Menunggu Kebangkitan Kaum Terpelajar

Dewasa ini menyeruak kecemasan akan lunturnya daya kritis dan keberanian dalam mengoreksi keadaan, termasuk dari kalangan kaum intelektual, motor perubahan.

Dalam pidatonya pada Hari Alumni Universitas Indonesia yang pertama, 11 Juni 1957, Dr. Mohammad Hatta, Wakil Presiden RI 1945-1957, mengingatkan bahwa krisis kepercayaan terhadap pimpinan negara yang dihadapi oleh bangsa Indonesia kala itu tidak dapat diatasi dengan mengganti demokrasi dengan diktator. Malahan pergantian itu akan menimbulkan keadaan yang lebih buruk, akan menghilangkan kepercayaan sama sekali.

“Obatnya hanya satu: memberikan kepada negara, pimpinan yang dipercayai oleh rakyat!”

Dalam alinea yang sama, Hatta melanjutkan: “Oleh karena krisis ini merupakan pula krisis demokrasi, maka perlulah hidup berpolitik diperbaiki, partai-partai mengindahkan dasar-dasar moral dalam segala tindakannya. Korupsi harus diberantas sampai pada akar-akarnya, dengan tiada memandang bulu. Jika tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan. Demoralisasi yang mulai menjadi penyakit masyarakat diusahakan hilangnya berangsur-angsur dengan tindakan yang positif, yang memberi harapan pada perbaikan nasib”.

Keadaan yang dilukiskan dalam pidato Bung Hatta 68 tahun lalu, sekilas seperti mewakili suasana batin (sebagian) masyarakat kita dewasa ini: ada krisis kepercayaan, ada krisis demokrasi, ada korupsi yang gila-gilaan, dan ada demoralisasi. Itulah kekuatan pikiran seorang intelektual atau cendekiawan. Mereka memiliki kemampuan memahami keadaan secara luas dan dalam. Dan karenanya pikiran mereka tetap relevan, melampaui usia, bahkan usia generasi keturunannya.

Kaum Intelegensia dan Pergerakan

Pada umumnya cendekiawan atau intelektual diartikan sebagai orang-orang yang memiliki keahlian dan pengetahuan mendalam pada suatu bidang, berpikir kritis dan analitis, serta peduli terhadap kemaslahatan orang banyak. Mereka juga orang-orang yang terlibat dalam berbagai penelitian atau penelaahan, untuk menelurkan pengetahuan dan cara-cara baru. Intelektual atau cendekiawan terus menerus melakukan refleksi atas fenomena sekitarnya, dan mengajukan berbagai gagasan sebagai solusi atas masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh Bung Hatta, orang-orang seperti ini disebut sebagai kaum intelegensia.

Di Indonesia, munculnya golongan terpelajar ini terjadi pada awal abad ke-20 yang melahirkan gerakan Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1908. Dilandasi oleh kesadaran akan keterbelakangan bangsanya, golongan terpelajar mulai bangkit menjadi kekuatan sosial baru, berjuang untuk menuntut kesejahteraan dan kemerdekaan nasional.

Kemunculan mereka dipicu oleh Politik Etis (1901), ketika pemerintah kolonial mulai memberi kesempatan pada anak-anak Boemi Poetra untuk memperoleh pendidikan. Seiring waktu, golongan terpelajar mampu menumbuhkan kesadaran nasional. Melalui berbagai kegiatan diskusi sosial-politik, mereka melontarkan kritik-kritik atas kebijakan kolonial yang merugikan rakyat banyak, dan secara organik mulai membentuk organisasi-organisasi pergerakan menentang diskriminasi dan penindasan.

Menariknya, kaum terpelajar dengan latar belakang lingkungan kolonial Belanda juga banyak yang bergabung dalam gerakan ini. Pelan tapi pasti, gerakan kaum intelegensia ini mampu menyebarluaskan gagasan dan semangat pergerakan kemerdekaan.

Semenjak itu, semua milestone penting perkembangan kehidupan bangsa kita, seperti Soempah Pemoeda (1928), Proklamasi Kemerdekaan (1945), Revolusi Politik (1966), hingga reformasi (1998) selalu diwarnai oleh tindak kepeloporan kaum intelektual. Polanya kurang lebih sama: membaca keadaan secara kritis, menyebarluaskan pemikiran, mengoreksi penyimpangan, memperjuangkan keadilan, membela hak asasi manusia, dan menentang penindasan.

Pola tindak tanduk inilah yang oleh Chomsky (1967) dirumuskan dengan lugas: “It is the responsibility of intellectuals to speak the truth and to expose lies.” Karena itu, dalam sejarah, kaum intelegensia yang setia pada nilai-nilai luhur sering kali harus menerima perlakuan buruk: ditekan, dimarjinalkan, ditindas, bahkan dipenjarakan.

Warga Makin Berdaya, Tata Kelola Memburuk?

Menyongsong 80 tahun merdeka, sesungguhnya capaian Indonesia tidaklah buruk, bahkan harus kita syukuri. Kualitas hidup warga rerata terus mengalami peningkatan. Angka Harapan Hidup (AHH) warga selama 20 tahun terakhir, meningkat dari 65,8 tahun (2004) menjadi 73,93 tahun (2023).

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terus naik dari 66,53 (2010) menjadi 74,20 (2024). Index Human Capital (IHC) juga meningkat dari 0,53 (2018) menjadi 0,54 (2020). Secara ekonomi, dalam dua dekade GDP per kapita naik lima kali lipat, dari 830,58 USD (2000) menjadi 4.8761,31 USD (2023). Tentu saja dengan catatan kaki, kita masih punya PR besar untuk mengatasi ketimpangan yang kian menganga.

Di bidang pendidikan, kita mengalami kemajuan bersama. Wajib belajar telah dinikmati hampir seluruh warga. Di awal kemerdekaan 97% bangsa kita buta huruf, kini hampir 100% warga sudah mengenyam pendidikan dasar. Dewasa ini sekitar 19 juta warga telah menikmati pendidikan tinggi, memang masih terlalu sedikit dibanding jumlah penduduk kita, tetapi tetap merupakan capaian penting.

Indonesia saat ini memiliki lebih dari 77.000 doktor, dan tak kurang 8.000 guru besar. 50 ribu sarjana telah mendapatkan beasiswa dari LPDP, lebih dari 150 ribu warga negara telah menerima beasiswa dari negara-negara sahabat seperti Australia, Jepang, Amerika Serikat, Singapura, Kerajaan Inggris dan negara sahabat lainnya.

Fakta di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya rakyat kita makin berdaya. Mereka makin sehat, makin cerdas, dan makin memiliki kapasitas untuk mengurus dirinya sendiri. Fakta bahwa ratusan ribu warga negara telah menyelesaikan pendidikan tingginya di berbagai negara maju, menunjukkan bahwa semakin banyak warga yang memiliki wawasan global dan layak menjadi warga dunia.

Lebih dari itu, dalam hal partisipasi mengurus negara, Penerimaan dalam negeri sampai dengan 31 Desember 2024 mencapai Rp 2.511 triliun, atau 75,7 % dari total APBN. Ini berarti, sebagian besar biaya bernegara dipikul oleh warganya. Jika ditarik garis sejarah jauh ke belakang, adalah berkat jasa-jasa para perintis negara, yang telah berjuang sejak masa kebangkitan nasional 1908, kita sampai di titik ini.

Bagi generasi masa depan, perjalanan panjang bangsa ini akan menjadi modal besar, bila dikelola dengan mengedepankan prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan, menjunjung tinggi tata kelola yang baik, menempatkan etika dan moral sebagai panduan utama.

Sayangnya, capaian-capaian di atas seperti bertabrakan dengan kemerosotan cara mengurus negara, atau tata kelola dalam sepuluh tahun terakhir. Meskipun hampir seluruh biaya bernegara diletakkan di pundak warganya, kualitas demokrasi kita bukannya membaik, tetapi malah memburuk.

Sejak EIU mengenalkan Indeks Demokrasi pada 2006, demokrasi kita tetap masuk kategori demokrasi cacat (flawed democracy), dengan skor 6,44 (2024). Indikator lain adalah Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang sejak reformasi terus naik sampai dengan dengan skor tertinggi di angka 40 (2019), kini berada di titik balik, yaitu skor 34 (2023).

Begitupun dalam bidang politik, hak asasi manusia, dan penegakan hukum, survei-survei persepsi publik menempatkan lembaga politik dan lembaga penegak hukum pada posisi yang paling tidak dipercaya publik. Indeks kerawanan bernegara kita berada dalam posisi “warning”, alias harus diwaspadai. Tampak jelas kecenderungan yang kontradiktif: sementara rakyatnya semakin berdaya, tetapi cara mengurus negara (tata kelola) justeru semakin memburuk.

Bagaimana dengan keadaan perekonomian kita?

“Pasar” adalah pelaku paling rasional, yang tak bisa ditekan dan dipaksa-paksa untuk bersikap. Harus diterima kenyataan bahwa sikap pasar mencerminkan keadaan ekonomi kita yang rawan, baik dari sisi fiskal maupun moneter, baik aspek makro maupun mikro. Dalam enam bulan terakhir, IHSG mengalami koreksi hingga 20%, sementara kurs rupiah terus melemah, mendekati situasi menjelang krisis 1998.

Pada tataran mikro, sejumlah industri mengalami tekanan, sebagian harus menutup atau merampingkan bisnisnya, yang berakibat pada PHK besar-besaran. Ada konsensus di antara pelaku pasar bahwa ekonomi kita mengalami apa yang disebut trust issue. Terlalu banyak praktik perburuan rente dan praktik conflict of interest antara pengambil kebijakan dengan pelaku bisnis, yang mewarnai perekonomian Indonesia.

Saya sepakat dengan pandangan bahwa akar dari segala soal adalah penyakit kronis bernama Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), yang menjelang reformasi 1998 nyaris menghancurkan Indonesia. Mengapa demikian? Sebab korupsi telah menyuburkan kebiasaan mencuri, mengambil yang bukan haknya, sikap manipulatif, dan tindakan curang. Kolusi telah menerobos pagar kontrol, melumpuhkan fungsi check and balance, dan menyuburkan praktik “pagar makan tanaman”. Sementara itu, praktik nepotisme telah menempatkan kekerabatan sebagai pembuka jalan dan kesempatan; seraya meminggirkan prinsip-prinsip luhur bernama meritokrasi, kompetisi, integritas, prestasi, dan kreativitas. Bayangkan, betapa besarnya kerusakan yang ditimbulkan, bila KKN saling memperkuat sebagai warna dan tata cara kita bernegara.

