentukan cara pandang sistematis. Selain kedua game tersebut masih banyak game lain yang menstimulus perubahan paradigma peserta untuk bisa lebih berkolaborasi dengan orang lain seperti take and give game, Barnga, gallery walk dan market place.

Acara ditutup dengan diskusi bersama antara para peserta dan seluruh pemateri pada hari terakhir, tanggal 21 Maret 2017. Melalui sharing session ini peserta dapat mengambil manfaat dari cerita-cerita inspiratif para tokoh pemateri. Peserta Diklat juga bebas bertanya-jawab mengenai organisasi dan kepemudaan.

Tentunya seluruh tim IHN berharap bahwa Diklat pemimpin Perubahan merupakan salah satu awal untuk menyemai pemimpin-pemimpin muda inspiratif. Komunikasi dan koordinasi antara tim IHN dan para peserta diklat masih tetap berlanjut hingga kini.

Sudirman Said: Penyelesaian Freeport Mudah, asal Gunakan Hati Nurani

PT Freeport Indonesia (PTFI) masih terus bernegosiasi dan berkomunikasi dengan pemerintah Indonesia untuk mencari jalan keluar masalah yang membelit, yaitu soal perubahan Kontrak Karya (KK) ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Bila dalam 120 hari ke depan negosiasi tetap buntu, Freeport mengancam akan mengurangi biaya operasi, karyawan, dan bahkan mengajukan gugatan ke arbitrase.

Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said buka suara. Ia memandang penyelesaian PT Freeport Indonesia dengan sederhana. Dia sering mengemukakan pandangannya bahwa masalah yang sulit, hanya dapat selesai jika dikembalikan pada norma-norma umum, atau common senses.

Persoalan pelik, hanya selesai jika kita kembalikan pada norma dan idealisme, tutur Sudirman kepada kumparan, Senin (27/2).

Hingga saat ini, pemerintah dan Freeport masih melakukan negosiasi. Freeport sudah mengancam akan mengajukan gugatan ke Arbitrase Internasional bila tidak ada titik temu dengan pemerintah. Sementara pemerintah masih tetap tak bergeser dari permintaannya yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2007. Antara lain Freeport harus mengubah status dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) bila ingin tetap bisa ekspor konsentrat. Freeport juga harus melakukan divestasi saham sebanyak 51 persen dan membangun smelter. Ketentuan pajak juga diubah dari naildown menjadi prevailing.

Ketentuan-ketentuan itu dirasa Freeport sangat memberatkan. Di tengah menunggu titik temu dengan pemerintah, Freeport yang sudah tidak melakukan ekspor konsentrat sejak 12 Januari 2017 lalu saat ini sudah menerapkan program cuti ke tempat asal (point of leave) kepada para karyawannya. Cuti ini disertai dengan pembebasan bekerja (furlough). Tujuan Freeport melakukan hal ini adalah untuk mengurangi biaya-biaya operasional.

Bagaimana cara agar titik temu antara pemerintah dan Freeport terjadi? Sudirman Said, yang saat ini menjadi dosen Kepemimpinan di almamaternya, Sekolah Tinggi Akuntasi Negara (STAN), menyampaikan pendapatnya saat diwawancara kumparan:

Bagaimana Anda memandang perkembangan kasus Freeport saat ini?

Kalau ibarat kebakaran, asapnya sudah jauh lebih banyak dari apinya. Biasnya sudah ke mana-mana dan cenderung semakin politis. Akan lebih baik jika semua pihak dapat menahan diri, tidak saling melempar pernyataan yang semakin memanaskan situasi. Kalau niat kita berunding, adu argumen keras itu di ruang tertutup bukan di ruang publik. Di ruang publik terlalu banyak pihak yang tidak paham duduk soalnya, dan ikut berkomentar. Kalau ini terus terjadi, akan semakin menjauhkan kita dari solusi yang fundamental.

Apa yang Anda maksudnya dengan solusi fundamental?

