Telah kita ketahui kisah-kisah Tjokro pada beberapa tulisan lalu bahwa Ia adalah sosok pemikir yang revolusioner. Pemikiran dan gagasan-gagasannya jauh ke depan melintasi perkembangan jamannya. Untuk mewujudkan cita-cita mulia mengentaskan rakyat pribumi dari kesengsaran akibat praktik feodalisme kolonial Hindia Belanda, Tjokro sadar bahwa ia tak bisa sendiri. Ia butuh partai dan gerakan besar yang digagas oleh orang-orang pribumi agar bisa membela hak-hak pribumi di tengah kepungan pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Ia butuh orang-orang terbaik dari golongan pribumi. Untuk itu, Ia merasa perlu menyebarkan pemikiran-pemikirannya melalui pendidikan yang dirancang jauh dari pengaruh sistem Belanda. Maka Ia bersama istrinya, Raden Ayu Suharsikin, menjadikan rumahnya di jalan Peneleh (Surabaya) merangkap sebagai rumah kos untuk para pemuda.

Di rumah mungil seukuran rumah tipe 36 yang dibeli dari seorang saudagar tersebut, Tjokro menyalurkan ilmu agama, politik, dan keahliannya dalam berorasi. Apa yang dilakukan oleh Tjokro ini tidak jauh berbeda dengan sistem pondok pesantren, atau sekolah asrama yang kita kenal saat ini.(Artebia, Niratisaya)
Dengan posisinya sebagai pemimpin Sarekat Islam, tidaklah aneh bila banyak yang berminat menjadi murid Tjokro. Beberapa yang beruntung dan kemudian masuk ke dalam catatan sejarah negara kita adalah Soekarno, Muso, Alimin, Semaoen, Kartosoewirjo, Hamka, Tan Malaka, dan Abikoesno. Pria yang menguasai bahasa Jawa, Belanda, Melayu, dan Inggris ini tak segan-segan untuk memberikan semua pengetahuannya pada anak-anak kostnya. Pun, dalam mentransferkan ilmunya, Tjokro tidak mengekang para muridnya untuk mengikuti apa yang menjadi pahamnya. Sebaliknya, ia membebaskan tiap muridnya untuk mengembangkan semua yang mereka pelajari dari dirinya, sesuai dengan tafsiran dan pemahaman mereka.(Artebia, Niratisaya)
Hal tersebut terlihat dari warna-warna dalam politik dan gerakan yang diambil oleh tiap muridnya di kemudian hari. Perbedaan yang mencolok terlihat pada cara pandang muridnya, yakni: Soekarno yang cenderung beraliran nasionalis, Kartosoewirjo yang islamis, dan Semaoen, Muso, Alimin, Tan Malaka yang condong pada paham sosialis-komunis.
Dari keberagaman pemahaman muridnya, dapat kita lihat bahwa meskipun tidak serupa, ilmu yang diajarkan Tjokro mengakar kuat dalam benak mereka. Ilmu dan pengetahuan tersebut kemudian menyatu dengan latar belakang keluarga, pendidikan, dan pekerjaan mereka masing-masing. Sehingga membentuk karakter dan jalan hidup tiap-tiap muridnya.
Dari sini bisa kita simpulkan bahwa sebagai seorang pendidik, Tjokro yang berpikiran egaliter dan toleran, tidak berusaha mencampuri pemikiran dan cara berpikir muridnya. Sebagai seorang pendidik, Ia hanya mentransferkan ilmunya, mendukung, serta membantu perkembangan cara berpikir muridnya.
Bahkan setelah beberapa tahun kemudian, Semaoen yang menjabat sebagai Ketua SI Semarang (1916) mulai terpengaruh faham komunisme Barat yang disebarkan oleh Sneevliet dan mulai terang-terangan mengkritik gurunya sendiri, Tjokroaminoto. Semaoen, Muso, Alimin bahkan bekerjasama dengan Darsono untuk memfitnah Tjokro melakukan penggelapan dana SI. Puncaknya, pada 1917, Semaoen, Muso, Alimin berhasil mempengaruhi hingga 20.000 orang untuk bergabung dalam aksi mogok besar-besaran terhadap perusahaan kereta api dan memecahbelah SI menjadi SI Merah (dipimpin Semaoen) dan SI Putih (dipimpin Tjokro). Timbulnya banyak konflik di tubuh SI yang dikarenakan perpecahan SI Merah dan SI Putih, mendorong Tjokro untuk bersikap tegas mengeluarkan Semaoen dan kawan-kawannya dari organisasi dan memperkuat pertahanan organisasi dari infiltrasi-infiltrasi faham komunis. Hingga pada 1920, Semaoen mendirikan PKI (Partai komunis Indonesia) untuk mewadahi haluan pemikirannya. (Tim Buku Tempo,2011).