Alia Noor Anoviar

Alia Noor Anoviar, pendiri dreamdelion, yang merupakan community development yang memiliki fokus pada isu pendidikan, kesehatan, dan lingkungan serta pendampingan dalam pemberdayaan ekonomi. Ide ini bermula pada saat ia melakukan pertukaran mahasiswa di Thailand selama 4 bulan. Selama exchange itu , Ia ikut beberapa club mahasiswa. Salah satu club yang menginspirasinya untuk membuat Dreamdelion adalah SIFE Club. Di club ini, Ia pernah mengikuti programnya dan dipertemukan dengan petani lokal. Saat melakukan kunjungan tersebut, Dosen pembimbingnya menjelaskan bahwa mereka sudah membantu petani dalam beberapa tahun terakhir. Program itu dibawah naungan kampus tapi dijalankan oleh mahasiswa, sehingga program ini bisa mengalami keberlanjutan. Di dalam SIFE Club yang diikuti Alia itu, beranggotakan anak-anak yang memiliki kecukupan ekonomi. Alia yang merupakan peraih beasiswa akhirnya berkeinginan kuat untuk melakukan sesuatu agar dapat bermanfaat di sekitarnya. Dari situ ia ingin mendirikan SIFE Club di Indonesia, namun kesulitan birokrasi membuatnya untuk mengurungan niat dan membentuk komunitas dengan nama CEO Shop (Community Empowerment Online Shop) untuk pembiayaan Sanggarai (Sanggar Belajar Anak Manggarai).

Berawal dari kegiatan penelitian Alia di Manggarai pada tahun 2011 dimana daerah tersebut membutuhkan sekolah informal terkait pendidikan karakter. Kemudian Ia memulai membuat Sanggar belajar pada tahun 2012 bersama kedua temannya yaitu Site dan Sentia. Sanggar belajar yang ia bikin ini awalnya diikuti oleh 5 sampai 15 anak di Manggarai. Saat itu selain melakukan kegiatan sosial, Alia juga memiliki hobby menulis. Ia pun menuliskan mimpinya untuk membuat komunitas yang pembiayaannya bisa dilakukan secara mandiri yang selanjutnya menjadi cikal bakal lahirnya Dreamdelion. Tulisan tersebut kemudian sampai pada Bu Dewi, Dosen Alia. Diundanglah Alia untuk menemui Bu Dewi, Alia menuturkan bahwa tulisan itu masih mimpi, kemudian Bu Dewi, menantang Alia untuk mewujudkan mimpi tersebut.

Keputusan Alia memperjuangkan Dreamdelion

Alia menceritakan bahwa perjalanan awal dreamdelion tidak mulus begitu saja. Ia mengatakan 3 kali ingin membubarkan sanggar belajar karena kurangnya pembiayaan dan tidak ada pengajar rutin mingguan sehingga setiap minggu harus mencari orang yang berbeda. Teman yang Ia ajak untuk mengajar sering kali tidak mau kembali ke sanggar belajar yang Ia dirikan. Pasalnya, sanggar belajar ini berada di depan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang meskipun ukurannya kecil tapi baunya sangat menyengat. Sehingga setiap minggunya Alia akan membawa teman baru untuk mengajar. Sedangkan secara modal, Alia yang saat itu mendapatkan uang beasiswa untuk kuliah merasa tidak cukup, jika uang beasiswa juga untuk membiayai sanggar belajar. Saya pindah dari kosan seharga 500 ribu ke kosan yang seharga 350 ribu yang jauh lebih sempit dan dengan fasiitas seadanya agar bisa menyisihkan untuk keperluan Sanggar Cerita Alia sambil tertawa. Namun, niat luhurnya untuk mengembangkan masyarakat kembali menguat saat anak didik Alia menginginkan agar Sanggar Belajar terus ada. Untuk menalangi kesulitan dana itulah Alia membuat Online shop yang menjual barang-barang dan keuntungannya digunakan untuk mendanai sanggar.

Kemauan keras Alia untuk membuat perubahan tentu diiringi dengan gagasan disertai dengan keberanian. Ia ingin sekali menumbuhkan animo teman-temannya untuk menjadi tutor. Maka, Ia kemudian berfikir untuk melakukan lobby pada kepala RT dan RW untuk meminta agar TPA tersebut dipindahkan. Melihat antusias anak-anak sanggar yang semangat belajar maka Kepala RT dan RW menyetujui untuk dipindahkan. Alia pun berhasil. Sejak saat itu untuk tutor pengajar, Alia sudah tidak lagi kekurangan orang. Alia tidak bekerja sendiri tentunya, ada tim hebat yang bekerja bersamanya untuk memperjuangkan mimpi masyarakat sasaran yang membutuhkan.
Alia mengaku, untuk saat ini tantangan dreamdelion sendiri adalah Sumber Daya Manusia. Kita bisa berjalan tanpa uang, tapi kita tidak bisa berjalan tanpa SDM yang bagus. Kata Alia. Ia menyampaikan bahwa Sumber Daya Manusia ini tidak hanya tim tapi juga Sumber Daya Manusia yang berasal dari masyarakat. Tantangan lain, yang dihadapi oleh Dreamdelion saat ini adalah kapital untuk kegiatan besar yang membutuhkan modal tinggi.

Perkembangan Dreamdelion

Seiring berjalannya waktu, dreamdelion-pun tumbuh dan berkembang. Dreamdelion kini memiliki program andalan berupa Dreamdelion Cerdas, Dreamdelion Kreatif, Dreamdelion Sehat. Dreamdelion cerdas ini awalnya bernama sanggarai (Sanggar Anak Manggarai) yang merupakan sanggar untuk belajar karakter. Namun kemudian karena keterbatasan baik modal, sumber daya manusia atau guru dan alat pendidikan karakter. Maka dikembangkanlah ekonomi masyarakat untuk menunjang program ini. Dari program ini sudah terlaksana pelatihan karakter, program beasiswa, program parenting dan lain-lain. Untuk Dreamdelion Sehat, ini merupakan program yang memiliki fokus pada masalah kesehatan dan lingkungan. Contoh program yang sudah diterapkan adalah Vertikultur, Budaya Lele dalam Tong (Buletong), Gerakan masyarakat sehat (GEMAS), pendidikan lingkungan dan manggarai berlari. Program unggulan ketiga adalah Dreamdelion Kreatif, program pengembangan masyarakat dengan memberikan pelatihan membuat produk kreatif. Untuk program ini ditargetkan pada ibu-ibu rumah tangga. Tapi Dreamdelion Kreatif juga melakukan pelatihan craft (Craft Class) dan Dreamdelion Kreatif Goes to School di sekolah-sekolah.

Program Vertikultur yang dijalankan oleh Dreamdelion

Dalam menjaga semangat dalam tim, terdapat berbagai program pelatihan bagi tim sehingga dapat meningkatkan kapasitas anggota dan memperkuat komunitasnya. Dreamdelion juga membuka program internship. Dalam program internship, Alia menuturkan bahwa peserta internship akan diberikan projek dan workshop pelatihan untuk menunjang kemampuan para pemagang. Sampai sekarang, program internship sudah berjalan sampai batch 6.

Program Dreamdelion Sehat

Dukungan dan Penghargaan yang diterima Dreamdelion

Kini, Dreamdelion sudah berkembang di 5 kota di Indonesia seperti Jakarta yang berdiri pada tahun 2012, Jogjakarta pada akhir tahun 2013, Ngawi pada tahun 2015, dan pada tahun 2017 terdapat daerah baru yaitu Surabaya dan Cianjur. Proses pemilihan daerahnya tentu dengan melihat local champion atau keberadaan penggerak. Jika memang ada penggerak, maka Dreamdelion bisa dibuka di daerah baru. Banyaknya sekali daerah yang meminta untuk membuka dreamdelion adalah kelompok masyarakat, seperti ajakan dari BEM dan kelompok lain. Sambung Alia.

Dreamdelion juga banyak menjalin kerjasama, seperti Kerjasama dengan Kemenakertrans, Kominfo, NGO, Komunitas dan perusahaan seperti CIMB Niaga, Indonesia Power, Bank Danamon, dan lebih dari 100 lembaga dan institusi lainnya.

