Post Power Syndrome (PPS) dan Demokrasi Kita

 
 

Foto : Sudirman Said[/caption]

JakartaPost Power Syndrome (PPS) sering diterjemahkan secara bebas sebagai “sindroma pasca kekuasaan”. Suatu gejala (negatif) yang dialami atau ditampilkan oleh orang-orang yang tidak lagi memegang kekuasaan, jabatan, atau pengaruh tertentu dalam hidupnya.

Perasaan tidak sekuat di masa lalu, tidak lagi dianggap penting, merasa tidak dihormati, hingga hilangnya previlese sering menjadi pemicu dari gejala PPS itu.

Para ahli kesehatan jiwa mengidentifikasi sejumlah gejala yang dialami oleh penderita PPS, antara lain: kurang bergairah, mudah tersinggung, menarik diri dari pergaulan, sikap yang tidak mau kalah, sulit mendengar pandangan pihak lain, dan secara repetitive suka membicarakan kebesaran diri dan kekuasaan di masa lalu.

Suatu tindak-tanduk yang menggangu bukan?. Karena itu, bagi kebanyakan orang, kehilangan kekuasaan dan berhenti dari suatu jabatan, boleh jadi merupakan hal yang amat ditakuti.

Bangsa dan Negara Indonesia kita, sudah memilih jalan demokrasi sebagai cara bernegara. Demokrasi mensyaratkan sirkulasi kepemimpinan publik. Secara berkala pemimpin dipilih dan diangkat, lantas suatu saat harus berhenti karena dibatasi konstitusi dan regulasi. Mereka berhenti karena berbagai sebab: diberhentikan, tidak terpilih lagi, atau sesederhana memang sudah habis masa tugasnya. Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota, Bupati dan wakilnya akan berganti,

Para pejabat yang membantu para pemimpin politik seperti Menteri, Kepala Dinas, Kepala Badan, Direksi dan Komisaris BUMN/D juga akan mengalami rotasi, mutasi, atau berhenti bila waktunya tiba. Pun demikian para anggota dan Pimpinan DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota semuanya akan mengalami pergantian pada waktunya. Inilah indahnya demokrasi. Hadirnya pemimpin baru diharapkan membawa kebaruan dan, tentu saja, perbaikan dalam menjalankan amanat kepemimpinannya.

Keadaan ini seharusnya disadari oleh setiap pemangku jabatan publik, dan karenanya setiap pejabat publik harus bersiap untuk kehilangan posisinya. Hanya soal waktu setiap pejabat public akan berhenti, dan dengan demikian akan kehilangan previlese, kekuasan, dan pengaruhnya. Ini berarti, pada setiap siklus politik, sejumlah orang berpotensi mengalami PPS.

Pertanyaanya: bagaimana menghindari post power syndrome?. Mudah saja. Berikut ini beberapa tips untuk menghindari PPS.

Pertama, harus selalu diingat bahwa jabatan itu milik publik; otoritas dan kekuasaan adalah pinjaman dari publik yang suatu saat harus dikembalikan pada pemiliknya. Karenanya, tidak ada alasan untuk memegangnya terus menerus.

Kedua, ketika duduk dalam kekuasan, jangan terlalu menikmati berbagai previlese atau fasilitas yang disediakan. Gunakan fasilitas dan keleluasaan (diskresi) sewajarnya saja untuk keperluan pelaksanaan tugas publik; sehingga ketika previlese dan diskresi itu hilang, tidak merasakan kehilangan yang berlebihan. Ketiga, topanglah kekuasaan dengan kekuatan personal berupa pengetahuan, wawasan, kapasitas, dan kompetensi kepemimpinan sejati. Otoritas formal yang tidak dibarengi dengan kompetensi tidak akan memberikan manfaat maksimal, sebaliknya dapat menimbulkan banyak kemudharatan. Keempat, harus disadari bahwa disamping memberikan keleluasan, kebesaran dan keistimewaan, kekuasaan juga bermakna tanggung jawab, pelayanan, dedikasi, dan pengorbanan.

Bila kekuasaan dipandang secara utuh dari banyak sisi, maka tak ada alasan bagi siapapun untuk “nggendoli” jabatan dan kekuasaan secara membabi buta. Akhirnya, jangan berkhianat, jangan korupsi, dan jangan bertindak melampaui batas. Bagi penguasa yang lalim, berakhirnya masa jabatan adalah mimpi buruk; sebaliknya bagi pemimpin yang adil selesainya tugas akan disongsong dengan penuh syukur dan kebahagiaan. Demokrasi kita harus dibersihkan dari para pengidap PPS.

Sudirman Said, Ketua Institut Harkat Negeri.

Sudah dipublikasikan melalui detik.com | Post Power Syndrome (PPS) dan Demokrasi Kita (detik.com)

CESPLENG: Cerita seputar kesehatan lingkungan

Foto Kegiatan

Senin, 21 Maret 2022, Padepokan Kalisoga menyelenggarakan diskusi daring secara santai. Diskusi ini dinamakan Cerita Kesehatan Lingkungan atau disingkat Cespleng. Dalam rangka mengedukasi ke masyarakat, Padepokan Kalisoga tidak hanya menjalankan program pemberdayaan masyarakat, tetapi juga sosialisasi mengenai isu kesehatan, lingkungan, dan masyarakat. Cespleng merupakan satu program yang dimaksud.

dr. Rudi Pangarsaning Utami, M.Kes

Cespleng edisi pertama berfokus pada pembahasan upaya pencegahan dan penanggulangan stunting di masyarakat. Berdasarkan data dari SSGI, 2021, prevalensi stunting nasional sebesar 24,4%. Penurunan angka tersebut menjadi agenda utama Pemerintah. Pada diskusi ini diikuti oleh peserta dari masyarakat Kabupaten Brebes pada khususnya dan dari juga daerah lainnya.

“Masalah kesehatan di Brebes merupakan tanggung jawab bersama, tidak hanya pemerintah, tapi semua elemen sektor, dan acara yang diadakan oleh Padepokan Kalisoga ini merupakan salah satu bukti harapan kita untuk bersama-sama mencari solusi masalah kesehatan di masyarakat,” urai Rudi Pangarsaning Utami, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, pada saat mengisi diskusi Cespleng. Utami juga memberikan pemaparan terkait ‘Kebijakan, Program, dan Upaya Penanganan Stunting; dari sudut pandang Pemerintah setempat.

