Cut Nyak Dhien

Cut Nyak Dhien dilahirkan dari kalangan keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk Makhudum Sati, perantau dari Minangkabau. Datuk Makhudum Sati merupakan keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman. Sedangkan ibunya merupakan putri uleebalang Lampageu.

Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik. Ia memperoleh pendidikan di bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya.

Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII dan mereka dikaruniai satu anak laki-laki.Namun pada tahun 1878, Teuku Ibrahim tewas dalam perang melawan Belanda di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.

Tidak lama setelah kematian Ibrahim Lamnga, Cut Nyak Dhien dilamar oleh Teuku Umar pada tahun 1880. Teuku Umar adalah salah satu tokoh yang melawan Belanda. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880. Pernikahan antara Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar pun mendongkrak moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda Kafir). Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda. Pada pernikahan keduanya ini, Cut Nyak Dien memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.

Perlawanan Pada Perang Aceh

Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi’sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan “menyerahkan diri” kepada Belanda. Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana untuk menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya.

Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.

Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).

Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar dan Chut Nyak Dhien. Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda. Mereka mulai menyerang Belanda dan pasukan musuh berada pada kekacauan sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, Jend. Jakobus Ludovicius Hubertus Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan. Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.

Teuku umar dan Chut Nyak Dhien terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti jendral yang bertugas. Unit “Mar chauss’e” lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu, kebanyakan pasukan “De Marsose” merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya. Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit “De Marsose”. Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.

Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak Teuku Umar sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru.

Setelah kematian Teuku Umar, Cut Nyak Dien memimpin pasukan perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya.  Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dhien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun dan ia terkena penyakit encok . Sementara jumlah pasukannya terus berkurang dan mereka kesulitan memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukannya.

Panglima perang Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot Ali akhirnya melaporkan lokasi markasnya di Beutong Le Sageu kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas tersebut. Para pasukan terkejut dan bertempur mati-matian. Cut Nyak Dhien berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Sayang, aksinya berhasil dihentikan oleh Belanda. Cut Nyak Dhien ditangkap, sementara Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.

Masa Tua dan Kematian

Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.

Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan. Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai “Ibu Perbu”.

Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam “Ibu Perbu” baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. “Ibu Perbu” diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.

Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beton dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nissan yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama H. Sanusi.Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surah At-Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Cut_Nyak_Dhien

http://www.biografipedia.com/2015/05/biografi-cut-nyak-dhien.html

Aprizal Sulthon Rasyid

Literasi Untuk Berbagi

Membaca belum juga menjadi budaya penting di Indonesia. Padahal, membaca memberikan manfaat yang baik untuk memperkaya gagasan. Sayangnya, masyarakat luas belum menyadari itu. Namun, tetap ada banyak orang yang bergerak menyadarkan masyarakat akan pentingnya membaca.

Ical, sapaan akrab dari Aprizal Sulthon Rasyid, S.Sy., adalah salah satu aktivis yang mulai menebar manfaat melalui literasi di Kota Mataram, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ical menginisiasi berdirinya Komunitas Cinta Baca Mataram (KCB Mataram). Saat ini KCB sudah memiliki seribuan buku dan sebuah perpustakaan sebagai basecamp kegiatan. Ia mengulas kembali pendirian KCB ini didasari atas pertemuannya dengan adik kelasnya di sebuah warung kopi, seusai ia lulus kuliah.

Munculnya Ide Literasi

Pertengahan 2015, Ical lulus kuliah dan kembali ke kampung halaman di Lombok. Pada suatu malam, Ical mengajak beberapa kenalan dari aktivis mahasiswa di sekitar Kota Mataram. Di tengah obrolan hangat seputar isu aktual, salah seorang aktivis yang juga dulunya adalah adik kelas Ical di Pondok, menceritakan bahwa ia sedang kena skors kuliah karena menjadi dalang beberapa demo besar di kampusnya, yang berakhir anarkis.

Untuk menghibur aktivis itu, Ical mengeluarkan buku Soe Hok Gie berjudul Zaman Peralihan dari tas. Niatnya ingin meminjamkan buku itu padanya, tapi terlebih dulu bertanya pada semua orang, sudah membaca buku Soe Hok Gie yang mana saja? Tanpa disangka, aktivis yang sedang kena skors bertanya balik, Siapa itu Soe Hok Gie?