Tapi inilah yang sedang berlangsung. Kenyataan yang di depan mata memang menunjukkan bahwa sendi-sendi keluhuran tidak lagi menjadi pegangan utama. Kekuasaan dan politik tidak lagi tampak dihadirkan sebagai jalan untuk melayani dan memajukan warga. Politik dan kekuasaan telah dikonversi menjadi jalan untuk memupuk kekuatan ekonomi; politik yang mahal membuat hanya yang kuat secara ekonomi yang bisa masuk ke gelanggang kompetisi. Jadilah lingkaran setan, yang lahirkan nepotisme, sirkulasi kekuasaan hanya berlangusng di antara “siapanya siapa”: anak, isteri, keponakan, mantu, adik, kakak, ipar, bahkan sudah ada yang mempersiapkan cucu.

Jangan-jangan frasa: “Atas berkat rahmat Allah SWT, dan dengan didorong oleh keinginan luhur….dst”, tidak lagi mewarnai praktik-praktik kenegaraan kita. Lantas harus mulai dari mana?

Kebangkitan Kaum Terpelajar

Menghadapi begitu banyak kerumitan dan tantangan di hari-hari ini dan ke depan, kita menunggu kaum intelegensia, para cendekiawan untuk kembali pada tanggung jawab asasinya. Tidak peduli di mana mereka berperan, bisa di dalam atau di luar kekuasaan, baik di sektor publik, korporasi, atau di kampus-kampus, maupun di pergerakan sosial-politik; harus ada spirit bahu membahu mengoreksi segala sesuatu yang menyimpang. Dengan itu, kita menaruh harapan agar mereka mampu membawa jalannya negara, kembali ke relnya, kembali kepada maksud didirikannya.

Soedjatmoko (1985) pernah mengingatkan agar kaum intelektual atau para cendekiawan terlibat langsung dalam proses pembangunan bangsa, tidak hanya berdiri (di pinggir lapangan) sebagai pengamat. Dengan demikian tulisnya: “…intelektual (harus) berperan penting sebagai agen perubahan yang menyatukan pemikiran, moralitas, dan tindakan demi kemajuan masyarakat.”

Harus diakui, pada dewasa ini, mulai menyeruak kecemasan akan lunturnya daya kritis dan keberanian dalam mengoreksi keadaan. Cendekiawan Dr. Sukidi (2024) menyoroti secara tajam fenomena ini, “Hari-hari ini keberanian itu tidak dimiliki kaum intelektual, dan intelektual justru menjadi penyokong dari kekuasaan yang sangat tirani,” ucap Sukidi dalam suatu kesempatan.

Tak dapat dimungkiri, banyak di antara intelektual kita baik yang masuk ke dalam kekuasaan maupun berada di jalur independen sempat mengalami tekanan. Di lain pihak, usaha-usaha melumpuhkan daya kritis dari kaum terpelajar terus berlangsung dengan berbagai bentuk iming-iming. Banyak di antara mereka yang terpaksa mengungsi ke “dunia maya”, meninggalkan gelanggang perjuangan di dunia nyata. Karena itu kita harus berusaha memanggil pulang mereka, kembali pada tugas dan tanggung jawab utamanya. Sudah waktunya para intelektual menata pikiran dan agenda bersama untuk meneguhkan perannya sebagaimana ditekankan oleh Chomsky: to speak the truth and to expose lies (menyuarakan kebenaran dan membongkar kebusukan).

Hari-hari ini, kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional ke-117. Lebih dari seabad yang lalu, ketika bangsa Indonesia belum lagi terbentuk, kemiskinan dan keterbelakangan menjadi keseharian kita, ketika hidup kaum Boemi Poetera masih dalam kungkungan kolonial, sejumlah kaum terpelajar bangkit menggelorakan pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan yang membuahkan kemerdekaan, setelah 37 tahun lamanya.

Patut kiranya direnungkan, bila golongan terpelajar di era perjuangan kemerdekaan, produk Politik Etis kolonial, berani bersikap, maka para cendekiawan yang lahir dari rahim bangsa merdeka semestinya punya tekad dan keberanian yang lebih kuat dalam menyikapi keadaan.

Suatu agenda besar mungkin sudah waktunya disusun oleh para cendekiawan, kaum cerdik pandai buah investasi berpuluh tahun lamanya, untuk mendorong proses lahirnya kepemimpinan yang tepercaya. Kita memerlukan kepemimpinan yang menjunjung tinggi prinsip integritas, kompetensi, meritokrasi, yang jauh dari praktik-praktik conflict of interest. Kita mendambakan kepemimpinan yang disusun “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan didorongkan oleh keinginan luhur”.

Tanpa keduanya, mungkin negeri ini akan semakin jauh tersesat, suatu keadaan yang tidak kita inginkan bersama.

*Penulis adalah Ketua Institut Harkat Negeri.

Menolak jalan pintas, menyongsong jalan kebangkitan

Jakarta (ANTARA) – Bagi pecinta novel pasti ingat sejumlah karya best seller, yang mewarnai khasanah sastra kita. Karya-karya yang laris (sebagian telah diangkat menjadi film yang juga laris) ternyata memiliki benang merah yang sama: perjuangan menembus keterbatasan demi meraih mimpi.

Di antara karya-karya penting, misalnya tetralogi Laskar Pelangi, trilogi Negeri 5 Menara, 9 Summers 10 Autumns, dan Mimpi Sejuta Dolar. Popularitas keempat novel ini tidak lepas dari kemampuan para penulisnya membangkitkan harapan dan semangat, bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk maju, melainkan pijakan awal untuk melompat lebih tinggi.

Laskar Pelangi karya Andrea Hirata mengisahkan perjuangan anak-anak miskin di Belitong yang menuntut ilmu dengan segala keterbatasan fasilitas dan ekonomi, namun tetap memelihara mimpi-mimpi besar. Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi merekam perjalanan sekelompok santri di pondok pesantren modern yang bermimpi menaklukkan dunia, berangkat dari prinsip “man jadda wajada”, siapa yang bersungguh-sungguh, pasti berhasil.

9 Summers 10 Autumns adalah memoar Iwan Setyawan, anak sopir angkot dari Batu, Malang, yang dengan kerja keras dan pendidikan, berhasil menjadi salah satu Direktur di Nielsen Consumer Research, New York. Sementara Mimpi Sejuta Dolar adalah kisah nyata Merry Riana yang terpaksa merantau ke Singapura saat krisis moneter 1998, bertahan hidup dengan sisa uang pas-pasan, hingga sukses menjadi pengusaha dan motivator kelas Asia.

Aslinya bangsa pejuang

Benang merah dari semua kisah ini adalah bahwa mimpi besar, ketekunan, kerja keras, sikap pantang menyerah, tegar menghadapi kesulitan, dan sportif untuk berkompetisi, terbukti membawa banyak orang menembus batas sosial, ekonomi, bahkan geografis.

Dan mungkin itulah sebabnya cerita-cerita seperti ini begitu digemari di Indonesia, karena ia mencerminkan kenyataan hidup jutaan orang yang berjuang naik kelas, dan menjadi inspirasi bahwa harapan selalu ada bagi mereka yang mau berproses. Artinya, sesungguhnya tata nilai masyarakat kita memang menghargai nilai-nilai perjuangan sebagaimana diceritakan dalam novel yang laris itu.

Kisah perjuangan menembus keterbatasan untuk meraih mimpi tidak hanya hadir dalam novel. Beberapa waktu lalu, saya menyaksikannya sendiri. Di Desa Jatimakmur, Kecamatan Songgo, Kabupaten Brebes, bertemu Maulida Azzahra, anak seorang petani bernama Pak Saepudin.

Zahra diterima di empat universitas top dunia dan memilih melanjutkan studi ke New York University. Hal yang mengejutkan, bukan hanya Zahra yang berprestasi. Kakaknya, Khaidar Khamzah, pada tahun 2023 diterima di 13 universitas terbaik di Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada; dan akhirnya lulus dari University of Toronto, Kanada.

Mereka tumbuh dalam keluarga sederhana, ayah mereka seorang petani, Ibunya Bu Khotimah lulusan madrasah tsnanawiyah. Tentu saja, meraih pendidikan terbaik dari kampus kelas dunia tidak ada dalam jangkauan mereka. Jangankan kuliah di luar negeri, meneruskan pendidikan sampai SMA saja sudah merupakan perjuangan luar biasa.

Namun di tengah segala keterbatasan, Zahra dan Khamzah membuktikan bahwa dengan tekad, kerja keras, dan kompetisi, ternyata mereka bisa menjangkau cakrawala dunia.

Selain keluarga Pak Saepudin, saya juga pernah bertemu dengan Angga Fauzan, CEO MySkill, salah satu platform edutech yang berkembang pesat di Indonesia. Angga berasal dari keluarga kurang mampu. Dahulu orang tuanya berjualan ayam goreng di Pasar Kramat Jati untuk menopang hidup keluarga. Digusur dari keramaian ibu kota, mereka harus pulang ke kampung halaman di Boyolali dan tinggal di bekas kandang kambing.

Namun keterbatasan tidak mematahkan semangatnya. Fauzan belajar keras hingga diterima di Institut Teknologi Bandung (ITB). Dari sana, wawasannya terbuka luas, dan ia berhasil meraih beasiswa ke University of Edinburgh, Skotlandia.

Sepulangnya ke Tanah Air, Angga bekerja di sejumlah startup sebelum akhirnya mendirikan MySkill dan mendapatkan investasi dari East Ventures. Lewat perusahaannya, Angga ingin membantu lebih banyak pemuda dari latar belakang serupa. “Saya ingin menolong lebih banyak Angga-Angga lainnya agar bisa meraih mimpinya,” ujarnya.

Prestasi zonder previlese

Kisah-kisah ini menyuarakan satu hikmah penting: proses adalah hukum alam yang tidak bisa dihindari. Sebaliknya, metode jalan pintas terbukti sering membawa musibah. Cara jalan pintas, menerobos tahapan normal bukan saja mencederai nilai-nilai kejuangan, tetapi juga membawa risiko urusan-urusan penting ditangani oleh pribadi yang tidak memiliki kapasitas memadai. Bila kita buka mata dan buka hati, kisah-kisah perjuangan juga dialami oleh putra-putri para pemimpin bangsa kita sejak dahulu.

