Pelajaran 100 Hari Pertama dan Pentingnya Penguatan Peran “Delivery Unit”

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah melewati usia 100 hari. Sejumlah catatan baik seperti tingkat kepuasan masyarakat yang mencapai 80 persen tentunya perlu diapresiasi. Namun, 100 hari pertama juga menyajikan pelajaran penting untuk perbaikan kedepannya.

Presiden Prabowo menduduki kursi Istana dengan membawa agenda-agenda yang ambisius seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sudah dijanjikan dari kampanye pemilihan presiden tahun lalu. Program MBG dan program-program prioritas kemenangan cepat (quick win) lainnya dieksekusi dengan segera di periode 100 hari pertama pemerintahannya. 

Ujian sebenarnya bagi pemerintah bukan hanya soal perumusan program atau kebijakan, tapi juga implementasinya. Ujian ini lah yang dapat dijadikan salah satu tolok ukur evaluasi 100 hari pertama pemerintahan. Kita perlu melihat bagaimana program masif seperti MBG diimplementasikan, dan tentunya menarik pelajaran dan hikmah agar pelaksanaannya lebih baik di hari ke-101 dan selanjutnya.

Tantangan Mengimplementasikan Ambisi dan Koordinasi

Jika kita memperhatikan tantangan-tantangan yang muncul dari tahap awal implementasi program-program ambisius seperti MBG, kita dapat melihat satu benang merah permasalahan: koordinasi. Program berskala besar seperti MBG melibatkan banyak Kementerian dan Lembaga (KL), baik itu di level nasional maupun di level daerah. Walaupun Presiden Prabowo mengamanatkan Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai pelaksana utama program MBG, tetap saja koordinasi dengan banyak pihak dibutuhkan agar pelaksanaannya berjalan sesuai rencana. 

Permasalah koordinasi tercermin dari ketidaksiapan penyediaan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang dibutuhkan sebagai pedoman pelaksanaan program MBG di beberapa daerah. Ketiadaan juklak dan juknis di masa awal implementasi tercatat di Provinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah, serta tercatat di Bantul, Kota Bogor, Kebumen, Madiun, Ngawi, Jombang, dan Cirebon. Permasalahan ini muncul walaupun dalam Peraturan Presiden No 83 tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional, BGN diamanatkan untuk menyelenggarakan fungsi koordinasi, perumusan, dan penetapan kebijakan teknis dalam tugas melaksanakan pemenuhan gizi nasional.

Catatan permasalahan koordinasi tersebut perlu segera diatasi oleh pemerintah agar implementasi program-program ambisius dapat berjalan lebih efektif. Ada banyak cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan implementasi dan memperlancar koordinasi. Salah satu cara yang sebetulnya sudah pernah dilakukan pemerintah Indonesia dan di banyak wilayah lain adalah dengan memperkuat peranan delivery unit.

Penguatan Peran Delivery Unit dan Pelajaran dari SBY

Delivery unit (DU) merupakan unit khusus dalam pemerintah yang bertugas memastikan pelaksanaan program-program prioritas berjalan dengan efektif. Salah satu DU pertama yang dibentuk di dunia bermula di Inggris pada era pemerintahan Perdana Menteri (PM) Tony Blair. DU tersebut dipimpin oleh Michael Barber, yang kemudian menuliskan intisari pengalamannya ke dalam buku berjudul How to Run a Government (2016). 

Dalam karyanya tersebut, Barber menyatakan bahwa DU bertugas memastikan agar program-program pemerintah tidak hanya terlaksana di atas kertas saja, melainkan sampai manfaatnya dirasakan oleh masyarakat. Untuk mencapai dampak tersebut, DU berperan sebagai penghubung kunci dari pemimpin pemerintahan dengan pelaksana lapangan, dengan menjaga fokus dan memecahkan berbagai permasalahan yang muncul. Selain itu, DU juga berperan sebagai fasilitator kerjasama dengan menghubungkan semua KL yang terlibat dalam program-program prioritas. Dengan kata lain, DU berperan sebagai titik pusat koordinasi yang dapat memecah kebuntuan dan mendorong keberhasilan implementasi.

Pemerintah Indonesia sebetulnya sudah berpengalaman dalam memanfaatkan DU untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan program-program prioritas. Pada tahun 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang baru memulai periode kedua pemerintahannya membentuk DU yang bernama Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Riwayat kerja UKP4 ini dijadikan salah satu studi kasus Innovations for Successful Societies yang diterbitkan oleh Princeton University (2013). 

Dalam studi kasus tersebut, disebutkan bahwa UKP4 berperan besar dalam mendorong keberhasilan program-program prioritas pemerintahan SBY. Unit ini bekerja untuk membantu menentukan prioritas, menyelesaikan kebuntuan (bottlenecks) dan menginformasikan presiden tentang progres setiap kementerian. Unit ini dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto yang telah memimpin Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias dan dikenal atas integritasnya, serta diisi oleh staf nonpartisan yang menandatangani pakta integritas yang menolak suap dan hadiah. Contoh konkret efektivitas UKP4 bahkan langsung terlihat pada 100 hari pemerintahan SBY, di mana UKP4 melaporkan bahwa 127 dari 129 rencana aksi prioritas telah diselesaikan.

Keberhasilan UKP4 sebagai suatu DU yang efektif dibangun di atas kerangka kerja yang menjawab tantangan implementasi dan koordinasi. Tugas pertama UKP4 adalah menyusun rencana aksi prioritas. Unit ini menerjemahkan visi-visi besar pemerintahan menjadi langkah-langkah konkret yang perlu diambil oleh KL pelaksana. Selanjutnya, UKP4 mengawasi pelaksanaan dari rencana aksi prioritas tersebut. Informasi yang dikumpulkan

dari pengawasan ini juga dilaporkan ke presiden. Jika UKP4 menemukan kebuntuan atau bottleneck, maka unit tersebut akan segera memecahkannya. Salah satu langkah yang sederhana namun efektif adalah mengumpulkan semua pihak yang terlibat dalam kebuntuan tersebut dalam satu pertemuan. Selain itu, sebagai upaya pengawasan tambahan, UKP4 juga membuka kanal pelaporan yang terbuka bagi semua warga negara untuk melaporkan permasalahan implementasi di lapangan. UKP4 berhasil menjawab tantangan koordinasi dengan efektif, dan menghubungkan semua pihak untuk memecahkan kebuntuan-kebuntuan.

Selain UKP4, ada banyak contoh dari negara-negara lain yang dapat dijadikan acuan. Malaysia sempat mengembangkan DU bernama Performance Management & Delivery Unit (PEMANDU) yang dijadikan contoh benchmark DU di berbagai negara lain di dunia. Begitupun dengan DU pertama di Inggris di bawah komando Michael Barber yang menjadi panutan pertama yang mempopulerkan konsep delivery unit. Namun, walaupun DU telah terbukti efektif di berbagai negara, terdapat satu benang merah yang sama yang menjadi faktor utama bagi keberlangsungan DU: kemauan politik dari pemimpin pemerintahan. UKP4, PEMANDU, dan DU yang dipimpin Michael Barber dibubarkan setelah pemimpin pemerintahan berganti, walaupun memiliki berbagai prestasi. Peranan pemimpin pemerintahan adalah kunci.

Sentralisasi Peranan Delivery Unit Sebagai Langkah Perbaikan

Presiden Prabowo dapat mengadopsi contoh keberhasilan dari UKP4 dan berbagai DU lain di dunia. Di atas kertas, sebetulnya Prabowo sudah memiliki delivery unit, yaitu Kantor Staf Presiden (KSP). Akan tetapi, Prabowo saat ini memiliki lembaga kepresidenan lain yang berpotensi memiliki tugas yang berkelindan dengan KSP, seperti Kantor Komunikasi Kepresidenan (KKK). Contohnya, dalam Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2024 tentang KKK, dijabarkan di pasal 4 bahwa KKK bertugas untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi informasi strategis antar KL terhadap kebijakan strategis dan program prioritas Presiden. Padahal, Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2019 tentang KSP menyebutkan di pasal 2 bahwa KSP bertugas dalam pengendalian program prioritas nasional dan pengelolaan isu strategis. 

Adanya beberapa lembaga setara yang memiliki peranan delivery unit berpotensi menghambat esensi kerangka kerja delivery unit itu sendiri. Idealnya, DU merupakan satu lembaga yang terpusat dan bertugas untuk menyelesaikan kebuntuan dengan cepat dengan menyelaraskan koordinasi antar KL yang terlibat. Dengan kata lain, jika ada dua lembaga yang memiliki peranan delivery unit, maka muncul lapisan koordinasi baru di antara mereka, dan justru dapat memperlambat penyelesaian kebuntuan.