Dreamdelion yang digawangi oleh Alia ini sudah mendapatkan banyak sekali penghargaan seperti Youth Educators Awards (2012), Young Change Maker Ashoka (2012), Top 3 Mandiri Bersama Mandiri 2012 kategori Start Up Creative Industry (2012), The Most Innovative Bussines ELD Award FEUI (2012), Danamon Social Entrepreneur Award (2014), Hult Prize (2015), Gadjah Mada Entrepreneur Festival (2014), Danone Young Social Entrepreneur (2015), dan Kartini Next Generation Bidang Sosial Budaya (2015). (afd)

Stevie Jeremia Hermawan

Ngopi sudah merupakan suatu hal yang lumrah di keseharian masyarakat Indonesia. Mulai dari jaman orang tua dulu, ngopi sudah dimulai sejak pagi sebelum memulai aktifitas, berlanjut ngopi sambil ngerokok setelah makan siang hingga ngopi di sore hari sambil menikmati senja. Di kalangan anak muda pun, kopi juga bertransformasi sebagai gaya hidup kekinian, hingga muncul istilah ngopi-ngopi cantik. Namun pernahkah saat di sela-sela menikmati kopi kita berpikir, dari manakah kopi ini berasal? Sudahkah para petani kopi menikmati hidupnya senikmat rasa kopi di tangan Anda?

Stevie Jeremia Hermawan, Salah seorang pemuda yang meninggalkan hiruk-pikuk ibu kota untuk dikirimkan ke daerah terpencil dan terluar Indonesia melalui program Patriot Energi, akhirnya tinggal dan berbaur dengan para petani kopi di desa Minanga, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat.

Melihat dan mengalami sendiri hidup keseharian para petani kopi di desa tersebut, juga atas permintaan para penduduk desa untuk membantu memasarkan kopi ke Jawa, maka Stevie dan beberapa temannya di Patriot Energi bertekad untuk mengangkat nilai kopi lokal, setara dengan proses dan kerja keras yang telah dilalui biji kopi tersebut hingga terseduh cantik di tangan Anda.

Maka setelah serangkaian diskusi panjang di sela-sela masa re-orientasi Patriot Energi, terbentuklah Narakopi, yang merupakan akronim dari Narashakti (sebutan untuk alumni Patriot Energi 1) Kopi pada tanggal 15 April 2015. Narakopi pun menetapkan visi langkahnya sebagai sebuah unit usaha koperasi kopi yang terintegritas dari hulu ke hilir, dari desa ke kota. Kopi akan dipasok oleh petani kopi di desa melalui koperasi primer yang ada di desa. Kemudian dikirim dan didistribusikan ke koperasi distribusi di kabupaten, yang kemudian akan dikelola di Jakarta oleh Narakopi.

Sebagai pilot project, dipilihlah dua daerah penempatan patriot yaitu desa Minanga, Kab. Mamasa dan desa Barumbun, Tanah Toraja. Kelompok Narakopi kemudian dibagi 2, Stevie-Maya sebagai Kelompok Pemberdayaan Desa yang berperan untuk mendampingi para petani kopi di desa penempatan selama 6 bulan masa bakti Patriot Energi 2 dan Bimo-Bia dibantu para Narashakti yang lain sebagai kelompok kota yang berperan dalam mempelajari pasar dan mengirim support materi dan alat untuk kepentingan pelatihan di desa.

Selama masa pendampingan di Mamasa, Stevie dan Maya giat mendampingi petani ke ladang-ladang kopi untuk memilih biji kopi terbaik, berdiskusi dengan para petani kopi, membangun rumah kaca sederhana untuk tempat pengeringan kopi serta melakukan kegiatan pelatihan pengolahan dan penyeduhan kopi. Stevie juga membangun jaringan dengan penduduk lokal di Mamasa dan mempersiapkan� Key Person di daerah untuk kelancaran transportasi dan komunikasi di daerah ketika masa pendampingan telah berakhir.

Untuk memberikan harga yang adil bagi petani kopi, Stevie dkk menyerahkan penentuan harga pasar oleh petani sendiri, dengan beberapa pertimbangan perhitungan tentunya. Sehingga antara petani dan Narakopi dapat mencapai kesepakatan harga bersama. Ada beberapa komponen biaya yang harus dicermati bersama yang secara berturut-turut dijabarkan sebagai berikut:� harga pokok buah, biaya pasca panen (meliputi biaya pengeringan buah kopi, biaya sortir, pengupasan dan biaya roasting), biaya distribusi, harga kemasan, keuntungan yang ingin diperoleh, biaya cadangan dan nilai penyusutan kopi. �Saat ini semua masih sama-sama belajar dan saya cukup senang karena setidaknya sekarang para petani kopi di desa sudah mampu menentukan berapa harga kopi yang pantas untuk membayar jerih payahnya. Tentunya tetap dalam koridor logis berdasarkan komponen biaya dan besaran keuntungan yang ingin mereka peroleh. Masyarakat tahu cara menghitung harga kopi, kenapa tidak lebih rendah atau lebih mahal. Dari hulu ke hilir sama- sama tahu tentang harga tersebut. Keduanya sama-sama tahu masing-masing mengambil untung berapa.� Terang Stevie.

Setelah berjibaku selama kurang lebih satu tahun, Stevie bersama teman-teman narakopi mulai menapaki jalan terang. Saat ini mereka sedang mengembangkan 2 kedai kopi yaitu Coworking Space Bakusapa di Rawamangun atas kerjasama pembiayaan dengan Koperasi Trisakti Bhakti Pertiwi dan Coffee on The Go Bakusapa di gedung FTSP, Universitas Trisakti bekerja sama dengan koperasi karyawan FTSP dan kedai kopi ngoepilah. Kedua kedai kopi ini menggunakan kopi-kopi dari petani binaan di Mamasa dan Toraja. Selain itu ada 3 daerah binaan lain oleh rekanan Narakopi yang mengirimkan produk daerahnya, antara lain Kertanegara (Bali), Gayo (Aceh) dan Mandailing (Sumatra Utara). Sementara untuk urusan manajemen dan operasional, Stevie menegaskan bahwa semuanya ditangani oleh anggota narakopi.

Kedua kedai kopi tersebut dikelola dengan ciri khas yang berbeda.� Coworking space Bakusapa Rawamangun mengutamakan diri sebagai ruang kolaborasi. Sehingga tempat tersebut tidak hanya untuk nongkrong-nongkrong cantik, tetapi juga sebagai tempat berbagi ilmu, berdiskusi, belajar bersama dan membentuk start-up-start up baru. Ruangan kedai pun dilengkapi dengan white board, meja-meja panjang dan round-table juga koleksi-koleksi buku di raknya. Berbagai event komunitas juga digelar di sana seperti pelatihan fotografi dan diskusi tematik.� Sedangkan Coffee on The Go Bakusapa, universitas Trisakti lebih mengedepankan konsep coffee express yang lebih efisien untuk para mahasiswa Trisakti.

Yang membedakan antara kedai kopi Bakusapa dengan kedai kopi lainnya adalah pemilihan kopinya. Untuk menjaga kualitas dan karakteristik rasa kopi, setiap supply kopi yang dikirim ke narakopi harus dipisahkan sesuai asal kebunnya. Untuk membedakannya, biasanya setiap kemasan kopi ditandai dengan nama petani dan daerah asal kopi. Dengan begitu kopi dari perkebunan yang terawat baik, tidak akan tercampur dengan kopi yang masih perlu ditingkatkan pengolahannya. Kopi-kopi di kedua kedai tersebut di-roasting dan diseduh sendiri oleh narakopi. Untuk meningkatkan kualitas olahan kopi, Narakopi juga sering bertukar ide dan ilmu kebaristaan dengan rekanan peer sharing seperti Kopi Tanah Air Kita di BSD, Ngopilah di Cempaka Putih, Jakarta dan Wikikopi di Yogyakarta.

Setiap usaha tentu akan menemui kendala, namun Stevie mengungkapkan saat ini kendala Narakopi masih sekitar fluktuatifnya pasokan kopi karena pengaruh cuaca akhir-akhir ini. Selain itu ia merasa perlu penambahan personil untuk urusan operasional Narakopi supaya ke depannya bisa lebih terstruktur dan pembagian beban kerja pun merata.

Untuk tahun- tahun ke depan, Stevie berharap Narakopi akan memiliki lebih banyak anggota dan dapat memberi kontribusi lebih besar kepada para petani kopi di desa-desa. Ia bermimpi bahwa suatu saat nanti Narakopi dapat segera mempunyai anggota yang sevisi untuk mengembangkan koperasi kopi. Ia juga berharap, nantinya akan lebih banyak pemuda Indonesia yang melakukan aksi nyata dari pada menunjukkan omong besar untuk memajukan Indonesia.