Megawati Soekarnoputri, putri Presiden Pertama RI, mengalami masa sulit, setelah ayahnya dilengserkan pada 1966. Cukup lama, ia dan keluarganya dipinggirkan secara politik. Megawati baru masuk DPR pada 1987, lalu didepak dari PDI versi pemerintah, dan harus melalui peristiwa Kudatuli 1996 yang tragis.

Butuh puluhan tahun hingga akhirnya ia dipercaya memimpin bangsa sebagai Presiden kelima RI. Putrinya, Puan Maharani, pun meniti jalan panjang. Ia memulai kariernya sebagai wartawan magang di Majalah Forum Keadilan, dan baru setelah bertahun-tahun aktif di PDIP, memimpin fraksi, masuk ke eksekutif menjadi menteri koordinator, hingga kemudian dipercaya menjadi Ketua DPR perempuan pertama dalam sejarah Indonesia.

Putri-putri dari Bung Hatta, Meutia Farida Hatta, Halida Nuriah Hatta, dan Gemala Rabi’ah Hatta, tidak satupun mendapat perlakuan istimewa dari ayahnya. Mereka tumbuh besar melalui jalan perjuangannya sendiri. Ada yang menjadi akademisi, ada yang menempuh jalan sebagai profesional. Kalaupun belakangan ada yang mendapat amanah menjadi menteri, itu karena prestasi yang bersangkutan, pun waktu pengangkatannya baru terjadi jauh setelah ayahnya berpulang.

Putri-putri Gus Dur, Alissa, Yenny, Inayah, dan Anita Wahid, menunjukkan bahwa menjadi anak presiden bukan alasan untuk menghindari proses. Alissa membangun Jaringan Gusdurian untuk memajukan toleransi dan keadilan sosial; Yenny memulai sebagai jurnalis perang di Timor Timur hingga Aceh sebelum memimpin Wahid Foundation; Inayah menempuh jalur seni dan budaya sambil vokal menyuarakan keberagaman; sementara Anisa fokus pada literasi digital dan gerakan anti-hoaks. Keempatnya membuktikan bahwa kontribusi bermakna lahir dari kerja keras dan dedikasi, bukan warisan nama besar.

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), putra Presiden keenam RI, juga ditempa dalam proses panjang. Menjadi lulusan terbaik di SMA Taruna Nusantara, lalu masuk Akademi Militer dan meraih Adhi Makayasa. Pendidikannya di luar negeri diselesaikan dengan track record yang jelas, di kampus-kampus ternama dunia.

Ia bertugas di berbagai misi internasional sebelum memutuskan meninggalkan karirnya dari dunia militer untuk terjun ke dunia politik. AHY pun memulai dari bawah, gagal berkompetisi sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta, ditugasi memimpin suatu gugus tugas (Kogasma) Partai Demokrat, dan baru setelah melewati berbagai ujian dipercaya memimpin partai.

Di dunia bisnis, sejumlah pengusaha besar mendidik anak-anaknya dengan kerja keras dan prinsip meritokrasi. Para pengusaha yang serius melakukan regenerasi pada umumnya menempuh pola yang sama, dikirim ke sekolah terbaik, didorong untuk magang atau bekerja di luar negeri, setelah cukup pengalaman dan kematangan baru secara bertahap dilibatkan dalam mengurus bisnis orang tuanya.

Tidak ada proses yang melompat, tidak ada jalan pintas, meski bisnis yang diurus adalah milik orang tuanya sendiri.

Menolak jalan pintas

Semua kisah ini menunjukkan bahwa tidak ada keunggulan tanpa perjuangan, dan tidak ada perjuangan tanpa proses. Begitu pula putaran sejarah bangsa Indonesia. Gerakan kebangkitan nasional (1908), Soempah Pemoeda (1928), Proklamasi Kemerdekaan (1945), hingga revolusi (1966) dan Reformasi (1998), kesemuanya adalah buah dari perjuangan yang melalui proses panjang. Namun sayangnya, hari ini, jalan pintas dan praktik nepotisme tampaknya tengah menggerogoti resiliensi bangsa kita. Karena itu harus ditolak dan dilawan.

Di Hari Kebangkitan Nasional ini, penting bagi kita untuk meyakini, bahwa bangsa ini akan terus berderap maju jika menghargai proses, menolak jalan pintas, dan memberi tempat bagi mereka yang berjuang berdasarkan kapasitas.

Ketika kebiasaan menerobos aturan dibiarkan dan meritokrasi digantikan oleh nepotisme, maka keadilan dan kualitas akan ikut terkubur.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang percaya pada keringat, bukan pada garis keturunan. Mari rawat keyakinan bahwa proses tidak pernah mengkhianati hasil. Dan mereka yang membajak proses, cepat atau lambat, akan tertinggal oleh sejarah.

*) Sudirman Said adalah Ketua Institut Harkat Negeri

Copyright © ANTARA 2025

Menyikapi Ketidakpastian dengan “Ambidexterity”

Semua pasti kenal Albert Einstein dan Leonardo Da Vinci. Dua orang jenius ini memiliki keterampilan ambidextrous. Apa maknanya? Sir Thomas Browne (1646), seorang dokter yang juga penulis, berkebangsaan Inggris mendefinisikan istilah ambidexterity dengan, “orang-orang yang kedua sisi indranya dapat berfungsi sama baiknya”.

Ia menggabungkan dua kata, yaitu “dexter” yang berarti cekatan atau terampil, dengan prefix latin “ambi”, yang berarti keduanya. Secara sederhana dapat dimaknai manusia ambidextrous adalah mereka yang mampu menggunakan kedua sisi indranya (kiri dan kanan), sama terampil dan cekatannya.
Mengapa manusia ambi-dexter istimewa? Karena kebanyakan dari kita memiliki kebiasaan dan kemampuan menggunakan tangan dan kaki kanan saja, atau kiri saja (bagi yang kidal) untuk menjalankan kehidupan sehari-hari: makan, minum, menulis, menendang bola, sikat gigi, mengangkat beban, dan mengerjakan tugas sehari-hari. Manusia ambidexter terbilang langka, dari 100 orang di sekeliling kita, hanya ada 1 orang yang memiliki keterampilan ambidexter. Dua tokoh dunia yang kita kenal, yang memiliki keterampilan ambidestrous adalah Einstein dan Da Vinci.
“Einstein dapat menulis sama baiknya, dengan tangan kiri maupun kanannya. Tangan kirinya juga mahir memainkan biola. Demikian pula Da Vinci, jejak sejarahnya mengatakan ia melukis dengan kedua tangannya, baik kanan maupun kiri.”
Apakah ambidexterity bisa dilatih? Ternyata bisa. Leonardo Da Vinci terlahir kidal, tetapi sejak kecil dilatih untuk menulis dengan tangan kanannya. Ketika dewasa kedua tangannya memiliki kemampuan yang relatif sama baiknya. Sekarang banyak orang yang berusaha melatih dirinya menjadi ambidextrous, baik dengan motif jaga-jaga maupun memperbanyak instrumen untuk menjalankan hidup, sebagai bagian dari life skills development. Sejumlah saran untuk melatih ambidexterity misalnya dengan menulis, menggambar, menyikat gigi, mengangkat beban, berolahraga, dan lain sebagainya.
*****
Ilustrasi dosen Pria. Foto: Shutter Stock

Cerita di atas adalah makna teknis dari ambidexterity. Bisakan kita memaknai kapasitas semacam itu dengan lebih luas, lebih filosofis? Bila diterjemahkan lebih luas, maka sikap ambidextrous adalah kesiapan untuk melengkapi diri dengan sebanyak mungkin keterampilan, dengan mengoptimalkan kemampuan tak sekadar fisik kita, tetapi juga mental model, dan kemampuan otak kita. Filosofi ambidextrous juga bisa dimaknai dengan kesiapan untuk menjalani berbagai peran dan tugas, dalam ketidakpastian; dalam suasana terbaik, maupun dalam keadaan terburuk sekalipun.

Bila bukan pejabat struktural, ia bisa jadi spesialis. Bila tak ada kesempatan jadi spesialis, turun pangkat pun siap, tak harus merasa turun martabat. Bila tak ada kerja kantoran, bisa juga menjalankan usaha kecil-kecilan. Sebagai praktisi, ia juga terampil menjadi pembicara dan pendidik, pun antusias untuk menjadi penulis dan story teller.

Jadi kasir, jadi penjaga gudang, petugas ekspedisi, sampai menjadi pengemudi, oka-oke saja. Sebaliknya, orang-orang ambidextrous juga Bersiap untuk menangani peran-peran baru yang lebih penting: dipromosikan, dipindahtugaskan, atau diberi tantangan mengerjakan hal-hal jauh lebih besar.
Manusia ambidextrous, dengan demikian, adalah orang-orang yang tak kenal menyerah, bila gagal di satu urusan atau usaha, mereka akan terus berikhtiar dengan usaha lainnya. Atau meneruskan usaha atau urusan yang sama tetapi dengan cara yang berbeda. Mereka akan terus mencoba hal-hal baru, cara-cara baru, pendekatan baru, mitra baru, bahkan menata horizon dan tujuan baru bila diperlukan.
“Dapatlah dikatakan, manusia ambidextrous adalah manusia yang terus melengkapi diri dengan segala keterampilan: memimpin dan dipimpin, keterampilan teknis dan manajerial, berbicara dan menulis, belajar dan mengajar, menjadi karyawan dan menjalankan bisnis, hingga menjadi penggerak organisasi sosial kemasyarakatan.
Mereka adalah manusia pembelajar, long live learners. Mereka tak membatasi pembelajaran hanya pada ilmu dan keterampilan yang berhubungan erat dengan bidang kerjanya, tetapi terus menerobos batas-batas disiplin ilmu asal-usulnya. Mereka adalah orang-orang yang Bersiap menjadi: “spesialis-generalis”: punya skills tertentu, tetapi siap untuk mengerjakan apa saja.
******
Ilustrasi bekerja. Foto: Shutter Stock
Nah, dunia (Indonesia di dalamnya) sedang dan akan terus menghadapi ketidakpastian. Bila dikerucutkan ke dunia kerja, segala sesuatu bisa terjadi dengan tiba-tiba. Instansi pemerintah berubah bentuk atau tupoksi, bisa memicu mutasi besar-besaran. Perusahaan merger, ekspansi, atau bangkrut, membawa dampak PHK atau bisa juga membuka peluang promosi, dan keharusan mutasi bagi banyak orang.