Terkejutlah Ical. Seorang demonstran tapi tidak mengenal Soe Hok Gie. Ical mengambil kesimpulan bahwa mahasiswa itu adalah kuat dalam mobilisasi tapi minim edukasi. Dari situ Ical kemudian mengajak untuk membuat kelompok diskusi untuk memperkuat basis pemikiran.

Namun, terjadi perubahan orientasi ide saat pertemuan berikutnya. Dari yang mulanya mereka ingin membuat kelompok eksklusif kajian filsafat dan teori sosial, akhirnya semuanya sepakat untuk membuat komunitas terbuka yang membawa isu literasi dan kampanye gemar membaca. Semua orang dengan semua genre buku boleh bergabung. Bahkan, yang tidak suka membacapun bisa gabung di komunitas ini.

Malam itu, 13 desember 2015, Ical dan 4 teman aktivis mataram mendeklarasikan komunitas literasi ini, dengan nama Kelompok Cinta Baca (KCB) Mataram. Kegiatan Komunitas ini di bulan-bulan pertama adalah Temu Baca. Temu Baca adalah kegiatan membaca bersama, dan anggota yang hadir akan menceritakan kembali apa yang telah atau sedang dibaca. Ical menyampaikan bahwa, tidak masalah meskipun baru membaca dua atau tiga halaman saja. Anggota tetap diminta berbagi pengalaman membacanya. Temu Baca sangat intens di beberapa bulan pertama, sebelum KCB akhirnya merambah banyak macam aktivitas.

Bertemu Banyak Guru Literasi

Di awal perjalanan komunitas, Ical dan tim sepakat untuk membuat temu baca di ruang-ruang publik, seperti di taman kota. Tujuannya adalah kampanye, agar masyarakat terbiasa melihat pembicang buku di taman, sementara biasanya orang-orang hanya berpacaran di sana. Kadang anak-anak pedagang di taman datang meminta uang, kami suruh dulu mereka membaca tiga atau empat paragraf dulu, baru kami beri uang, kata Ical.

Komunitas ini memiliki jargon Dong Ayok Baca! Yang artinya, ayo dong membaca, hanya saja penulisan itu disesuaikan dengan logat lokal demi kampanye lebih efektif. Ical mengaku banyak menemui para penggerak literasi lain yang lebih sepuh, untuk silaturrahmi dan belajar mengembangkan komunitas. Salah satu silaturahmi itu mempertemukan Ical dengan Wien Muldian, penggagas Gerakan Indonesia Membaca dari Jakarta. Pertemuan ini membawa pelajaran untuk Ical dan komunitasnya agar segera memiliki basecamp berbasis perpustakaan.

Gagasan dieksekusi, dan perpustakaan pertama berdiri di salah satu unit kos seluas 3×3 meter persegi di belakang rumah Ical, dengan 470-an buku koleksi pribadi sebagai modal awal perpustakaan. Anggota pun menitipkan buku mereka di sana. Maret 2016 resmi KCB memiliki perpustakaan sebagai basecamp. Keberadaan Basecamp, menurutnya, memang memudahkan mobilisasi kegiatan.

Dukungan dari semesta

Atas semangatnya berbagi melalui literasi, Ical juga didukung oleh orang tuanya. Unit kos yang menjadi unit perpustakaan (dan kini KCB diberikan izin menggunakan satu unit rumah sebagai perpustakaan), semuanya adalah dukungan dari orang tua Ical. Fasilitas tersebut menambah semangat komunitas. Di tempat baru ini berdatangan buku-buku dari luar meskipun Ical dan teman-teman tidak mempublikasikan permintaan sumbangan buku secara khusus. Ical hanya konsisten menarasikan semua kegiatan KCB melalui sosial media, disertai foto-foto. Ical bercerita setiap harinya minimal ada 20 buku yang dipinjam oleh pengunjung.
Ical mengaku, komunitas ini belum mengajukan proposal permohonan kerjasama atau permohonan pendanaan dari pihak manapun. Ical meyakini bahwa, penting bagi KCB di 5 tahun untuk mandiri dalam gerakan, melatih ketulusan dan jiwa tanpa pamrih agar tidak rusak oleh semua yang berbau proyek dan dana.

Tantangan dan Harapan

Ical mengatakan bahwa perpustakaan mereka memang memiliki struktur dan administrasi tersendiri, tapi tidak berjalan kaku seperti organisasi pada umumnya. Waktu, masih menjadi tantangan terbesar bagi komunitas ini, demi meraih banyak cita-citanya. Meskipun pengurus perpustakaan sudah merencanakan secara matang pengembangan perpustakaan dalam jangka panjang, namun setiap anggota KCB harus bertarung dengan waktu mereka masing-masing. Perlahan sumber daya manusia di perpustakaan ini memang semakin kuat karena ditempa banyak edukasi, tapi sekaligus, suatu saat mereka harus pamit karena kesibukan yang bertambah, kata Ical.