Kita jawab saja pertanyaan, apa tujuan hakiki dari investasi dan eksploitasi sumber daya alam? Yang pertama dan utama adalah kemanfaatan bagi rakyat setempat. Solusi fundamental dari persoalan Freeport, adalah bagaimana keberadaan tambang Timika memberi manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat Papua. Segala regulasi dan upaya negosiasi harus diarahkan ke sana, sebagai tujuan utama. Tentu saja stakeholders yang lain memiliki hak untuk mendapatkan manfaat, termasuk Pemerintah Pusat, para penyedia barang dan jasa, dan akhirnya pemegang saham PT Freeport.

Sebenarnya, apa yang membuat situasi seolah-olah mememui jalan buntu?

Melalui proses negosiasi yang panjang, sebenarnya di tahun 2015 sudah disiapkan proses yang baik. Suasana saling menghargai dan usaha keras semua pihak agar dicapai kesepakatan yang saling menguntungkan, tanpa harus melanggar hukum. Kalau tidak ada peristiwa yang dikenal dengan skandal papa minta saham, seluruh pokok-pokok yang dinegosiasikan sudah disepakati kecuali soal fiskal dan perpanjangan kontrak.

Adakah peluang menuju solusi win-win jika situasi sudah begitu rumit?

Peluangnya masih besar, asal semua kembali mengingat tujuan hakiki. Para penentu kebijakan publik perlu merenung sejenak dan bertanya pada nuraninya: sesungguhnya kita sedang bekerja untuk siapa? Setiap kebijakan publik, aspeknya pasti tidak linier, dan mustahil menyenangkan semua pihak. Tetapi kebijakan publik yang baik selalu berpihak pada yang paling lemah, yaitu rakyat banyak. Melayani yang lemah, memperhatikan kepentingan rakyat banyak, itulah sebab diadakannya Negara. Kalau para penentu kebijakan publik tidak punya agenda lain, selain memikirkan kepentingan rakyat, jalan akan terbuka.

Apa saran Anda untuk menemukan solusi fundamental persoalan Freeport?

Sederhana saja. Kembali pada prinsip-prinsip problem solving berdasarkan akal sehat. Back to common sense. Lima prinsip harus dipegang erat agar kita dapat memecahkan persoalan ini. Pertama, junjung tinggi regulasi dan aturan hukum yang ada. Kedua, tunaikan janji dan komitmen. Ketiga, yang tidak paham dan tidak kompeten jangan ikut campur. Keempat, pemegang kekuasaan formal jangan punya agenda pribadi. Kelima, tempatkan kepentingan umum di atas kepentingan diri dan kelompok.

Anda optimistis para pihak akan mencapai kesepakatan?

Kalau kita sayang rakyat Papua, dan kita sayang Indonesia, tidak ada alasan untuk tidak menyingkirkan ego. Presiden kita, Pak Joko Widodo kerja keras menjual Indonesia, mengundang investor ke segala penjuru. Tidak masuk akal kalau investor yang sudah lama berada dan bekerja di Indonesia, tidak diperlakukan dengan baik. Begitu pun, kita membuka diri bagi bisnis-bisnis dari mancanegara, masak mau mengorbankan anak-anak bangsa yang sudah bekerja keras memajukan industri minerba.

Apa hal utama yang harus diperhatikan Pemerintah dalam penyelesaian masalah Freeport?

Ada hal mendasar yang harus terus dikelola, yaitu aspek kemanusiaan. Mungkin bagi pemegang sahamnya, atau bagi peminat saham PT Freeport, tambang Grasberg di kabupaten Mimika hanyalah portofolio dan unit bisnis yang bisa saja mereka matikan, atau mereka jual-belikan setiap saat. Tapi bagi puluhan ribu, bahkan ratusan ribu keluarga, tambang Grasberg adalah kehidupan. Tidak penting berapa jumlahnya, tetapi mereka sudah puluhan tahun hidup, memajukan ekonomi keluarga, sekolah, membangun usaha, dan seterusnya. Aspek kemanusiaan ini, terutama kehidupan warga Papua tetap harus jadi yang utama.