Azmi Asmuni Majid

Selain itu, hadir perwakilan dari Gerakan Masyarakat ‘Sepakat Brebes Bermartabat’, Azmi A. Majid, yang turut mengisi diskusi dengan tema ‘Stunting dan sebarannya di Brebes’. Mengutip data dari Dinkes Provinsi Jawa Tengah 2020, Stunting Brebes mencapai angka 19.166. Oleh karenanya diperlukan peran masyakarat dalam berkolaborasi dengan Pemerintah setempat. Melalui diskusi daring ini, diharapkan dapat memperkaya ide untuk menyelesaikan permasalahan terkait stunting khususnya di Kabupaten Brebes. Semoga.

Sisi Lain dari Deru Mandalika

Photo by Nenad Vesovic from Pexels

Message of Monday – Senin, 21 Maret 2022
Sisi Lain dari Deru Mandalika
Oleh: Sonny Wibisono *

“Orang mungkin lupa dengan apa yang Anda katakan, lupa apa yang Anda lakukan, tapi akan selalu terkenang dengan bagaimana Anda memperlakukan mereka.“
— Bonnie Jean Wasmund

Pagelaran Pertamina Grand Prix of Indonesia di Mandalika baru saja usai. Miguel Oliveira keluar sebagai pemenang gelaran balap motor paling bergengsi di dunia tersebut. MotoGP 2022 di Mandalika merupakan seri ke-2 dari total 21 seri yang diadakan di tahun 2022. Oliveira, yang juga berprofesi sebagai dokter gigi di negaranya, tetap konsisten di urutan pertama sejak putaran keempat. Pebalap asal Portugal itu memulai balapan dari start ketujuh. Namun ia mampu melesat meninggalkan para pesaingnya.

Ada satu momen menarik saat Oliveira diwawancara usai kemenangan yang diraihnya. Ia mendedikasikan kemenangannya untuk dua sosok spesial. Yang pertama, ia persembahkan kepada putrinya. Dan yang kedua, ia persembahkan kemenangannya kepada Risman, seorang staf hotel dimana Oliveira menginap.

Tak ayal, nama Risman pun menjadi perbincangan publik. Oliveira mengatakan bahwa Risman merupakan seorang pria yang sangat baik, yang terus memberikan semangat kepadanya. Bahkan Oliveira telah berjanji kepada Risman, bila ia menang, ia akan mempersembahkan kemenangan kepadanya. Dan janji itu ditepatinya.

Ya, Risman telah meninggalkan kesan yang baik bagi sang juara. Kesan inilah yang begitu membekas di mata sang pebalap tersebut. Selama kurang lebih seminggu, Oliveira menginap di hotel dimana Risman bekerja. Tentu saja peristiwa ini menjadi hal yang positif, tak hanya bagi tempat dimana Risman bekerja, tapi juga nama Indonesia di mata dunia.

Apa yang dilakukan Risman setidaknya dapat menjadi contoh bagi para pelaku pariwisata, tak hanya di Lombok saja, tapi juga di seantero negeri ini. Diharapkan pula hal ini dapat memicu SDM Indonesia untuk terus mengembangkan diri menjadi lebih baik serta menjadi SDM unggul dan berdaya saing.

Mengapa Oliveira perlu secara khusus menyebut nama Risman? Padahal seperti kita ketahui, Risman bukanlah siapa-siapa. Ia hanya seorang staf biasa yang bekerja di hotel. Ini juga menekankan kepada kita betapa pentingnya untuk tidak pernah meremehkan ketulusan orang lain. Atau bahasa kerennya: never underestimate genuinity. Dilihat dari sudut psikologi, ada banyak alasan mengapa Oliveira perlu melakukan hal itu.

Pertama, saat ia berada di Lombok, ia dibantu dengan sepenuh hati oleh Risman. Dalam wawancaranya, Oliveira secara khusus mengucapkan terima kasih kepada staf hotel tersebut yang telah banyak membantunya sepanjang pekan.

Dengan mengingat kebaikan orang lain, sejatinya dapat menjadi pengingat bagi diri sendiri. Juga menjauhkan diri kita dari sifat sombong. Dengan mengingat kebaikan orang lain, kita menjadi sadar bahwa kita bukanlah siapa-siapa. Itu yang ditunjukkan oleh Oliveira. Kita menyadari bahwa kita manusia biasa yang masih membutuhkan bantuan dari orang lain. Kita pun berpikir betapa pentingnya peran orang tersebut bagi kesuksesan kita saat ini.

Dengan mengingat kebaikan orang lain, juga membuat kita lebih mudah bersyukur. Ingat, rezeki tak identik dengan uang atau materi, tapi juga orang-orang baik yang ada disekeliling kita. Jadi sudah selayaknya kita patut bersyukur bila masih ada orang-orang yang masih mau berbuat baik kepada kita.

Dengan mengingat kebaikan orang lain, juga sebagai pengingat bila sewaktu-waktu terjadi friksi atau gesekan terhadap orang tersebut. Tentu saja kita tak menginginkan hal itu terjadi. Baiknya hubungan berjalan baik tanpa adanya friksi dan gesekan apapun. Nah, bila pun seandainya hal itu terjadi, itu akan lebih memudahkan kita berkomunikasi untuk mencairkan suasana, baik saat meminta maaf atau saat memberi maaf kepadanya.

Dengan mengingat kebaikan orang lain, kita akan selalu mempertahankan silaturahmi dengan orang yang yang berbuat baik kepada kita. Kita merasa secure bahwa orang tersebut harus dipertahankan. Silaturahmi tentu saja dapat dilakukan via telepon, whatsapp, atau media sosial mengingat saat ini pandemi masih belum benar-benar berakhir.

Dan terakhir, dengan mengingat kebaikan orang lain, hal itu dapat menginspirasi kita untuk juga berbuat baik kepada orang lain. Karena memang menurut penelitian, kebaikan itu menular. Ada saatnya kita ditolong orang lain, ada saatnya pula kita menolong orang lain. Kita tak boleh melupakan kebaikannya, walau seandainya nanti orang yang telah menolong kita sudah melupakan kita atau bahkan telah tiada.

Dan, bila seandainya nanti pun kita telah tiada, kita tentu berharap orang akan mengenang segala kebaikan yang kita lakukan. Setuju kawan?