Untuk itu, Presiden Prabowo dapat mempertimbangkan untuk memusatkan peranan delivery unit ke salah satu lembaga kepresidenan. Langkah selanjutnya adalah melakukan penguatan peran delivery unit tersebut agar dapat memastikan program-program prioritas nasional yang berskala masif dapat diimplementasikan dengan efektif dan memperkuat koordinasi dalam memecahkan kebuntuan. Dalam kasus program MBG, misalnya, delivery unit tersebut dapat membantu BGN dan semua KL terkait menentukan rencana aksi yang jelas, dan juga mengawasi pelaksanaannya. Jika terdapat suatu kebuntuan, delivery unit sebagai perpanjangan tangan presiden dapat memanggil semua pihak yang terkait agar permasalahan bisa diselesaikan dengan cepat. 

Seratus hari pertama tentunya tidak bisa dijadikan tolok ukur utama dalam menilai keberhasilan pemerintahan. Justru seratus hari pertama adalah ruang yang tepat untuk pembelajaran dan mengambil hikmah agar seratus, bahkan seribu hari selanjutnya mimpi dan visi pemerintahan dapat terwujud. Belum terlambat bagi Presiden Prabowo Subianto untuk memperkuat peranan delivery unit dan mendorong implementasi kebijakan yang lebih efektif serta menyelaraskan koordinasi. Pada akhirnya, delivery unit tak lain adalah aktor pendorong proses gotong royong menuju visi Indonesia yang lebih baik.

Memulihkan Norma Berbangsa

Indonesia memasuki usia ke-80 tahun sebagai negara merdeka pada tahun ini. Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, perjalanan negeri ini dipenuhi dinamika politik, sosial, budaya, dan ekonomi yang menempa dan membentuk karakter bangsa. Delapan dekade adalah usia yang cukup matang untuk mencapai konsensus nasional tentang prinsip-prinsip kebangsaan, dengan konstitusi sebagai fondasi hukum dan norma-norma sosial sebagai panduan moral. Keandalan bangsa ini sudah teruji selama berpuluh-puluh tahun berkat norma-norma yang tumbuh di tengah masyarakat. Namun, sebagai sebuah bangsa, saat ini kita mendapatkan ujian berat karena banyaknya pengabaian norma yang terus berulang, terutama dalam satu dekade terakhir, yang selanjutnya memunculkan pertanyaan besar: sejauh mana norma-norma ini masih dihormati dan dipegang teguh oleh bangsa ini?

Konstitusi Indonesia merupakan sumber hukum tertinggi yang membimbing arah kebijakan dan aturan negara. Sejak awal, konstitusi telah menjadi dasar dalam membangun sistem hukum yang menghargai demokrasi dan melindungi hak-hak warga negara. Empat kali amandemen konstitusi telah memperluas ruang demokrasi dan memperkuat jaminan hak-hak dasar. Namun, konstitusi sendiri tak cukup kuat tanpa didukung oleh norma sosial yang tumbuh dalam kesepakatan bersama masyarakat. Norma adalah elemen tak tertulis yang mengatur perilaku berdasarkan nilai-nilai yang dipegang oleh suatu komunitas. Norma berfungsi menjaga keteraturan dan solidaritas sosial dengan menetapkan batasan antara yang baik dan buruk.
Ketika norma sosial melemah, menurut Emile Durkheim, masyarakat akan mengalami anomie—kondisi di mana aturan kehilangan pengaruh atas perilaku individu. Pelanggaran norma bukan hanya masalah moral, melainkan ancaman bagi stabilitas sosial dan keberlangsungan bangsa. Pelanggaran terhadap aturan tertulis membawa konsekuensi hukum seperti sanksi pidana atau kewajiban ganti rugi. Namun, pelanggaran terhadap norma sosial memiliki dampak yang jauh lebih dalam: menurunkan kepercayaan publik, melemahkan solidaritas sosial, dan menciptakan fragmentasi di tengah masyarakat. Lebih buruk lagi, ketika pelanggaran norma terjadi secara kolektif dan dibiarkan tanpa konsekuensi, integritas moral bangsa pun dipertaruhkan, dan ancaman krisis yang lebih dalam tak terelakkan.
Dalam satu dekade terakhir, pelanggaran terhadap norma sosial semakin mencolok. Kebijakan publik yang memengaruhi kesejahteraan rakyat sering diambil tanpa partisipasi yang memadai. Kenaikan harga bahan bakar minyak, listrik, dan tarif tol adalah contoh kebijakan yang diumumkan tanpa dialog yang transparan dengan masyarakat. Norma keterbukaan dan partisipasi publik yang seharusnya menjadi ciri khas demokrasi deliberatif diabaikan, menunjukkan lemahnya etika komunikasi pemerintah kepada rakyat. Keputusan sepihak seperti ini menciptakan ketidakpercayaan yang merusak legitimasi demokrasi. Norma dalam sistem demokrasi mewajibkan pemerintah untuk melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kesejahteraan mereka. Mengabaikan prinsip ini mencerminkan kelalaian terhadap etika publik dan tanggung jawab moral.
Sejumlah buruh mengikuti aksi unjuk rasa di depan gedung DPR, Jakarta, Rabu (10/8/2022). Foto: Galih Pradipta/Antara Foto

Contoh lain yang cukup signifikan adalah pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang sarat masalah prosedural. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 menegaskan bahwa pembentukan UU tersebut cacat secara formil karena pelibatan publik yang minim. Norma partisipasi adalah elemen esensial dalam demokrasi deliberatif, di mana keputusan yang diambil harus melalui konsultasi dengan masyarakat. Legitimasi hukum terletak pada penghormatan terhadap proses pembentukan aturan, karena keadilan prosedural menjadi fondasi ketertiban sosial. Pelanggaran norma ini tak hanya memperlihatkan pengabaian terhadap prosedur, tetapi juga mencerminkan kegagalan mematuhi standar demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi.

Lebih mencolok lagi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan keluarga. Perubahan aturan yang membuka peluang bagi anak presiden untuk mencalonkan diri dalam kontestasi politik tingkat nasional adalah pelanggaran terhadap norma hukum, meritokrasi dan integritas politik. Ketika kekuasaan digunakan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu, hukum kehilangan otoritas moralnya, dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik melemah. Perilaku pengabaian norma oleh elit ini akan menyebar ke tingkat yang lebih luas dalam masyarakat, dan menciptakan iklim di mana penyalahgunaan wewenang dianggap wajar.

Menurut Transparency International, Indonesia berada di peringkat ke-96 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi 2024. Angka ini menunjukkan rendahnya tingkat kepercayaan terhadap tata kelola negara dan lemahnya penegakan hukum. Korupsi yang dibiarkan terus berkembang tanpa sanksi yang tegas mencerminkan pelanggaran norma yang telah menjadi bagian dari kebiasaan politik. Budaya permisif seperti ini semakin memudarkan harapan akan keadilan dan kesejahteraan sosial yang merata.

Immanuel Kant, dalam teorinya tentang imperatif kategoris, menekankan bahwa setiap tindakan harus dapat dijadikan prinsip universal. Norma moral tidak boleh bergantung pada tujuan pragmatis, melainkan harus menghormati manusia sebagai tujuan dalam dirinya sendiri. Kekuasaan yang digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok bertentangan dengan prinsip ini karena memperlakukan rakyat sebagai alat, bukan sebagai subjek yang memiliki hak dan martabat yang harus dihormati.
Tentang tantangan moral dalam kehidupan kolektif, Reinhold Niebuhr menyatakan bahwa manusia secara individu mungkin mampu bertindak berdasarkan moralitas tinggi, tetapi dalam kelompok besar, kepentingan egois cenderung mendominasi. Niebuhr menegaskan bahwa hanya kepemimpinan yang memiliki komitmen moral kuat yang dapat membawa perubahan dalam masyarakat yang telah tenggelam dalam krisis nilai. Kepemimpinan yang berintegritas harus menempatkan keadilan dan kebenaran di atas kekuasaan, serta berani menegakkan norma yang adil meski menghadapi tekanan politik.
Pemulihan norma adalah tugas berat yang menuntut keberanian politik dan komitmen moral. Presiden Prabowo Subianto kini menghadapi tantangan besar untuk memulihkan norma yang terus memburuk dan membangun kembali kepercayaan rakyat. Reformasi yang diperlukan tidak hanya berupa perubahan kebijakan, tetapi juga menciptakan budaya politik baru yang menempatkan nilai-nilai moral di atas kepentingan jangka pendek. Reformasi moral di Indonesia memerlukan perubahan nyata dalam perilaku para pemimpin yang harus menjadi teladan dalam menjunjung tinggi etika publik. Langkah nyata lain adalah penegakan hukum tanpa diskriminasi dan peningkatan transparansi kebijakan yang akan menjadi kunci untuk membangun kembali legitimasi moral dan sosial.