Ical berharap, suatu saat nanti KCB dapat memberi manfaat lebih banyak. Ia ingin agar KCB menjadi rumah pemuda yang memperkaya pengetahuan dan kreativitas siapapun yang datang. Karena itulah kegiatan di Perpustakaan tidak hanya berupa diskusi. Ada juga kelas-kelas yang sifatnya rekreatif dan melatih sejumlah softskill, seperti kelas menulis, fotografi, dan bisnis. Semuanya gratis. KCB adalah sebuah komunitas kaderisasi.

Ical, mengibaratkan KCB seperti  pabrik cangkul. KCB bukanlah sekumpulan cangkul yang langsung terjun menggarap tanah, melainkan sebuah pabrik yang membuat cangkul-cangkul berkualitas, yang kuat dan siap menggarap tanah di tempat lain. Pilihan ini dikarenakan KCB ada di kota, dengan basis masyarakat yang lebih cair. Mataram adalah melting pot semua daerah di Nusa Tenggara Barat, dan rata-rata kelurahan di Mataram sudah begitu mapan. Sehingga, model komunitas kaderisasi menjadi pilihan terbaik.Ada beberapa anggota komunitas, setelah lama ditempa di KCB, ketika pulang ke kampungnya langsung membuat komunitas serupa. Ada yang membuat perpustakaan mengaji dengan nama Santri Kampung, itu bagus banget. Di Sumbawa, ada yang membuat rumah baca untuk anak-anak dengan kegiatan belajar yang menarik. Kita support, kita kirim buku ke mereka. Kita senang bila ada bibit-bibit yang di daerah bisa melihat masalah dan menyediakan solusi dengan sebuah gerakan. Katanya.
Namun bukan berarti KCB tidak aktif bergerak terjun ke masyarakat.  KCB tetap melakukan pengbadian sosial, terus menerima kerja-sama dengan beberapa sekolah untuk kampanye cinta baca, dan lain-lain. Bahkan kami rutin membuka lapak baca gratis di taman-taman, dan peminjamnya boleh membawa pulang buku tersebut. Ini adalah salah satu bentuk pengabdian nyata.  pungkas Ical. (afd)

Ahmad Sangidun

Pemuda Pelopor Kemandirian Purwokerto

Ahmad Sangidun, Salah seorang alumni Diklat Pemimpin Perubahan (DPP) Purwokerto, yang juga seorang sarjana Agribisnis Pertanian dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto ini telah malang melintang di berbagai organisasi dan komunitas pemuda Purwokerto. Mulai dari keaktifannya di BEM Fakultas Pertanian UMP, pengurus di komunitas Sahabat Beasiswa Purwokerto, pendiri Aliansi Revolusi Mental hingga pelopor bisnis mandiri melalui pembentukan Galeri Pemuda Mandiri. Yuuk simak kegigihan Idun dalam berkontribusi membangun Purwokerto, berikut ini.

Sahabat Beasiswa Chapter Purwokerto merupakan sebuah wadah komunikasi dan silaturahmi juga bertukar ilmu dan pengalaman di antara para pemburu beasiswa Purwokerto. Pada organisasi ini, Idun atau yang juga dikenal akrab dengan panggilan Fredo oleh teman-temannya, berkontribusi di divisi HRD. Ia bertanggung jawab untuk mengadakan seminar online, mengagendakan pertemuan pekanan dan mengadakan fasilitasi untuk para anggota lainnya terkait usahanya untuk memperoleh beasiswa, seperti mengurus passport, pelatihan iBT atau IELTS. Dengan bergabung di dalam komunitas Sahabat Beasiswa ini Idun dan teman-temannya bisa lebih berani bermimpi. Mereka setiap minggu mengadakan pertemuan dan juga fasilitasi pendampingan dari senior dalam proses mendapatkan beasiswa. Komunitas ini juga bekerja sama dengan PPI Dunia. Saat ini anggota yang tercatat sejumlah 50 orang.