* Penulis buku ‘Message of Monday’, Elexmedia, 2009 dan Ref Grafika Publishing, 2012

Sumber: Sisi Lain dari Deru Mandalika | Message Of Monday | Sonny Wibisono

Saat Narsisme Menjadi Epidemi

Andrea Piacquadio from Pexels

Message of Monday – Senin, 14 Maret 2022
Saat Narsisme Menjadi Epidemi
Oleh: Sonny Wibisono *

“You are enough just as you are.”
— Meghan Markle, isteri dari Pangeran Harry

Anda sudah menonton film ‘The Minimalists: Less is Now’? Netflix menayangkan film ini pada 1 Januari 2021. Belum lama. Film ini bercerita mengenai dua orang sahabat karib yang mengalami hidup susah di masa kecil. Joshua Fields Millburn dan Ryan Nicodemus hidup di tengah kesulitan ekonomi yang menimpa keluarga mereka. Walau begitu, Millburn dan Nicodemus tak pernah patah semangat. Upaya untuk meraih kesuksesan terus mereka lakukan. Singkat cerita, kerja keras mereka membuahkan hasil. Kedua sahahabat dekat tersebut akhirnya berhasil menduduki posisi bergengsi di perusahaan telekomunikasi Amerika Serikat.

Sayangnya, kesuksesan ini membawa mereka hidup konsumtif. Berlebihan malah. Kemudahan berbelanja dengan segala perangkat kemajuan teknologi membuat mereka dengan mudahnya membeli barang yang mereka inginkan. Apapun dibeli. Masalahnya, mereka membeli bukan hanya yang dibutuhkan, tapi juga segala printilan yang tak dibutuhkan sama sekali.

Hingga pada satu ketika, satu peristiwa mengubah pandangan hidup mereka tentang dunia. Mulai saat itu, mereka fokus untuk hidup dengan konsep miminalis. Kesadaran mereka dengan memiliki barang secukupnya membuat mereka merasa lebih damai dan tentram.

Viral berita di media mengenai penahanan dua orang crazy rich Indonesia membuat saya kembali mencoba menonton film ini. Tuduhan kepada crazy rich ini juga tak main-main, yakni penipuan. Lantas, apa hubungannya film ini dengan para crazy rich?

Belakangan ini, kita sering mendengar istilah crazy rich. Crazy rich tak hanya diartikan secara sederhana sebagai orang yang tajir melintir. Tak peduli kekayaan itu diraih melalui usaha sendiri atau warisan orang tuanya.

Menurut Urban Dictionary, crazy rich didefinisikan sebagai “a person who loves to spend their money on stupid things, that no one else would buy”. Atau artinya kurang-lebih adalah orang yang gemar mengeluarkan uangnya hanya untuk membeli barang yang tak diperlukan sedangkan orang lain tidak dapat membelinya. Nah, biasanya mereka memamerkan perilaku konsumtif tersebut di media sosial. Disini, media sosial dijadikan sebagai alat untuk menampilkan pundi-pundi kekayaan mereka secara maksimal.

Fenomena ini sebenarnya tak hanya terjadi di Indonesia saja. Di hampir semua negara, baik negara maju dan berkembang terdapat segelintir orang-orang yang disebut crazy rich ini. Media sosial menjadi ajang pembuktian bagi eksistensi mereka.

Apakah itu salah? Satu hal yang patut dicatat, siapapun berhak untuk kaya raya. Setelah mereka kaya, mereka bebas membeli apa saja yang mereka mau. Menjadi persoalan tersendiri ketika mereka memamerkan semua kegiatan yang mereka lakukan ke masyarakat luas, penting atau tidak penting, di media sosial.

Jean Twenge dan W. Keith Campbell telah mendalami fenomena ini sejak awal tahun 2000-an. Twenge dan Campbell yang merupakan peneliti, melakukan riset ini secara mendalam sejak lama. Hasilnya mereka publikasikan ke dalam buku yang berjudul: The Narcissism Epidemic: Living in the Age of Entitlement, yang terbit tahun 2009.

Epidemi tak selalu identik dengan wabah penyakit. Dalam buku tersebut, sejalan dengan riset mengenai social society yang dilakukan, ditemukan bahwa kehidupan masyarakat semakin lama semakin konsumtif. Dalam mekanismenya, ada proses pencarian makna dalam hidup ini.

Secara paradoks, narcissism muncul sejalan dengan tumbuhnya psikologi positif. Psikologi positif, gerakan yang mencoba mencari sisi positif dari diri sendiri. Gerakan ini sejatinya tidak salah. Tapi ketika melihat dari sisi positifnya saja, menjadi tipis bedanya antara fakta dengan kebohongan. Misalnya ada yang mengklaim sebagai ‘I am good one’ atau ‘I am special person’. Banyak orang pada akhirnya kehilangan makna jati diri karena tak ada proses pencarian. Hanya mencari artefak diluar sana untuk diri sendiri. Hal yang sebenarnya dapat menimpa siapa saja.

Kembali lagi ke film di awal, Millburn dan Nicodemus yang sadar akan kekeliruannya karena hidup secara berlebihan, akhirnya mengkampanyekan kepada dunia luar pentingnya hidup secara minimalis. Mereka menggunakan media sosial untuk mengkampanyekan gerakan yang mereka lakukan. Disini, media sosial dijadikan sebagai alat untuk menampilkan bagaimana mereka hidup secara minimalis.  Ingat, film ini merupakan film dokumenter. Berdasar kisah nyata. Bukan fiksi.

Gerakan dalam film ini memang dilakukan di Amerika. Tapi juga merambah di sebagian besar negara-negara di Eropa. Sayangnya, gerakan hidup minimalis ini belum dilakukan di masyarakat kita. Atau mungkin saya yang belum mendengarnya. Entahlah. Narcissism jelas tak bisa dianggap sebelah mata. Perilaku ini berbahaya. Karena disini kita tak bisa lagi membedakan mana substansi dan mana kemasan. Mana yang penting mana yang tidak. Sehingga pada akhirnya kita menjadi tidak kritis.

So, apa yang harus dilakukan? Berharap kepada orang kaya yang memamerkan hartanya agar lebih bijak dalam berperilaku nampaknya hal yang sulit. Saat seseorang memiliki kemampuan ekonomi di atas rata-rata, sejatinya ia berhak untuk self-care, yakni menjaga diri tetap sehat secara fisik, mental, dan juga spiritual. Tak hanya itu, dengan kemampuan materi yang berlebih itu, ia pun berhak untuk self-reward, melakukan sesuatu sebagai bentuk penghargaan untuk diri sendiri, memberikan selamat pada diri sendiri saat tujuan telah tercapai. Self-reward bisa dilakukan dengan banyak hal, seperti membeli barang-barang kesukaan. Atau dapat melakukan me time.

Nah, semua itu tak masalah bila dilakukan secara normal. Dalam batas kewajaran. Tapi bila dilakukan secara berlebihan, bisa menjadi penyakit. Implikasinya pun sangat tidak baik. Bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain. Itulah yang akhirnya terjadi bagi para sebagian crazy rich.

