Bila selama ini diyakini bahwa Budi Utomo yang didirikan pada 20 Mei 1908 adalah awal dari pergerakan nasional yang hingga saat ini diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional, maka sejatinya ruh kebangkitan nasional baru benar-benar terasa 4 tahun kemudian, yaitu saat berdirinya Sarekat Islam (SI). Organisasi yang awalnya bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) ini berdiri pada 1911 sebagai wujud perlindungan dagang terhadap pengrajin batik Laweyan dari cukong-cukong konglomerasi Tionghoa. Organisasi ini dibentuk oleh H. Samanhudi yang juga merupakan salah satu pedagang besar batik Laweyan. Setahun kemudian, pada 1912 SDI berubah nama menjadi SI (Sarekat Islam) atas usulan H.O.S Cokroaminoto yang kemudian diangkat sebagai Ketuanya. Berubahnya nama SDI menjadi SI bertujuan agar keanggotaan SI tidak eksklusif pada kaum pedagang saja. Pada perkembangannya, HOS Tjokroaminoto mampu membawa SI menjadi sebuah gerakan akar rumput yang menghimpun kekuatan kaum-kaum produktif di kalangan pribumi, yang tak lain adalah para pedagang dan pengusaha kecil, petani, kaum buruh, dan para intelektual.
HOS Tjokroaminoto dapat disebut sebagai intelektual organic-meminjam istilah Antonio Gramsci (1971) dalam Prison Notebooks, dimana gagasan-gagasannya sebagai intelektual tidak disadari semata-mata untuk pengetahuan itu sendiri dengan menyatakan diri untuk bebas dari kepentingan-kepentingan politik. Pandangan-pandangan politiknya mengartikulasikan kebutuhan dan aspirasi dari kekuatan-kekuatan sosial yang terhimpun dalam organisasi Sarekat Islam, dalam perlawanan mereka menghadapi ketimpangan kekuasaan yang berlangsung pada rezim kolonial Belanda. Atas sumbangan pemikiran-pemikiran Tjokro, arah perjuangan SI mampu beradaptasi dengan perubahan situasi dan kondisi sosial-politik pada masa itu.
Pada awal kepemimpinan, HOS Tjokroaminoto tidak membawa SI untuk langsung berkonfrontasi dengan penguasa kolonial namun lebih memilih jalan perjuangan di bidang ekonomi-sosial dengan membangun kekuatan ekonomi melawan cukong-cukong Tionghoa (yang pada saat itu merupakan distributor ekonomi utama bagi penguasa kolonial) yang banyak menguasai bidang pertanian, perdagangan tekstil, batik dan furnitur di tanah air. Perlawanan para pedagang SI tersebut adalah sebuah perlawanan berbasis perjuangan kelas terhadap tatanan sosial kolonial yang secara hierarkhis berbasis ras dan etnis.
Tjokro juga menetapkan ideologi Islam sebagai pondasi perjuangan SI. Pada saat itu Islam dinilai lebih bisa dipahami oleh semua golongan. Ajaran Islam dapat menembus dimensi etnis, latar belakang sosial dan kepentingan kelompok sehingga mampu merangkul semua golongan. Selain sebagai alat pemersatu, ideologi Islam juga merupakan propaganda yang baik untuk meraih massa dan menyebarkan visi-visi SI.
Setelah SI mencapai masa-masa stabil dalam kurun waktu 1916-1921, Tjokroaminoto mulai membawa SI pada aktivitas-aktivitas sosial-politik yang melampaui urusan-urusan sosial ekonomi. Secara bertahap Tjokroaminoto menyerukan gagasan nasionalisme kepada anggota Sarekat Islam. Perjuangan tersebut menjadi suatu usaha awal untuk meningkatkan seseorang pada tingkat nation, usaha pertama untuk berjuang menuntut pemerintahan sendiri atau setidaknya agar orang Indonesia diberikan hak dalam mengemukakan suaranya dalam urusan politik. Bagi Tjokro, seperti yang ia ungkapkan pada Konggres Nasional Pertama SI di Bandung pada tahun 1916, amatlah tidak wajar apabila kaum bumiputera hanya dianggap sebagai sapi perahan bagi pemerintah kolonial Belanda, atau tempat dimana orang-orang datang hanya untuk mengambil hasilnya belaka, sementara orang-orang bumiputera tidak mempunyai hak untuk berpartisipasi secara politik dan peraturan dibentuk tanpa partisipasi, mengatur hidup tanpa partisipasi rakyat. Dalam konteks perjuangan politik kebangsaan seruan-seruan nasionalisme Tjokroaminoto ini menyumbangkan perkembangan politik di Negara Kolonial Hindia Belanda dengan lahirnya Volksraad sebuah dewan legislatif dimana kaum pribumi memiliki tempat di dalamnya (Deliar Noer 1982).
Dengan kemampuan orasi dan kemampuannya menggerakkan massa, Tjokroaminoto berhasil melebarkan sayap SI dan menjadikan SI sebagai basis terkuat bagi kekuatan kaum Bumiputera. Hingga pada 1919, SI mengklaim memiliki anggota sejumlah 2 juta pengikut. Suatu hal yang mengagumkan baik bagi kalangan Belanda dan banyak orang pribumi. Tjokro juga gencar menyerukan gagasan-gagasannya mengenai bentuk Nasionalisme dalam setiap rapat akbar SI. Salah satunya seperti orasi Tjokro di depan Kongres Nasional SI di Bandung (17 Juni 1916) yang menyatakan: Kita mencintai bangsa kita dan dengan kekuatan dari agama kita (Islam), kita harus berjuang untuk bisa mempersatukan semua atau setidaknya mayoritas rakyat kita (Tjokroaminoto 1981: 14). Kata Islam dalam nama perhimpunan itu merupakan penanda dari kepribumian, seperti halnya asosiasi kata Kristen dengan orang Belanda atau Konfusius dengan orang keturunan Cina (Shiraishi 1990: 43).137 Seperti yang ditulis oleh McVey (1965: 10): Saat konsep tentang sebuah bangsa Indonesia belum lagi adadan ide ini memang secara umum belum dimiliki oleh masyarakat di Hindia pada masa itu, Islam tampil sebagai sumber persatuan dalam penentangan terhadap kekuasaan asing (McVey 1965: 10). Hal itu bukan hanya karena mayoritas penduduk Hindia itu Muslim, namun juga karena fakta bahwa Islam di Hindia sejak lama telah menjadi seruan pemersatu bagi perlawanan-perlawanan pribumi.
(Oleh: Ika Istiana. Dari berbagai sumber)