Idun juga aktif dalam Aliansi Revolusi Mental, aliansi ini memposisikan diri sebagai agent of control terhadap pemerintahan di desa tempat tinggalnya. Melalui aliansi ini, Idun beserta kawan-kawannya telah melakukan beberapa kali audiensi dengan lembaga pemerintahan desa Lebeng, Kec. Sumpiah, Kab. Banyumas. Audiensi tersebut dilaksanakan sebagai tanggapan atas 3 tuntutan Aliansi Revolusi Mental, yang antara lain: a) Pengidentifikasian tindakan berindikasi korupsi di pemerintahan; b) Transparansi dana desa; c) Penegakan aparatur negara yang bersih. Hikmah dari pro-aktifnya pemuda desa Lebeng ini, mengantarkannya menjadi salah satu Tim Perumus Pembangunan Desa Lebeng 2018. Menduduki posisi sebagai tim perumus, Idun dapat berkontribusi dalam bersama-sama menentukan prioritas arah pembangunan desa menularkan ide-idenya dalam menciptakan suasana pembangunan desa yang lebih efektif dan mengedepankan kepentingan masyarakat.

Selain aktif berorganisasi di masyarakat, ternyata Idun juga mempunyai jiwa wirausaha. Saat ini ia sedang mengembangkan bisnis keripik tempe yang dipasarkan dengan merek dagang mas fredo. Pengolahan kripik tempe ini dilakukan mulai dari pengolahan kedelai menjadi tempe, pembuatan kripik tempe, hingga pengemasan. Keripik tempe mas fredo mampu berproduksi sebanyak 200-250 kemasan per-minggu. Usaha berskala rumah tangga ini sementara telah mempekerjakan 2 orang ibu rumah tangga di sekitar rumah Idun. keripik tempe mas fredo mampu berproduksi sebanyak 200-250 buah per-minggu dan sebagian besar dipasarkan ke toko-toko sekitaran Banyumas. Adapun pemasaran di luar daerah Banyumas seperti Jakarta, Surabaya dan Semarang biasanya dilayani sesuai permintaan pelanggan. Hal ini terkait biaya pengiriman yang mahal.

Dalam berwirausaha Idun tak mau sendirian. Ia pun menghimpun teman-temannya yang mempunyai visi sama dan menginspirasi para pemuda lain. Mereka pun akhirnya membentuk suatu komunitas bernama Galeri Pemuda Mandiri. Komunitas ini bertujuan memunculkan semangat kemandirian di kalangan para pemuda dan berusaha mewujudkan komunitas desa mandiri. Dalam komunitas ini, mereka tidak hanya saling bertukar pikiran dan membangun jaringan usaha, tetapi mereka juga berkontribusi dalam menggali potensi daerah, dan mengubahnya menjadi peluang usaha. Selain melakukan pendampingan usaha untuk teman-teman pemuda, mereka juga memberikan pelatihan kepada Ibu-ibu sekitarnya untuk kreatif memanfaatkan potensi daerahnya menjadi pemasukan harian yang menjanjikan. Misalnya saja pelatihan pembuatan krupuk ampas tahu yang memanfaatkan limbah ampas tahu dari industri kecil sekitar. Hingga saat ini, usaha tersebut dapat menjadi mata pencaharian tambahan bagi ibu-ibu rumah tangga di desa Idun.

Saat ini Galeri Pemuda Mandiri juga sedang menggiatkan gerakan penanaman 1000 bibit jambu kristal di masyarakat. Jambu ini merupakan varietas jambu tanpa biji dengan rasa yang segar perpaduan antara buah pir dan apel. Komunitas ini juga bekerja sama dengan desa-desa lainnya untuk menggali potensi di setiap daerahnya dan menciptakan usaha lokal bagi masyarakat sekitar. Semangat ini dilengkapi dengan pendampingan wirausaha bekerja sama dengan UKM atau komunitas lainnya.

Kepada teman-teman generasi muda, Idun berpesan untuk terus menganalisa diri, menggali potensi sekitar dan menemukan peran yang sesuai dengan diri kita untuk bersama-sama membangun dan mengembangkan potensi daerah masing-masing. Salam Pemuda Mandiri!

Kolaborasi Dompet Dhuafa dan IHN dalam Strategic Leadership Training

Pada tanggal 25-26 Agustus 2017, Beastudi Dompet Dhuafa berkolaborasi dengan Institut Harkat Negeri dalam melaksanakan pelatihan “Strategic Leadership Training” untuk penerima Beasiswa Bakti Nusa 2017 di Parung, Bogor. Pelatihan ini diikuti oleh 52 aktivis terpilih dari Universitas Negeri di Indonesia seperti Universitas Indonesia, Universitas Tanjung Pura, Institut Teknologi Bandung, Institut Teknologi Surabaya, Universitas Sriwijaya, UNS, Institut Pertanian Bogor, Universitas Padjajaran, dan UNJ.