Sebagai masyarakat biasa, walau kita belum setajir melintir seperti mereka, yang perlu kita lakukan ialah membentengi diri sendiri, dengan menyaring informasi dengan cermat dan bijak. Bila nanti kita benar-benar menjadi tajir betulan, kelakuan kita setidaknya tak seperti mereka. Semoga.

* Penulis buku ‘Message of Monday’, Elexmedia, 2009 dan Ref Grafika Publishing, 2012

Webinar: Perempuan Pemimpin Mengurangi Kesenjangan Menuju Kesetaraan

[8/03] Institut Harkat Negeri bekerjasama dengan Pasuruan Youth Forum dan Aufklara Institute mengadakan webinar peringatan hari perempuan internasional. Webinar yang mengusung tema ‘Perempuan Pemimpin, Mengurangi Kesenjangan Menuju Kesetaraan’ menjadi objek kajian karena peran dan posisinya yang dianggap dilematis. Seiring perkembangannya, perempuan juga berjuang untuk mendapatkan kesetaraan. Perempuan saat ini, sudah banyak mengalami akselerasi. Angka melek huruf perempuan di Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas pada tahun 2011 hanya 89,51%. Tetapi pada tahun 2021 persentase tersebut meningkat menjadi 94,65% (data BPS 2022).

Pada tahun 2010, Indeks Pembangunan Gender (IDG) Indonesia mencapai 68,15%. Dan mengalami peningkatan cukup signifikan pada tahun 2019 dengan angka 75,24% (Kemenpppa, 2020). IDG digunakan untuk mengukur partisipasi aktif perempuan di bidang ekonomi, politik, dan manajerial. Ada tiga indikator yang digunakan untuk melihat persentase sumbangan perempuan, yaitu pendapatan kerja, keterlibatan di parlemen, dan keterlibatan manajerial seperti tenaga profesional, administrasi, dan teknisi.

Kegiatan webinar diikuti oleh sekitar 70 peserta dari berbagai kalangan, baik pekerja maupun mahasiswa. Para peserta berlokasi dari Sabang sampai Merauke. Dihadirkan enam narasumber dengan latar belakang dan instansi yang berbeda-beda. Enam narasumber dari enam instansi turut hadir menyampaikan aspirasi tentang perempuan:

  1. Direktur Pasuruan Youth Forum, Alfin Nurul Firdaus menyampaikan bahwa perempuan berhak mendapat akses dan kesempatan untuk bekerja di manapun dan dalam posisi apapun. Karena hal tersebut dapat mematahkan diskriminasi saat perempuan bekerja ke lingkup pekerjaan yang didominasi oleh laki-laki.
  2. Direktur Sikola Mombine, Nur Safitri Lasibuan dalam presentasinya menyampaikan bahwa advokasi kepemimpinan di level komunitas perempuan mengambil peran kepemimpinan policy brief di mana mereka menyuarakan hak mereka yang dapat dijadikan rekomendasi oleh Pemerintah di Sulawesi Tengah.
  3. Dewi Rahmawati, Program Manager Institut Harkat Negeri (IHN) menyampaikan pergerakan perempuan dari masa ke mas, dan saat ini yang dapat dilakukan perempuan adalah membangun kesadaran individu, yaitu sadar akan kekuatan diri, dan membangun kesadaran kolektif, dimana pemerintah, UU, masyarakat memberikan ruang kepada perempuan untuk berpendidikan, praktik kepemimpinan, serta dalam pengambilan kebijakan.

Sofiyah Angrang Kusuma, Direktur Aufklara Institute memaparkan korelasi pendidikan perempuan dengan kepemimpinan. Terdapat banyak pengaruh ketika pemimpin perempuan memiliki pendidikan yang lebih tinggi yaitu

Cinta dan Risiko

Message of Monday – Senin, 7 Maret 2022
Cinta dan Risiko
Oleh: Sonny Wibisono *

“Kapal akan aman bila berada di pelabuhan, tetapi kapal tidak diciptakan untuk itu.”
— Grace Murray Hopper, ahli matematika, penemu teknologi komputer, 1906-1992

Sumber: Fatih Turan from Pexels

Apa yang dikatakan Hopper ada benarnya. Kapal sejatinya memang dibuat untuk mengarungi lautan dengan segala risiko yang menghampirinya. Atas nama risiko itu pula akhirnya Felicity Ace tenggelam di lepas pantai kepulauan Azores, Portugal.

Felicity Ace merupakan kapal kargo raksasa berjenis ro-ro dengan berat mencapi 60 ribu ton dan panjang 200 meter. Pada 10 Februari, Felicity Ace berangkat dari Pelabuhan Emden, Jerman menuju Rhode Island, Amerika. Direncanakan kapal itu akan tiba pada tanggal 23 Februari. Malangnya, kapal itu tak pernah sampai tujuan. Di tengah lautan Samudera Atlantik, kapal itu mengalami musibah. Pada 16 Februari, kapal tersebut mengirimkan sinyal pertama akan terjadinya kebakaran di dek.

Setelah terbakar selama dua pekan, Felicity Ace akhirnya tenggelam. Walau jarang terjadi, musibah tenggelamnya kapal di tengah lautan sebenarnya bukan berita yang mengejutkan. Menjadi tidak biasa karena kapal tersebut mengangkut hampir 4 ribu mobil mewah!

Ya, kapal itu membawa ribuan mobil mewah dengan rincian 1.900 Audi, 1.100 Porsche, 500 Volkswagen, 189 Bentley, dan 85 Lamborghini. Upaya pemadaman sudah dilakukan berulang kali. Sayangnya, api tidak berhasil dipadamkan sejak percikan api pertama kali dilaporkan muncul. Petugas mengalami kesulitan memadamkan api karena beberapa mobil yang dibawa kapal tersebut merupakan kendaraan listrik. Api sukar dipadamkan karena baterai lithium ion yang berada di mobil-mobil listrik terus menimbulkan kebakaran baru.

Sulit dibayangkan, kapal beserta seluruh isinya tersebut tenggelam ke dasar laut. Rugi? Oh, pasti. Total kerugian ditaksir mencapai US$ 338 juta atau setara dengan Rp 6,2 triliun. Rp 5,7 triliun di antaranya merupakan kerugian dari terbakarnya mobil-mobil mewah tersebut.