Masyarakat juga memiliki peran penting dalam menjaga norma-norma sosial. Kesadaran kolektif untuk tidak mentoleransi pelanggaran etika harus ditumbuhkan melalui pendidikan karakter dan penguatan nilai-nilai kebangsaan. Lembaga pendidikan, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, dan media perlu berkolaborasi dalam mempromosikan budaya integritas dan nilai-nilai kebangsaan. Dalam konteks demokrasi yang semakin dinamis, tanggung jawab moral bukan hanya milik para pemimpin, melainkan seluruh elemen bangsa. Rakyat harus berani menyuarakan kebenaran, menolak praktik korupsi, dan mendukung tata kelola yang transparan dan akuntabel.

Presiden Prabowo Subianto. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS

Kini, tanggung jawab besar berada di pundak Presiden Prabowo Subianto untuk memulihkan norma berbangsa yang mengalami penurunan nilai. Membangun kembali moralitas bangsa memerlukan upaya serius dan konsisten. Sebagaimana Durkheim menyatakan bahwa norma adalah fondasi kehidupan kolektif, bangsa yang kehilangan norma akan kehilangan arah, dan tanpa arah, peradaban suatu bangsa akan runtuh. Mengakhiri pelanggaran norma adalah langkah pertama dalam perjalanan panjang menuju kedewasaan demokrasi dan kebangkitan moral yang sejati. Hanya dengan kembali menghormati norma, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita sebagai bangsa yang bermartabat dan berkeadilan. Masa depan Indonesia ditentukan oleh norma dan moralitas keputusan para pemimpinnya hari ini.

Ibu Adalah Pusat Peradaban

(Sebuah Refleksi di Hari Ibu)

Dalam peradaban manusia, peran ibu tidak hanya sekadar sebagai pengasuh atau pendidik, tetapi juga sebagai pusat dari nilai-nilai kehidupan yang menjadi fondasi sebuah masyarakat. Ibu adalah sosok sentral dalam keluarga, sekolah pertama manusia, serta penjaga nilai dan moral generasi. Melalui kasih sayang dan pengorbanannya, ibu membentuk individu yang berkontribusi pada peradaban dunia.

Ibu Sebagai Pusat Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dari sebuah masyarakat, dan ibu berada di jantungnya. Sebagai seorang ibu, ia tidak hanya bertanggung jawab atas kelangsungan fisik anggota keluarganya tetapi juga menciptakan kehangatan, cinta, dan stabilitas emosional. Kehadiran ibu memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak-anak, sekaligus menjadi penghubung yang menyatukan seluruh anggota keluarga.

Seorang ibu berperan sebagai pengelola rumah tangga, pendidik informal, dan motivator. Ia adalah tempat pertama anak-anak belajar tentang kasih sayang, pengorbanan, dan empati. Dalam kehangatan pelukannya, seorang anak mendapatkan rasa percaya diri untuk menghadapi dunia. Tanpa kehadiran ibu, rumah tangga sering kehilangan arah dan harmoni.

Sekolah Pertama bagi Manusia

Ibu adalah sekolah pertama bagi manusia. Sebelum anak mengenal sekolah formal, ia telah mendapatkan pelajaran berharga dari ibunya. Melalui komunikasi sehari-hari, seorang ibu mengajarkan bahasa, etika, dan nilai-nilai dasar kehidupan. Dari ibu, seorang anak belajar tentang pentingnya kebenaran, kejujuran, dan tanggung jawab.

Selain itu, ibu juga menanamkan pendidikan karakter yang membentuk kepribadian anak. Ia mendidik dengan memberikan teladan langsung, menunjukkan bagaimana bersikap baik kepada orang lain, mengelola emosi, dan menghadapi tantangan hidup. Dengan demikian, ibu memainkan peran penting dalam membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga berintegritas.

Penjaga Nilai dan Moral Generasi

Salah satu tugas terpenting seorang ibu adalah menjadi penjaga nilai dan moral. Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh godaan, ibu memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga agar anak-anaknya tetap berada di jalur yang benar. Ia menanamkan nilai-nilai agama, budaya, dan etika yang menjadi bekal anak-anak dalam menjalani kehidupan.

Melalui nasihat dan pengajaran yang konsisten, ibu membantu anak-anak memahami pentingnya menghormati orang lain, bekerja keras, dan menjaga kejujuran. Ketika anak-anak menghadapi dilema moral, ibu sering menjadi tempat pertama mereka mencari bimbingan. Peran ini tidak hanya berpengaruh pada kehidupan individu tetapi juga pada keberlanjutan moral masyarakat.

 

Pengaruh Ibu dalam Peradaban

Peradaban manusia tidak akan mencapai titik seperti sekarang tanpa peran ibu. Dalam sejarah, banyak tokoh besar yang keberhasilannya tidak lepas dari peran seorang ibu di belakang mereka. Contohnya adalah Thomas Alva Edison, penemu terkenal, yang sangat menghormati ibunya, Nancy Matthews Elliott. Ketika Edison dianggap “terbelakang” oleh gurunya, ibunya mengambil alih pendidikannya di rumah dan memberinya keyakinan untuk terus belajar. Berkat ibunya, Edison mampu mengembangkan bakatnya dan memberikan kontribusi besar bagi dunia.

Demikian pula, Abraham Lincoln, presiden ke-16 Amerika Serikat, pernah berkata, “Segala sesuatu yang saya capai dan yang saya harapkan adalah karena ibu saya.” Ibu Lincoln, Nancy Hanks Lincoln, mengajarkan nilai-nilai kejujuran dan kerja keras yang membentuk karakter Lincoln sebagai pemimpin besar.

Tokoh lain adalah Imam Syafi’i, salah satu imam besar dalam Islam. Ibu beliau, meskipun hidup dalam keterbatasan, memastikan anaknya mendapatkan pendidikan terbaik, bahkan berjalan jauh untuk membawa Imam Syafi’i belajar dari para ulama terbaik. Dedikasinya menjadi inspirasi bagi lahirnya seorang ulama besar yang memengaruhi dunia Islam hingga kini.

Begitu juga dengan Mahatma Gandhi, pemimpin perjuangan kemerdekaan India yang terkenal dengan filosofi ahimsa (tanpa kekerasan). Ibu Gandhi, Putlibai, adalah seorang wanita religius yang mengajarkan nilai-nilai spiritual, kesederhanaan, dan pengendalian diri. Ajaran dan keteladanan ibunya membentuk karakter Gandhi sebagai pemimpin yang penuh kasih sayang dan teguh pada prinsipnya.

Di Indonesia, Soekarno, proklamator dan presiden pertama Republik Indonesia, memiliki hubungan yang sangat erat dengan ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai. Dalam berbagai kisah hidupnya, Soekarno kerap menyebut ibunya sebagai sumber inspirasinya. Dukungan dan doa ibunya selalu menguatkannya dalam perjuangan kemerdekaan. Soekarno sering mengatakan bahwa nilai-nilai keberanian dan kebijaksanaan yang dimilikinya banyak dipengaruhi oleh ajaran dan kasih sayang ibunya.

Ketika seorang ibu mendidik anak dengan nilai-nilai positif, ia sebenarnya sedang mencetak generasi yang akan membawa perubahan besar bagi dunia. Anak-anak yang dibesarkan dengan cinta dan moral yang kuat cenderung menjadi individu yang bertanggung jawab, peduli pada sesama, dan mampu memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat.

Tantangan Modern dan Peran Ibu

Di era modern ini, peran ibu menjadi semakin menantang. Banyak ibu yang harus membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Namun, tantangan ini justru mempertegas pentingnya peran ibu yang tak bisa diabaikan. Dengan kemajuan teknologi dan perubahan sosial, ibu harus tetap menjadi benteng bagi nilai-nilai moral.

Para ibu masa kini dituntut untuk terus belajar dan beradaptasi agar tetap relevan dalam mendidik anak-anak mereka. Mereka harus mampu mengimbangi pengaruh media, teman sebaya, dan lingkungan sosial yang dapat memengaruhi nilai-nilai anak. Dalam situasi ini, peran ibu sebagai mentor dan sahabat anak menjadi sangat penting.

Sebagai refleksi di hari Ibu, sosok ibu perlu ditempatkan kembali pada peran sebagai pusat keluarga dan peradaban, karena dari rahim dan asuhannya lahir individu-individu yang menjadi pembangun dunia. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita menghormati dan memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada ibu, karena tanpa mereka, peradaban manusia tidak akan pernah mencapai kemajuannya yang luar biasa.

Koperasi sebagai Metode untuk Membangun Perekonomian

Tantangan besar yang dihadapi koperasi saat ini adalah mengubah persepsi publik yang menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak relevan. (Foto: ekbis.sindonews.com)

Di tengah gempuran kapitalisme, koperasi sering dipandang sebelah mata. Terkesan kuno, tidak relevan dengan gaya hidup modern yang serba cepat dan kompetitif. Dalam dunia yang serba cepat, koperasi sering dianggap sebagai artefak masa lalu. Namun di balik stigma “jadul” tersebut, tersimpan potensi besar yang justru sangat relevan dalam dunia digital saat ini.