 

Perang dagang dan dinamika geopolitik memancing ketegangan, dan perubahan orientasi ekonomi banyak negara, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada lapangan kerja. Kecenderungan pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) yang akan makin masif, akan membawa perubahan signifikan dalam dunia profesi dan kesempatan kerja.

 

Bila kita menyikapi semua gejala di atas dengan cara konvensional: menunggu penugasan, terpaku pada disiplin ilmu, mengandalkan pengalaman masa lalu, bertumpu pada jejaring konvensional; sudah pasti hidup kita sebagai professional ada dalam ancaman besar. Sebaliknya, bila kita menyongsong ketidakpastian dengan sikap dan filosofi “ambidextrous”: serba siap, fleksibel, menyukai hal-hal baru, terus menjadi pembelajar, maka yang di depan mata adalah suatu excitement.
“Bagi manusia ambidextrous, ketidakpastian adalah sumber gairah baru, karena di dalamnya ada kesempatan besar untuk belajar, bergelut, dan hidup bersama, co-exist dengan hal-hal baru.
Jadi, jangan cemas menghadapi masa depan, bersiapkan menjadi manusia ambidextrous. Kuncinya: terus bersyukur dan berikhtiar, dan jangan pernah berhenti belajar. Belajar apa saja, agar bisa menjalankan peran apa saja. Sebab, kita tak pernah tahu masa depan kita.

Jalan Idealisme Ki Hajar Dewantara

Rasanya tidak berlebihan bila dikatakan bahwa perjuangan menjaga idealisme adalah keniscayaan zaman

Jakarta (ANTARA) – Sambil menyeruput kopi pagi, seorang sahabat berkata, “Jangan terlalu serius memperjuangkan idealisme. Di dunia nyata, idealisme sering kalah.”

Saya tersenyum, menimpali, “Mungkin itu benar, tapi dalam sejarah, semua perubahan peradaban dimulai oleh orang-orang yang militan memperjuangkan ide. Dan perubahan besar terjadi karena kemenangan idealisme.” Walau beda pandangan secara diametral, obrolan pagi itu diwarnai canda dan tawa lepas.

Rasanya tidak berlebihan bila dikatakan bahwa perjuangan menjaga idealisme adalah keniscayaan zaman. Sepanjang garis waktu kehidupan, sejarah selalu memunculkan pribadi-pribadi terpilih yang setia dan terus berjuang untuk melahirkan kebaikan, melakukan perbaikan, dan terus mencari solusi atas berbagai masalah dan kerumitan yang dihadapi orang banyak.

Merekalah para public servants, pelayan publik, yang dari masa ke masa selalu memberi warna dalam setiap era, dengan idealismenya.

Ki Hajar Dewantara adalah salah satunya. Tokoh yang lahir pada 2 Mei 1889 ini, terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Kelak, hari kelahirannya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Berlatar belakang keluarga bangsawan Kesultanan Yogyakarta, RM Soewardi kecil menikmati berbagai privilese. Ia belajar di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar Belanda, lalu melanjutkan ke STOVIA, sekolah kedokteran pribumi di Batavia.

Namun, karena masalah kesehatan, ia tak menyelesaikan studinya. Kembali ke Yogyakarta, ia memilih jalur pena sebagai senjata. Sebagai jurnalis, tulisannya kritis dan tajam, lantang menentang ketidakadilan kolonial. Meski keluarganya dekat dengan pemerintah kolonial, ia tak pernah goyah dalam membela rakyat.

Pada 1913, ia menulis Als Ik Een Nederlander Was (Jika Saya Orang Belanda) dalam bahasa Belanda, sebuah sindiran pedas terhadap rencana pemerintah kolonial mengenakan pajak kepada pribumi untuk merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis.

Seandainya saya Belanda, saya tidak akan menyelenggarakan pesta kemerdekaan di negeri yang kami rampas kemerdekaannya,” tulisnya. Tulisan ini bukan sekadar protes, melainkan seruan moral yang mengguncang kesadaran publik. Tulisan itu juga telah membuat pemerintah kolonial ketar-ketir.

Ki Hajar memaknai kolonialisme bukan sekadar penjajahan fisik, tetapi juga merupakan model mental yang destruktif. Di dalamnya ada penindasan, kekejaman, ketidakadilan, pemerasan, sampai tekanan-tekanan kepada orang banyak yang didasari oleh motif sekadar unjuk kekuasaan.

Menurut budayawan Radhar Panca Dahana, inti kolonialisme adalah “rasa tidak pernah cukup,” lahir dari peradaban kontinental Eropa dengan empat musim ekstrem. Untuk bertahan di musim dingin, mereka terbiasa menimbun sumber daya, yang lama-kelamaan berubah menjadi keserakahan, mendorong mereka menjarah negeri lain, termasuk Nusantara.

Ki Hajar menentang mentalitas kolonial ini dengan pendidikan yang membebaskan. Baginya, melawan kolonialisme bukan hanya soal mengusir penjajah, tetapi juga membangun kesadaran rakyat agar tak terjebak dalam pola pikir serakah dan diskriminatif.

Perjuangan Ki Hajar tak berhenti pada kata-kata. Bersama Ernest Douwes Dekker dan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij pada 1912, partai politik pertama yang secara terbuka menyerukan kemerdekaan Indonesia. Ketiganya, yang dikenal sebagai “tiga serangkai,” menjadi salah satu pelopor Kebangkitan Nasional.

Namun, idealisme mereka mengundang risiko. Karena sederet perlawanan lewat tulisan, aksi protes dan komite tandingan terhadap perayaan kemerdekaan Belanda, Ki Hajar ditangkap dan diasingkan. Mula-mula ke pulau Bangka, terus berlanjut ke negeri Belanda pada 1913.

Dasar pejuang, di pengasingan ia justru memperdalam wawasannya tentang pendidikan, yang kelak menjadi inti perjuangannya. Sekembalinya ke Indonesia pada 1919, Ki Hajar mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Taman Siswa bukan sekadar sekolah tapi gerakan yang bertujuan memberikan pendidikan setara bagi pribumi, yang selama ini terkungkung oleh sistem kolonial.

Filosofinya tercermin dalam semboyan ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani—di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan. Ini adalah pedoman kepemimpinan yang berpijak pada perilaku, bukan jabatan.

Sebagai ekspresi karakter dan perilaku, memimpin bisa dilakukan dimana saja: dengan atau tanpa jabatan; dan dari posisi manapun: baik di depan, di tengah, ataupun di belakang. Melalui konsep “pamong,” yang diterapkan di Taman Siswa, ia ingin menegaskan bahwa mendidik adalah memimpin, dan memimpin sejatinya adalah memberi teladan.

“Melawan kolonialisme tidak cukup dengan senjata, tetapi juga harus dengan kekuatan pikiran,” katanya. Baginya, pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, melainkan alat pembebasan. Pendidikan berarti ikhtiar membangun budi pekerti, gagasan, dan keberanian rakyat untuk menuntut hak-haknya, sekaligus menanamkan sikap anti-kolonial yang menolak mentalitas eksploitatif.

Prinsip pendidikan ini selaras dengan Pedagogy of the Oppressed karya Paulo Freire (1968), yang mengusung pendidikan sebagai alat pembebasan melalui kesadaran kritis. Pikiran Ki Hajar melampaui zaman, merumuskan model serupa 46 tahun sebelumnya, yang khas Indonesia: berpijak pada budaya lokal, gotong royong, dan anti-feodalisme.

Pada usia 40 tahun, ia melepas gelar bangsawan Raden Mas dan mengadopsi nama Ki Hajar Dewantara. Langkah revolusioner ini menegaskan pendiriannya yang egaliter, menolak feodalisme dan nepotisme, meruntuhkan sekat kasta dan privilese; seraya menanam benih-benih meritokrasi.

“Mulai sekarang tidak ada lagi sebutan Raden, tidak ada lagi beda antara bangsawan atau orang biasa. Pamong laki-laki disebut Ki, yang perempuan dan sudah menikah disebut Nyi, dan yang masih belum menikah dipanggil dengan sebutan Ni”, tegasnya.

Ketika dipilih menjadi anggota Konstituante, ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menteri Pendidikan pada 1951. Ia menolak konflik kepentingan, dan ingin memberi yang terbaik pada setiap peran yang dilakoninya.

Kepada anaknya ia pernah berkata, “Jangan risau kalau ada yang berpandangan negatif tentang ayahmu. Tapi kalau mereka bertanya siapa ayahmu, aku akan jawab: Aku adalah orang Indonesia, yang berbakti untuk Indonesia, dengan cara Indonesia. Aku akan berbuat yang terbaik bagi Indonesia, dan tidak akan mengambil satu sen pun yang bukan hakku.” Prinsip ini mencerminkan komitmennya pada kejujuran dan pelayanan publik.

Di hari Pendidikan Nasional 2025, yang ditandai oleh kelahiran Ki Hajar Dewantara, 136 tahun lalu, rasanya baik untuk merenung.

Pendidikan yang ia pilih sebagai jalan perjuangan telah membuahkan pembebasan. Tabiat dan tindak tanduknya untuk selalu menjaga nilai-nilai dan idealisme, telah menjadi pembuka jalan bagi terbentuknya Republik Indonesia, melalui perjuangan kemerdekaan.

Di tangan Ki Hajar, pendidikan bukan sekadar kurikulum, melainkan keberanian menegakkan nilai-nilai luhur dan menanamkan sikap anti-kolonial; anti pada keserakahan yang menzalimi rakyat.

Jalan idealisme Ki Hajar Dewantara tentu bukan jalan mudah, melainkan penuh liku, onak dan duri. Tetapi, jalan itu terbukti mampu membuahkan perubahan fundamental: dari gelap menjadi terang, dari inferior menjadi berani-percaya diri, dari sikap nrimo-pasrah menjadi perlawanan, dari tertindas menjadi terbebas, dari rakyat terjajah menjadi bangsa merdeka. Para pendidik dan kaum terpelajar harus terus mengobarkan semangat dan nilai-nilai Ki Hajar.