Pabrikan ternama asal Jerman tersebut bukannya tak tahu dengan segala kemungkinan yang terjadi. Keputusan telah dijalankan. Risiko telah diambil. Mereka bukannya tidak tahu akan risiko yang dihadapi bila mobil-mobil itu dikirim via jalur laut. Terlebih, keputusan diambil di saat pandemi melanda dunia dimana hampir seluruh negara di dunia mengalami penurunan ekonomi. Nah, situasi pandemi sendiri telah membuat banyak perusahaan kesulitan memasarkan produk. Tak terkecuali  pabrikan mobil. Ditambah krisis chip semikonduktor untuk memenuhi permintaan pasar dunia, makin menambah pukulan telak bagi pabrikan asal Jerman tersebut.

Itu dari sudut pandang pabrikan mobil. Diyakini mobil-mobil tersebut telah diasuransikan sebelumnya. Bagaimana dari sisi kapal itu sendiri? Memang menjadi pertanyaan besar, mengapa kebakaran di kapal itu sulit dipadamkan, walau telah dibantu oleh petugas pemadam kebakaran dari kapal lain sekalipun. Diduga ada kelalaian yang yang terjadi pada kapal naas itu.

Nah, disinilah pentingnya mengelola risiko. Kapal itu telah ratusan (atau bahkan mungkin ribuan) kali berlayar sejak pertama kali diluncurkan Juli 2005. Dan selama itu pula tak ada masalah berarti yang dihadapi. Standar Operational Procedur alias SOP tentunya sudah dijalankan berulang kali oleh kapal itu. Tapi mengangkut ribuan mobil listrik yang mudah terbakar apakah SOP juga berlaku sama? Mobil listrik memang belum lama ditemukan. Jauh sebelum kapal itu dibuat tahun 2004. Seharusnya ada SOP atau perlakuan khusus terhadap barang yang berbeda yang diangkut kapal. Faktanya, kapal sulit dipadamkan karena keberadaan mobil listrik di dalam kapal. Kebakaran itu sendiri pun belum diketahui darimana sumbernya. Apakah dari kapal itu sendiri, human error, atau bahkan dari mobil listrik yang ada di kapal.

Ah, kita sedang bicara risiko rupanya. Lantas apa yang dimaksud dengan risiko? Seperti cinta, risiko sulit didefinisikan. Tapi bisa dirasakan. Tak aneh bila William J. Bernstein dalam bukunya ‘The Four Pillars of Investing’ menjelaskan, “Risk, like pornography, is difficult to define, but we think we know it when we see it.” Risiko, seperti pornograpi, sukar untuk didefinisikan, tapi kita akan mengetahuinya bila kita telah melihatnya. Begitu pula risiko, kita akan mengetahui dan merasakannya bila kita telah menjalaninya.

Cambridge Dictionary mendefinisikan risiko dengan “risk is the possibility of something bad happening.” Sedangkan The Oxford English Dictionary mendefinisikannya dengan “the possibility of loss, injury, or other adverse or unwelcome circumstance; a chance or situation involving such a possibility.”

Dalam menjalani hidup ini kita sejatinya telah mengambil risiko. Tiap orang tentu berbeda tiap risiko yang dihadapi dan diterimanya. Saat Putin mengambil keputusan menyerang Ukraina, ia telah mengambil risiko. Tak hanya terhadap dirinya sendiri, tapi juga bagi rakyat Rusia, rakyat Ukraina, dan juga dunia pada umumnya. Saat Anda jatuh cinta dan memilih seseorang menjadi pasangan hidup pun, risiko telah diambil.

Walau begitu, mengapa banyak orang takut untuk mengambil risiko? Sederhana jawabannya, mereka takut gagal. Mereka berpikir tak bisa melakukannya, belum berbakat, atau seribu satu alasan lainnya. Keberanian mengambil risiko, sesungguhnya lebih menunjukkan kepada karakter dan mental seseorang. Bukan pada besar kecilnya risiko yang dihadapi. Kualitas seseorang tidak ditentukan dari peristiwa yang datang menghampirinya, tapi dari respon yang ia berikan dari peristiwanya itu sendiri.

Sebaliknya, bila seseorang berani mengambil risiko, apapun itu, artinya ia telah berani menjalani kehidupan itu sendiri. Juga menunjukkan akan mendapatkan suatu pelajaran berharga dari setiap risiko yang diambil. Tentunya, bukan berarti melangkah tanpa perhitungan yang matang. Satu rahasia orang-orang sukses, seperti yang mereka ungkapkan, adalah bahwa mereka sering mengambil risiko dalam bertindak. Jangan pula ketika telah mengambil risiko, dan kejadian buruk menimpa, tapi tak tahu bagaimana mengelola risiko. Itu nekat tak bertanggung jawab namanya.

Bila kita telah mengambil risiko, ada konsekuensi dari tindakan tersebut. Nah, untuk meminimalisasi konsekuensi yang terjadi, disitu pentingnya kita mengelola risiko. Jangan hanya sibuk melihat peluangnya saja, tapi tidak melihat risiko yang muncul. Saat kita hanya sibuk melihat peluangnya saja, disana kita sudah abai dalam mengelola risiko.

Cinta dan risiko memang sama-sama sulit didefinisikan. Bedanya, risiko tak selalu mengandung cinta, tapi cinta sudah pasti mengandung risiko. Saat cinta menghampiri, Anda pasti menginginkan kebahagiaan. Tapi, Anda harus siap pula patah hati. Saat menjalin hubungan dengan kekasih, tapi tahu-tahu ia menikah dengan orang lain misalnya, Anda harus siap lahir batin. Almarhum Meggy Z sudah mengingatkan jauh-jauh hari dalam lagunya ’Jatuh Bangun’ yang hits di tahun 90-an,  “Percuma saja berlayar, kalau kau takut gelombang. Percuma saja bercinta, kalau kau takut sengsara.” Halah, kenapa dikaitkan dengan cinta. Basi banget.

Baiklah, kembali lagi soal kapal, karena tulisan ini diawali kutipan soal kapal, maka saya akhiri pula dengan kutipan soal kapal di atas. Tak beda jauh dengan kapal, bila Anda tak mau mengambil dan menerima risiko, maka Anda tak akan merasakan dan menikmati getar kemenangan dan kesuksesan, kecuali getir kekalahan dan kepahitan hidup Anda.