Koperasi, dengan adalah bentuk ekonomi yang didasarkan pada prinsip-prinsip gotong royong dan kepemilikan bersama. Bukan sekadar nostalgia, koperasi bisa menjadi solusi bagi keadilan dan keberlanjutan ekonomi. Di tengah ketidakpastian global dan ketimpangan yang semakin melebar, koperasi menawarkan sebuah jalan lain—jalan yang lebih manusiawi dan seimbang.

Mengubah Paradigma: Koperasi sebagai Gaya Hidup Kekinian

Tantangan besar yang dihadapi koperasi saat ini adalah mengubah persepsi publik yang menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak relevan. Padahal, dengan sentuhan teknologi dan inovasi, koperasi justru bisa menjadi sangat menarik dan mudah diakses siapa saja.

Dengan penggunaan teknologi seperti blockchain misalnya, transparansi dan akuntabilitas koperasi bisa ditingkatkan, sehingga kepercayaan masyarakat pun semakin terjaga.

Tidak hanya itu, koperasi juga bisa memanfaatkan media sosial dan e-commerce untuk memasarkan produk-produk anggotanya secara lebih luas. Dengan begitu, koperasi bukan hanya menjadi wadah untuk saling membantu, tapi juga menjadi mesin penggerak ekonomi.

Teknologi bisa menjadi jembatan yang menghubungkan tradisi dengan modernitas. Ini bukan hanya soal mempertahankan eksistensi koperasi, tapi juga tentang menghidupkan kembali semangat kolektivitas dalam bentuk yang lebih modern dan inklusif.

Untuk membawa koperasi ke dalam gaya hidup modern, kita perlu mengubah narasi yang ada. Koperasi bukanlah sekadar model ekonomi, tapi juga sebuah gerakan sosial. Ini tentang membangun solidaritas, menciptakan hubungan yang lebih erat di antara anggota, dan memberikan dampak positif pada masyarakat luas. Dengan mengedukasi publik tentang manfaat koperasi, kita bisa mengundang generasi muda untuk melihat koperasi bukan hanya sebagai sesuatu yang “jadul,” tetapi sebagai sesuatu yang “trendi” dan relevan dengan kehidupan mereka.

Menuju Ekonomi yang Lebih Adil dan Berkelanjutan

Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, koperasi menawarkan kesempatan untuk menciptakan ekonomi yang lebih inklusif dan memberdayakan. Di sini, keuntungan bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk membangun solidaritas dan mencapai kesejahteraan bersama.

Alih-alih kehilangan relevansi dan dianggap sebagai bagian dari masa lalu, koperasi justru bisa menjadi solusi untuk menciptakan sistem ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan.

Koperasi adalah tentang mengembalikan ekonomi kepada masyarakat, tentang membangun sistem yang adil, di mana setiap orang memiliki suara dan kesempatan yang sama. Di era di mana banyak hal tampak tidak pasti, koperasi memberikan sebuah harapan—bahwa ada cara lain, cara yang lebih baik, untuk membangun masa depan bersama.

 

Penulis :  Zikki Zaelani

Menjadi Kota Global

world | Porapak Apichodilok

Beberapa lembaga dan peneliti seperti Global Power City Index (GPCI) oleh Mori Memorial Foundation dan Global Cities Index oleh A.T. Kearney memiliki kriteria dan indikator spesifik untuk mengukur tingkat keglobalan sebuah kota. Ada enam karakteristik utama kota global dengan mengevaluasi tujuh puluh indikator untuk melihat keglobalan sebuah kota menurut GPCI di antaranya, sektor ekonomi, riset dan pengembangan, interaksi multikultural, kemudahan kehidupan, alam dan lingkungan, dan aksesibilitas warganya.

Dari segi ekonomi, kota memiliki kebebasan ekonomi di mana para pelakukan memiliki kebebasan untuk melakukan kegiatan ekonomi, dapat masuk dan bersaing sehat di pasaran, dan dilindungi dari praktik-praktik kegiatan ekonomi yang agresif. Artinya, kebijakan ekonomi yang dibuat di kota tersebut akan menjadi barometer tata kelola perekonomian bagi kota-kota dan daerah lain sehingga perkembangan daerah lain akan mengacu pada kesuksesan gerak perekonomian terintegrasi.

Kota global tidak pernah tinggal diam. Riset dan pengembangan terus menerus dilakukan sehingga tujuan bersama dapat menjadi misi bersama yang dilaksanakan oleh seluruh elemen kota baik itu warga, sektor swasta dan sosial yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kota, dan pemerintah daerah yang memayungi dan mendukung tata kelola kota lewat regulasi dan fasilitas umum bagi warganya.

Dari sisi sosial dan budaya, kota global memiliki interaksi multikultural dan menjadi rumah bagi berbagai kelompok etnis, budaya, dan agama. Biasanya kota global memiliki pusat kebudayaan yang tidak hanya menjadi potret etnis dan budaya asli kota tersebut namun juga menjadi wadah bagi kebudayaan lain di negara tersebut dan bahkan mancanegara. Kota global menarik turis dan bahkan investor agar interaksi multikultural dapat terjadi dalam tenang. Ini seperti memimpikan kedamaian interkultural dialami kembali setelah menunggu kurang lebih 1.600 tahun di negeri ini.

Gambar 1 Laporan tingkat keglobalan kota di seluruh dunia menurut Global Power City Indeks. (Data diambil dari situs resmi GPCI 2022)

Kota global menuntut kemudahan berkehidupan lebih. Biaya hidup di kota global disanggupi oleh seluruh warganya. Karenanya akses pada kesempatan bekerja dan mencari nafkah memegang peranan penting dalam hal ini. Tujuannya agar seluruh warga bisa hidup. Kebebasan dalam berekspresi serta menjaring kebutuhan warga akan meningkatkan keinginan warga dan pendatang untuk berada dan menjadi bagian dari kota yang menyenangkan. Sehingga kotanya terbilang berkembang sebab pemerintah kota memberi kesempatan dan mendukung warganya untuk mengembangkan diri. Warga perlu merasa aman dan dapat keluar rumah tanpa mengenal jam malam, sebab sistem keamanan di kota tersebut mampu melindungi warga dari ancaman. Kendali pada bagian ini akan mempengaruhi tingkat mobilitas, kemampuan warga untuk mengaktualisasi diri, serta kebahagiaan ketika menetap di kota tersebut.

Aspek alam dan lingkungan juga menjadi yang terpenting untuk ditata dan dikelola. Kebutuhan dasar yang seyogyanya bisa didapat dari alam dikelola oleh pemerintahnya sehingga warga tidak hanya bisa mendapati sisi estetika kota lewat kota yang bersih dan alam yang indah, tapi kebutuhan akan tanah yang baik, air yang dapat diminum, serta udara yang dapat dihirup menjadi satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.

Last but not least adalah aksesibilitas warga. Pandemi menghentikan kegiatan luar ruang untuk beberapa tahun lamanya. Pemberhentian sesaat ini mengajarkan pemerintah kota keterampilan baru tata kelola sehingga warganya bisa mendapatkan kemudahan dalam melakukan kegiatan mereka sehari-hari. Perubahan regulasi diselenggarakan dengan memperhitungkan setiap aspek di setiap lini dengan cermat.

Mengacu pada laporan Global Power City Index 2022 New York (362,5), London (324,5), Zurich (300), Beijing (298,6), dan Tokyo (292) adalah kota global dengan skor tertinggi. Singapura mewakili Asia Tenggara di urutan keenam dengan skor 286,3. Jakarta diberi skor 64,9 pada laporan global ini. Masih banyak yang perlu dikejar ternyata…

 

Penulis :  Zikki Zaelani
Editor :  Sophia Louretta | IHN

Sumber:

https://mori-m-foundation.or.jp/english/ius2/gpci2/2022.shtml

https://mori-m-foundation.or.jp/pdf/GPCI2022_summary.pdf

Harapan Warga: Jakarta Kota Global yang Humanis

White clouds with sun piercing trought it | Tom Fisk

Menebar mimpi narasi Jakarta akan menjadi kota global selepas status ibu kota banyak kali ditebar oleh media masa dan para buzzer (Ind. pendengung). Tanpa dibekali pengetahuan yang cukup tentang kota global, warga Jakarta dan sekitarnya memiliki mimpi dan harapan akan Jakarta.

Dalam paparan hasil survei cepat yang diadakan oleh Pusat Kajian Kepemudaan (PuskaMuda) pada Januari 2022 terhadap 500 warga Jabodetabek tentang ”Menata Jakarta Usai Ditinggal Ibu Kota” menunjukkan bahwa 61.5% responden yakin akan ada perubahan di Jakarta setelah tak lagi menjadi ibu kota negara (IKN).

Selain dua puluh lima persen responden yang berpendapat bahwa Jakarta akan tetap sama saja seperti kebiasaannya pasca pindahan ibu kota, mayoritas responden berpendapat perubahan akan  terjadi pada lalu lintas, layanan transportasi umum yang lebih nyaman, dan kembalinya perhatian pemerintah pada masyarakat dan budaya Betawi karena Pemerintah Provinsi (Pemprov) tak lagi sibuk mengurusi pemerintah pusat. juga responden percaya bahwa Jakarta akan memiliki sikap sosial dan solidaritas antar warga yang lebih baik, begitu juga baku mutu terhadap lingkungan seperti air dan udara juga akan membaik.

