Memimpin Orkestra Kebinekaan

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin

Sumber : Kompas, Senin, 23 Januari 2017

Berjalanlah ke segenap penjuru mata angin bumi Nusantara. Indonesia memiliki 81.626 desa yang tersebar di 98 kota, 416 kabupaten, dan 34 provinsi.

Jelajahi utara dan selatan hingga mentokdi kedua ujungnya masing-masing adalah Pulau Miangas dan Pulau Dana. Kali lain, lancongi pula penjuru timur dan barat Indonesia hingga singgah di Merauke dan Pulau Batutigabelas. Panjang keduanya sekitar 5.530 km atau 1/7 keliling bumi, sesuatu yang menyebabkan kita memiliki tiga pembedaan waktu.

Populasi seluruh pulau terhuni, pada 2015 saja, tercatat melampaui angka 255 juta jiwa (65 juta rumah tangga), terbanyak keempat setelah Tiongkok, India, dan AS. Suku bangsa kita 1.128 jumlahnya, berbicara dalam 719 bahasa etnik. Kemajemukan akan terasa dengan melihat adat istiadat, ragam pakaian, makanan, dan bahasa lokal suku-suku yang ada. Bahasa daerah, misalnya, terkadang hanya dipisahkan oleh selajur sungai kecil atau satu bukit saja.

Susuri jajaran desa dan kota sepanjang zamrud khatulistiwa. Ratusan bahkan mungkin ribuan jenis kuliner khas daerah menyambut kita di mana-mana. Begitu pula aneka rupa lanskap bumi, tarian, arsitektur, seni rupa, seni pertunjukan, alat musik, hingga lagu daerah. Semua itu jadi penanda betapa kita memang bangsa yang tidak saja besar, tetapi juga sangat majemuk.

Membandingkan dengan India, Tiongkok, serta negara-negara di benua Amerika, Afrika, dan bahkan Eropa, sulit mencari padanan dari kemajemukan yang kita miliki. Syukurlah kita memiliki bahasa Indonesia, bahasa pemersatu, sarana komunikasi yang dapat mencairkan dan menautkan keberagaman yang luar biasa itu. Meski, tentu saja, mengelola bangsa sebesar dan semajemuk ini tak cukup dengan modal bahasa. Merujuk pada Bhinneka Tunggal Ika, tantangan terbesar kita saat ini tampaknya justru terletak pada pengurusan aspek ika-nya.

Wajah keikaan kita saat ini tengah diwarnai oleh menganganya kesenjangan ekonomi yang kian dirasakan sebagai ketakadilan. Sebanyak 1 persen masyarakat terkaya menguasai 50 persen kekayaan nasional. Kohesi sosial sedang dalam tekanan besar yang ditandai dengan munculnya potensi konflik antarkelompok.Patut cemas kiranya, apalagi jika konflik antarkelompok itu melibatkan unsur yang amat sensitif, yaitu agama, yang dapat mengoyak rasa saling percaya antarsesama anak bangsa.

Demokrasi dan kehidupan politik yang jadi hulu dari seluruh proses berbangsa bernegara semakin merosot kredibilitasnya. Partai politik gagal melahirkan kader-kader yang amanah, sebaliknya semakin marak kasus korupsi yang menjerat mereka. Perilaku sebagian elite politik yang abai terhadap norma umum dan kepatutan, cepat atau lambat, cenderung akan menggiring bangsa ini pada kondisi mencabik-cabik diri sendiri.

Mengelola ika adalah mengelola bangsa sebesar dan semajemuk ini beserta segenap tantangan yang ada. Jantungnya terletak pada kemampuan dan kapasitas kepemimpinan kolektif bangsa yang tidak cukup dengan kualitas “biasa-biasa saja”.Lebih dari sekadar memahami dan menghayati bineka, siapa pun pengelola negeri ini harus mencintai kebinekaan sekaligus piawai dalam mengurus keikaan.

Belajar dari orkestra

Patut kita kiranya belajar dari dirigen orkestra. Tengoklah dirigen, di mana pun, pasti memulai kerjanya dengan partitur komposisi di tangan, di kepala, dan di hatinya. Tak penting apakah komposisi itu digubahnya sendiri atau warisan dari komposer maestro, atau kombinasi dari keduanya.

Pemimpin orkestra memeriksa semua lini untuk meyakinkan bahwa semua ready. Di kepalanya, tak satu pemain instrumen atau pendukung pun yang tidak penting.Jangan lupa, ada banyak penyukses pula di belakang panggung, sisi yang tak terlihat langsung. Ada penata suara, penata lampu, penata panggung, penata busana, perias wajah, penyedia logistik, penjaga karcis, operator listrik, pramubakti, sampai pramusaji dan tukang parkir.

Tengok juga instrumen kayu (simbol kelenturan dan kelembutan) dan instrumen logam (simbol kekakuan). Keduanya tak saling menidakkan atau menyangkal, tetapi justru saling mengiyakan dan mengisi. Demikian pula instrumen berdawai, tiup, dan gebuk (perkusi), semua tidak saling menjerat dan baku pukul, melainkan saling meminjam-pakai kemuliaan masing- masing. Cakap tidaknya seorang dirigen bisa dinilai dari kemampuannya memahami keunikan dan lalu menempatkan masingmasing pemusik secara wajar sesuai “permintaan” komposisi yang dimainkannya.

Menarik mencermati cara sang dirigen menempatkan diri. Dirigen pantang menonjolkan diri karena ia sosok yang berada di antara semuanya.

Konser memang penting, tetapi bukan yang terpenting. Konser itu semata momentum atau etalase pembuktian dari sekian ratus jam proses pengompakan tim. Itu sekadar buah dari kerja keras tim yang dipimpin dirigen.Berbeda dengan momentum konser yang penuh artifisial dan pamrih mengejar tampilan yang sememikat mungkin, dalam proses latihan, semua yang berbau artifisial dan pencitraan dibabat habis. Bahkan, dalam takaran tertentu, “haram” hukumnya.

Akhirnya, mengelola bangsa itu butuh kepemimpinan berlapis-lapis. Keberlapisan itu harus mampu jadi perekat dari semua ide, talenta, dan kecakapan terbaik di bidangnya masing-masing. Bukan sebaliknya, menonjolkan kebinekaan yang memicu konflik dan perpecahan. Lalu, bagaimana dengan dominasi, kontrol, dan manipulasi?

Di alam demokrasi dan serba terbuka seperti sekarang ini, dominasi sudah tidak relevan lagi. Yang berharga adalah kemampuan mengundang partisipasi. Kontrol ketat tidak akan diapresiasi, bahkan akan dilawan. Yang dihargai adalah memberdayakan semua potensi. Manipulasi? Apalagi! Ia makin sulit dapat tempat dan tak bisa disembunyikan. Yang dicari adalah sikap jujur, terbuka, menjunjung tinggi integritas dan meritokrasi.

SUDIRMAN SAID, KETUA INSTITUT HARKAT NEGERI/DOSEN KEPEMIMPINAN STAN

Institut Harkat Negeri
Jl. H Sa’aba No. 7A
Cipete Utara, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan, Indonesia – 12150
Hotline : 0811 911 2016
Email : sekretariat@harkatnegeri.org

Institut Harkat Negeri

Institut Harkat Negeri
All rights reserved | 2024