(Sumber: Kumparan, Senin, 27 Februari 2017)

Pendanaan Parpol dan Akuntabilitas Pemerintahan

Institut Harkat Negeri (IHN) memiliki agenda bulanan yang bernama Diskusi Bulanan Membangun Harkat Negeri. Pada bulan Januari tema yang diangkat adalah Pendanaan Parpol dan Akuntabilitas Pemerintahan. Acara diadakan pada hari Rabu, 25 Januari 2017 di kantor IHN, Jl. Tirtayasa IV No.29 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Narasumber yang hadir kali ini adalah Donald Fariz dari ICW dan Titi Anggraini dari Perludem.

Sampai saat ini pendanaan Partai Politik (Parpol) di Indonesia masih menjadi permasalahan serius bagi bangsa Indonesia. Permasalahan tersebut terdapat dalam setiap tahap terkait penerimaan, penggunaan, dan pertanggungjawaban dana Parpol. Permasalahan pendanaan Parpol ini dapat mempengaruhi pengelolaan pemerintahan apabila kader-kader Parpol yang tidak transparan dan akuntabel tersebut menduduki jabatan-jabatan publik.

Undang-Undang No.31 Tahun 2002 tentang Partai Politik sebenarnya sudah mendorong transparansi dan akuntabilitas pengelolaan Keuangan Parpol dengan mewajibkan Parpol untuk melaporkan hasil audit dananya setiap tahun ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun dalam undang-undang perubahannya, Undang-Undang No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik kewajiban melaporkan hasil audit dana Parpol setiap tahun ke KPU tersebut justeru dihapuskan. Hal tersebut tentu saja akan mengembalikan ke masa kelam pendanaan Parpol terkait transparansi dan Akuntabilitasnya.

Tujuan diskusi adalah untuk membedah permasalahan pendanaan Parpol, baik terkait aturan maupun kebijakan, mengetahui dampak permasalahan pendanaan parpol terhadap pengelolaan pemerintahan, serta untuk menggali alternatif solusi dalam rangka mendorong peningkatan transparansi dan akuntabilitas pendanaan parpol.

Dalam diskusi terungkap bahwa pemerintah sampai saat ini baru mendanai operasional parpol sebesar 0,063% dari APBN. Dalam UU No.2 Tahun 2008 jo.2 Tahun 2011 tentang Parpol sebenarnya sudah dijelaskan bahwa sumber dana parpol berasal dari; iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum dan bantuan dari APBN/APBD. Tidak mengherankan jika parpol di Indonesia cenderung mencari dana operasionalnya dari sumber-sumber lain termasuk sumber dana yang gelap. Akibatnya, banyak anggota parpol di DPR maupun di eksekutif tersangkut masalah korupsi.

Besarnya kebutuhan operasional parpol juga mengakibatkan parpol dikuasai oleh para pemodal. Saat ini ada beberapa Parpol yang dipimpin oleh pengusaha, diantaranya Partai Nasdem, Perindo, Hanura, Gerindra dan Golkar. Akibat yang lebih buruk lagi apabila pemerintah tidak mengalokasikan dana lebih besar untuk operasional kantor adalah adanya potensi Parpol dikuasai oleh cukong. Oleh karena itu, demi untuk menyehatkan demokrasi Indonesia dan membuka akses setiap warga Negara dalam berpolitik, maka pemerintah wajib meningkatkan alokasi dana untuk operasional parpol.

Sudirman Said Berbagi Inspirasi Kepemimpinan

PURWOKERTO – Ketua Institut Harkat Negeri (IHN), Sudirman Said berbagi inspirasi tentang kepemimpinan dan kebutuhan pemimpin di Indonesia mahasiswa baru Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) pada Selasa (28/8/2018) di Auditorium UMP Purwokerto, Kabupaten Banyumas.

Dihadapan 3000 mahasiswa, Ia menuturkan jika negara dikelola oleh pemimpin yang tidak jujur dan tidak kompeten, bonus demografi bisa berubah menjadi bencana demografi. Penduduk yang banyak, akan menjadi berkah atau bonus bila mereka terdiri dari manusia manusia sehat, cerdas, dan sejahtera. Besarnya jumlah penduduk yang masuk kategori miskin dan rentan miskin adalah tanda peringatan (alarm) yang mengancam periode bonus demografi.