* Penulis buku ‘Message of Monday’, Elexmedia, 2009 dan Ref Grafika Publishing, 2012

Time, Musk, Pandemi, dan Perubahan

Message of Monday – Senin, 28 Februari 2022
Time, Musk, Pandemi, dan Perubahan
Oleh: Sonny Wibisono *

“Semua orang berpikir untuk mengubah dunia, tetapi tidak ada yang berpikir untuk mengubah dirinya sendiri.”
— Leo Tolstoy

Nataliya Vaitkevich from Pexels

Saban tahun Majalah Time menerbitkan edisi Person of the Year yang menampilkan sosok pria atau wanita, komunitas, gagasan atau ide, bahkan sesuatu benda yang dapat dikategorikan memberi pengaruh kepada dunia. Memang hampir sebagian besar yang ditampilkan adalah sosok pria atau wanita. Tapi, apakah mereka semua dapat dikatakan orang baik? Tidak juga. Yang jelas, mereka dinilai telah memberikan satu titik dalam garis perubahan sejarah dunia.

Time memang secara rutin menampilkan Person of the Year sejak 1927. Jauh sebelum perang dunia pertama meletus. Kebanyakan dari mereka yang ditampilkan sebagai Person of the Year adalah pemimpin. Mengapa? Karena mereka memberikan pengaruh signifikan kepada dunia. Tak peduli pengaruh itu baik atau buruk.

Oleh karenanya, Time tak selalu menampilkan sosok yang diamini dan dikagumi banyak orang. Tahun 1938 dan 1939, dua tahun secara berurutan, Time menempatkan tokoh paling kontroversial sepanjang sejarah Time terbit. Adolf Hitler dan Josep Stalin dinobatkan sebagai Person of the Year pada tahun-tahun tersebut. Bahkan Stalin terpilih lagi tahun 1942 sebagai Person of the Year. Siapapun tahu sepak terjang kedua tokoh tersebut. Tentu hal ini mengundang komentar dan kritikan dari para pakar dan pengamat politik pada saat itu.

Banyak tokoh terpilih berulang kali. Walau secara tahun tidak berurutan. Sebagian besar terpilih dua kali. Rekor Person of the Year masih dipegang oleh Franklin D. Roosevelt yang wajahnya muncul tiga kali di Time pada tahun 1932, 1934, dan 1941. Tak melulu orang yang ditampilkan. Misalnya tahun 1982, Time menyematkan the computer sebagai Machine of the Year.

Nah, bagaimana tahun 2021 lalu? Pada 2021, Time menampilkan sosok Elon Musk. Dalam era digital seperti saat ini, tak sulit mencari tahu siapa Elon Musk. Namanya sering muncul dalam berbagai berita. Lantas, apa alasan Time memilih Musk sebagai Person of the Year 2021? Musk dinilai berhasil dalam menghadirkan berbagai inovasi di bidang teknologi. Inovasi-inovasi tersebut terbukti mendorong adanya transformasi dalam skala besar di masyarakat. Di situs resminya, Time mengatakan, pada 2021, Musk tak hanya muncul sebagai orang kaya di dunia, tetapi juga menjadi contoh nyata dari perubahan besar dalam masyarakat.

Pemilihan Musk sendiri bukannya tanpa kontroversi. Kurt Eichenwald mengatakan bahwa ini mungkin pilihan terburuk yang pernah ada. Eichenwald, penulis ternama yang telah menelurkan lima buku terlaris itu mengkritik pemilihan Musk sebagai Person of the Year. Menurutnya, masih banyak orang yang lebih berhak ketimbang Musk. Misalnya, penemu vaksin mRNA yang berhasil menyelamatkan jutaan nyawa bahkan mampu membangkitkan ekonomi global. Bukan hanya Eichenwald saja, banyak tokoh yang kecewa atas pilihan Time kali ini. Ada banyak alasan diajukan mengapa seharusnya bukan Musk. Musk diketahui malas membayar pajak, menolak adanya serikat buruh, bahkan menyepelekan pandemi Covid-19.

Terlepas dari kontroversinya, pemilihan dengan alasan yang melatarbelakanginya sudah dilakukan. Ada satu kata kunci tiap kali Time menampilkan something or person of the year di sampul majalahnya. Apa itu? Perubahan. Dengan kata lain, tiap tahun selalu ada perubahan yang terjadi di dunia ini. Selalu ada yang dipilih Time. Tak pernah absen sekalipun.

Tapi omong-omong, apa yang dimaksud dengan perubahan? Ada banyak teori. Perubahan menurut Atkinson dan Brooten adalah proses yang membuat sesuatu atau seseorang berbeda dengan keadaan sebelumnya dan merupakan proses yang menyebabkan perubahan pola perilaku individu atau institusi. Orang bijak memang pernah berkata, tak ada yang berubah kecuali perubahan itu sendiri. Bila orang bijak bertitah, sulit untuk dibantah.

Cepat atau lambat, kehidupan manusia akan berubah. Suka atau tak suka. Saya teringat kisah seorang kolega. Sebelum era 90-an, program aplikasi pengelolaan teks, dokumen, dan laporan di komputer masih menggunakan WordPerfect alias WP. Penggunaan komputer saat itu masih menggunakan sistem DOS. Baru setelah itu Microsoft merambah masuk menggantikan DOS. Secara perlahan, program aplikasi WordPerfect digantikan oleh Microsoft Word. Nah, sang kolega tetap bertahan dengan menggunakan WP. Saat orang-orang sudah beralih menggunakan Microsoft Word, ia masih menggunakan WP. Hingga satu ketika, sang kolega diminta mengirim file dokumen yang dibutuhkan, tak ada seorangpun yang menggunakan WP. Semua rekannya sudah beralih ke Microsoft Word. Akhirnya, ia sendiri yang kebingungan. Percuma ia membuat dokumen karena tak ada yang bisa menggunakannya. Sejak itu, ia dipaksa untuk memakai Microsoft Word.

Musk membawa perubahan. Sang kolega dipaksa ikut perubahan. Kisah kolega sendiri memberikan hikmah sederhana. Kita harus siap dengan segala perubahan yang terjadi. Memang tak selamanya perubahan berkonotasi positif. Perubahan bisa membuat kehidupan seseorang atau sesuatu menjadi lebih baik. Begitu pula sebaliknya. Bisa jadi kita tak bisa menghindari adanya perubahan, tapi mau tak mau harus bisa beradaptasi dengannya. Menurut Barton Goldsmith Ph.D, beradaptasi terhadap perubahan positif sebenarnya sama sulitnya dengan menghadapi perubahan negatif.