Salam,
Ika Istiana

Bagus Muhammad Rizal

Berbuat Untuk Negeri melalui Sekolah Anak Bahari 

Bagus Muhammad Rizal, pemuda berusia 21 tahun, menggagas Sekolah Anak Bahari. Sekolah Anak bahari adalah Komunitas yang fokus pada anak-anak Pesisir. Sekolah ini berada di Kampung Tanjung Kait, RT 1, RW 1, Desa Tanjung Anom, Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang. Bagus mengungkapkan bahwa ide ini berawal dari sebuah pelatihan kemaritiman yang Ia ikuti di Yogyakarta. Di pelatihan tersebut, ia disadarkan bahwa potensi kemaritiman Indonesia sangatlah besar. Kemudian saat pulang iapun tergerak untuk membuat sesuatu di daerah. Ternyata setelah melakukan survei selama 3 bulan. Ada dua fokus yang bisa digerakkan, yaitu pendidikan dan lingkungan. Ia pun kemudian mencari data ke Dinas Pendidikan, ternyata angka putus sekolah dan angka buta aksara di daerah pesisir itu cukup tinggi. Maka muncullah ide Sekolah Anak Bahari ini.

Bagus memang pemuda yang aktif. Ia memiliki banyak sekali prestasi mulai duta pemuda antinarkoba Kabupaten Tangerang hingga delegasi Indonesia untuk pertukaran pemuda Indonesia dan Tiongkok. Hal tersebut tentu menjadi dorongan kuat untuk berbuat lebih di daerah Tangerang. Dia kemudian mengajak 4 temannya yang memiliki ketertarikan yang sama untuk membuat Sekolah Anak Bahari ini. Tidak mudah mencari teman yang sevisi dengannya. Bagus menceritakan bahwa saat mencari teman untuk diajak, sampai harus membuat daftar nama orang untuk ditemui. Hingga akhirnya bertemulah Ia dengan 4 orang yang benar-benar mau membantu untuk mendirikan Sekolah Anak Bahari ini.

Kurikulum Kebaharian

Sekolah Anak Bahari ini dilakukan setiap minggu. Kini, anak didik di Sekolah Anak Bahari sudah mencapai 100 terdiri dari anak-anak yang belum sekolah hingga kelas V dan 20 an anak yang memang putus sekolah. Mereka yang putus sekolah ini sebenarnya didukung oleh orang tua untuk sekolah. Tapi anak-anak itu memilih untuk mencari uang.

Kurikulum pengajaran yang digunakan di Sekolah Anak Bahari ini dibagi menjadi 3 konsep pembelajaran yaitu Minggu ke 1 dan ke 2 setiap bulannya Sekolah Anak Bahari ini akan mengajarkan pelajaran formal seperti yang ada di sekolah untuk menambah pengetahuan mereka karena pembelajaran di daerah tersebut cukup tertinggal. Sedangkan minggu ke 3 fokus kebaharian, dan minggu ke 4 ada pendidikan agama, kesenian dan hal-hal yang membangun kreativitas anak. Setiap minggunya kelas berlangsung selama 3 jam. Pengelolaan kelas ini dilakukan oleh volunteer. Bagus mengatakan bahwa hingga kini sudah memiliki 60 volunteer yang mau mengajar di Sekolah Anak Bahari. Volunter ini berasal dari berbagai lapisan; ada mahasiswa, PNS, atau bahkan pekerja pada umumnya yang direkrut melalui sosial media.

Siswa-siswi sekolah Anak Bahari mendapatkan pelatihan kesehatan menggosok Gigi

Untuk pengetahuan kebaharian, anak-anak didik Sekolah Anak Bahari mendapatkan sosialisai gemar makan ikan. Karena nelayan di Kampung Tanjung Kait merupakan nelayan buruh, jadi ikan yang diperoleh akan diserahkan ke pengepul. Sehingga anak-anak nelayan itu tidak sering makan ikan. Selain itu, Sekolah Anak Bahari juga konsen pada lingkungan terutama pada sampah-sampah di sepanjang pesisir pantai, dan sosialisasi tentang mangrove.

Sekolah Anak Bahari melakukan penanaman Mangrove

Dukungan Berbagai Pihak

Sekolah Anak Bahari ini awalnya tidak memiliki ruangan. Namun, kini respon masyarakat dan perusahaan sekitar cukup baik. Meskipun diawal pendiriannya, Sekolah Anak Bahari ini awalnya pernah disangka salah satu kegiatan politik. Sempat pula dikhawatirkan oleh aparat pemerintahan daerah masyarakat karena akan merepotkan aparat desa dan lain sebagainya. Tapi Bagus dan tim memiliki kemampuan untuk mengajak dan akhirnya aparat desa pun menyetujui Sekolah Anak Bahari ini. Awal nya baru 5 relawan dengan 100 siswa itupun alasnya tikar yang dipinjam dari pak RT. Awal bulan ke 4 kami diliput media lokal, dan berita itu sampai ke perusahaan daerah akhirnya kitapun dibantu satu lokal kelas. Itu ngebantu banget. Kenang Bagus.

Bagus mengaku hingga kini, belum ada kerja sama jangka panjang antara Sekolah Anak Bahari dengan lembaga, institusi dan perusahaan. Namun untuk kerja sama jangka pendek, Ia mengaku telah kerjasama dengan beberapa perusahaan seperti sumi kabel, CSR pegawai dari anak perusahaan pertamina, koperasi syariah dan lain-lain. Untuk saat ini, menurutnya, Sekolah Anak Bahari tidak mengirimkan proposal ke lembaga-lembaga karena masih proses penguatan secara internal dari tim sekolah Anak Bahari.

Kegiatan rutin untuk menjalankan Sekolah Anak Bahari ini didanai oleh para volunteer. Saya menemukan orang yang sudah mau berkorban waktu dan volunteer ini mau iuran. Jadi kami pun mengambil dana dari situ. Ungkap Bagus yang memiliki kemampuan pelibatan relawan sangat baik.

Tantangan dan Pengembangan ke Depan

Tantangan paling inti menurut Bagus adalah membuat kurikulum sendiri. Sekolah Anak Bahari ini punya volunteer yang fokus ke pendidikan. Tantangan lainnya, adalah konsistensi relawan yang masih bergantung pada kehadiran Bagus. Ia pun bercerita di tengah-tengah perjalannya membuat Sekolah Anak Bahari pernah mengalami masa ditinggal oleh tim. Namun kini, Sekolah Anak Bahari sudah memiliki 10 orang inti pengurus harian. Maka menurutnya memang perlu manajemen yang baik dalam pengelolaan tim dan relawan ini.

Bagus berharap Sekolah Anak Bahari ini akan menyebar ke pesisir pantai yang lain. Harapan yang lain adalah membuat sekolah formal. Saat ini, Bagus dan tim sedang mengurus proses pembentukan Yayasan Sekolah Anak Bahari. Dampak Sekolah Anak Bahari ini cukup dirasakan oleh siswa-siswi di sekitar pesisir pantai. Ke depan, Ia dan tim akan melebarkan fokusnya tidak hanya pada pendidikan tapi juga ekonomi dari para nelayan di sekitar pantai. Program ini akan menjadi program jangka panjang. Saat ini Sekolah Anak Bahari sedang mengusahakan program sekolah paket. Sasaran sekolah paket ini adalah anak-anak putus sekolah di Sekolah Anak Bahari dan nelayan yang belum memiliki ijazah sekolah formal. Program paket ini akan direalisasikan pada 2018 karena saat ini masih proses pengurusan legalitas yayasan. (afd)

RA. Kartini

RA. Kartini merupakah pahlawan perempuan yang lahir pada 21 April 1879 di Jepara. Ia terlahir di keluarga bangsawan sehingga mendapatkan gelar RA (Raden Ajeng). Gelar Raden Ajeng ini hanya dipergunakan saat Kartini belum menikah. Dalam tradisi Jawa, gelar Kebangsaan R.A. setelah menikah berubah menjadi Raden Ayu.

Kartini merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Ia adalah cucu dari Pangeran Ari Tjondronegoro, bangsawan yang sempat menjadi Bupati Jepara. Sedangkan Ibunya bernama M.A Ngasirah, putri dari Nyai Siti Aminah dan Kiai Haji Madirono, seorang guru agama Telukawur, Jepara.

Pendidikan dan Surat Kartini

Kartini kecil mendapatkan pendidikan yang baik. Ia mendapatkan kesempatan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sekolah ini, ia belajar dan akhirnya menguasai bahasa Belanda. Namun, Ia tidak bisa melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi, ia harus dipingit setelah usianya memasuki 12 tahun.