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2025. Dirgahayu para pendidik, pewaris teladan Sang Pembebas.

*) Sudirman Said adalah Ketua Institut Harkat Negeri

Copyright © ANTARA 2025

Pelajaran 100 Hari Pertama dan Pentingnya Penguatan Peran “Delivery Unit”

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah melewati usia 100 hari. Sejumlah catatan baik seperti tingkat kepuasan masyarakat yang mencapai 80 persen tentunya perlu diapresiasi. Namun, 100 hari pertama juga menyajikan pelajaran penting untuk perbaikan kedepannya.

Presiden Prabowo menduduki kursi Istana dengan membawa agenda-agenda yang ambisius seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sudah dijanjikan dari kampanye pemilihan presiden tahun lalu. Program MBG dan program-program prioritas kemenangan cepat (quick win) lainnya dieksekusi dengan segera di periode 100 hari pertama pemerintahannya. 

Ujian sebenarnya bagi pemerintah bukan hanya soal perumusan program atau kebijakan, tapi juga implementasinya. Ujian ini lah yang dapat dijadikan salah satu tolok ukur evaluasi 100 hari pertama pemerintahan. Kita perlu melihat bagaimana program masif seperti MBG diimplementasikan, dan tentunya menarik pelajaran dan hikmah agar pelaksanaannya lebih baik di hari ke-101 dan selanjutnya.

Tantangan Mengimplementasikan Ambisi dan Koordinasi

Jika kita memperhatikan tantangan-tantangan yang muncul dari tahap awal implementasi program-program ambisius seperti MBG, kita dapat melihat satu benang merah permasalahan: koordinasi. Program berskala besar seperti MBG melibatkan banyak Kementerian dan Lembaga (KL), baik itu di level nasional maupun di level daerah. Walaupun Presiden Prabowo mengamanatkan Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai pelaksana utama program MBG, tetap saja koordinasi dengan banyak pihak dibutuhkan agar pelaksanaannya berjalan sesuai rencana. 

Permasalah koordinasi tercermin dari ketidaksiapan penyediaan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang dibutuhkan sebagai pedoman pelaksanaan program MBG di beberapa daerah. Ketiadaan juklak dan juknis di masa awal implementasi tercatat di Provinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah, serta tercatat di Bantul, Kota Bogor, Kebumen, Madiun, Ngawi, Jombang, dan Cirebon. Permasalahan ini muncul walaupun dalam Peraturan Presiden No 83 tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional, BGN diamanatkan untuk menyelenggarakan fungsi koordinasi, perumusan, dan penetapan kebijakan teknis dalam tugas melaksanakan pemenuhan gizi nasional.

Catatan permasalahan koordinasi tersebut perlu segera diatasi oleh pemerintah agar implementasi program-program ambisius dapat berjalan lebih efektif. Ada banyak cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan implementasi dan memperlancar koordinasi. Salah satu cara yang sebetulnya sudah pernah dilakukan pemerintah Indonesia dan di banyak wilayah lain adalah dengan memperkuat peranan delivery unit.

Penguatan Peran Delivery Unit dan Pelajaran dari SBY

Delivery unit (DU) merupakan unit khusus dalam pemerintah yang bertugas memastikan pelaksanaan program-program prioritas berjalan dengan efektif. Salah satu DU pertama yang dibentuk di dunia bermula di Inggris pada era pemerintahan Perdana Menteri (PM) Tony Blair. DU tersebut dipimpin oleh Michael Barber, yang kemudian menuliskan intisari pengalamannya ke dalam buku berjudul How to Run a Government (2016). 

Dalam karyanya tersebut, Barber menyatakan bahwa DU bertugas memastikan agar program-program pemerintah tidak hanya terlaksana di atas kertas saja, melainkan sampai manfaatnya dirasakan oleh masyarakat. Untuk mencapai dampak tersebut, DU berperan sebagai penghubung kunci dari pemimpin pemerintahan dengan pelaksana lapangan, dengan menjaga fokus dan memecahkan berbagai permasalahan yang muncul. Selain itu, DU juga berperan sebagai fasilitator kerjasama dengan menghubungkan semua KL yang terlibat dalam program-program prioritas. Dengan kata lain, DU berperan sebagai titik pusat koordinasi yang dapat memecah kebuntuan dan mendorong keberhasilan implementasi.

Pemerintah Indonesia sebetulnya sudah berpengalaman dalam memanfaatkan DU untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan program-program prioritas. Pada tahun 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang baru memulai periode kedua pemerintahannya membentuk DU yang bernama Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Riwayat kerja UKP4 ini dijadikan salah satu studi kasus Innovations for Successful Societies yang diterbitkan oleh Princeton University (2013). 

Dalam studi kasus tersebut, disebutkan bahwa UKP4 berperan besar dalam mendorong keberhasilan program-program prioritas pemerintahan SBY. Unit ini bekerja untuk membantu menentukan prioritas, menyelesaikan kebuntuan (bottlenecks) dan menginformasikan presiden tentang progres setiap kementerian. Unit ini dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto yang telah memimpin Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias dan dikenal atas integritasnya, serta diisi oleh staf nonpartisan yang menandatangani pakta integritas yang menolak suap dan hadiah. Contoh konkret efektivitas UKP4 bahkan langsung terlihat pada 100 hari pemerintahan SBY, di mana UKP4 melaporkan bahwa 127 dari 129 rencana aksi prioritas telah diselesaikan.

Keberhasilan UKP4 sebagai suatu DU yang efektif dibangun di atas kerangka kerja yang menjawab tantangan implementasi dan koordinasi. Tugas pertama UKP4 adalah menyusun rencana aksi prioritas. Unit ini menerjemahkan visi-visi besar pemerintahan menjadi langkah-langkah konkret yang perlu diambil oleh KL pelaksana. Selanjutnya, UKP4 mengawasi pelaksanaan dari rencana aksi prioritas tersebut. Informasi yang dikumpulkan

dari pengawasan ini juga dilaporkan ke presiden. Jika UKP4 menemukan kebuntuan atau bottleneck, maka unit tersebut akan segera memecahkannya. Salah satu langkah yang sederhana namun efektif adalah mengumpulkan semua pihak yang terlibat dalam kebuntuan tersebut dalam satu pertemuan. Selain itu, sebagai upaya pengawasan tambahan, UKP4 juga membuka kanal pelaporan yang terbuka bagi semua warga negara untuk melaporkan permasalahan implementasi di lapangan. UKP4 berhasil menjawab tantangan koordinasi dengan efektif, dan menghubungkan semua pihak untuk memecahkan kebuntuan-kebuntuan.

Selain UKP4, ada banyak contoh dari negara-negara lain yang dapat dijadikan acuan. Malaysia sempat mengembangkan DU bernama Performance Management & Delivery Unit (PEMANDU) yang dijadikan contoh benchmark DU di berbagai negara lain di dunia. Begitupun dengan DU pertama di Inggris di bawah komando Michael Barber yang menjadi panutan pertama yang mempopulerkan konsep delivery unit. Namun, walaupun DU telah terbukti efektif di berbagai negara, terdapat satu benang merah yang sama yang menjadi faktor utama bagi keberlangsungan DU: kemauan politik dari pemimpin pemerintahan. UKP4, PEMANDU, dan DU yang dipimpin Michael Barber dibubarkan setelah pemimpin pemerintahan berganti, walaupun memiliki berbagai prestasi. Peranan pemimpin pemerintahan adalah kunci.

Sentralisasi Peranan Delivery Unit Sebagai Langkah Perbaikan

Presiden Prabowo dapat mengadopsi contoh keberhasilan dari UKP4 dan berbagai DU lain di dunia. Di atas kertas, sebetulnya Prabowo sudah memiliki delivery unit, yaitu Kantor Staf Presiden (KSP). Akan tetapi, Prabowo saat ini memiliki lembaga kepresidenan lain yang berpotensi memiliki tugas yang berkelindan dengan KSP, seperti Kantor Komunikasi Kepresidenan (KKK). Contohnya, dalam Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2024 tentang KKK, dijabarkan di pasal 4 bahwa KKK bertugas untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi informasi strategis antar KL terhadap kebijakan strategis dan program prioritas Presiden. Padahal, Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2019 tentang KSP menyebutkan di pasal 2 bahwa KSP bertugas dalam pengendalian program prioritas nasional dan pengelolaan isu strategis. 

Adanya beberapa lembaga setara yang memiliki peranan delivery unit berpotensi menghambat esensi kerangka kerja delivery unit itu sendiri. Idealnya, DU merupakan satu lembaga yang terpusat dan bertugas untuk menyelesaikan kebuntuan dengan cepat dengan menyelaraskan koordinasi antar KL yang terlibat. Dengan kata lain, jika ada dua lembaga yang memiliki peranan delivery unit, maka muncul lapisan koordinasi baru di antara mereka, dan justru dapat memperlambat penyelesaian kebuntuan.

Untuk itu, Presiden Prabowo dapat mempertimbangkan untuk memusatkan peranan delivery unit ke salah satu lembaga kepresidenan. Langkah selanjutnya adalah melakukan penguatan peran delivery unit tersebut agar dapat memastikan program-program prioritas nasional yang berskala masif dapat diimplementasikan dengan efektif dan memperkuat koordinasi dalam memecahkan kebuntuan. Dalam kasus program MBG, misalnya, delivery unit tersebut dapat membantu BGN dan semua KL terkait menentukan rencana aksi yang jelas, dan juga mengawasi pelaksanaannya. Jika terdapat suatu kebuntuan, delivery unit sebagai perpanjangan tangan presiden dapat memanggil semua pihak yang terkait agar permasalahan bisa diselesaikan dengan cepat. 

Seratus hari pertama tentunya tidak bisa dijadikan tolok ukur utama dalam menilai keberhasilan pemerintahan. Justru seratus hari pertama adalah ruang yang tepat untuk pembelajaran dan mengambil hikmah agar seratus, bahkan seribu hari selanjutnya mimpi dan visi pemerintahan dapat terwujud. Belum terlambat bagi Presiden Prabowo Subianto untuk memperkuat peranan delivery unit dan mendorong implementasi kebijakan yang lebih efektif serta menyelaraskan koordinasi. Pada akhirnya, delivery unit tak lain adalah aktor pendorong proses gotong royong menuju visi Indonesia yang lebih baik.

