Negeri di Tangan Sarjana Palsu

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin

Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Pameo ini rasanya tepat gambarkan suasana hati saya. Hati saya yang sering teriris-iris saat mendengar perjalanan teman-teman dari luar negeri.

Hehehe. Iri ya elo, Bro! Sindir bathin melihat ketakmampuan tuannya jalan-jalan ke luar negeri.

Hehehe… Wokay itu kenyataan yang saya hadapi. Tapi kini saya tak ingin curhat soal rezeki. Saya ingin berbagi soal serius yang melanda negeri ini. Sesuatu yang sepele, tapi terbukti hempaskan bangsa kita.

Kemarin HP saya kemasukan info dari teman yang berkabar tentang Afrika Selatan. Lepas dari benar tidaknya, bagi saya isinya amat penting. Setidaknya jadi pengingat, bahwa tradisi buruk kita akan terus hancurkan negeri.

Info dari Afsel itu sederhana. Dikatakan bahwa di gerbang salah satu kampus terpampang tulisan: Untuk hancurkan bangsa, tak perlu dengan bom, roket, dan senjata berat. Cukup dengan permudah siswa curang dalam ujian dan longgar dalam disiplin belajar.

Otomatis pikiran langsung nyungsep ke buku Character Building yang saya tulis. Bahasannya sama, karakter bangsa. Dua dari tiga nilai Karakter Dasar di buku itu, pas dengan apa yang disinggung di kampus itu: Jujur dan disiplin. Sekarang kita fokus soal jujur. Yang disiplin kita bahas di lain waktu.

Bicara kejujuran, coba angkat tangan. Siapa di antara kita yang dulu sekolah tak pernah menyontek? Ada pasti. Tapi berapa jumlahnya? Suka atau tak suka, tak jujur alias khianat jadi satu tradisi buruk kita yang sulit dikerat.

Beberapa tahun yang lalu, ada kabar ironi tentang kejujuran di Surabaya. Banyak media mengangkatnya. Karena tak mau nyontek, ada siswa malah dibully. Bahkan yang membully, katanya gurunya pula. Malah katanya, diolok-olok kampungnya. Dianggap sok suci, sok berbeda, dan sok pahlawan.

Orang jujur jadi bencana di Indonesia. Ini yang dibilang: Orang jujur itu benar di jalan sesat. Artinya jelas jalan itu dipenuhi orang sesat. Yang benar jelas berbahaya. Maka yang jujur harus dibenamkan.

Contoh lain ada seorang bupati yang mengajar karakter di Lemhanas. Dia berkisah tentang sikap anaknya. Dua minggu jelang ujian nasional (UN), anak lelakinya tak juga belajar. Ketika ditanya, jawabnya tak percaya tapi nyata: Ibu guru bilang jika nanti tak bisa jawab soal, datang saja ke toilet.

Sumpah! Kita paham masuk toilet ketika tak bisa jawab soal UN. Tapi bangsa lain, bahkan negeri jiran pasti bingungnya. Apa hubungan ujian dan toilet. Ketika dipahamkan, bisa jadi mereka geleng-geleng kepala. Hal yang mustahil di luar negeri, niscaya di negeri kita.

Di sekolah fenomena kepalsuan terus berlangsung. Selamat pagi Bu Guru, sapa siswa.
Selamat pagi anak-anak, kata bu Guru dengan basa-basi karena sudah biasa. Ketakjujuran telah dimulai. Ucapan basa basi bukankah kepalsuan.

Anak-anak, ayo kita belajar sejarah. Esensinya sejarah itu cermin. Cermin hanya bisa tampakkan apa yang di depan. Di belakang tubuh tak tampak. Yang tak tampak jelas sensitif. Juga bisa tenggelamkan fakta dan kebenaran.

Malah juga sudah jadi rahasia umum, sebagian sejarah Indonesia palsu. Seorang filsuf bilang: Untuk hilangkan masa depan sebuah negara, hapus saja sejarahnya. Lalu anak-anak pun kini belajar yang palsu-palsu. Ekonomi, geografi, hukum, dan matematika palsu.

Kita punya sumber daya tak terbatas. Tapi ekonomi dan hukum apa yang kita pelajari hingga rakyat tetap miskin. Bagi hasil kita teramat sedikit. Maka sesungguhnya matematika apa yang kita pelajari.

Ketika ujian, ada pula anak yang tak lulus. Dia pun datang ke guru. Minta diubah angka palsunya dengan kepalsuan lagi. Sambil mengatakan tak usah repot anak-anak, kata guru tapi dengan ucapan palsu. Sebab tangan kirinya tetap kantongi amplop.

Maka kini lahirlah sejumlah sarjana palsu yang mengelola Indonesia. Kira-kira apa jadinya? Jika punya cita-cita, apa itu cita-cita palsu? Bagai kapal. Indonesia memang telah dan terus berlayar. Tapi simak jangan-jangan kapalnya kapal palsu. Sarjananya sebagian palsu. Dan cita-citanya cuma pemanis. Maka entah. Apakah kapal Indonesia tahu kemana berlayar dan apa yang hendak diraih?

Karenanya banyak hal ditutup-tutupi. Malpraktek dan kematian pasien ditutupi. Karena dokternya lulus dengan curang. Rumah ambruk karena di tangan arsitek curang. Perusahaan bangkrut digenggam akuntan maling. Keadilan rusak di tangan hakim tak jujur.

Bila guru tak jujur, bangsa ini banyak lahirkan negarawan palsu. Saat negarawan palsu berkuasa, sesungguhnya negeri ini telah ambruk. Tampaknya negeri masih berdiri. Tapi percayakah, pembusukan dari dalam terjadi dengan sempurna.

Pengelola negeri mustinya amankan aset bangsa. Tetapi karena kecurangan telah lahirkan negarawan palsu, maka korupsi kita sudah demikian akut. Mengapa? Sebab korupsi di Indonesia telah berjalan berpuluh-puluh tahun, terlembaga, dan sistematis. Korupsi yang mustinya jadi musuh nomor wahid, kini malah jadi teman mengelola negeri.

Kebodohan memang telah menyergap rata pada anak bangsa. Mengapa? Sekali lagi karena diajari guru yang lulusnya curang juga. Tugas guru mendidik ahlak murid. Pertanyaannya: Siapa yang musti perbaiki ahlak perilaku guru yang curang?

Saya pun jadi ingat seorang shohib yang jadi wartawan. Dia menulis buku yang judulnya membuat kita senyum kecut, mangkel, dan akhirnya anggukan kepala juga. Judulnya: Jujur, Saya Tidak Jujur.

Nah kini semua terpulang pada kita. Jujur. Maukah kita terima ini sebagai bahan berbenah. Atau kita sisihkan karena kita yakin tulisan ini pun tak jujur.

(Dimuat di Opini Republika, 10 Februari 2017)

Institut Harkat Negeri
Jl. Siung No.4 Blok A3, Setu, Cipayung, East Jakarta City, Jakarta 13880
Hotline : 0811 911 2016
Email : sekretariat@ihn.or.id

Institut Harkat Negeri

Institut Harkat Negeri
All rights reserved | 2024