Aktivis anti korupsi ini juga menekankan bahwa Indonesia perlu pemimpin yang mampu mengelola negara berbasis konsep, mampu melakukan terobosan, dan memiliki kapasitas manajerial tinggi untuk mengelola kemajemukan dan kompleksitas. Negara tidak bisa diurus dengan amatiran, bermodalkan polularitas tapi kosong gagasan, tanpa visi.

Di forum ini, Ia juga menceritakan tugas-tugas yang pernah diemban mulai dari auditor BPKP hingga Menteri ESDM periode 2014-2016. Menurutnya, seorang calon pemimpin harus memiliki empat hal; kejujuran, kompetensi teknis (sosial, manajerial, spiritual), jejaring, dan terus belajar.

Selain itu, Pak Dirman, panggilan akrab Sudirman Said, juga menjelaskan perlunya peran pemuda untuk melakukan perubahan di Indonesia. Di akhir forum, Ia berpesan,Sejak awal pergerakan Indonesia, peran mahasiswa dan pemuda selalu menjadi penentu kecenderungan. Karena orang muda memang energinya besar, punya keberanian, dan punya kemanpuan mendobrak kemapanan. Yang diperlukan adalah wawasan tiga penjuru: wawasan sejarah, wawasan global dan horisontal, dan wawasan masa depan. Jika mereka paham sejaran, paham dunia sedang bergerak ke arah mana, maka dia akan punya bekal menata masa depannya. Agar negara memperoleh pemimpin terbaik, bagi masa depan bangsa maka mahasiswa dan pemuda harus berperan sebagai pendorong utama. Untuk itu setiap mahasiswa harus membangun nilai-nilai intrinsik: kejujuran, kompetensi, wawasan, dan kepedulian sosial. Sensitifitas pada persoalan persoalan bangsa diasah melalui aktivisme di kampus.

Ketua IHN Berbagi Inspirasi Model Kepemimpinan

Ketua Institut Harkat Negeri, Sudirman said, tampil memberikan inspirasi tentang Model kepemimpinan di Era Milenial yang harus dimiliki pemuda dan para penerima beasiswa Etos. Jumlah peserta pelatihan ini mencapai 150 orang. Acara pembekalan ini dilaksanakan di Gedung Serbaguna Balai kota semarang. Temu Etos Nasional tahun ini dilaksanakan dengan tema Social Preneur Camp. Ini merupakan pelatihan yang diberikan oleh Beasiswa Dompet Duafa Pendidikan. Peserta dari kegiatan ini adalah 180 anak muda/i mahasiswa penerima Beastudi Etos dan 70 mahasiswa sekitar Semarang dari seluruh Indonesia (berasal dari 18 kampus seluruh Indonesia).

Sudirman Said juga berpesan kepada anak muda dalam acara tersebut, Investasi yang tidak akan pernah salah adalah investasi human capital. Saya harapkan generasi muda di depan saya mengambil sikap untuk mampu memilih pemimpin yang baik, tetapi syukur-syukur kalian menjadi seseorang yang siap dipilih menjadi pemimpin. Mari isi posisi kepemimpinan di pemerintahan negara kita dengan orang-orang yang jujur dan berintegritas.

Diakhir acara, Ketua IHN berfoto bersama dengan pemateri dan panitia SocioPreneur Camp.

Sudirman Said Ajak Kaum Muda Kembalikan Harkat Politik

PEKALONGAN – Ketua Institut Harkat Negeri (IHN) Sudirman Said mengajak generasi muda Indonesia untuk mengembalikan harkat politik Indonesia. Hal tersebut disampaikan Sudirman Said saat menjadi pembicara dalam National Leadership Training (LK II) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Pekalongan pada Selasa (28/8/2018) di Kota Pekalongan, Jawa Tengah.

Menurut Sudirman, sejarah politik Indonesia adalah sejarah pengabdian dan perjuangan. Di masa perjuangan, kata dia, politik adalah jalan untuk melayani, melawan ketidakadilan, menghapuskan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.

“Para politisi di masa perjuangan pergerakan kemerdekaan adalah putra-putri terbaik bangsa yang merupakan orang-orang terdidik tercerahkan penuh idealisme,”katanya.