Memulihkan Norma Berbangsa

Indonesia memasuki usia ke-80 tahun sebagai negara merdeka pada tahun ini. Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, perjalanan negeri ini dipenuhi dinamika politik, sosial, budaya, dan ekonomi yang menempa dan membentuk karakter bangsa. Delapan dekade adalah usia yang cukup matang untuk mencapai konsensus nasional tentang prinsip-prinsip kebangsaan, dengan konstitusi sebagai fondasi hukum dan norma-norma sosial sebagai panduan moral. Keandalan bangsa ini sudah teruji selama berpuluh-puluh tahun berkat norma-norma yang tumbuh di tengah masyarakat. Namun, sebagai sebuah bangsa, saat ini kita mendapatkan ujian berat karena banyaknya pengabaian norma yang terus berulang, terutama dalam satu dekade terakhir, yang selanjutnya memunculkan pertanyaan besar: sejauh mana norma-norma ini masih dihormati dan dipegang teguh oleh bangsa ini?

Konstitusi Indonesia merupakan sumber hukum tertinggi yang membimbing arah kebijakan dan aturan negara. Sejak awal, konstitusi telah menjadi dasar dalam membangun sistem hukum yang menghargai demokrasi dan melindungi hak-hak warga negara. Empat kali amandemen konstitusi telah memperluas ruang demokrasi dan memperkuat jaminan hak-hak dasar. Namun, konstitusi sendiri tak cukup kuat tanpa didukung oleh norma sosial yang tumbuh dalam kesepakatan bersama masyarakat. Norma adalah elemen tak tertulis yang mengatur perilaku berdasarkan nilai-nilai yang dipegang oleh suatu komunitas. Norma berfungsi menjaga keteraturan dan solidaritas sosial dengan menetapkan batasan antara yang baik dan buruk.
Ketika norma sosial melemah, menurut Emile Durkheim, masyarakat akan mengalami anomie—kondisi di mana aturan kehilangan pengaruh atas perilaku individu. Pelanggaran norma bukan hanya masalah moral, melainkan ancaman bagi stabilitas sosial dan keberlangsungan bangsa. Pelanggaran terhadap aturan tertulis membawa konsekuensi hukum seperti sanksi pidana atau kewajiban ganti rugi. Namun, pelanggaran terhadap norma sosial memiliki dampak yang jauh lebih dalam: menurunkan kepercayaan publik, melemahkan solidaritas sosial, dan menciptakan fragmentasi di tengah masyarakat. Lebih buruk lagi, ketika pelanggaran norma terjadi secara kolektif dan dibiarkan tanpa konsekuensi, integritas moral bangsa pun dipertaruhkan, dan ancaman krisis yang lebih dalam tak terelakkan.
Dalam satu dekade terakhir, pelanggaran terhadap norma sosial semakin mencolok. Kebijakan publik yang memengaruhi kesejahteraan rakyat sering diambil tanpa partisipasi yang memadai. Kenaikan harga bahan bakar minyak, listrik, dan tarif tol adalah contoh kebijakan yang diumumkan tanpa dialog yang transparan dengan masyarakat. Norma keterbukaan dan partisipasi publik yang seharusnya menjadi ciri khas demokrasi deliberatif diabaikan, menunjukkan lemahnya etika komunikasi pemerintah kepada rakyat. Keputusan sepihak seperti ini menciptakan ketidakpercayaan yang merusak legitimasi demokrasi. Norma dalam sistem demokrasi mewajibkan pemerintah untuk melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kesejahteraan mereka. Mengabaikan prinsip ini mencerminkan kelalaian terhadap etika publik dan tanggung jawab moral.
Sejumlah buruh mengikuti aksi unjuk rasa di depan gedung DPR, Jakarta, Rabu (10/8/2022). Foto: Galih Pradipta/Antara Foto

Contoh lain yang cukup signifikan adalah pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang sarat masalah prosedural. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 menegaskan bahwa pembentukan UU tersebut cacat secara formil karena pelibatan publik yang minim. Norma partisipasi adalah elemen esensial dalam demokrasi deliberatif, di mana keputusan yang diambil harus melalui konsultasi dengan masyarakat. Legitimasi hukum terletak pada penghormatan terhadap proses pembentukan aturan, karena keadilan prosedural menjadi fondasi ketertiban sosial. Pelanggaran norma ini tak hanya memperlihatkan pengabaian terhadap prosedur, tetapi juga mencerminkan kegagalan mematuhi standar demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi.

Lebih mencolok lagi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan keluarga. Perubahan aturan yang membuka peluang bagi anak presiden untuk mencalonkan diri dalam kontestasi politik tingkat nasional adalah pelanggaran terhadap norma hukum, meritokrasi dan integritas politik. Ketika kekuasaan digunakan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu, hukum kehilangan otoritas moralnya, dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik melemah. Perilaku pengabaian norma oleh elit ini akan menyebar ke tingkat yang lebih luas dalam masyarakat, dan menciptakan iklim di mana penyalahgunaan wewenang dianggap wajar.

Menurut Transparency International, Indonesia berada di peringkat ke-96 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi 2024. Angka ini menunjukkan rendahnya tingkat kepercayaan terhadap tata kelola negara dan lemahnya penegakan hukum. Korupsi yang dibiarkan terus berkembang tanpa sanksi yang tegas mencerminkan pelanggaran norma yang telah menjadi bagian dari kebiasaan politik. Budaya permisif seperti ini semakin memudarkan harapan akan keadilan dan kesejahteraan sosial yang merata.

Immanuel Kant, dalam teorinya tentang imperatif kategoris, menekankan bahwa setiap tindakan harus dapat dijadikan prinsip universal. Norma moral tidak boleh bergantung pada tujuan pragmatis, melainkan harus menghormati manusia sebagai tujuan dalam dirinya sendiri. Kekuasaan yang digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok bertentangan dengan prinsip ini karena memperlakukan rakyat sebagai alat, bukan sebagai subjek yang memiliki hak dan martabat yang harus dihormati.
Tentang tantangan moral dalam kehidupan kolektif, Reinhold Niebuhr menyatakan bahwa manusia secara individu mungkin mampu bertindak berdasarkan moralitas tinggi, tetapi dalam kelompok besar, kepentingan egois cenderung mendominasi. Niebuhr menegaskan bahwa hanya kepemimpinan yang memiliki komitmen moral kuat yang dapat membawa perubahan dalam masyarakat yang telah tenggelam dalam krisis nilai. Kepemimpinan yang berintegritas harus menempatkan keadilan dan kebenaran di atas kekuasaan, serta berani menegakkan norma yang adil meski menghadapi tekanan politik.
Pemulihan norma adalah tugas berat yang menuntut keberanian politik dan komitmen moral. Presiden Prabowo Subianto kini menghadapi tantangan besar untuk memulihkan norma yang terus memburuk dan membangun kembali kepercayaan rakyat. Reformasi yang diperlukan tidak hanya berupa perubahan kebijakan, tetapi juga menciptakan budaya politik baru yang menempatkan nilai-nilai moral di atas kepentingan jangka pendek. Reformasi moral di Indonesia memerlukan perubahan nyata dalam perilaku para pemimpin yang harus menjadi teladan dalam menjunjung tinggi etika publik. Langkah nyata lain adalah penegakan hukum tanpa diskriminasi dan peningkatan transparansi kebijakan yang akan menjadi kunci untuk membangun kembali legitimasi moral dan sosial.

Masyarakat juga memiliki peran penting dalam menjaga norma-norma sosial. Kesadaran kolektif untuk tidak mentoleransi pelanggaran etika harus ditumbuhkan melalui pendidikan karakter dan penguatan nilai-nilai kebangsaan. Lembaga pendidikan, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, dan media perlu berkolaborasi dalam mempromosikan budaya integritas dan nilai-nilai kebangsaan. Dalam konteks demokrasi yang semakin dinamis, tanggung jawab moral bukan hanya milik para pemimpin, melainkan seluruh elemen bangsa. Rakyat harus berani menyuarakan kebenaran, menolak praktik korupsi, dan mendukung tata kelola yang transparan dan akuntabel.

Presiden Prabowo Subianto. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS

Kini, tanggung jawab besar berada di pundak Presiden Prabowo Subianto untuk memulihkan norma berbangsa yang mengalami penurunan nilai. Membangun kembali moralitas bangsa memerlukan upaya serius dan konsisten. Sebagaimana Durkheim menyatakan bahwa norma adalah fondasi kehidupan kolektif, bangsa yang kehilangan norma akan kehilangan arah, dan tanpa arah, peradaban suatu bangsa akan runtuh. Mengakhiri pelanggaran norma adalah langkah pertama dalam perjalanan panjang menuju kedewasaan demokrasi dan kebangkitan moral yang sejati. Hanya dengan kembali menghormati norma, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita sebagai bangsa yang bermartabat dan berkeadilan. Masa depan Indonesia ditentukan oleh norma dan moralitas keputusan para pemimpinnya hari ini.

Ibu Adalah Pusat Peradaban

(Sebuah Refleksi di Hari Ibu)

Dalam peradaban manusia, peran ibu tidak hanya sekadar sebagai pengasuh atau pendidik, tetapi juga sebagai pusat dari nilai-nilai kehidupan yang menjadi fondasi sebuah masyarakat. Ibu adalah sosok sentral dalam keluarga, sekolah pertama manusia, serta penjaga nilai dan moral generasi. Melalui kasih sayang dan pengorbanannya, ibu membentuk individu yang berkontribusi pada peradaban dunia.

Ibu Sebagai Pusat Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dari sebuah masyarakat, dan ibu berada di jantungnya. Sebagai seorang ibu, ia tidak hanya bertanggung jawab atas kelangsungan fisik anggota keluarganya tetapi juga menciptakan kehangatan, cinta, dan stabilitas emosional. Kehadiran ibu memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak-anak, sekaligus menjadi penghubung yang menyatukan seluruh anggota keluarga.

Seorang ibu berperan sebagai pengelola rumah tangga, pendidik informal, dan motivator. Ia adalah tempat pertama anak-anak belajar tentang kasih sayang, pengorbanan, dan empati. Dalam kehangatan pelukannya, seorang anak mendapatkan rasa percaya diri untuk menghadapi dunia. Tanpa kehadiran ibu, rumah tangga sering kehilangan arah dan harmoni.