Kemampuan bahasa Belanda Kartini, ia gunakan untuk belajar dan menulis di rumah. Ia mulai mengirimkan surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satu teman korespondesinya adalah Rosa Abendanon. Kartini memiliki ketertarikan untuk mempelajari kemampuan berpikir perempuan Eropa. Di masa itu, akhir abad 19 dan awal abad 20, perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah, hal itu kemudian, melatarbelakangi Kartini untuk memajukan perempuan pribumi.

Surat-surat yang Kartini kirim, berisi tentang keluhan dan juga gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang menurutnya menghambat kemajuan perempuan. Ia menggambarkan penderitaan kaum perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit dan dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.

Hambatan yang cukup besar bagi perempuan Jawa, Kartini yang sudah memasuki usia remaja banyak bergaul dengan kaum terpelajar. Ia sangat gemar membaca buku, terutama buku-buku yang mempeljari kemajuan perempuan seperti Multatuli Max Havelaar dan karya tokoh-tokoh pejuang perempuan. Ia sangat merasakan betapa terbatasnya kesempatan pendidikan yang Ia raih hanya sampai sekolah dasar meskipun untuk putri Bupati.

Pemberdayaan Perempuan

Melihat minimnya kesempatan perempuan untu belajar, Kartini mengawali dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di Jepara. Pelajaran yang diberikan seperti menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya secara gratis.

Bahkan untuk menunjang sekolah yang ia dirikan, ia berencana mengikuti Sekolah Guru di Belanda. Namun. Ia tidak mendapatkan ijin orang tua untuk sekolah ke Belanda meskipun beasiswa dari pemerintah Belanda sudah didapatkan.

Untuk mencegah niat Kartini bersekolah, ia dipaksa untuk menikah dengan seorang Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Saat itu Kartini berusia 24 tahun. Ia pun melahirkan seorang putra bernama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 september 1904. Akan tetapi, berselang beberapa hari setelah kelahiran putra pertamanya, ia wafat diusia 25 tahun pada tanggal 17 September 1904 dan dimakamkan di Desa Bulu, Kabupaten Rembang.

Kartini semasa hidupnya memang miliki banyak teman yang menjadi tempat untuk mencurahkan isi hatinya melalui surat-surat. Setelah Kartini meninggal, surat-surat itu dikumpulkan dan di terbitkan menjadi sebuah buku dalam bahasa Belanda yang berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).

dr. Soetomo

Sutomo yang mempunyai nama kecil Soebroto, lahir pada 30 Juli 1888 di Desa Ngepah, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Ia merupakan anak dari Raden Suwaji seorang bangsawan yang menjabat sebagai wedana atau camat di Maospati, Madiun. Dilahirkan di kalangan keluarga berada dan terpandang, Sutomo kecil mulai mengenyam pendidikan formal di sekolah dasar Belanda, Europeesche Lagere School (ELS). Di sekolah, Sutomo termasuk siswa yang pandai sehingga disegani oleh temannya baik anak Indonesia maupun anak-anak Belanda. Bahkan guru-guru Belanda juga sayang kepadanya.

Menginjak usia remaja, Sutomo berkeinginan untuk melanjutkan studinya ke sekolah dokter di Batavia (STOVIA). Keinginan tersebut tentunya mendapatkan dukungan penuh dari keluarganya sehingga pada 10 Januari 1903, Sutomo dengan 13 teman lainnya yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia mendaftarkan dirinya di STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Di antara teman dekatnya terdapat nama Gunawan Mangunkusumo, Gumbreg, Soeradji, Mohammad
Saleh dan M.Sulaiman. Saat menuntut ilmu di STOVIA ,Sutomo bertemu dengan dr. Wahidin Sudirohusodo seorang pensiunan dokter yang saat itu datang ke Batavia untuk menemui para pelajar STOVIA dan memberikan ceramah yang inti isinya menggugah para pemuda untuk memajukan pendidikan sebagai jalan untuk membebaskan bangsa dari penjajahan. Cara yang akan ditempuh menurut gagasan dr Wahidin adalah dengan mendirikan Studie Fond (Dana Bea Siswa) bagi anak-anak yang tidak mampu.

Bagi Sutomo pribadi pertemuannya ini membawa pengaruh yang sangat besar terhadap sikap dan pemikirannya. Memantapkan cita-citanya untuk membela rakyat kecil. Selain mendapat pengaruh yang besar dari dr.Wahidin, Sutomo juga mendapat pengaruh besar dari dr Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang banyak berjuang demi kepentingan rakyat Indonesia. Dr Douwes Dekker pernah mendirikan Indische Partij bersama dengan dr Tjipto Mangunkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat atau yang sering dikenal dengan 3 serangkai. Berkat pengaruh dari dua tokoh tersebut, Sutomo semakin matang dan mantap untuk melaksanakan cita-citanya.

Berdirinya Budi Utomo

Tidak banyak waktu bagi Soetomo menanggapi gagasan yang diungkapkan oleh dr. Wahidin. Soetomo merasa tertarik dan tertantang untuk segera merealisasikan gagasan tersebut dan kemudian dia menyampaikan gagasan itu kepada teman-temannya yang bersekolah di STOVIA. Para pelajar STOVIA sepakat bahwa ”cita-cita yang luhur tidak mungkin dapat dicapai jika tidak mendirikan sebuah perkumpulan”. Akhirnya dengan gagasan tersebut para pelajar STOVIA mendirikan suatu perkumpulan yang dinamakan Budi Utomo (budi yang utama).Budi Utomo didirikan pada hari Rabu,20 Mei 1908.Nama ini lahir dari kata-kata dr Wahidin ketika hendak perpisahan dengan Sutomo,yaitu punika satunggaling pedamelan sae serta nelakaken budi utami (itu suatu perbuatan yang baik dan budi utama). Setelah nama Budi Utomo diterima oleh semua peserta rapat yang diantaranya Sutomo, Gumbreg, Soeradji, Gunawan Mangunkusumo, Mohammad Saleh, M.Sulaiman, Suwarno dan Angka maka disusunlah pemilihan pengurus Budi Utomo dengan Sutomo sebagai Ketua.

Dalam waktu yang singkat, Budi Utomo mendapat pendukung dan anggota yang banyak.Namun perkembangan ini mendapat respon yang negatif terutama guru-guru STOVIA yang merasa khawatir Budi Utomo akan melawan pemerintah Hindia Belanda. Bahkan, Sutomo hendak diancam akan dikeluarkan dari STOVIA. Namun Sutomo dan teman-temannya mendapat dukungan besar dari kepala sekolah yaitu dr.H.F.Roll. Beliau bahkan memberikan pinjaman uang untuk keperluan kongres Budi Utomo yang pertama kali di Yogyakarta. Kongres pertama Budi Utomo diselenggarakan pada tanggal 3-5 Oktober 1908. Kongres yang dipimpin oleh dr Wahidin ini berhasil menetapkan serta mengesahkan anggaran dasar dan memilih Pengurus Besar Budi Utomo, antara lain: Tirtokusumo (Bupati Karanganyar) sebagai Ketua; Wahidin Sudirohusodo (Dokter) sebagai wakil ketua; Dwijosewoyo dan Sosrosugondo (kedua-duanya guru Kweekschool) sebagai penulis; Gondoatmodjo (Opsir Legiun Pakualaman) sebagai bendahara serta Suryodiputro (jaksa kepala Bondowoso), Gondosubroto (jaksa kepala Surakarta) dan Tjipto Mangunkusumo (dokter di Demak) sebagai komisaris. Pengambilalihan kepengurusan Budi Utomo oleh kaum tua semakin membawa dampak positif, karena dana Studie Fond yang dirancang sedari semula lebih lancar mengalir untuk tujuan pemberian beasiswa untuk memajukuan pendidikan pemuda Indonesia. Sementara itu, Sutomo sendiri tetap proaktif dalam memimpin Budi Utomo cabang Batavia sampai beliau lulus dan menjadi dokter pada tahun 1911.

Organisasi Budi Utomo memiliki tujuan untuk memajukan nusa dan bangsa yang harmonis dengan jalan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, kebudayaan, mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa yang terhormat. Hingga pada akhir tahun 1909, organisasi ini memiliki 40 cabang dengan anggota 10.000 orang.

Kehidupan Setelah Lulus STOVIA

Setelah lulus dari STOVIA pada 1911, dr. Sutomo diangkat sebagai dokter pemerintahan. Mula-mula beliau ditempatkan di Semarang, lalu pindah ke Tuban, pindah lagi ke Lubuk Pakam (Sumatera Timur) dan akhirnya ke Malang. Selama bertugas berpindah-pindah tempat, beliau mendapatkan banyak pengalaman yang semakin membuka matanya tentang kesengsaraan rakyat dan secara langsung dapat membantu mereka. Sebagai dokter, ia tidak menetapkan tariff bahkan tak jarang beliau membebaskan biaya untuk pasiennya.

