Haji Oemar Said (H.O.S) Tjokroaminoto adalah seorang yang sangat lekat dalam sejarah berdirinya bangsa Indonesia. Lahir dari keluarga priyayi, Ia merupakan anak kedua dari R.M. Tjokroamiseno, seorang wedana atau pejabat pemerintah, di Kleco (sekarang Madiun). Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, juga pernah menjabat sebagai Bupati Ponorogo.
Hidup di kalangan Bumiputera dan mendapatkan pendidikan terbaik di OSVIA, Sekolah untuk pamong praja, membuat H.O.S Tjokroaminoto tidak lantas terlena dengan kekayaan dan kedudukan. Ia bahkan memutuskan keluar dari jabatannya sebagai pangreh praja di Ngawi (1905) karena tidak suka terhadap praktik sembah jongkok di lingkungan priyayi. Ia menganggap praktik tersebut kental dengan aroma feodalisme. Ia lebih memilih bekerja sebagai kuli di pelabuhan Semarang (1905-1907) sebelum ia hijrah ke Surabaya dan diterima di sebuah firma (advokat) Kooy & Co (1907-1910) dan beralih sebagai leerling machinist (pembantu bagian mesin) dan chemiker (bagian kimia) di Pabrik Gula Rogojampi (1911-1912).
Tahun 1912 merupakan tahun titik balik bagi Tjokroaminoto. Tidak lama setelah bergabung dengan SDI (Sarekat Dagang Islam), beliau didaulat sebagai ketua. Kemudian SDI berubah menjadi SI (Sarekat Islam). Pada masa kepemimpinannya, beliau meniupkan ruh kekuatan Islam dalam jiwa bangsa yang telah sekarat akibat penjajahan kolonial Belanda. Islam yang dimaksudkan adalah yang meliputi pengertian agama, politik pemerintahan, undang-undang dan para penganutnya (muslim). Islam yang mengikuti jejak contoh yang telah dipraktikkan Nabi Muhammad SAW. Ketegasan beliau dalam memegang prinsip Islam dapat disimpulkan dalam politik yang dikenal luas sebagai non-kooperasi (1918) yang kemudian di kalangan SI disebut sebagai Sikap-Hijrah (Politik Hijrah). Menurut sejarah, Sikap-Hijrah SI timbul sebagai protes atas sikap Belanda yang melanggar Janji-November 1918 (November-bilofte). Hijrah berarti membuat jarak (keep a distance) dari penjajah kafir kolonial Belanda yang khianat (traitorous) akan janji. Sikap ini tersebar di kalangan anggota SI dan menyulut seluruh lapisan masyarakat pribumi hingga ke pelosok-pelosok yang menimbulkan momok bagi para penjajah Belanda. Maka pada saat itu, H.O.S Tjokroaminoto juga memperoleh julukan De Ongekroonde van Java di kalangan kolonial Belanda yang berarti Raja Jawa Tanpa Mahkota.
Dalam menjalankan dan menyebarkan ideologinya, H.O.S Tjokroaminoto terkenal dengan triloginya yaitu setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan, yaitu ilmu, tauhid dan siasat. Satu pernyataan Tjokroaminoto yang cukup terkenal adalah, Negara dan bangsa kita tidak akan mencapai kehidupan yang adil dan makmur, pergaulan hidup yang aman dan tentram selama ajaran-ajaran Islam belum dapat berlaku atau dilakukan menjadi hukum dalam negara kita, sekalipun sudah merdeka. Disini Tjokro berfikir jauh ke depan ketika sebuah bangsa masih mencari siapa dirinya.
Di kalangan teman-teman seperjuangannya, Tjokro dikenal sebagai organisator ulung, ideolog, konseptor, dan orator penggerak massa (mass movement). Sehingga pada masa awal kepemimpinan Tjokro, SI berkembang sangat pesat bahkan ke luar pulau Jawa. Pada tahun 1919 SI mencapai puncak kejayaannya dengan mengklaim keanggotaan sebanyak 2 juta orang.
Tjokro juga orang yang sangat berpegang teguh pada ajaran Islam, baik secara ideologi, pertimbangan pengambilan keputusan, maupun arah tindakannya sebagai seorang pemimpin. Dalam tulisannya yang berjudul Moeslim Nationaal Onderwijs (Pendidikan Nasional Muslim) beliau menuliskan: Kita menghendaki Islam sebagai yang diajarkan dan diamalkan pada zaman permulaannya: Islam tidak dengan tambahan barang baru, tetapi Islam dalam kesuciannya yang semula.
Tjokro menjabat sebagai Ketua SI (yang kemudian berkembang menjadi PSII pada 1930) hingga akhir hayatnya. Beliau meninggal pada 17 Desember 1934, pada usia 53 tahun. Ideologi dan integritas yang dibawanya sepanjang hidup, tidak hanya menginspirasi para anggota SI tetapi juga melahirkan para tokoh-tokoh Nasional Indonesia di kemudian hari. (dari berbagai sumber)