Gambar 1 Hasil survei cepat oleh Pusat Kajian Kepemudaan (PuskaMuda) awal Januari 2022 terhadap 500 warga Jabodetabek. Salah satu survei itu menanyakan peluang perubahan Jakarta jika tidak lagi menjadi ibu kota negara. (Data Kompas.id, 5 Februari 2022)

Tapi alasan mereka yang tidak setuju pun juga punya alasan yang masuk akal (58.8%). Mereka menganggap Jakarta memiliki nilai historis yang kental untuk dijadikan IKN. Menariknya, meski mayoritas responden mengatakan ada perubahan, hampir 60% dari responden mengatakan keberatan mereka atas perpindahan IKN ini dan terdapat hampir 12% responden yang tidak peduli. Pada mereka yang tidak setuju, mereka merasa bahwa pemindahan IKN ke Kalimantan Timur akan mengakibatkan perusakan alam karena Kalimantan adalah paru-paru dunia. Selain itu mereka juga merasa keputusan ini terlalu gegabah dan akan menguras kocek APBN. Sedangkan saat itu penanganan Pandemi masih perlu fokus digarap.

Meraih Peluang, Hadapi Tantangan

Kementerian Dalam Negeri memberikan keleluasaan bagi warga Jakarta untuk menentukan nasibnya sendiri. Jakarta bisa menjadi kota bisnis dan Jakarta bisa juga jadi kota global; atau yang lain? Selama ini Jakarta telah menjadi pusat perekonomian, jalur dan pusat perdagangan, menjadi pintu masuk dunia luar tersebar ke seluruh penjuru Indonesia.

Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2019-2022 mengatakan bahwa Jakarta punya beban ekonomi yang besar dan ini mempengaruhi Indonesia secara keseluruhan. Ia yakin Jakarta akan bisa seperti New York yang menjadi pusat ekonomi dan bisnis dunia. Hal ini diamini oleh Ketua Komisi III DPD RI Sylviana Murni yang merasa optimis Jakarta selama ini bisa mandiri keuangan dan dapat menjadi kota yang berdaya saing global. Jakarta juga bisa menjadi kota pendidikan dan budaya, tambahnya.

Gambar 2 Pekerja melintas di jalur pedestrian jalan protokol Jenderal Sudirman di kawasan Setia Budi, Jakarta Selatan, Senin (3/1/2022). Aktivitas perkantoran mulai kembali aktif setelah libur Tahun Baru 2022. (Data Kompas.id, 5 Februari 2022)

Kepala Dinas Bina Marga mengatakan, saat ini Jakarta terus membangun infrastruktu sehingga Jakarta dapat menjadi smart city. Kendati investasinya tidak mudah dan tidak murah, diharapkan langkah ini dapat mengurangi pengeluaran APBN dan APBD dalam jangka panjang. Spirit yang sama juga ditularkan pada pengembangan infrastruktur digital sehingga Jakarta dapat melayani warga dan para pemangku kepentingan lebih efektif dan efisien.

Sylviana mengingatkan dalam proses transisinya, Pemda mesti membenahi permasalahan Jakarta dan menyelamatkan aset-aset kementerian terkait, termasuk beberapa proyek yang sedang digarap. Mudah-mudahan Pemda tengah mempersiapkan langkah sat-setnya agar dalam periode transisi tidak perlu ada aset mangkrak atau terabaikan.

Jakarta punya pilihan jadi apa pun. Lebih tepatnya, warga Jakarta bebas leluasa untuk menentukan menjadi apa yang mereka mau. Pemprov tentunya wajib mendengarkan dan menjalankan amanat ini. Saat ini pemberitaan masih menyebut Jakarta dalam artikel-artikel yang mengkaitkannya dengan tuduhan korupsi. Bukan ini tentunya citra Jakarta yang warga harapkan ke depannya. Sebagai kota inspirasi, boleh lah kita memberikan inspirasi yang baik-baik—Jakarta di mana warganya peduli, hidup tanpa rasa takut, dan bangga dengan kotanya.

Penulis :  Zikki Zaelani
Editor :  Sophia Louretta | IHN

Sumber:

https://www.kompas.id/baca/metro/2022/02/04/nasib-jakarta-dinilai-lebih-baik-setelah-tidak-jadi-ibu-kota-negara

Pindah Ibu Kota Tak Selesaikan Masalah Macet dan Banjir

Jakarta-Indonesia | Tom Fisk

Jakarta, kota megapolitan yang telah lama menjadi pusat pemerintahan, kini telah resmi menyerahkan tongkat estafet ibu kota kepada Nusantara (IKN Nusantara). Keputusan bersejarah ini diharapkan menjadi keputusan win-win bagi Jakarta-Penajam Paser Utara: sama-sama membuka lembaran baru dengan berbagai peluang, harapan, dan tantangan yang menanti di masa depan.

Tak lagi jadi ibu kota negara, Jakarta masih harus bergulat dengan masalah-masalah klasik. Banjir melanda tak tentu di seluruh wilayah saat musim hujan; rob adalah barang wajib bagi mereka yang tinggal di Utara Jakarta; diperparah oleh perubahan iklim kesemuanya menjadi tantangan alam bagi warga Jakarta.

Belum selesai masalah banjir, los-losan jualan kendaraan bermotor di Jakarta selama ini telah menjadikan ibu kota kita meraih ‘juara kedua’ sebagai kota termacet terparah di Asia. Kemacetan ini membuat 65 jam dalam setahun hilang. Dikutip dari Otodriver.com, untuk menempuh 10 km setiap pengendara mobil perlu 19 menit untuk berkendara.

Gambar 1 Jakarta urutan kedua di Asia. Data real time diambil pada Sabtu, 29 Juni 2024 17.35 WIB. (Data diambil dari situs resmi Inrix)

Meski menurut Inrix, Jakarta sudah tidak lagi masuk ke dalam 10 kota termacet dunia, situs pemantau kualitas udara IQAir dalam World Air Quality Report 2024 menyebut Indonesia pada urutan kedua sebagai negara dengan rata-rata kualitas udara terburuk di dunia. Kementerian Kesehatan mengkonfirmasi Jakarta sebagai salah satu dari kota dengan penderita ISPA  tertinggi.

Selain Jakarta, IQAir juga menyebut Batam sebagai daerah dengan 5 kota dengan kualitas udara terburuk. Jakarta memiliki konsentrasi tahunan PM 2,5 yang 8 kali lebih buruk dari standar pedoman WHO yaitu sebesar 43,8 ug/m3 (mikrogram per meter kubik). Ini artinya polusi udara Jakarta dapat mengganggu mereka yang punya riwayat ISPA.

Gambar 2 Jakarta memiliki kualitas udara terburuk kedua di dunia. Data real time diambil pada Sabtu, 29 Juni 2024, pukul 17.35 WIB. (Data diambil dari situs resmi IQAir)

Dalam analisanya DPR RI memberikan kajian akademik berjudul Dampak Ekonomi dan Risiko Pemindahan Ibu Kota Negara mengatakan pemindahan ini dibuat dalam rangka mengakselerasi pemerataan ekonomi sekaligus mengurangi kesenjangan antara Pulau Jawa dan luar Jawa. Pulau Jawa mengambil bagian 56% dari total populasi di Indonesia.

Jakarta sendiri diharapkan akan bertransisi menjadi kota global dan tetap menjadi inspirasi pembangunan di daerah lain di Indonesia. Untuk menjadi kota global yang layak, Jakarta mesti perlu mengejar banyak sekali ketinggalan. Terutama dan terdepan mesti menjawab tantangan masa depan dan menyelesaikan masalah masa lampau dan sekarang.

Sebagai bagian dari kota, warga Jakarta tidak boleh tinggal pragmatis menikmati fasilitas yang diberikan oleh kota tercinta kita ini. Yang menjadikan Jakarta sebagai kota global bukan lain yaitu warganya. Sebagaimana daerah menentukan sikap dan budaya warganya, sebaliknya, warga juga bisa menjadi penentu wajah dari daerahnya.

Baik banjir dan buruknya kualitas udara jangan diambil sebagai tantangan alam yang niscaya terjadi dan warga tak bisa melakukan apa-apa. Mengurangi macet dengan menggunakan kendaraan umum terintegrasi adalah upaya termudah dan termurah agar bisa memperbaiki kualitas udara. Sadar akan pengelolaan sampah pun juga bisa menghindarkan warga Jakarta dari banjir. Tentu didukung dengan regulasi dari Pemerintah Daerah, banjir dapat diatasi. Kalau Belanda bisa, masak kita gak bisa?