Pada tahun 1919 dr. Sutomo memperoleh kesempatan untuk belajar di Universitas Amsterdam, Belanda. Akhirnya ia dan istrinya, Ny. E.Burning (perawat berkebangsaan Belanda yang dinikahinya pada 1917) pindah ke negeri kincir angin tersebut. Selain belajar, dr. Sutomo juga aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI). Organisasi ini adalah perkumpulan mahasiswa Indonesia di negeri Belanda. Melalui organisasi tersebut, dr. Sutomo berkenalan dengan tokoh-tokoh PI lainnya seperti Mohammad Hatta, Ahmad Soebarjo, Ali Sastroamijoyo, Sunario, Iwa Kusuma, Sumantri dan Nazir Pamuncak. 4 tahun lamanya dr Sutomo menambah pengetahuannya di Universitas Amsterdam, Belanda dan pada bulan Juni 1923 beliau pulang ke Indonesia.

Setibanya di Indonesia dr Sutomo ditugaskan menjadi guru sekolah dokter NIAS (Nederlandse Indische Artsen Schoool) di Surabaya.Dr Sutomo juga pernah menjadi anggota dewan kota (Gemeenteraad) di Surabaya. Keanggotaanya dalam dewan ini didorong oleh keyakinannya bahwa melalui dewan ini suara rakyat makin cepat didengar. Namun harapan dr Sutomo tersebut ternyata tidak terwujud karena kedudukannya di dewan dalam pelaksanaannya tidak menguntungkan rakyat banyak. Oleh karena itu,Sutomo dengan kawan-kawannya keluar dari dewan kota.

Mendirikan Organisasi Baru

Pada tahun 1924 dr Sutomo beranggapan bahwa perkumpulan Budi Utomo perlu mengalami perubahan. Mementingkan pengajaran dan kebudayaan saja tidak cukup dalam pergerakan nasional. Selain itu dr. Sutomo juga memandang bahwa Budi Utomo berubah menjadi organisasi yang terlalu jawa dan keanggotaannya semakin eksklusif. Hal ini mendorong Ia untuk keluar dari Budi Utomo dan mendirikan perkumpulan lain yang diberi nama Indonesische Studieclub (IS) pada tanggal 11 Juli 1924. Perkumpulan ini berjuang untuk membangkitkan semangat kaum terpelajar supaya memiliki keinsyafan dan kewajiban terhadap masyarakat.

Perasaan persatuan di kalangan pemimpin Indonesia makin lama makin kuat. Sesudah dicetuskannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, jiwa persatuan Indonesia makin mantap. Hingga pada tanggal 16 Oktober 1930 Indonesische Studieclub (IS) mengadakan reorganisasi dan berubah menjadi Partai Persatuan Bangsa Indonesia(PBI). Anggotanya tidak hanya terbatas pada kaum terpelajar,tetapi terbuka untuk seluruh bangsa Indonesia.

Sementara itu, tekanan dari pemerintah kolonial Belanda terhadap pergerakan nasional semakin keras. Kemudian pada Januari 1934 dibentuklah komisi BU-PBI untuk membahas penggabungan (fusi) antara BU dan PBI. Upaya tersebut mendapatkan tanggapan positif dan disetujui oleh pengurus besar kedua belah pihak. Hingga pada akhir tahun 1935, tepatnya tanggal 24-26 Desember diselenggarakan Kongres Peresmian Penggabungan (fusi) BU-PBI, juga merupakan kongres terakhir BU yang melahirkan Partai Indonesia Raya (PARINDRA), dengan dr Sutomo secara aklamasi diangkat menjadi ketua PARINDRA. Kali ini tujuan organisasi sangat jelas dan tegas, PARINDRA berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.

Selain bergerak di bidang politik dan kedokteran, dr. sutomo juga aktif dalam bidang kewartawanan. Beliau medirikan surat kabar dan majalah Penyebar Semangat di Surabaya sebagai media sarana perjuangannya. Kesibukan dan kegiatan beliau yang terlampau berat membuat dr. Sutomo sering sakit-sakitan hingga pada tanggal 3 Mei 1938 beliau wafat di usia 50 tahun dan dimakamkan halaman Gedung Nasional Surabaya.

Hari kelahiran Budi Utomo tanggal 20 Mei yang merupakan organisasi pertama di Indonesia kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Ika Istiana
(Dari berbagai sumber)

Dr. Mohammad Hatta

Dr. Mohammad Hatta, sosok pejuang yang sering kita sebut Bung Hatta, lahir di Bukit Tinggi pada 12 Agustus 1902. Lahir dari keluarga yang memiliki latar belakang ulama dan pedagang. Ayahnya, H. Muhammad Jamil merupakan sosok pedagang yang lahir dari garis keturunan pengasuh tarikat Naqsabandiyah di Batu Hampar, Payakumbuh , Syaih Abddurrahman. Sedangkan Ibu Hatta lahir dari garis Ilysah dan Aminah yang mendapat julukan khas Pak Gaek dan Mak Gaek sebutan bagi pedagang besar.

Pada saat usia 8 bulan, Ayah Hatta meninggal dunia. Dia hidup dengan Ibunya. Mewarisi keluarga ulama, Hatta-pun sejak kecil dididik agama dengan sangat baik dan ditanamkan karakter disiplin dalam dirinya. Hatta mengenyam pendidikan di sekolah Europeese Lagere School (ELS) pada tahun 1916. Pendidikannya berlanjut pada Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) di Padang. Ia sangat aktif mendengarkan ceramah politik yang diadakan oleh tokoh lokal seperti Sutan Said Ali (Guru sekolah Abadiah). Selain itu, Ia juga aktif mendengarkan Abdul Moeis tentang Sarekat Islam yang sering datang ke Minangkabau. Setelah lulus dari MULO tahun 1919, Hatta melanjutkan studi ke Jakarta (Batavia). Kemudian Ia melanjutkan pendidikannya, untuk kuliah di Handels Hoogere School (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, Belanda. Awalnya, ia mengambil jurusan ekonomi perdagangan, namun kemudian ia pindah ke jurusan ekonomi kenegaraan.

Dipercaya karena karakternya
Selain, kepribadian disiplin dan rasa cinta terhadap ilmu pengetahuan, Hatta juga seorang tokoh yang jujur. Sejak muda, ia dipercaya untuk menjadi Bendahara sejak di MULO. Ini berlanjut saat dia kembali aktif di organisasi Jong Sumatranen Bond (JSB) Padang, lagi-lagi, Hatta dipilih menjadi Bendahara. Hingga saat Ia bersekolah di Jakarta, Hatta masih dipercaya menjadi bendahara JSB Pusat. JSB juga aktif dalam penerbitan majalah. Nama Bung Hatta seakan sudah membahana seantero Belanda. Di Belanda, Hatta mengikuti perkumpulan Indische Vereniging yang berdiri pada tahun 1908. Perkumpulan ini sempat berganti nama menjadi Indonesische Vereniging dan berubah lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Di organisasi ini, Hatta ditunjuk menjadi bendahara dan pemimpin majalah Hindia Putra terbitan Perhimpunan Indonesia.

Kiprahnya semakin cemerlang, pada tahun 1923, Hatta pun dipilih menjadi ketua PI hingga tahun 1931. Bisa disebut, ini merupakan awal karir politik Hatta. PI juga merupakan organisasi sosial. Di bawah kepemimpinannya, PI menjadi lebih progresif dan banyak memperhatikan perkembangan gerakan nasional yang sudah ada di Indonesia. Hatta juga sempat dituduh menjadi anggota partai terlarang oleh kerajaan Belanda dan ditahan bersama Ali Sastroamidjojo, Nazir Datuk Pamuntjak, dan Abdul Madjid Dojoadhiningrat beberapa bulan. Hingga pada 22 Maret 1928, Hatta akhirnya bebas karena tuduhan kerajaan tidak terbukti. Seusai masa tahanan ini Hatta mengundurkan diri dari PI.

