PT Freeport Indonesia (PTFI) masih terus bernegosiasi dan berkomunikasi dengan pemerintah Indonesia untuk mencari jalan keluar masalah yang membelit, yaitu soal perubahan Kontrak Karya (KK) ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Bila dalam 120 hari ke depan negosiasi tetap buntu, Freeport mengancam akan mengurangi biaya operasi, karyawan, dan bahkan mengajukan gugatan ke arbitrase.
Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said buka suara. Ia memandang penyelesaian PT Freeport Indonesia dengan sederhana. Dia sering mengemukakan pandangannya bahwa masalah yang sulit, hanya dapat selesai jika dikembalikan pada norma-norma umum, atau common senses.
Persoalan pelik, hanya selesai jika kita kembalikan pada norma dan idealisme, tutur Sudirman kepada kumparan, Senin (27/2).
Hingga saat ini, pemerintah dan Freeport masih melakukan negosiasi. Freeport sudah mengancam akan mengajukan gugatan ke Arbitrase Internasional bila tidak ada titik temu dengan pemerintah. Sementara pemerintah masih tetap tak bergeser dari permintaannya yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2007. Antara lain Freeport harus mengubah status dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) bila ingin tetap bisa ekspor konsentrat. Freeport juga harus melakukan divestasi saham sebanyak 51 persen dan membangun smelter. Ketentuan pajak juga diubah dari naildown menjadi prevailing.
Ketentuan-ketentuan itu dirasa Freeport sangat memberatkan. Di tengah menunggu titik temu dengan pemerintah, Freeport yang sudah tidak melakukan ekspor konsentrat sejak 12 Januari 2017 lalu saat ini sudah menerapkan program cuti ke tempat asal (point of leave) kepada para karyawannya. Cuti ini disertai dengan pembebasan bekerja (furlough). Tujuan Freeport melakukan hal ini adalah untuk mengurangi biaya-biaya operasional.
Bagaimana cara agar titik temu antara pemerintah dan Freeport terjadi? Sudirman Said, yang saat ini menjadi dosen Kepemimpinan di almamaternya, Sekolah Tinggi Akuntasi Negara (STAN), menyampaikan pendapatnya saat diwawancara kumparan:
Bagaimana Anda memandang perkembangan kasus Freeport saat ini?
Kalau ibarat kebakaran, asapnya sudah jauh lebih banyak dari apinya. Biasnya sudah ke mana-mana dan cenderung semakin politis. Akan lebih baik jika semua pihak dapat menahan diri, tidak saling melempar pernyataan yang semakin memanaskan situasi. Kalau niat kita berunding, adu argumen keras itu di ruang tertutup bukan di ruang publik. Di ruang publik terlalu banyak pihak yang tidak paham duduk soalnya, dan ikut berkomentar. Kalau ini terus terjadi, akan semakin menjauhkan kita dari solusi yang fundamental.
Apa yang Anda maksudnya dengan solusi fundamental?
Kita jawab saja pertanyaan, apa tujuan hakiki dari investasi dan eksploitasi sumber daya alam? Yang pertama dan utama adalah kemanfaatan bagi rakyat setempat. Solusi fundamental dari persoalan Freeport, adalah bagaimana keberadaan tambang Timika memberi manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat Papua. Segala regulasi dan upaya negosiasi harus diarahkan ke sana, sebagai tujuan utama. Tentu saja stakeholders yang lain memiliki hak untuk mendapatkan manfaat, termasuk Pemerintah Pusat, para penyedia barang dan jasa, dan akhirnya pemegang saham PT Freeport.
Sebenarnya, apa yang membuat situasi seolah-olah mememui jalan buntu?
Melalui proses negosiasi yang panjang, sebenarnya di tahun 2015 sudah disiapkan proses yang baik. Suasana saling menghargai dan usaha keras semua pihak agar dicapai kesepakatan yang saling menguntungkan, tanpa harus melanggar hukum. Kalau tidak ada peristiwa yang dikenal dengan skandal papa minta saham, seluruh pokok-pokok yang dinegosiasikan sudah disepakati kecuali soal fiskal dan perpanjangan kontrak.
Adakah peluang menuju solusi win-win jika situasi sudah begitu rumit?
Peluangnya masih besar, asal semua kembali mengingat tujuan hakiki. Para penentu kebijakan publik perlu merenung sejenak dan bertanya pada nuraninya: sesungguhnya kita sedang bekerja untuk siapa? Setiap kebijakan publik, aspeknya pasti tidak linier, dan mustahil menyenangkan semua pihak. Tetapi kebijakan publik yang baik selalu berpihak pada yang paling lemah, yaitu rakyat banyak. Melayani yang lemah, memperhatikan kepentingan rakyat banyak, itulah sebab diadakannya Negara. Kalau para penentu kebijakan publik tidak punya agenda lain, selain memikirkan kepentingan rakyat, jalan akan terbuka.
Apa saran Anda untuk menemukan solusi fundamental persoalan Freeport?
Sederhana saja. Kembali pada prinsip-prinsip problem solving berdasarkan akal sehat. Back to common sense. Lima prinsip harus dipegang erat agar kita dapat memecahkan persoalan ini. Pertama, junjung tinggi regulasi dan aturan hukum yang ada. Kedua, tunaikan janji dan komitmen. Ketiga, yang tidak paham dan tidak kompeten jangan ikut campur. Keempat, pemegang kekuasaan formal jangan punya agenda pribadi. Kelima, tempatkan kepentingan umum di atas kepentingan diri dan kelompok.
Anda optimistis para pihak akan mencapai kesepakatan?
Kalau kita sayang rakyat Papua, dan kita sayang Indonesia, tidak ada alasan untuk tidak menyingkirkan ego. Presiden kita, Pak Joko Widodo kerja keras menjual Indonesia, mengundang investor ke segala penjuru. Tidak masuk akal kalau investor yang sudah lama berada dan bekerja di Indonesia, tidak diperlakukan dengan baik. Begitu pun, kita membuka diri bagi bisnis-bisnis dari mancanegara, masak mau mengorbankan anak-anak bangsa yang sudah bekerja keras memajukan industri minerba.
Apa hal utama yang harus diperhatikan Pemerintah dalam penyelesaian masalah Freeport?
Ada hal mendasar yang harus terus dikelola, yaitu aspek kemanusiaan. Mungkin bagi pemegang sahamnya, atau bagi peminat saham PT Freeport, tambang Grasberg di kabupaten Mimika hanyalah portofolio dan unit bisnis yang bisa saja mereka matikan, atau mereka jual-belikan setiap saat. Tapi bagi puluhan ribu, bahkan ratusan ribu keluarga, tambang Grasberg adalah kehidupan. Tidak penting berapa jumlahnya, tetapi mereka sudah puluhan tahun hidup, memajukan ekonomi keluarga, sekolah, membangun usaha, dan seterusnya. Aspek kemanusiaan ini, terutama kehidupan warga Papua tetap harus jadi yang utama.
(Sumber: Kumparan, Senin, 27 Februari 2017)