Penulis :  Zikki Zaelani
Editor :  Sophia Louretta | IHN

Editor: Sophia Louretta

https://inrix.com/scorecard/

https://www.iqair.com/world-air-quality-ranking

https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/blog/20240108

/5644635/polusi-ancam-saluran-pernapasan/

Jakarta: Kota Pemikat Hati

Jakarta-Indonesia | Tom Fisk

Jauh sebelum kita menikmati kemudahan Jakarta yang sekarang, tempat ini sudah menjadi rebutan para pedagang mengambil keuntungan dari Kalapa, nama pelabuhan Kerajaan Sunda ketika itu. Kalapa sering disebut dalam jurnal pribadi para pengembara asal Eropa dari abad 16. Saat dikooptasi oleh para pedagang Portugis pada tahun 1527, Pangeran Fatahillah mengambil alih pendudukan tepat pada tanggal 22 Juni, yang berabad setelahnya dijadikan hari jadi Jakarta.

Fase demi fase pendudukan Kalapa terjadi hingga namanya berganti dari masa ke masa. Pasca pengusiran Portugis membuat Kalapa berganti nama menjadi Jayakarta. Kemahsyuran Jayakarta menarik perhatian serombongan VOC yang kemudian merebutnya dan mengubah namanya menjadi Batavieren, nama yang diambil dari nenek moyang bangsa Belanda. Meski pengusiran pendudukan Belanda sudah diperjuangkan berulang kali hingga misi pembunuhan berencana petinggi Belanda, Jan Pieterzoon Coen, oleh Nyai Utari Sandijayaningsih, seorang telik sandi asal Desa Keramat, Tapos, Depok, dinyatakan berhasil, namun pengusiran tersebut tidak berhasil memukul mundur Belanda sepenuhnya, hingga tiga ratus tahun kemudian.

Gambar 1 Jakarta jaman pendudukan VOC. (gambar diambil dari situs resmi Pemprov DKI Jakarta)

Saat negara lain di Eropa saling berebut nama lewat ideologi, sains, koersi wilayah, dan industri, Belanda yang bersaing dengan cara yang berbeda. Mereka memilih penguasaan terhadap jalur perniagaan sebagai pemenuhan kebutuhan orang-orang di Eropa yang terlalu sibuk berperang. Merasa di atas angin sebab nemu ‘harta karun’ di nusantara, Pemerintah Belanda menjadikan nusantara  sebagai bagian dari koloninya; macam tanah air ini tak bertuan.Strategis secara geografis, Batavia dijadikan pintu utama pengiriman komoditas hasil bumi: gula. Sedemikian mahalnya ketika itu produk tersebut hingga Belanda menjadi negara kaya di Eropa karena komoditas ini.

Dalam kekuasaannya, Coen mengatur kota. Bangunan-bangunan dibuat dalam bentuk blok. Tembok luar dibuat tebal laksana benteng yang ketika memasuki gerbangnya maka kita perlu melewati jembatan di atas parit-parit besar yang ditebing baik; kini kita mengenalnya dengan istilah normalisasi; sekarang kita bisa temui peninggalannya di area konservasi Kota Tua. Batavia digunakan sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian. Berabad setelahnya Batavia berkembang, Pemerintah Belanda memberikan imbuhan di depan kata Batavia untuk memperjelas status perkotaannya, seperti stad yang berarti kota dan gemeente yang diterjemahkan sebagai kotamadya.

Awal abad 20 situasi politik di Eropa berubah, membuat Belanda melemah. Pemberontakan oleh pribumi dirasakan mendesak Pemerintah Belanda. Ketika Belanda diserang Jerman hingga ratunya perlu mengungsi ke London, Inggris, dengan dalih ingin memenuhi pasokan pangannya, Jepang mengambil momentum ini untuk melakukan perjanjian dagang yang lebih tepat disebut sebagai opresi dagang. Jepang kala itu menjadi negara adikuasa baru di Asia berhasil membuat Pemerintah Belanda di Batavia pergi.

Menduduki Batavia, Jepang menggunakan fasilitas peninggalan Pemerintah Belanda untuk menjadi penguasa baru. Tak lama kemudian, Batavia berganti nama menjadi Jakaruta Tokubetsu Shi, yang berarti “jauhkan perbedaan”. Senafas dengan moto mereka ketika mempersuasi pribumi dengan bilang “saudara jauh dari Timur”, bukan? Kota yang telah rapi tertata dengan sistem administrasi dan tata kelola, pesisir telah memiliki sistem pasar, pengiriman logistik yang terkelola baik, memudahkan Jepang dalam menancapkan cakar mereka di Jakaruta.

Pemboman Hiroshima Nagasaki membuat Jepang menyerahkan pemerintahan kepada Soekarno dan Hatta; Indonesia pun memproklamirkan kemerdekannya. Sebagai tanda perubahan kekuasaan, Jakaruto Tokubetsu Shi kemudian berubah menjadi Jakarta.

Gambar 2 Situasi Jakarta saat proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. (Gambar diambil dari situs resmi Pemprov DKI Jakarta)

Sedari dulu tempat ini-Jakarta adalah tempat hidup yang menghidupkan dan juga mematikan. Banyak nyawa hilang agar kita bisa menikmati Jakarta yang sekarang. Ke Jakarta aku ‘kan kembali, kata Koes Ploes dalam lagunya, tepat rasanya, sebab Jakarta adalah magnet yang menggerakkan jantung setiap insan yang hidup di sana. Jakarta berevolusi. Lebih sedikit dari setengah abad, kerasnya Jakarta membuat rasa tentang Jakarta berbeda dan itu dituangkan oleh Nikki pada lagunya High School in Jakarta, di mana kerasnya hidup membuat frustrasi orang-orang di dalamnya dan memiliki masalah mental.

Kini Jakarta akan berevolusi sekali lagi. Ulang tahunnya yang ke-497 menjadi ulang tahun terakhir Jakarta sebagai ibu kota. Ia telah selamat di setiap tikungan dinamika perubahannya dalam tujuh belas abad.

Selamat ulang tahun Jakarta dan selamat atas lulusnya Jakarta sebagai ibu kota.

Semoga Jakarta menjadi kota yang hidup dan menghidupkan… selalu.

Penulis : Sophia Louretta | IHN

Sumber:

https://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta

https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Jakarta

https://www.jakarta.go.id/sejarah-jakarta

https://news.detik.com/berita/d-6782533/sejarah-nama-jakarta-dari-masa-ke-masa-sejak-1527-hingga-kini

https://lib.litbang.kemendagri.go.id/index.php?p=show_detail&id=1367&keywords=

https://intisari.grid.id/read/033762645/kisah-nyimas-utari-sandijayaningsih-telik-sandi-mataram-yang-berhasil-membunuh-petinggi-voc?page=all

https://intisari.grid.id/read/033762645/kisah-nyimas-utari-sandijayaningsih-telik-sandi-mataram-yang-berhasil-membunuh-petinggi-voc?page=all

https://en.wikipedia.org/wiki/Stad#:~:text=Stad%20is%20the%20word%20for,and%20related%20to%20German%20Stadt.

https://dictionary.cambridge.org/dictionary/dutch-english/gemeente#:~:text=noun,or%20belonging%20to%20a%20church

https://id.wikipedia.org/wiki/Kembali_ke_Jakarta

https://lyrics.lyricfind.com/

Bonus Demografi: Berkah atau Bencana?

Usaha mikro, kecil, dan menengah | URPX One Stop Logistic

Indonesia tengah menikmati periode emas yang disebut bonus demografi, di mana mayoritas penduduk berada dalam usia produktif (15-64 tahun). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada tahun 2022, proporsi penduduk usia produktif mencapai 69.3% dari total populasi. Angka ini merupakan modal berharga bagi pembangunan ekonomi, karena penduduk usia produktif memiliki potensi besar untuk berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi melalui tenaga kerja dan inovasi.

Namun, potensi ini tidak serta merta berbuah manis. Tantangan riil juga menghantui, seperti tingginya angka pengangguran muda yang mencapai 12.84% pada tahun 2023 menurut data Kementerian Ketenagakerjaan.

Tingginya ekspektasi terhadap pekerjaan di sektor formal, ditambah ketatnya persaingan dan ketidaksesuaian kualifikasi dengan kebutuhan pasar, memperparah situasi ini. Lulusan baru kerap menghadapi kesulitan memenuhi kriteria lowongan kerja, terutama yang menuntut pengalaman kerja. Selain itu, terdapat kesenjangan keterampilan yang mengkhawatirkan. Laporan World Economic Forum tahun 2023 menyoroti kesenjangan keterampilan sebagai salah satu faktor penghambat daya saing Indonesia.

Kesenjangan ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan dan pelatihan saat ini belum sepenuhnya mampu menghasilkan lulusan yang siap kerja dan memenuhi kebutuhan industri. Hal ini berpotensi menghambat pemanfaatan bonus demografi secara optimal. Jika tidak diatasi, bonus demografi dapat menjadi beban demografi, di mana tingginya jumlah penduduk usia produktif justru menimbulkan masalah sosial dan ekonomi seperti pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan.