Kembali ke Indonesia
Hatta kembali ke tanah air pada 1933-1934. Ia menjadi ketua Pendidikan Nasional Indonesia, dan menerbitkan majalah daulat rakyat. Ia juga pernah dipenjarakan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1934-1935, dan pada tahun 1935-1936 Ia sempat dibuang ke Digul Irian Jaya. Jejak penahanannya cukup panjang, dari Digul, Ia dipindah ke Banda Neira dan kemudian dipindah ke Sukabumi. Hingga akhirnya Ia dibebaskan pada 9 Maret 1942. Pada November 1943, Hatta sempat akan dibuang ke Tokyo oleh pimpinan Angkatan Darat Jepang di Indonesia agar dia tidak lagi mengikuti perkembangan perpolitikan. Namun usaha itu gagal seiring dengan situasi perkembangan Perang Pasifik. Perjuangan untuk tanah air tidak berhenti, pada Mei 1945, Ia terlibat dan menjadi anggota penasehat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Kemudian pada 7 Agustus 1945 Ia menjadi wakil Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Hingga pada 17 Agustus 1945, bersama dengan Soekarno, Ia menjadi Plokamator Kemerdekaan Republik Indonesia.

Diolah dari berbagai sumber.

H.O.S Tjokroaminoto

Telah kita ketahui kisah-kisah Tjokro pada beberapa tulisan lalu bahwa Ia adalah sosok pemikir yang revolusioner. Pemikiran dan gagasan-gagasannya jauh ke depan melintasi perkembangan jamannya. Untuk mewujudkan cita-cita mulia mengentaskan rakyat pribumi dari kesengsaran akibat praktik feodalisme kolonial Hindia Belanda, Tjokro sadar bahwa ia tak bisa sendiri. Ia butuh partai dan gerakan besar yang digagas oleh orang-orang pribumi agar bisa membela hak-hak pribumi di tengah kepungan pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Ia butuh orang-orang terbaik dari golongan pribumi. Untuk itu, Ia merasa perlu menyebarkan pemikiran-pemikirannya melalui pendidikan yang dirancang jauh dari pengaruh sistem Belanda. Maka Ia bersama istrinya, Raden Ayu Suharsikin, menjadikan rumahnya di jalan Peneleh (Surabaya) merangkap sebagai rumah kos untuk para pemuda.

Di rumah mungil seukuran rumah tipe 36 yang dibeli dari seorang saudagar tersebut, Tjokro menyalurkan ilmu agama, politik, dan keahliannya dalam berorasi. Apa yang dilakukan oleh Tjokro ini tidak jauh berbeda dengan sistem pondok pesantren, atau sekolah asrama yang kita kenal saat ini.(Artebia, Niratisaya)
Dengan posisinya sebagai pemimpin Sarekat Islam, tidaklah aneh bila banyak yang berminat menjadi murid Tjokro. Beberapa yang beruntung dan kemudian masuk ke dalam catatan sejarah negara kita adalah Soekarno, Muso, Alimin, Semaoen, Kartosoewirjo, Hamka, Tan Malaka, dan Abikoesno. Pria yang menguasai bahasa Jawa, Belanda, Melayu, dan Inggris ini tak segan-segan untuk memberikan semua pengetahuannya pada anak-anak kostnya. Pun, dalam mentransferkan ilmunya, Tjokro tidak mengekang para muridnya untuk mengikuti apa yang menjadi pahamnya. Sebaliknya, ia membebaskan tiap muridnya untuk mengembangkan semua yang mereka pelajari dari dirinya, sesuai dengan tafsiran dan pemahaman mereka.(Artebia, Niratisaya)

Hal tersebut terlihat dari warna-warna dalam politik dan gerakan yang diambil oleh tiap muridnya di kemudian hari. Perbedaan yang mencolok terlihat pada cara pandang muridnya, yakni: Soekarno yang cenderung beraliran nasionalis, Kartosoewirjo yang islamis, dan Semaoen, Muso, Alimin, Tan Malaka yang condong pada paham sosialis-komunis.

Dari keberagaman pemahaman muridnya, dapat kita lihat bahwa meskipun tidak serupa, ilmu yang diajarkan Tjokro mengakar kuat dalam benak mereka. Ilmu dan pengetahuan tersebut kemudian menyatu dengan latar belakang keluarga, pendidikan, dan pekerjaan mereka masing-masing. Sehingga membentuk karakter dan jalan hidup tiap-tiap muridnya.

Dari sini bisa kita simpulkan bahwa sebagai seorang pendidik, Tjokro yang berpikiran egaliter dan toleran, tidak berusaha mencampuri pemikiran dan cara berpikir muridnya. Sebagai seorang pendidik, Ia hanya mentransferkan ilmunya, mendukung, serta membantu perkembangan cara berpikir muridnya.

Bahkan setelah beberapa tahun kemudian, Semaoen yang menjabat sebagai Ketua SI Semarang (1916) mulai terpengaruh faham komunisme Barat yang disebarkan oleh Sneevliet dan mulai terang-terangan mengkritik gurunya sendiri, Tjokroaminoto. Semaoen, Muso, Alimin bahkan bekerjasama dengan Darsono untuk memfitnah Tjokro melakukan penggelapan dana SI. Puncaknya, pada 1917, Semaoen, Muso, Alimin berhasil mempengaruhi hingga 20.000 orang untuk bergabung dalam aksi mogok besar-besaran terhadap perusahaan kereta api dan memecahbelah SI menjadi SI Merah (dipimpin Semaoen) dan SI Putih (dipimpin Tjokro). Timbulnya banyak konflik di tubuh SI yang dikarenakan perpecahan SI Merah dan SI Putih, mendorong Tjokro untuk bersikap tegas mengeluarkan Semaoen dan kawan-kawannya dari organisasi dan memperkuat pertahanan organisasi dari infiltrasi-infiltrasi faham komunis. Hingga pada 1920, Semaoen mendirikan PKI (Partai komunis Indonesia) untuk mewadahi haluan pemikirannya. (Tim Buku Tempo,2011).

Tjokro dan SI

Bila selama ini diyakini bahwa Budi Utomo yang didirikan pada 20 Mei 1908 adalah awal dari pergerakan nasional yang hingga saat ini diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional, maka sejatinya ruh kebangkitan nasional baru benar-benar terasa 4 tahun kemudian, yaitu saat berdirinya Sarekat Islam (SI). Organisasi yang awalnya bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) ini berdiri pada 1911 sebagai wujud perlindungan dagang terhadap pengrajin batik Laweyan dari cukong-cukong konglomerasi Tionghoa. Organisasi ini dibentuk oleh H. Samanhudi yang juga merupakan salah satu pedagang besar batik Laweyan. Setahun kemudian, pada 1912 SDI berubah nama menjadi SI (Sarekat Islam) atas usulan H.O.S Cokroaminoto yang kemudian diangkat sebagai Ketuanya. Berubahnya nama SDI menjadi SI bertujuan agar keanggotaan SI tidak eksklusif pada kaum pedagang saja. Pada perkembangannya, HOS Tjokroaminoto mampu membawa SI menjadi sebuah gerakan akar rumput yang menghimpun kekuatan kaum-kaum produktif di kalangan pribumi, yang tak lain adalah para pedagang dan pengusaha kecil, petani, kaum buruh, dan para intelektual.

HOS Tjokroaminoto dapat disebut sebagai intelektual organic-meminjam istilah Antonio Gramsci (1971) dalam Prison Notebooks, dimana gagasan-gagasannya sebagai intelektual tidak disadari semata-mata untuk pengetahuan itu sendiri dengan menyatakan diri untuk bebas dari kepentingan-kepentingan politik. Pandangan-pandangan politiknya mengartikulasikan kebutuhan dan aspirasi dari kekuatan-kekuatan sosial yang terhimpun dalam organisasi Sarekat Islam, dalam perlawanan mereka menghadapi ketimpangan kekuasaan yang berlangsung pada rezim kolonial Belanda. Atas sumbangan pemikiran-pemikiran Tjokro, arah perjuangan SI mampu beradaptasi dengan perubahan situasi dan kondisi sosial-politik pada masa itu.

Pada awal kepemimpinan, HOS Tjokroaminoto tidak membawa SI untuk langsung berkonfrontasi dengan penguasa kolonial namun lebih memilih jalan perjuangan di bidang ekonomi-sosial dengan membangun kekuatan ekonomi melawan cukong-cukong Tionghoa (yang pada saat itu merupakan distributor ekonomi utama bagi penguasa kolonial) yang banyak menguasai bidang pertanian, perdagangan tekstil, batik dan furnitur di tanah air. Perlawanan para pedagang SI tersebut adalah sebuah perlawanan berbasis perjuangan kelas terhadap tatanan sosial kolonial yang secara hierarkhis berbasis ras dan etnis.