Saat ini hampir seluruh negara di dunia mengalami pandemi akibat wabah virus Covid-19. Tak terkecuali negeri ini. Pandemi, membuat begitu banyak perubahan terjadi. Dampak pandemi memaksa masyarakat mau tak mau adaptif terhadap berbagai bentuk perubahan sosial yang terjadi. Sebagai anak bangsa, kita bisa memilih sekedar reaktif saja terhadap perubahan yang terjadi atau ikut serta mewarnai perubahan. Tiap orang dari kita sesungguhnya memiliki kesempatan untuk ikut mewarnai. Masalahnya, Anda peduli atau tidak. Mau atau tidak untuk ikut mewarnai perubahan. Semua itu pada akhirnya kembali kepada peran masing-masing pada diri sendiri. Bila ingin Indonesia menjadi lebih baik, pilihan terbaik ialah ikut mewarnai. Tentu perubahan positif yang dimaksud.

Ada satu keyakinan yang kuat, bahwa saya percaya, keadaan yang melanda negeri ini membuat kita semakin kokoh dan kuat, serta bersama-sama menyongsong perubahan ke arah Indonesia yang lebih baik. Sejarah pernah mencatat berulang kali, bangsa ini memiliki bukti dan reputasi untuk mampu keluar dari segala kesulitan. Semoga.

* Penulis buku ‘Message of Monday’, Elexmedia, 2009 dan Ref Grafika Publishing, 2012

Sekolah Sebagai Wahana Kaderisasi Pemimpin

 

Oleh : Gunawan Adib Achmadi
(Wakil Direktur III Bidang Kemahasiswaan)

Tribun jateng/Khoirul Muzaki

Mengikuti pandangan Ki Hajar Dewantoro, keberadaan guru itu seorang pemimpin. Di depan  memberi teladan (ing ngarso sung tulodho), di tengah-tengah siswa seorang guru memberi inspirasi dan motivasi (ing madyo mangun karso). Di belakang, guru memberi kepercayaan kepada siswa menjalankan tugasnya.
Lebih dari sekedar transfer pengetahuan, keberadaan guru adalah pemimpin bagi siswanya. Sepak terjang  guru sebagai pemimpin berlangsung selama siswa belajar di sekolah. Artinya, ada pelajaran kepemimpinan selama setidaknya masing-masing 6 tahun di sekolah dasar dan menengah, lalu disempurnakan di perguruan tinggi.

Nilai kepemimpinan secara intensif akan berlangsung di  kelas dan dinamika sekolah. Secara teoritis, dalam rentang selama itu terasa mustahil karakter kepemimpinan tidak terbangun.

Sayangnya, ide Ki Hajar Dewantoro belumlah menjadi nilai nilai yang tumbuh di sekolah, utamanya oleh guru. Secara faktual, keberadaan guru belum mencerminkan nilai kepemimpinan. Justeru sebaliknya, guru menciptakan ketergantungan pada siswa dan menjauhkan siswa dari jiwa kemandirian yang penuh inisiatif. Hal ini terasa sekali dampaknya saat pandemi berlangsung.

Siswa   seperti kehilangan gantungan saat diberlakukan belajar daring dan tak mampu berinisiatif belajar mandiri. Jelas ini kontradiktif dengan nilai nilai kepemimpinan.

Refleksi atas kondisi tersebut adalah jika nilai-nilai kepemimpinan berlangsung di sekolah, utamanya melalui guru dan berlanjut dalam kehidupan kelas dan dinamika sekolah. Maka, keluaran sekolah lebih dari sekedar alumni almamater, melainkan kader pemimpin.  Dan jika hari ini kehidupan berbangsa dan bernegara mengalami krisis kepemimpinan yang terlihat dari sulitnya mendapatkan kandidat pemimpin yang pantas dibanyak sektor,  tidak salah untuk melirik kembali dunia pendidikan kita.

Dinamika pendidikan  perlu ditata kembali dengan menghidupkan elan pemikiran Ki Hajar Dewantoro, agar sekolah kita tak cukup melahirkan banyak orang pintar, tapi juga pemimpin.

Sains, Etik, dan Harkat Bangsa

Sumber : wahdah islamiyah
Sumber : wahdah islamiyah

   Dalam segala ukuran, Indonesia Kita sesungguhnya sedang tumbuh, terus menapaki kemajuan menjadi negara-bangsa yang lebih berdaya. Jika kita menarik diri sejenak untuk berjarak dari hiruk pikuk keseharian, dan membaca perjalanan Indonesia dalam horison waktu yang panjang, maka suasana bertumbuh itu dapat kita tangkap dengan jelas. Ketika merdeka, 77 Tahun yang lalu, jumlah penduduk Indonesia 61 juta jiwa, hari ini jumlahnya meningkat lebih dari empat kali lipat (270 juta jiwa). Dari 66 juta jiwa, hanya 3% saja yang melek huruf. Sekarang, dari 270-an juta rakyat Indonesia, tak sampai satu persen yang tidak sekolah. Angka harapan hidup orang Indonesia membak dari 49,6 tahun (1965) menjadi 71,5 tahun (2021).

       Statistik ekonomi makro juga menunjukkan kemajuan dari waktu ke waktu. Produk domestik bruto (PDB) per kapita kita tumbuh dari USD 523,25 (1980) menjadi USD 3.921,0 (2020). Volume APBN yang menjadi indikator kemampuan negara memberikan stimulus ekonomi terus membesar, dari RP 16,5 triliun (1980), menjadi Rp 2.500 triliun (2020). Yang menarik, kemampuan bangsa kita dalam membiayai penyelenggaraan negaranya juga terus membaik, dibuktikan dengan porsi pendapatan negara yang berasal dari pajak sebagai “iuran warga”. Penerimaan perpajakan terus meningkat dari Rp 2,2 triliun (1980) menjadi Rp 1.285 triliun (2020). Porsi belanja negara yang dibiayai oleh warga negara terus meningkat dari 22% (1980) menjadi 91% (2020).

Bila kita menggunakan indikator global seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Persepsi Korupsi (IPK), dan Indeks Demokrasi (ID); berbagai kemajuan juga kita rasakan. IPM kita naik dari 0,532 (1990) menjadi 0,718 (2020). IPK Indonesia juga mengalami perbaikan, dari 180 negara yang disurvei, Indonesia berada pada peringkat 126 di tahun 2008 menjadi peringkat 102 di tahun 2020. Walaupun saat ini demokrasi kita sedang masuk dalam kategori Flawed Democracy (demokrasi cacat) karena turunnya kualitas, tetapi indeks demokrasi Indonesia mengalami kenaikan, berada peringkat ke-64 dunia (2020), meningkat dari peringkat 62 (2006) saat indeks ini pertama kali dipublikasikan.