Tanggung Jawab Bersama

Untuk itu, kolaborasi strategis antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat menjadi krusial. Pemerintah perlu merancang kebijakan yang proaktif dan adaptif, termasuk reformasi pendidikan dan pelatihan vokasi yang relevan dengan tuntutan pasar kerja modern. Kurikulum pendidikan perlu diperbarui secara berkala, mengintegrasikan teknologi terkini dan soft skill yang dibutuhkan di era digital. Selain itu, program magang dan pelatihan kerja yang terstruktur dapat menjadi jembatan bagi lulusan baru untuk memasuki dunia kerja.

Perusahaan juga memiliki peran penting dalam menciptakan ekosistem kerja yang inklusif dan berkelanjutan. Program pengembangan karyawan, kesempatan magang yang terarah, dan inisiatif peningkatan keterampilan dapat menjadi investasi jangka panjang bagi perusahaan dan sekaligus berkontribusi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia nasional. Kolaborasi antara perusahaan dan institusi pendidikan dalam merancang program pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan industri juga dapat mengurangi kesenjangan keterampilan dan meningkatkan daya saing lulusan.

UMKM, sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia, perlu mendapatkan perhatian khusus. Pemerintah dapat memberikan insentif dan dukungan finansial bagi UMKM yang inovatif dan berorientasi ekspor. Selain itu, program pendampingan dan pelatihan bis

 

nis dapat membantu UMKM meningkatkan kapasitas manajemen dan daya saing produk.

Partisipasi perempuan dalam dunia kerja juga perlu ditingkatkan. Akses terhadap pendidikan, pelatihan, dan modal usaha yang setara bagi perempuan dapat membuka peluang ekonomi yang lebih luas dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2023 menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam angkatan kerja masih tertinggal dibandingkan laki-laki, yaitu sebesar 54.42% berbanding 83.98%.

Pedang Bermata Dua

Bonus demografi, meski menjanjikan, bukanlah tiket otomatis menuju kemakmuran. Ia ibarat pedang bermata dua, yang bisa menjadi berkah jika diasah dengan strategi tepat, atau sebaliknya, menjadi beban jika diabaikan. Tantangannya kompleks, mulai dari pengangguran yang masih tinggi, terutama di kalangan muda, hingga kualitas pendidikan dan pelatihan yang belum merata. Tanpa intervensi yang terukur dan terarah, bonus demografi bisa berbalik menjadi bencana demografi, di mana beban ekonomi justru meningkat akibat ledakan jumlah penduduk usia non-produktif.

Dengan kerja sama dan komitmen bersama, Indonesia dapat mengubah bonus demografi menjadi berkah demografi. Bonus demografi bukan hanya tentang angka, melainkan tentang kualitas sumber daya manusia yang produktif, inovatif, dan berdaya saing. Ini adalah momentum emas untuk mewujudkan Indonesia yang lebih maju, sejahtera, dan berkeadilan.

 

Kontributor: Ziki Zaelani

ORANG MUDA DIAPIT PILIHAN: JADI PEKERJA ATAU PEMBUAT LAPANGAN KERJA

Pabrik mebel di Tangerang. ©Liputan6.com/Angga Yuniar

Indonesia digadang-gadang sedang menikmati bonus demografi, yaitu sebuah kondisi di mana penduduk berusia produktif lebih banyak dibandingkan dengan penduduk yang non-produktif. Kenyataannya tahun 2022, BPS mengeluarkan rasio ketergantungan atau dependency ratio Indonesia sebesar 44,67%, yang artinya ada 44-55 orang non-produktif di setiap 100 orang penduduk1. Kemenaker mendefinisikan usia produktif sebagai mereka yang berusia 15-65 tahun, sehingga warga Indonesia yang produktif diperkirakan ada di kisaran 70%. Dalam situs resminya, Kemenaker menyebutkan bahwa pada periode 2021 hingga 2023, Indonesia mengalami peningkatan signifikan dalam jumlah angkatan kerja dengan kenaikan sekitar 7,56 juta orang atau sekitar 5,39 persen2. Meskipun demikian, penyerapan tenaga kerja di sektor formal masih menjadi tantangan. Folkative dalam media sosialnya mengangkat data yang bersumber dari dari Biro Pusat Statistik bahwa 9,9 juta generasi Z di Indonesia merupakan pengangguran dan tidak bersekolah3.

 

Bekerja di sektor formal melulu menjadi tujuan pertama mereka yang lulus dari bangku kuliah. Dalam komentarnya terhadap postingan Folkative, netizen ramai menjerit mendapati kriteria lowongan yang tidak cocok dengan kondisi mereka yang fresh graduate dan belum berpengalaman membidangi fungsi yang mereka lamar. Sebagian yang lulus saat masa pandemi “tersangkut” dalam status pengangguran karena physical distancing yang diterapkan pemerintah4. Sementara setiap tahun setidaknya terdapat hampir 2 juta lulusan baru baik dari pendidikan tinggi vokasi, sarjana, atau pascasarjana yang menyatakan diri siap kerja5. Sayangnya semangat “siap kerja” para lulusan segar belum diimbangi dengan penyerapan sektor formal yang persyaratannya kian lama kian membuat angkatan kerja menyerah dan frustrasi. Akhirnya, mereka bersedia menempati posisi atau fungsi yang tidak memberikan mereka kondisi ketidak amanan dari sisi sosial, ekonomi dan jaminan kesejahteraan lainnya.

 


Grafik 1: Jumlah pekerja yang diserap sektor formal menunjukkan tren penurunan selama 15 tahun terakhir (Kompas, Senin, 20 Mei 2024)

 

Apakah bekerja di sektor formal merupakan satu-satunya tujuan ketika lulus? Tentu saja tidak.
Dengan meningkatnya jumlah angkatan kerja, seluruh pihak, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil diharapkan dapat mendorong terjadinya berbagai inisiatif untuk melahirkan opsi karir bagi angkatan kerja. Selain bekerja sebagai karyawan, menjadi bagian dari kewirausahaan juga bisa menjadi alternatif cara berkarya bagi angkatan kerja.

 


Grafik 2: Pencari kerja yang langsung mendapat pekerjaan didefinisikan sebagai mereka yang lulus dan mendapat pekerjaan dalam periode setahun ke belakang dari saat pengambilan survei. Untuk tahun 2017, periodenya sejak September 2016 sampal Agustus 2017. Sedangkan, untuk tahun 2022 periodenya sejak September 2022 hingga Agustus 2022. (Kompas, Senin, 20 Mei 2024)

Sebagai negara perajin dan pedagang, Indonesia memiliki rapor yang sangat baik dalam sektor ini. Melihat data PDB Nasional, UKM-UMKM memberikan peranan besar dalam perputaran ekonomi. Keberadaan UKM-UMKM inilah juga yang membuat perekonomian Indonesia tetap bertumbuh sebesar 5% saat pandemi saat negara lain turun. Dalam situsnya Kemenko Perekonomian disebutkan bahwa pada tahun 2023 sektor UMKM memberi kontribusi lebih dari 60% produk domestik bruto Indonesia dan telah menyerap 97% tenaga kerja6. Fakta ini diperjelas oleh data yang diambil dari Kementerian PMK yang menjelaskan bahwa 64% dari UMKM dikelola oleh perempuan dan 0,64% di antaranya adalah wirausaha kerah putih.

Walaupun sudah terbukti memegang peranan besar, menjadi bagian dari kewirausahaan memiliki dinamikanya sendiri. Banyak hal yang membuat orang muda enggan untuk memulai atau menjadi bagian dari wirausaha. Ketidak pastian akan keberlangsungan usaha, ragu dengan kemampuan diri dalam mengelola, dan tidak siap dengan risiko, serta kurangnya dukungan dari keluarga adalah beberapa hal yang dianggap jadi penyebab orang muda maju mundur dalam berusaha. Padahal konsistensi mereka masih perlu diuji dalam 1-2 tahun pertama.

Walaupun pelatihan kewirausahaan, kemudahan akses terhadap permodalan, serta program inkubasi bisnis sudah tersedia, masih juga belum membuat orang muda . Tenaga kerja yang terampil dan berdaya saing tidak hanya penting bagi pertumbuhan ekonomi tetapi juga bagi kesejahteraan komunitas. Mengembangkan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar dan lingkungan sekitar dapat meningkatkan peluang kerja dan keberlanjutan ekonomi baik untuk dirinya sendiri atau pun lingkungan sekitarnya. Inisiatif seperti program pelatihan berbasis komunitas, pemberdayaan masyarakat, dan kerjasama dengan lembaga pendidikan dapat memperkuat kompetensi lokal. Dan, akhirnya orang muda tidak hanya berdaya tapi juga memberi daya pada sekitar.