Pelatihan ini menggunakan teknik fasilitasi yang dipandu oleh Sahala Harahap dan Dyah Indrapati. Peserta diajak untuk melakukan simulasi-simulasi dan mendiskusikan hasil dari simulasi tersebut.
Peserta juga mendapatkan materi dari para tokoh. Pada hari pertama, peserta mendapatkan materi tentang media dari Miftah Sabri (CEO Selasar.com). Pada sesi kedua, peserta mendapatkan materi tentang value yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin dan teknik bersiasat yang dibawakan oleh M. Said Didu. seperti Erie Sudewo (Pengurus IHN) yang menjelaskan tentang pentingna karakter , Miftah Sabri (CEO selasar.com) yang menjelaskan tentang media , Rina Fathimah (Direktur Dompet Dhuafa Pendidikan), dan Purwo Udiutomo (General Manager Beastudi Indonesia).

Selama 2 hari, peserta tidak hanya mendapatkan materi di dalam ruangan mereka juga mendapatkan materi di luar ruangan. Peserta dibekali dengan pengetahuan untuk berkolaborasi di dalam komunitas dan lingkungan mereka.

^ Peserta mendiskusikan makna permainan sebagai proses internalisasi nilai yang dapat diterapkan dalam masyarakat.

Seusai pelatihan, peserta akan melaksanakan projek sosial di daerah masing-masing dengan peserta se regional. Selain itu, mereka juga akan membimbing 8 adik asuh di daerah mereka.

Andika Mahardika & Asri Saraswati

Berdayakan Masyarakat dengan Agradaya

Foto: Kegiatan Komunitas Anak Bumi yang diinisiasi oleh Agradaya

Agradaya, community enterprise yang mengakomodir lini bisnis dan learning center berlokasi di Sleman. Organisasi ini didirikan oleh Andhika Mahardika dan Nurrachma Asri Saraswati. Pasangan suami istri ini memang terinspirasi dengan kehidupan di desa setelah menyelesaikan penugasan sebagai pengajar di daerah terpencil. Dika dan Asri ingin terus bermanfaat pada sekitar, akhirnya mereka mencoba untuk bergerak mengunjungi tokoh-tokoh yang sudah memberdayakan masyarakat. Akhirnya, kedua pemuda ini memutuskan untuk bergerak dibidang pertanian dengan pemberdayaan tanpa menghilangkan kearifan lokal.

Impact Positif dari Community Enterprise
Dimulai dari tahun 2014, kini Agradaya sudah berkolaborasi dengan 150 petani rempah-rempah di Sleman. Komunitas ini memberikan dampak signifikan dari keberadaan Agradaya,”Dahulu rempah mereka di jual dengan range harga Rp 500,00-Rp 1000,00 ke tengkulak, sekarang kami beli dengan harga range Rp 2000,00 hingga Rp 3000,00/kg” sambung Dhika. Kini agradaya memiliki program yang cukup variatif baik dibidang bisnis maupun pusat belajar yaitu Jejaring Rempah Menoreh (program integrasi dan kolaborasi jaringan kelompok tani dalam mengembangkan tanaman rempah jenis empon-empon di wilayah perbukitan Menoreh Kulonprogo, Yogyakarta.) Komunitas Anak Bumi (Kabumi) (Kegiatan untuk anak-anak seperti belajar tentang menyemai bayam, panen tanaman kangkung, hingga masak dan makan-makan bersama. Menyusuri sawah, menangkap ikan, lalu pulangnya mengaji bersama di mushola.) dan pembuatan Desa Kombucha.

Selain membeli kunyit dari petani, Agradaya memberikan pelatihan petani beberapa stage; stage 1 pelatihan pertanian alami (natural Farming) yang melatih dari mengundang  expertise pertanian dan ada juga trainer yang kita datangkan untuk pelatihan. Prinsipnya melakukan pendekatan pertanian dengan memanfaatkan alam (baik nutrisi, pupuk maupun unsur makro dan mikro), Stage Kedua ada pelatihan manajemen lahan dan analisa usaha tani, agar petani dapat menghitung Harga Pokok Produksi (HPP) perhitungan biaya yang dikeluarkan dan keuntungan dari pertanian tersebut. Stage 3; Pembuatan Rumah Surya (Pengering untuk Pasca Panen) ini untuk meningkatkan daya jual produk. Karena saat sudah dikeringkan, produk akan bertahan relatif lebih lama. Tentu harganya akan stabil dan bisa dijual saat bukan lagi musimnya.