Sekolah Pertama bagi Manusia

Ibu adalah sekolah pertama bagi manusia. Sebelum anak mengenal sekolah formal, ia telah mendapatkan pelajaran berharga dari ibunya. Melalui komunikasi sehari-hari, seorang ibu mengajarkan bahasa, etika, dan nilai-nilai dasar kehidupan. Dari ibu, seorang anak belajar tentang pentingnya kebenaran, kejujuran, dan tanggung jawab.

Selain itu, ibu juga menanamkan pendidikan karakter yang membentuk kepribadian anak. Ia mendidik dengan memberikan teladan langsung, menunjukkan bagaimana bersikap baik kepada orang lain, mengelola emosi, dan menghadapi tantangan hidup. Dengan demikian, ibu memainkan peran penting dalam membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga berintegritas.

Penjaga Nilai dan Moral Generasi

Salah satu tugas terpenting seorang ibu adalah menjadi penjaga nilai dan moral. Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh godaan, ibu memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga agar anak-anaknya tetap berada di jalur yang benar. Ia menanamkan nilai-nilai agama, budaya, dan etika yang menjadi bekal anak-anak dalam menjalani kehidupan.

Melalui nasihat dan pengajaran yang konsisten, ibu membantu anak-anak memahami pentingnya menghormati orang lain, bekerja keras, dan menjaga kejujuran. Ketika anak-anak menghadapi dilema moral, ibu sering menjadi tempat pertama mereka mencari bimbingan. Peran ini tidak hanya berpengaruh pada kehidupan individu tetapi juga pada keberlanjutan moral masyarakat.

 

Pengaruh Ibu dalam Peradaban

Peradaban manusia tidak akan mencapai titik seperti sekarang tanpa peran ibu. Dalam sejarah, banyak tokoh besar yang keberhasilannya tidak lepas dari peran seorang ibu di belakang mereka. Contohnya adalah Thomas Alva Edison, penemu terkenal, yang sangat menghormati ibunya, Nancy Matthews Elliott. Ketika Edison dianggap “terbelakang” oleh gurunya, ibunya mengambil alih pendidikannya di rumah dan memberinya keyakinan untuk terus belajar. Berkat ibunya, Edison mampu mengembangkan bakatnya dan memberikan kontribusi besar bagi dunia.

Demikian pula, Abraham Lincoln, presiden ke-16 Amerika Serikat, pernah berkata, “Segala sesuatu yang saya capai dan yang saya harapkan adalah karena ibu saya.” Ibu Lincoln, Nancy Hanks Lincoln, mengajarkan nilai-nilai kejujuran dan kerja keras yang membentuk karakter Lincoln sebagai pemimpin besar.

Tokoh lain adalah Imam Syafi’i, salah satu imam besar dalam Islam. Ibu beliau, meskipun hidup dalam keterbatasan, memastikan anaknya mendapatkan pendidikan terbaik, bahkan berjalan jauh untuk membawa Imam Syafi’i belajar dari para ulama terbaik. Dedikasinya menjadi inspirasi bagi lahirnya seorang ulama besar yang memengaruhi dunia Islam hingga kini.

Begitu juga dengan Mahatma Gandhi, pemimpin perjuangan kemerdekaan India yang terkenal dengan filosofi ahimsa (tanpa kekerasan). Ibu Gandhi, Putlibai, adalah seorang wanita religius yang mengajarkan nilai-nilai spiritual, kesederhanaan, dan pengendalian diri. Ajaran dan keteladanan ibunya membentuk karakter Gandhi sebagai pemimpin yang penuh kasih sayang dan teguh pada prinsipnya.

Di Indonesia, Soekarno, proklamator dan presiden pertama Republik Indonesia, memiliki hubungan yang sangat erat dengan ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai. Dalam berbagai kisah hidupnya, Soekarno kerap menyebut ibunya sebagai sumber inspirasinya. Dukungan dan doa ibunya selalu menguatkannya dalam perjuangan kemerdekaan. Soekarno sering mengatakan bahwa nilai-nilai keberanian dan kebijaksanaan yang dimilikinya banyak dipengaruhi oleh ajaran dan kasih sayang ibunya.

Ketika seorang ibu mendidik anak dengan nilai-nilai positif, ia sebenarnya sedang mencetak generasi yang akan membawa perubahan besar bagi dunia. Anak-anak yang dibesarkan dengan cinta dan moral yang kuat cenderung menjadi individu yang bertanggung jawab, peduli pada sesama, dan mampu memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat.

Tantangan Modern dan Peran Ibu

Di era modern ini, peran ibu menjadi semakin menantang. Banyak ibu yang harus membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Namun, tantangan ini justru mempertegas pentingnya peran ibu yang tak bisa diabaikan. Dengan kemajuan teknologi dan perubahan sosial, ibu harus tetap menjadi benteng bagi nilai-nilai moral.

Para ibu masa kini dituntut untuk terus belajar dan beradaptasi agar tetap relevan dalam mendidik anak-anak mereka. Mereka harus mampu mengimbangi pengaruh media, teman sebaya, dan lingkungan sosial yang dapat memengaruhi nilai-nilai anak. Dalam situasi ini, peran ibu sebagai mentor dan sahabat anak menjadi sangat penting.

Sebagai refleksi di hari Ibu, sosok ibu perlu ditempatkan kembali pada peran sebagai pusat keluarga dan peradaban, karena dari rahim dan asuhannya lahir individu-individu yang menjadi pembangun dunia. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita menghormati dan memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada ibu, karena tanpa mereka, peradaban manusia tidak akan pernah mencapai kemajuannya yang luar biasa.

Koperasi sebagai Metode untuk Membangun Perekonomian

Tantangan besar yang dihadapi koperasi saat ini adalah mengubah persepsi publik yang menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak relevan. (Foto: ekbis.sindonews.com)

Di tengah gempuran kapitalisme, koperasi sering dipandang sebelah mata. Terkesan kuno, tidak relevan dengan gaya hidup modern yang serba cepat dan kompetitif. Dalam dunia yang serba cepat, koperasi sering dianggap sebagai artefak masa lalu. Namun di balik stigma “jadul” tersebut, tersimpan potensi besar yang justru sangat relevan dalam dunia digital saat ini.

Koperasi, dengan adalah bentuk ekonomi yang didasarkan pada prinsip-prinsip gotong royong dan kepemilikan bersama. Bukan sekadar nostalgia, koperasi bisa menjadi solusi bagi keadilan dan keberlanjutan ekonomi. Di tengah ketidakpastian global dan ketimpangan yang semakin melebar, koperasi menawarkan sebuah jalan lain—jalan yang lebih manusiawi dan seimbang.

Mengubah Paradigma: Koperasi sebagai Gaya Hidup Kekinian

Tantangan besar yang dihadapi koperasi saat ini adalah mengubah persepsi publik yang menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak relevan. Padahal, dengan sentuhan teknologi dan inovasi, koperasi justru bisa menjadi sangat menarik dan mudah diakses siapa saja.

Dengan penggunaan teknologi seperti blockchain misalnya, transparansi dan akuntabilitas koperasi bisa ditingkatkan, sehingga kepercayaan masyarakat pun semakin terjaga.

Tidak hanya itu, koperasi juga bisa memanfaatkan media sosial dan e-commerce untuk memasarkan produk-produk anggotanya secara lebih luas. Dengan begitu, koperasi bukan hanya menjadi wadah untuk saling membantu, tapi juga menjadi mesin penggerak ekonomi.

Teknologi bisa menjadi jembatan yang menghubungkan tradisi dengan modernitas. Ini bukan hanya soal mempertahankan eksistensi koperasi, tapi juga tentang menghidupkan kembali semangat kolektivitas dalam bentuk yang lebih modern dan inklusif.

Untuk membawa koperasi ke dalam gaya hidup modern, kita perlu mengubah narasi yang ada. Koperasi bukanlah sekadar model ekonomi, tapi juga sebuah gerakan sosial. Ini tentang membangun solidaritas, menciptakan hubungan yang lebih erat di antara anggota, dan memberikan dampak positif pada masyarakat luas. Dengan mengedukasi publik tentang manfaat koperasi, kita bisa mengundang generasi muda untuk melihat koperasi bukan hanya sebagai sesuatu yang “jadul,” tetapi sebagai sesuatu yang “trendi” dan relevan dengan kehidupan mereka.

Menuju Ekonomi yang Lebih Adil dan Berkelanjutan

Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, koperasi menawarkan kesempatan untuk menciptakan ekonomi yang lebih inklusif dan memberdayakan. Di sini, keuntungan bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk membangun solidaritas dan mencapai kesejahteraan bersama.

Alih-alih kehilangan relevansi dan dianggap sebagai bagian dari masa lalu, koperasi justru bisa menjadi solusi untuk menciptakan sistem ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan.

Koperasi adalah tentang mengembalikan ekonomi kepada masyarakat, tentang membangun sistem yang adil, di mana setiap orang memiliki suara dan kesempatan yang sama. Di era di mana banyak hal tampak tidak pasti, koperasi memberikan sebuah harapan—bahwa ada cara lain, cara yang lebih baik, untuk membangun masa depan bersama.

 

Penulis :  Zikki Zaelani

Menjadi Kota Global

world | Porapak Apichodilok

Beberapa lembaga dan peneliti seperti Global Power City Index (GPCI) oleh Mori Memorial Foundation dan Global Cities Index oleh A.T. Kearney memiliki kriteria dan indikator spesifik untuk mengukur tingkat keglobalan sebuah kota. Ada enam karakteristik utama kota global dengan mengevaluasi tujuh puluh indikator untuk melihat keglobalan sebuah kota menurut GPCI di antaranya, sektor ekonomi, riset dan pengembangan, interaksi multikultural, kemudahan kehidupan, alam dan lingkungan, dan aksesibilitas warganya.

Dari segi ekonomi, kota memiliki kebebasan ekonomi di mana para pelakukan memiliki kebebasan untuk melakukan kegiatan ekonomi, dapat masuk dan bersaing sehat di pasaran, dan dilindungi dari praktik-praktik kegiatan ekonomi yang agresif. Artinya, kebijakan ekonomi yang dibuat di kota tersebut akan menjadi barometer tata kelola perekonomian bagi kota-kota dan daerah lain sehingga perkembangan daerah lain akan mengacu pada kesuksesan gerak perekonomian terintegrasi.