Kemerdekaan, pertama-tama adalah pengakuan akan harga diri suatu bangsa. Dibalik pergulatan fisik seperti yang kita saksikan dalam film-film sejarah, perjuangan meraih kemerdekaan adalah pergulatan ilmu pengetahuan dan sikap etis. Para perintis kemerdekaan, para pendiri bangsa, beserta seluruh jejaringnya adalah pribadi-pribadi yang bergerak karena panggilan ilmu pengetahuan dan dorongan sikap etisnya. Wawasan ilmu dan etik mereka menolak penindasan, ketidakadilan, kesewenangan, dan penyalahgunaan kekuasaan secara eksesif. Mengapa mereka menolak penindasan dan ketidakadilan? Karena mereka paham bahwa bangsa dan negara yang maju adalah negara-bangsa yang diurus dengan kesetaraan dan keadilan. Kekuasaan digunakan untuk mengayomi dan melindungi, bukan untuk menindas warganya.

      Sejarah mengajarkan, bangsa-bangsa yang mengedepankan sains dan etik terus menapaki kemajuannya sebagai bangsa yang unggul dan berwibawa. Sebaliknya bangsa-negara yang rusuh tata kelolanya, mengabaikan norma, meninggalkan sains dan etik, akan menuai kerusakan yang membuat bangsa itu mengalami kemunduran dan makin tertinggal.  Sains dan etik telah menjadi pemandu bangsa kita dalam meraih kemerdekaan dan harga dirinya, dan mengantarkannya pada kemajuan demi kemajuan.  Kemajuan ini jangan disia-siakan,  pun tak boleh dibiarkan berputar arah.

Pendanaan Parpol dan Akuntabilitas Pemerintahan

Institut Harkat Negeri (IHN) memiliki agenda bulanan yang bernama Diskusi Bulanan Membangun Harkat Negeri. Pada bulan Januari tema yang diangkat adalah Pendanaan Parpol dan Akuntabilitas Pemerintahan. Acara diadakan pada hari Rabu, 25 Januari 2017 di kantor IHN, Jl. Tirtayasa IV No.29 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Narasumber yang hadir kali ini adalah Donald Fariz dari ICW dan Titi Anggraini dari Perludem.

Sampai saat ini pendanaan Partai Politik (Parpol) di Indonesia masih menjadi permasalahan serius bagi bangsa Indonesia. Permasalahan tersebut terdapat dalam setiap tahap terkait penerimaan, penggunaan, dan pertanggungjawaban dana Parpol. Permasalahan pendanaan Parpol ini dapat mempengaruhi pengelolaan pemerintahan apabila kader-kader Parpol yang tidak transparan dan akuntabel tersebut menduduki jabatan-jabatan publik.

Undang-Undang No.31 Tahun 2002 tentang Partai Politik sebenarnya sudah mendorong transparansi dan akuntabilitas pengelolaan Keuangan Parpol dengan mewajibkan Parpol untuk melaporkan hasil audit dananya setiap tahun ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun dalam undang-undang perubahannya, Undang-Undang No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik kewajiban melaporkan hasil audit dana Parpol setiap tahun ke KPU tersebut justeru dihapuskan. Hal tersebut tentu saja akan mengembalikan ke masa kelam pendanaan Parpol terkait transparansi dan Akuntabilitasnya.

Tujuan diskusi adalah untuk membedah permasalahan pendanaan Parpol, baik terkait aturan maupun kebijakan, mengetahui dampak permasalahan pendanaan parpol terhadap pengelolaan pemerintahan, serta untuk menggali alternatif solusi dalam rangka mendorong peningkatan transparansi dan akuntabilitas pendanaan parpol.

Dalam diskusi terungkap bahwa pemerintah sampai saat ini baru mendanai operasional parpol sebesar 0,063% dari APBN. Dalam UU No.2 Tahun 2008 jo.2 Tahun 2011 tentang Parpol sebenarnya sudah dijelaskan bahwa sumber dana parpol berasal dari; iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum dan bantuan dari APBN/APBD. Tidak mengherankan jika parpol di Indonesia cenderung mencari dana operasionalnya dari sumber-sumber lain termasuk sumber dana yang gelap. Akibatnya, banyak anggota parpol di DPR maupun di eksekutif tersangkut masalah korupsi.

Besarnya kebutuhan operasional parpol juga mengakibatkan parpol dikuasai oleh para pemodal. Saat ini ada beberapa Parpol yang dipimpin oleh pengusaha, diantaranya Partai Nasdem, Perindo, Hanura, Gerindra dan Golkar. Akibat yang lebih buruk lagi apabila pemerintah tidak mengalokasikan dana lebih besar untuk operasional kantor adalah adanya potensi Parpol dikuasai oleh cukong. Oleh karena itu, demi untuk menyehatkan demokrasi Indonesia dan membuka akses setiap warga Negara dalam berpolitik, maka pemerintah wajib meningkatkan alokasi dana untuk operasional parpol.

Perkembangan Expor dan Impor

Hai Pejuang Harkat, ada info nih tentang Perkembangan Perdagangan Internasional (Ekspor-Impor) dari tahun 2001 hingga 2020. Ekspor Indonesia di tahun 2020 berada di posisi US$163,3 miliar; sementara impor berada pada posisi US$ 141,6 miliar.

Di sisi lain, transaksi neraca perdagangan Indonesia Januari 2021 mengalami SURPLUS sebesar US$1,96 miliar, yang berasal dari sektor nonmigas sebesar US$2,63 miliar dan terjadi defisit dari sektor migas sebesar US$0,67 miliar.

Sebagian data diperoleh dari BPS dan diolah oleh tim peneliti IHN.

Utang Luar Negeri

ULN merupakan utang seluruh penduduk Indonesia kepada pihak asing. Bukan hanya utang pemerintah, namun termasuk swasta. Didalamnya juga termasuk utang BI, Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank, serta BUMN.

Per 2020 ini, Posisi ULN Indonesia sebesar USD417,5 M. Jumlah tersebut terdiri dari ULN Pemerintah sebesar USD2036,4 M, Bank Indonesia sebesar USD2,9 M dan swasta yang mencapai USD208,3 M. Pemberi utang atau kreditur ULN Indonesia terdiri dari banyak pihak.

Dikelompokkan dalam tiga kategori: 1) negara asal pemberi pinjaman, 2) organisasi internasional, dan 3) keditor lainnya termasuk pihak swasta.

Negara kreditur terbesarnya adalah Singapura, USA, dan Jepang yang mencapai 52% atau USD217,1 M. Sedangkan dari sisi ULN pada organisasi porsinya 8,6% atau USD35,8 M, didominasi oleh IBRD dan ADB.