Tjokro juga menetapkan ideologi Islam sebagai pondasi perjuangan SI. Pada saat itu Islam dinilai lebih bisa dipahami oleh semua golongan. Ajaran Islam dapat menembus dimensi etnis, latar belakang sosial dan kepentingan kelompok sehingga mampu merangkul semua golongan. Selain sebagai alat pemersatu, ideologi Islam juga merupakan propaganda yang baik untuk meraih massa dan menyebarkan visi-visi SI.

Setelah SI mencapai masa-masa stabil dalam kurun waktu 1916-1921, Tjokroaminoto mulai membawa SI pada aktivitas-aktivitas sosial-politik yang melampaui urusan-urusan sosial ekonomi. Secara bertahap Tjokroaminoto menyerukan gagasan nasionalisme kepada anggota Sarekat Islam. Perjuangan tersebut menjadi suatu usaha awal untuk meningkatkan seseorang pada tingkat nation, usaha pertama untuk berjuang menuntut pemerintahan sendiri atau setidaknya agar orang Indonesia diberikan hak dalam mengemukakan suaranya dalam urusan politik. Bagi Tjokro, seperti yang ia ungkapkan pada Konggres Nasional Pertama SI di Bandung pada tahun 1916, amatlah tidak wajar apabila kaum bumiputera hanya dianggap sebagai sapi perahan bagi pemerintah kolonial Belanda, atau tempat dimana orang-orang datang hanya untuk mengambil hasilnya belaka, sementara orang-orang bumiputera tidak mempunyai hak untuk berpartisipasi secara politik dan peraturan dibentuk tanpa partisipasi, mengatur hidup tanpa partisipasi rakyat. Dalam konteks perjuangan politik kebangsaan seruan-seruan nasionalisme Tjokroaminoto ini menyumbangkan perkembangan politik di Negara Kolonial Hindia Belanda dengan lahirnya Volksraad sebuah dewan legislatif dimana kaum pribumi memiliki tempat di dalamnya (Deliar Noer 1982).

Dengan kemampuan orasi dan kemampuannya menggerakkan massa, Tjokroaminoto berhasil melebarkan sayap SI dan menjadikan SI sebagai basis terkuat bagi kekuatan kaum Bumiputera. Hingga pada 1919, SI mengklaim memiliki anggota sejumlah 2 juta pengikut. Suatu hal yang mengagumkan baik bagi kalangan Belanda dan banyak orang pribumi. Tjokro juga gencar menyerukan gagasan-gagasannya mengenai bentuk Nasionalisme dalam setiap rapat akbar SI. Salah satunya seperti orasi Tjokro di depan Kongres Nasional SI di Bandung (17 Juni 1916) yang menyatakan: Kita mencintai bangsa kita dan dengan kekuatan dari agama kita (Islam), kita harus berjuang untuk bisa mempersatukan semua atau setidaknya mayoritas rakyat kita (Tjokroaminoto 1981: 14). Kata Islam dalam nama perhimpunan itu merupakan penanda dari kepribumian, seperti halnya asosiasi kata Kristen dengan orang Belanda atau Konfusius dengan orang keturunan Cina (Shiraishi 1990: 43).137 Seperti yang ditulis oleh McVey (1965: 10): Saat konsep tentang sebuah bangsa Indonesia belum lagi adadan ide ini memang secara umum belum dimiliki oleh masyarakat di Hindia pada masa itu, Islam tampil sebagai sumber persatuan dalam penentangan terhadap kekuasaan asing (McVey 1965: 10). Hal itu bukan hanya karena mayoritas penduduk Hindia itu Muslim, namun juga karena fakta bahwa Islam di Hindia sejak lama telah menjadi seruan pemersatu bagi perlawanan-perlawanan pribumi.

(Oleh: Ika Istiana. Dari berbagai sumber)

H.O.S Tjokroaminoto

Haji Oemar Said (H.O.S) Tjokroaminoto adalah seorang yang sangat lekat dalam sejarah berdirinya bangsa Indonesia. Lahir dari keluarga priyayi, Ia merupakan anak kedua dari R.M. Tjokroamiseno, seorang wedana atau pejabat pemerintah, di Kleco (sekarang Madiun). Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, juga pernah menjabat sebagai Bupati Ponorogo.

Hidup di kalangan Bumiputera dan mendapatkan pendidikan terbaik di OSVIA, Sekolah untuk pamong praja, membuat H.O.S Tjokroaminoto tidak lantas terlena dengan kekayaan dan kedudukan. Ia bahkan memutuskan keluar dari jabatannya sebagai pangreh praja di Ngawi (1905) karena tidak suka terhadap praktik sembah jongkok di lingkungan priyayi. Ia menganggap praktik tersebut kental dengan aroma feodalisme. Ia lebih memilih bekerja sebagai kuli di pelabuhan Semarang (1905-1907) sebelum ia hijrah ke Surabaya dan diterima di sebuah firma (advokat) Kooy & Co (1907-1910) dan beralih sebagai leerling machinist (pembantu bagian mesin) dan chemiker (bagian kimia) di Pabrik Gula Rogojampi (1911-1912).

Tahun 1912 merupakan tahun titik balik bagi Tjokroaminoto. Tidak lama setelah bergabung dengan SDI (Sarekat Dagang Islam), beliau didaulat sebagai ketua. Kemudian SDI berubah menjadi SI (Sarekat Islam). Pada masa kepemimpinannya, beliau meniupkan ruh kekuatan Islam dalam jiwa bangsa yang telah sekarat akibat penjajahan kolonial Belanda. Islam yang dimaksudkan adalah yang meliputi pengertian agama, politik pemerintahan, undang-undang dan para penganutnya (muslim). Islam yang mengikuti jejak contoh yang telah dipraktikkan Nabi Muhammad SAW. Ketegasan beliau dalam memegang prinsip Islam dapat disimpulkan dalam politik yang dikenal luas sebagai non-kooperasi (1918) yang kemudian di kalangan SI disebut sebagai Sikap-Hijrah (Politik Hijrah). Menurut sejarah, Sikap-Hijrah SI timbul sebagai protes atas sikap Belanda yang melanggar Janji-November 1918 (November-bilofte). Hijrah berarti membuat jarak (keep a distance) dari penjajah kafir kolonial Belanda yang khianat (traitorous) akan janji. Sikap ini tersebar di kalangan anggota SI dan menyulut seluruh lapisan masyarakat pribumi hingga ke pelosok-pelosok yang menimbulkan momok bagi para penjajah Belanda. Maka pada saat itu, H.O.S Tjokroaminoto juga memperoleh julukan De Ongekroonde van Java di kalangan kolonial Belanda yang berarti Raja Jawa Tanpa Mahkota.

Dalam menjalankan dan menyebarkan ideologinya, H.O.S Tjokroaminoto terkenal dengan triloginya yaitu setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan, yaitu ilmu, tauhid dan siasat. Satu pernyataan Tjokroaminoto yang cukup terkenal adalah, Negara dan bangsa kita tidak akan mencapai kehidupan yang adil dan makmur, pergaulan hidup yang aman dan tentram selama ajaran-ajaran Islam belum dapat berlaku atau dilakukan menjadi hukum dalam negara kita, sekalipun sudah merdeka. Disini Tjokro berfikir jauh ke depan ketika sebuah bangsa masih mencari siapa dirinya.

Di kalangan teman-teman seperjuangannya, Tjokro dikenal sebagai organisator ulung, ideolog, konseptor, dan orator penggerak massa (mass movement). Sehingga pada masa awal kepemimpinan Tjokro, SI berkembang sangat pesat bahkan ke luar pulau Jawa. Pada tahun 1919 SI mencapai puncak kejayaannya dengan mengklaim keanggotaan sebanyak 2 juta orang.

Tjokro juga orang yang sangat berpegang teguh pada ajaran Islam, baik secara ideologi, pertimbangan pengambilan keputusan, maupun arah tindakannya sebagai seorang pemimpin. Dalam tulisannya yang berjudul Moeslim Nationaal Onderwijs (Pendidikan Nasional Muslim) beliau menuliskan: Kita menghendaki Islam sebagai yang diajarkan dan diamalkan pada zaman permulaannya: Islam tidak dengan tambahan barang baru, tetapi Islam dalam kesuciannya yang semula.

Tjokro menjabat sebagai Ketua SI (yang kemudian berkembang menjadi PSII pada 1930) hingga akhir hayatnya. Beliau meninggal pada 17 Desember 1934, pada usia 53 tahun. Ideologi dan integritas yang dibawanya sepanjang hidup, tidak hanya menginspirasi para anggota SI tetapi juga melahirkan para tokoh-tokoh Nasional Indonesia di kemudian hari. (dari berbagai sumber)

Ayo kenali pahlawan kita !

