Dr. Mohammad Hatta, sosok pejuang yang sering kita sebut Bung Hatta, lahir di Bukit Tinggi pada 12 Agustus 1902. Lahir dari keluarga yang memiliki latar belakang ulama dan pedagang. Ayahnya, H. Muhammad Jamil merupakan sosok pedagang yang lahir dari garis keturunan pengasuh tarikat Naqsabandiyah di Batu Hampar, Payakumbuh , Syaih Abddurrahman. Sedangkan Ibu Hatta lahir dari garis Ilysah dan Aminah yang mendapat julukan khas Pak Gaek dan Mak Gaek sebutan bagi pedagang besar.
Pada saat usia 8 bulan, Ayah Hatta meninggal dunia. Dia hidup dengan Ibunya. Mewarisi keluarga ulama, Hatta-pun sejak kecil dididik agama dengan sangat baik dan ditanamkan karakter disiplin dalam dirinya. Hatta mengenyam pendidikan di sekolah Europeese Lagere School (ELS) pada tahun 1916. Pendidikannya berlanjut pada Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) di Padang. Ia sangat aktif mendengarkan ceramah politik yang diadakan oleh tokoh lokal seperti Sutan Said Ali (Guru sekolah Abadiah). Selain itu, Ia juga aktif mendengarkan Abdul Moeis tentang Sarekat Islam yang sering datang ke Minangkabau. Setelah lulus dari MULO tahun 1919, Hatta melanjutkan studi ke Jakarta (Batavia). Kemudian Ia melanjutkan pendidikannya, untuk kuliah di Handels Hoogere School (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, Belanda. Awalnya, ia mengambil jurusan ekonomi perdagangan, namun kemudian ia pindah ke jurusan ekonomi kenegaraan.
Dipercaya karena karakternya
Selain, kepribadian disiplin dan rasa cinta terhadap ilmu pengetahuan, Hatta juga seorang tokoh yang jujur. Sejak muda, ia dipercaya untuk menjadi Bendahara sejak di MULO. Ini berlanjut saat dia kembali aktif di organisasi Jong Sumatranen Bond (JSB) Padang, lagi-lagi, Hatta dipilih menjadi Bendahara. Hingga saat Ia bersekolah di Jakarta, Hatta masih dipercaya menjadi bendahara JSB Pusat. JSB juga aktif dalam penerbitan majalah. Nama Bung Hatta seakan sudah membahana seantero Belanda. Di Belanda, Hatta mengikuti perkumpulan Indische Vereniging yang berdiri pada tahun 1908. Perkumpulan ini sempat berganti nama menjadi Indonesische Vereniging dan berubah lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Di organisasi ini, Hatta ditunjuk menjadi bendahara dan pemimpin majalah Hindia Putra terbitan Perhimpunan Indonesia.
Kiprahnya semakin cemerlang, pada tahun 1923, Hatta pun dipilih menjadi ketua PI hingga tahun 1931. Bisa disebut, ini merupakan awal karir politik Hatta. PI juga merupakan organisasi sosial. Di bawah kepemimpinannya, PI menjadi lebih progresif dan banyak memperhatikan perkembangan gerakan nasional yang sudah ada di Indonesia. Hatta juga sempat dituduh menjadi anggota partai terlarang oleh kerajaan Belanda dan ditahan bersama Ali Sastroamidjojo, Nazir Datuk Pamuntjak, dan Abdul Madjid Dojoadhiningrat beberapa bulan. Hingga pada 22 Maret 1928, Hatta akhirnya bebas karena tuduhan kerajaan tidak terbukti. Seusai masa tahanan ini Hatta mengundurkan diri dari PI.
Kembali ke Indonesia
Hatta kembali ke tanah air pada 1933-1934. Ia menjadi ketua Pendidikan Nasional Indonesia, dan menerbitkan majalah daulat rakyat. Ia juga pernah dipenjarakan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1934-1935, dan pada tahun 1935-1936 Ia sempat dibuang ke Digul Irian Jaya. Jejak penahanannya cukup panjang, dari Digul, Ia dipindah ke Banda Neira dan kemudian dipindah ke Sukabumi. Hingga akhirnya Ia dibebaskan pada 9 Maret 1942. Pada November 1943, Hatta sempat akan dibuang ke Tokyo oleh pimpinan Angkatan Darat Jepang di Indonesia agar dia tidak lagi mengikuti perkembangan perpolitikan. Namun usaha itu gagal seiring dengan situasi perkembangan Perang Pasifik. Perjuangan untuk tanah air tidak berhenti, pada Mei 1945, Ia terlibat dan menjadi anggota penasehat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Kemudian pada 7 Agustus 1945 Ia menjadi wakil Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Hingga pada 17 Agustus 1945, bersama dengan Soekarno, Ia menjadi Plokamator Kemerdekaan Republik Indonesia.
Diolah dari berbagai sumber.