Wadah Edukasi dan Regenerasi Petani

Tidak hanya pelibatan petani, anak-anak petani juga diberdayakan melalui program Komunitas Anak Bumi merupakan bentuk regenerasi pertanian. Oleh karena itu, Agradaya sering mengajak anak-anak untuk belajar bersama menghargai alam sekitar misalnya dengan mengajarkan penggunaakan pewarna alami dari alam, belajar reaksi bunga telang dan bermain gobak sodor. Sehingga akan tercapai goals Dhika dan Asri yang menginginkan anak-anak ini mengetahui potensi lokal. Sedangkan untuk Desa Kombucha ini dilakukan dengan memberdayakan ibu-ibu untuk membuat fermentasi minuman sehat dari Bunga Telang dan Rosella. Selain itu, Agradaya juga bekerjasama dengan petani rempah-rempah di Kulon Progo yang hasilnya di ekspor di Belgia.

Saat ini, Agradaya juga menerima kunjungan. Dhika menyampaikan bahwa saat ini sering kali ada kunjungan ke rumah surya. Kebanyakan dari pengunjung ingin mengetahui bagaimana cara kerja Rumah Surya yang digunakan untuk pengeringan, bagaimana cara pembuatan Rumah Surya, dan bagaimana cara memakainya. Selain kunjungan, Agradaya juga pernah memiliki pemagang yang berasal dari luar negeri serta para peneliti dan pakar yang juga ikut mapir ke Joglo Agradaya yang berlokasi di Desa Sendangrejo, Kecamatan Minggir, Sleman Yogyakarta.

Foto Pasangan Andhika Mahardika dan Asri Saraswati

Dukungan dan Tantangan Agradaya

Tim inti agradaya ada tujuh orang untuk berkolaborasi dengan para petani maupun pihak-pihak yang sering datang ke Agradaya. Untuk pendanaan, Asri menceritakan diawal memulai Agradaya memang diawali dana pribadi, namun seiring dengan berjalannya waktu, banyak pihak yang mengapresiasi bahwa inisiatif ini sangat bagus dan bisa berjalan.

Ada dua entitas di dalam Agradaya; bisnis dan yayasan atau komunitas yang pendanaannya sempat di dukung oleh individu ataupun grant dari NGO. Dukungan untuk Agradaya berasal dari berbagai lapisan termasuk pemerintah dan para pihak yang sangat konsen di bidang pertanian. Asri menceritakan bahwa Agradaya didukung oleh tim profesional dari UGM dan institusi yang bergerak dibidang pertanian. Dia juga menambahkan bahwa pemerintah daerah juga sangat kooperatif. Misal dalam urusan perizinan, pemerintah daerah memberikan kemudahan untuk proses pengurusannya. Tidak hanya dengan pemerintah, Agradaya juga banyak berkolaborasi dengan komunitas-komunitas, seperti pasar alternatif, dan komunitas pertanian lainnya.

antangan Agradaya masih berkutat pada operasional karena harus punya bagaimana caranya teman-teman kerja di agradaya bisa menjadi profesional. “Kita perlu meng-hire tim yang prefesional tapi mau bergerak dibidang pertanian.” tambah Asri.

Agradaya Masa Depan

Saat ini produk Agradaya dipasarkan melalui offline dan online melalui website www.agradaya.id. Mimpi besar Agradaya, yang lagi diusahakan adalah pengolahan sendiri, karena bahan mentah Indonesia selalu di jual secara mentah ke luar negeri. Asri menceritakan kondisi Indonesia belum seperti India dan Thailand yang mampu menjual produk olahan bukan produk mentah. Maka mimpi ke depan agradaya mampu memiliki tempat untuk memproduksi lebih banyak hasil pertanian (pabrik) yang dimiliki oleh petani sendiri, bukan swasta atau bahkan asing. Sehingga petani memiliki hak kepemilikan atas pabrik dan kedepannya bisa dikirim langsung ke end user baik luar maupun di dalam negeri. Pasar dalam negeri yang cukup baik tak lantas membuat Dhika dan Asri berhenti, mereka kini sedang memulai pemasaran hingga ke luar negeri.