Doeloe kita bergelimang tokoh dan negarawan top. Para manusia-purna itu disegani karena totalitas dalam mendarmakan hidupnya bagi kemaslahatan sesama hingga berdaya gugah bagi jutaan rakyat bahkan dunia.

Kini… masih adakah yang kenal baik mereka? Belum lagi, di mana relevansinya mengartikulasikan karya dan kontribusi para pahlawan itu pada potensi kita sekarang?

Untuk itu, kami mengundang siapapun untuk SALING BERCERITA #KenaliPahlawan. Caranya, unggahlah kisah, dokumentasi, atau info apa saja tentang para pahlawan ke semua kanal media sosial IHN. Jika unggahan dirasa panjang, kirim ke: info@institutharkatnegeri.org. Agar lebih seru, unggahan-unggahannya akan dipublikasikan di laman IHN untuk menjadi bahan/topik diskusi bersama.

Ini hal kecil? Benar, tapi bukan remeh, karena maknanya besar lagi konkret: mengaktualisasikan torehan-torehan hebat para pendahulu negeri sebagai bekal kita menghadapi hari ini dan esok. Ayo!

Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantoro merupakan satu dari sekian keturunan Bangsawan Jawa yang rela menanggalkan silsilah kebangsawanannya agar lebih luwes memperjuangkan kemerdekaan Indonesia bersama rakyat. Beliau lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Ia merupakan cucu dari Pakualam III dari Kadipaten Pakualaman. Semasa kecil, Soewardi dibesarkan di lingkungan keluarga keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasarnya di ELS (sekolah dasar Belanda) kemudian sempat melanjutkan ke STOVIA. Namun lantaran sakit, ia tidak pernah menyelesaikan pendidikan dokternya.

Kecintaannya pada dunia tulis menulis, lantas membawa Ki Hajar Dewantoro muda untuk bergabung di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya Ia dikenal sebagai penulis handal. Tulisan-tulisannya terkenal tajam, komunikatif dan mampu membangkitkan semangat anti kolonial bagi pembacanya.

Tulisannya yang paling terkenal berjudul Als ik een Nederlander was– Seandainya Aku Seorang Belanda- yang dimuat di surat kabar De Expres milik Douwes Dekker pada 13 Juli 1913. Tulisan ini merupakan bentuk sindiran keras atas rencana pemerintah Hindia Belanda yang ingin mengumpulkan sumbangan dari inlander (sebutan untuk kaum pribumi) untuk mendanai pesta 100 tahun perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis. Kutipan tulisannya yang paling menohok Belanda adalah sebagai berikut:

Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya”.

Belanda sangat marah dengan sindiran dari tulisan tersebut hingga atas persetujuan dari Gubernur Jenderal Idenburg, Ki Hajar Dewantoro dijatuhi hukuman pengasingan ke Pulau Bangka. Melihat ketidakadilan yang menimpa Ki Hajar Dewantoro, teman-teman beliau di Indische Partij yaitu Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo (ketiganya merupakan sahabat erat hingga dijuluki Tiga Serangkai) menerbitkan tulisan yang bernada membela Ki Hajar Dewantoro. Karena tulisan pembelaan tersebut akhirnya ketiganya dijatuhi hukuman pengasingan ke negeri Belanda pada Agustus 1913.

Pengasingan tersebut ternyata dinilai sebagai kesempatan emas oleh Tiga Serangkai. Ketiganya aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) dan bersama-sama membangun cita-cita untuk memajukan kaum pribumi. Dalam masa pengasingan ini jugalah Ki Hajar Dewantoro menyadari bahwa untuk mencapai kemajuan suatu kaum diperlukan ilmu pendidikan dan pengetahuan yang baik. Maka Ia pun kembali mendalami masalah pendidikan dan pengajaran hingga berhasil memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan bergengsi pada masa itu yang dikemudian hari dapat menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikannya.

Selama masa studinya, Ki Hajar Dewantoro sangat tertarik dengan pemikiran-pemikiran tokoh pendidikan barat seperti Motessori dan Froebel. Ia juga banyak mempelajari tentang pergerakan pendidikan di India, Santiniketan, yang dipelopori oleh keluarga Tagore. Metode pengajaran yang dibawa oleh Tagore, lebih mengedepankan sekolah ideal menurut visinya. Sekolah bukanlah suatu kegiatan rutin yang terkungkung, tetapi merupakan pusat pengajaran yang bisa dilakukan di ruang terbuka, menyatu dengan alam dan lingkungan, dan menciptakan suasana lebih bergairah dibandingkan dengan suasana di dalam kelas.

Sekembalinya dari pengasingan pada 1918, Ki Hajar Dewantoro semakin mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Bersama rekan-rekan seperjuangannya, dia mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional yang diberi nama Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa (yang sekarang lebih dikenal dengan Taman Siswa) pada 3 Juli 1922. Selain memberikan pendidikan, perguruan ini juga menanamkan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Namun karena kegigihan Ki Hajar Dewantoro dalam mempertahankan Taman Siswa, Ordonansi tersebut akhirnya dicabut.

Selama mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Taman Siswa, Ki Hajar Dewantoro juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

Sebagai penghargaan atas konsistensinya dalam memajukan dunia pendidikan dan kebudayaan Indonesia, ia pun dipercaya oleh Presiden Sukarno untuk menjadi Menteri Pengajaran Indonesia (Sekarang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) yang pertama. Beliau juga dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa pada tahun 1957 oleh Universitas Gadjah Mada.

Kini, nama Ki Hajar Dewantoro dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Tanggal kelahirannya 2 Mei pun diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Adapun frasa ajarannya antara lain tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan) akan selalu menjadi dasar pendidikan di Indonesia. Untuk mengenang jasa-jasa Ki Hadjar Dewantara pihak penerus perguruan Taman Siswa mendirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hajar Dewantoro.

Dari kisah hidup Ki Hajar Dewantoro ini dapat diambil pelajaran bahwa perjuangan untuk merebut kemerdekaan Indonesia tidak hanya dilakukan dengan angkat senjata. Membangun kualitas manusia melalui pendidikan juga merupakan kontribusi besar dalam perjuangan. Konsistensi beliau dalam berjuang di jalur pendidikan pun, membawa harum namanya hingga saat ini.

(Diolah dari berbagai sumber)

Cut Nyak Dhien

Cut Nyak Dhien dilahirkan dari kalangan keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk Makhudum Sati, perantau dari Minangkabau. Datuk Makhudum Sati merupakan keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman. Sedangkan ibunya merupakan putri uleebalang Lampageu.

Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik. Ia memperoleh pendidikan di bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya.

Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII dan mereka dikaruniai satu anak laki-laki.Namun pada tahun 1878, Teuku Ibrahim tewas dalam perang melawan Belanda di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.

Tidak lama setelah kematian Ibrahim Lamnga, Cut Nyak Dhien dilamar oleh Teuku Umar pada tahun 1880. Teuku Umar adalah salah satu tokoh yang melawan Belanda. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880. Pernikahan antara Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar pun mendongkrak moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda Kafir). Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda. Pada pernikahan keduanya ini, Cut Nyak Dien memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.

Perlawanan Pada Perang Aceh

Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi’sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan “menyerahkan diri” kepada Belanda. Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana untuk menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya.

Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.

Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).

Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar dan Chut Nyak Dhien. Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda. Mereka mulai menyerang Belanda dan pasukan musuh berada pada kekacauan sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, Jend. Jakobus Ludovicius Hubertus Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan. Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.

Teuku umar dan Chut Nyak Dhien terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti jendral yang bertugas. Unit “Mar chauss’e” lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu, kebanyakan pasukan “De Marsose” merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya. Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit “De Marsose”. Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.

Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak Teuku Umar sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru.

Setelah kematian Teuku Umar, Cut Nyak Dien memimpin pasukan perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya.  Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dhien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun dan ia terkena penyakit encok . Sementara jumlah pasukannya terus berkurang dan mereka kesulitan memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukannya.

Panglima perang Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot Ali akhirnya melaporkan lokasi markasnya di Beutong Le Sageu kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas tersebut. Para pasukan terkejut dan bertempur mati-matian. Cut Nyak Dhien berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Sayang, aksinya berhasil dihentikan oleh Belanda. Cut Nyak Dhien ditangkap, sementara Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.

Masa Tua dan Kematian

Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.

Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan. Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai “Ibu Perbu”.

Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam “Ibu Perbu” baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. “Ibu Perbu” diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.

Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beton dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nissan yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama H. Sanusi.Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surah At-Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Cut_Nyak_Dhien

http://www.biografipedia.com/2015/05/biografi-cut-nyak-dhien.html