Ketua IHN Sudirman Said saat berbagi tips kepemimpinan dengan aktivis mahasiswa HMI pada Selasa (28/8/2018). (Foto: Dok. IHN)

Menteri ESDM RI periode 2014-2016 ini kemudian memberikan contoh politisi zaman kemerdekaan Indonesia, diantaranya HOS Tjokroaminoto, Bung Karno, Bung Hatta, Dr. Tjiptomangunkusumo, Dr. Radjiman Widyodiningrat, Sjahrir, Mr. Kasman Singadimeja.

“Mereka orang-orang yang dihormati, bahkan oleh para pemimpin pemerintah kolonial Belanda”, tandasnya.

Dibandingkan kondisi perpolitikan saat era kemerdekaan, Sudirman menilai saat ini politik kehilangan keadaban, kehilangan ruh perjuangan.

“Politik telah berubah menjadi sekedar ajang berebut kekuasaan dan dengan kekuasaan itu para politisi terbukti banyak yang berkhianat pada rakyat,” kata dia. Sebagai contoh, imbuhnya, sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri, hampir 700 pemimpin politik dan politisi telah tertangkap KPK dan masuk penjara.

“Suatu hal yang amat memprihatinkan,”katanya.

Menurut Sudirman, Indonesia menghadapi tantangan besar, menjaga agar bonus demografi menjadi kenyataan.

Sudirman menilai, jika rakyat Indonesia sebagian besar miskin, tak berdaya, tidak sehat, dan pendidikannya rendah; maka besarnya jumlah penduduk bukan menjadi bonus melainkan bencana demografi.

“Tidak ada cara lain untuk menjaga peluang bonus demografi, kecuali memilih para pemimpin politik yang bersih, berintegritas, dan memiliki kompetensi,”ungkapnya.

Dia menilai, politik nasional harus dikembalikan harkatnya, dibangkitkan fungsi luhurnya. Yakni dengan cara memilih politisi dan pemimpin politik yang memiliki jiwa dan semangat mengabdi.

Lebih lanjut, Sudirman menilai mahasiswa dan aktivis pergerakan seperti HMI dapat menjadi penggerak pendidikan kewarganegaraan (civic education), serta mengajak masyarakat banyak memilih politisi bersih.

“Juga kita harus mendorong sebanyak mungkin orang baik, orang jujur, orang-orang yang sudah selesai dengan diri sendiri masuk dalam proses politik,” jelasnya.

Ibarat sungai, kata Sudirman lagi, politik adalah hulu dari seluruh aliran proses bernegara.

“Jika hulunya keruh, hilirnya makin keruh. Memasukkan dan mendorong masuknya orang-orang bersih dalam politik adalah upaya menjernihkan hulu kehidupan bernegara,”pungkasnya.
Institut Harkat Negeri (IHN)

Ketua IHN menjadi Keynote Speaker di ISIC-SI 2017

Ketua Institut Harkat Negeri, Sudirman Said, menjadi keynote speaker dalam acara Konvensi Internasional Peneliti Indonesia (Indonesian Scholars International Convention atau ISIC) ISIC SI 2017 oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia di Inggris Raya (PPI-UK) dan simposium internasional oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia Dunia (PPI-Dunia) pada tanggal 26 Juli 2017 di Universitas Warwick. Tahun ini PPI UK mengundang beberapa tokoh seperti Richard Graham, TGB Muhammad Zainul Majdi (Gubernur Nusa Tenggara Baru), Dr. David Johnson (Professor, Pakar Peningkatan Pendidikan di dunia berkebang), dan beberapa tokoh Internasional lainnya. Dalam acara ini, Sudirman Said berbicara tentang Indonesia’s Demographic ` In 2030.

Sudirman said menerima kenang-kenangan dari panitia ISIC-SI 2017

Dalam perjalanan ini, Sudirman said,yang merupakan alumni STAN, juga bertemu dengan alumni STAN yang sedang melanjutkan pendidikan di Inggris untuk bertukar pikiran tentang kondisi Indonesia saat ini. Di akhir pertemuan, Alumni STAN memberikan kenang-kenangan berupa kaos yang bertuliskan Buka Saja.