Dengan memadukan upaya peningkatan keterampilan, dukungan kewirausahaan, dan sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, kita dapat menciptakan generasi yang tidak hanya siap bekerja, tetapi juga mampu menciptakan peluang kerja. Saatnya bagi kita semua untuk tidak hanya mengandalkan sektor formal, tetapi juga untuk memberdayakan diri dan komunitas melalui inovasi dan kewirausahaan. Masa depan Indonesia ada di tangan generasi yang berani menghadapi tantangan dan menciptakan solusi, bukan hanya yang menunggu kesempatan datang.


1https://dataindonesia.id/varia/detail/rasio-ketergantungan-indonesia-sebesar-4467-pada2022#:~:text=Rasio%20Ketergantungan%20di%20Indonesia&text=Berdasarkan%20data%20Badan%20Pusat%2 0Statistik,kepada%20mereka%20yang%20berusia%20produktif.
2 https://satudata.kemnaker.go.id/infografik/59
3 https://www.instagram.com/p/C7EoYpBvNki/?igsh=dGt6dTg2aDk0Mzh0
4 https://www.instagram.com/p/C7EoYpBvNki/?igsh=dGt6dTg2aDk0Mzh0
5 https://republika.co.id/berita/rpr8km478/sepanjang-2022-jumlah-mahasiswa-lulus-capai-185-juta
6 https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/5318/dorong-umkm-naik-kelas-dan-go-export-pemerintah-siapkanekosistem-pembiayaan-yang-terintegrasi

Kepemimpinan Tri-Sektor

Pinterest/Frank60

There is only one thing in life which never changes, and it is change.

~ Confucius

Di sektor mana pun tempat kita berada (publik, swasta, sosial) punya tujuan yang sama: menciptakan tatanan yang baik di masyarakat dengan memberikan yang terbaik dalam bentuk layanan atau produk.

Sudut pandang menentukan cara pandang

Kedua hal pada sub judul di atas akan menentukan hasil dan dampak dari apa yang kita kerjakan. Mengambil pelajaran dari pandemi, periode tersebut menjadi titik nadir proses belajar kita sehingga kita perlu me-reset cara kita memandang hampir di seluruh lini kehidupan. Hasrat kita untuk bertahan hidup melampaui kemampuan badani dalam menghadapi pandemi. Dan kita survive! Kita mampu memandang musuh bersama dengan sudut pandang berbeda di saat pandemi.

Tiga sektor utama: sektor publik, sektor swasta, dan terakhir, sektor sosial/komunitas/masyarakat, disadari atau tidak, bergotong-royong mengatasi pandemi. Merebaknya penularan Covid-19 di masyarakat mendorong pemerintah untuk bergerak lebih gencar dalam menanganinya. Pemerintah dan masyarakat kemudian juga mendorong sektor swasta untuk mengambil peran lebih besar juga untuk menangani covid. Tanpa adanya gerakan tersebut kita tidak akan mencapai kondisi sekarang—komunitas kebal Covid-19. Bergerak bersama-sama secara sengaja atau tidak, kita sudah membuktikan kerjasama melawan musuh yang sama untuk kepentingan bersama.

Alpa ego

Saat pemerintah, masyarakat, dan korporasi/swasta memerangi hal yang sama, tidak ada kebutuhan untuk tampil, perlu diakui sebagai yang ter-, apalagi digadang sebagai dewa penyelamat. Semua bergerak atas rasa kemanusiaan karena kita melakukan apa pun untuk bertahan hidup. Tak ada tempat bagi ego individu atau sektoral sebab kita sedang membilang nyawa.

Tri-Sector Leadership

Lahir dari tekanan untuk berespon terhadap perubahan iklim, kepemimpinan tiga sektor tri-sector leadership meminta setiap pemimpin untuk memiliki pemahaman cara pandang dan cara kerja di tiga sektor: pemerintah, korporasi/swasta, dan non-profit. Dominic Barton, eks CEO dari McKinsey International, mendapati bahwa perubahan iklim telah mengimbas pelbagai aspek kehidupan. Efek domino dari perubahan iklim tidak dirasakan sedarurat dengan urgensi seperti yang kita rasakan saat menghadapi pandemi. Namun efeknya jauh lebih dahsyat seperti kanker yang menggerogoti organ secara perlahan.

 

Lebih ampuh tiga kali lipat!

Perspektif kita terhadap suatu tantangan sosial akan menentukan cara pandang kita ketika menjawabnya. Bayangkan jika kita punya 3 sudut pandang yang berbeda. Tri-sektor memberikan sudut pandang dan cara pandang permasalahan sosial lebih komprehensif. Untuk memiliki cara pandang tri-sektor kita perlu tahu analytical thinking berpikir analitis, critical thinking berpikir kritis, dan creative thinking berpikir kreatif.

Mengenali Kepemimpinan Maskulin dan Feminin

Image: Pixels Petr Ganaj

Memiliki peran pemimpin dalam di tengah masyarakat atau di dalam organisasi tidak hanya memiliki fungsi, memperoleh keterampilan baru, dan kecocokan gaya kepemimpinan dengan fungsi peran yang dibutuhkan. Agar dapat menjalaninya dengan baik, maka pemimpin perlu menyesuaikan identitas dirinya sehingga sesuai dengan fungsi di peran barunya. Banyak organisasi secara tidak sengaja melemahkan proses ini ketika menyarankan perempuan untuk secara proaktif mencari peran kepemimpinan sementara kebijakan dan praktik tidak selaras antara cara pandang organisasi terhadap perempuan dan persepsi kualitas dan pengalaman yang cenderung diasosiasikan  pemimpin secara umum.

Beberapa tahun belakangan ini kepemimpinan feminin semakin banyak diadopsi dalam praktik. Menekankan nilai seperti empati, intuisi, inklusivitas, dan kolaborasi, kepemimpinan feminin menawarkan pendekatan alternatif dari kepemimpinan maskulin yang menekankan kontrol, persaingan, dan hierarki. Kepemimpinan maskulin melahirkan budaya yang menghargai persaingan dibandingkan kolaborasi, kontrol atas pemberdayaan, dan hierarki dibandingkan inklusivitas. Model kepemimpinan maskulin kini dilihat sebagai gaya kepemimpinan tradisional ini terbukti berhasil dalam banyak hal, namun juga menimbulkan masalah-masalah seperti kurangnya keberagaman, fokus pada keuntungan jangka pendek dibandingkan keberlanjutan jangka panjang, dan pengabaian terhadap keadilan dan kesejahteraan manusia dan planet bumi.

 

Ilustrasi: Beberapa nilai-nilai kepemimpinan yang sifatnya feminin

Kepemimpinan tak berbasis gender

Penelitian terbaru menyoroti pentingnya menyadari bahwa sifat feminin dan maskulin dapat ditunjukkan oleh individu dari jenis kelamin apa pun. Meskipun secara historis, ciri-ciri tertentu telah dikaitkan dengan gender tertentu, penting untuk menghindari esensialisme gender dan menyadari bahwa ciri-ciri tersebut tidak hanya dimiliki oleh satu gender saja.

Perubahan iklim, kesenjangan ekonomi, ketidakadilan sosial, dan perubahan lanskap bisnis hanyalah beberapa permasalahan yang memerlukan pendekatan baru. Kepemimpinan feminin menekankan nilai dan karakter yang menempatkan individu sebagai sentra dalam berkarya dan menghadirkan wajah kepemimpinan yang lebih manusiawi.

Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Organizational Behavior menemukan bahwa pria yang menunjukkan sifat femininnya, seperti empati, dianggap sebagai pemimpin yang lebih efektif oleh karyawannya. Demikian pula, perempuan yang secara tradisional menunjukkan sifat-sifat maskulin, seperti ketegasan, dianggap sebagai pemimpin yang lebih efektif oleh rekan-rekan mereka. Studi lain yang diterbitkan dalam Journal of Vocational Behavior menemukan bahwa pria dan wanita yang menunjukkan kombinasi sifat maskulin dan feminin cenderung memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi dan kesehatan mental yang lebih baik.

Penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih cenderung memiliki ciri-ciri feminin tertentu yang terkait dengan kepemimpinan yang efektif. Misalnya, perempuan cenderung mendapat skor lebih tinggi dibandingkan laki-laki dalam hal kecerdasan emosional dan empati, yang merupakan ciri penting dalam membangun hubungan dan memahami kebutuhan orang lain.

Dengan merangkul sifat-sifat feminin yang melekat ini, perempuan dapat memimpin dengan lebih autentik dan efektif. Daripada merasakan tekanan untuk menyesuaikan diri dengan gaya kepemimpinan tradisional yang maskulin, perempuan dapat memprioritaskan empati, kerentanan, dan fleksibilitas, sehingga menciptakan tempat kerja yang lebih inklusif dan inovatif.

Model kepemimpinan maskulin atau feminin yang diadopsi tentu saja akan bergantung pada situasi yang kita hadapi di lapangan.

Kalau kamu cenderung pada model yang mana?

Sumber:

Harvard Business Review dan Psychology Today