Kota global tidak pernah tinggal diam. Riset dan pengembangan terus menerus dilakukan sehingga tujuan bersama dapat menjadi misi bersama yang dilaksanakan oleh seluruh elemen kota baik itu warga, sektor swasta dan sosial yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kota, dan pemerintah daerah yang memayungi dan mendukung tata kelola kota lewat regulasi dan fasilitas umum bagi warganya.

Dari sisi sosial dan budaya, kota global memiliki interaksi multikultural dan menjadi rumah bagi berbagai kelompok etnis, budaya, dan agama. Biasanya kota global memiliki pusat kebudayaan yang tidak hanya menjadi potret etnis dan budaya asli kota tersebut namun juga menjadi wadah bagi kebudayaan lain di negara tersebut dan bahkan mancanegara. Kota global menarik turis dan bahkan investor agar interaksi multikultural dapat terjadi dalam tenang. Ini seperti memimpikan kedamaian interkultural dialami kembali setelah menunggu kurang lebih 1.600 tahun di negeri ini.

Gambar 1 Laporan tingkat keglobalan kota di seluruh dunia menurut Global Power City Indeks. (Data diambil dari situs resmi GPCI 2022)

Kota global menuntut kemudahan berkehidupan lebih. Biaya hidup di kota global disanggupi oleh seluruh warganya. Karenanya akses pada kesempatan bekerja dan mencari nafkah memegang peranan penting dalam hal ini. Tujuannya agar seluruh warga bisa hidup. Kebebasan dalam berekspresi serta menjaring kebutuhan warga akan meningkatkan keinginan warga dan pendatang untuk berada dan menjadi bagian dari kota yang menyenangkan. Sehingga kotanya terbilang berkembang sebab pemerintah kota memberi kesempatan dan mendukung warganya untuk mengembangkan diri. Warga perlu merasa aman dan dapat keluar rumah tanpa mengenal jam malam, sebab sistem keamanan di kota tersebut mampu melindungi warga dari ancaman. Kendali pada bagian ini akan mempengaruhi tingkat mobilitas, kemampuan warga untuk mengaktualisasi diri, serta kebahagiaan ketika menetap di kota tersebut.

Aspek alam dan lingkungan juga menjadi yang terpenting untuk ditata dan dikelola. Kebutuhan dasar yang seyogyanya bisa didapat dari alam dikelola oleh pemerintahnya sehingga warga tidak hanya bisa mendapati sisi estetika kota lewat kota yang bersih dan alam yang indah, tapi kebutuhan akan tanah yang baik, air yang dapat diminum, serta udara yang dapat dihirup menjadi satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.

Last but not least adalah aksesibilitas warga. Pandemi menghentikan kegiatan luar ruang untuk beberapa tahun lamanya. Pemberhentian sesaat ini mengajarkan pemerintah kota keterampilan baru tata kelola sehingga warganya bisa mendapatkan kemudahan dalam melakukan kegiatan mereka sehari-hari. Perubahan regulasi diselenggarakan dengan memperhitungkan setiap aspek di setiap lini dengan cermat.

Mengacu pada laporan Global Power City Index 2022 New York (362,5), London (324,5), Zurich (300), Beijing (298,6), dan Tokyo (292) adalah kota global dengan skor tertinggi. Singapura mewakili Asia Tenggara di urutan keenam dengan skor 286,3. Jakarta diberi skor 64,9 pada laporan global ini. Masih banyak yang perlu dikejar ternyata…

 

Penulis :  Zikki Zaelani
Editor :  Sophia Louretta | IHN

Sumber:

https://mori-m-foundation.or.jp/english/ius2/gpci2/2022.shtml

https://mori-m-foundation.or.jp/pdf/GPCI2022_summary.pdf

Harapan Warga: Jakarta Kota Global yang Humanis

White clouds with sun piercing trought it | Tom Fisk

Menebar mimpi narasi Jakarta akan menjadi kota global selepas status ibu kota banyak kali ditebar oleh media masa dan para buzzer (Ind. pendengung). Tanpa dibekali pengetahuan yang cukup tentang kota global, warga Jakarta dan sekitarnya memiliki mimpi dan harapan akan Jakarta.

Dalam paparan hasil survei cepat yang diadakan oleh Pusat Kajian Kepemudaan (PuskaMuda) pada Januari 2022 terhadap 500 warga Jabodetabek tentang ”Menata Jakarta Usai Ditinggal Ibu Kota” menunjukkan bahwa 61.5% responden yakin akan ada perubahan di Jakarta setelah tak lagi menjadi ibu kota negara (IKN).

Selain dua puluh lima persen responden yang berpendapat bahwa Jakarta akan tetap sama saja seperti kebiasaannya pasca pindahan ibu kota, mayoritas responden berpendapat perubahan akan  terjadi pada lalu lintas, layanan transportasi umum yang lebih nyaman, dan kembalinya perhatian pemerintah pada masyarakat dan budaya Betawi karena Pemerintah Provinsi (Pemprov) tak lagi sibuk mengurusi pemerintah pusat. juga responden percaya bahwa Jakarta akan memiliki sikap sosial dan solidaritas antar warga yang lebih baik, begitu juga baku mutu terhadap lingkungan seperti air dan udara juga akan membaik.

Gambar 1 Hasil survei cepat oleh Pusat Kajian Kepemudaan (PuskaMuda) awal Januari 2022 terhadap 500 warga Jabodetabek. Salah satu survei itu menanyakan peluang perubahan Jakarta jika tidak lagi menjadi ibu kota negara. (Data Kompas.id, 5 Februari 2022)

Tapi alasan mereka yang tidak setuju pun juga punya alasan yang masuk akal (58.8%). Mereka menganggap Jakarta memiliki nilai historis yang kental untuk dijadikan IKN. Menariknya, meski mayoritas responden mengatakan ada perubahan, hampir 60% dari responden mengatakan keberatan mereka atas perpindahan IKN ini dan terdapat hampir 12% responden yang tidak peduli. Pada mereka yang tidak setuju, mereka merasa bahwa pemindahan IKN ke Kalimantan Timur akan mengakibatkan perusakan alam karena Kalimantan adalah paru-paru dunia. Selain itu mereka juga merasa keputusan ini terlalu gegabah dan akan menguras kocek APBN. Sedangkan saat itu penanganan Pandemi masih perlu fokus digarap.

Meraih Peluang, Hadapi Tantangan

Kementerian Dalam Negeri memberikan keleluasaan bagi warga Jakarta untuk menentukan nasibnya sendiri. Jakarta bisa menjadi kota bisnis dan Jakarta bisa juga jadi kota global; atau yang lain? Selama ini Jakarta telah menjadi pusat perekonomian, jalur dan pusat perdagangan, menjadi pintu masuk dunia luar tersebar ke seluruh penjuru Indonesia.

Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2019-2022 mengatakan bahwa Jakarta punya beban ekonomi yang besar dan ini mempengaruhi Indonesia secara keseluruhan. Ia yakin Jakarta akan bisa seperti New York yang menjadi pusat ekonomi dan bisnis dunia. Hal ini diamini oleh Ketua Komisi III DPD RI Sylviana Murni yang merasa optimis Jakarta selama ini bisa mandiri keuangan dan dapat menjadi kota yang berdaya saing global. Jakarta juga bisa menjadi kota pendidikan dan budaya, tambahnya.

Gambar 2 Pekerja melintas di jalur pedestrian jalan protokol Jenderal Sudirman di kawasan Setia Budi, Jakarta Selatan, Senin (3/1/2022). Aktivitas perkantoran mulai kembali aktif setelah libur Tahun Baru 2022. (Data Kompas.id, 5 Februari 2022)

Kepala Dinas Bina Marga mengatakan, saat ini Jakarta terus membangun infrastruktu sehingga Jakarta dapat menjadi smart city. Kendati investasinya tidak mudah dan tidak murah, diharapkan langkah ini dapat mengurangi pengeluaran APBN dan APBD dalam jangka panjang. Spirit yang sama juga ditularkan pada pengembangan infrastruktur digital sehingga Jakarta dapat melayani warga dan para pemangku kepentingan lebih efektif dan efisien.

Sylviana mengingatkan dalam proses transisinya, Pemda mesti membenahi permasalahan Jakarta dan menyelamatkan aset-aset kementerian terkait, termasuk beberapa proyek yang sedang digarap. Mudah-mudahan Pemda tengah mempersiapkan langkah sat-setnya agar dalam periode transisi tidak perlu ada aset mangkrak atau terabaikan.

Jakarta punya pilihan jadi apa pun. Lebih tepatnya, warga Jakarta bebas leluasa untuk menentukan menjadi apa yang mereka mau. Pemprov tentunya wajib mendengarkan dan menjalankan amanat ini. Saat ini pemberitaan masih menyebut Jakarta dalam artikel-artikel yang mengkaitkannya dengan tuduhan korupsi. Bukan ini tentunya citra Jakarta yang warga harapkan ke depannya. Sebagai kota inspirasi, boleh lah kita memberikan inspirasi yang baik-baik—Jakarta di mana warganya peduli, hidup tanpa rasa takut, dan bangga dengan kotanya.

Penulis :  Zikki Zaelani
Editor :  Sophia Louretta | IHN

Sumber:

https://www.kompas.id/baca/metro/2022/02/04/nasib-jakarta-dinilai-lebih-baik-setelah-tidak-jadi-ibu-kota-negara

Pindah Ibu Kota Tak Selesaikan Masalah Macet dan Banjir

Jakarta-Indonesia | Tom Fisk

Jakarta, kota megapolitan yang telah lama menjadi pusat pemerintahan, kini telah resmi menyerahkan tongkat estafet ibu kota kepada Nusantara (IKN Nusantara). Keputusan bersejarah ini diharapkan menjadi keputusan win-win bagi Jakarta-Penajam Paser Utara: sama-sama membuka lembaran baru dengan berbagai peluang, harapan, dan tantangan yang menanti di masa depan.

Tak lagi jadi ibu kota negara, Jakarta masih harus bergulat dengan masalah-masalah klasik. Banjir melanda tak tentu di seluruh wilayah saat musim hujan; rob adalah barang wajib bagi mereka yang tinggal di Utara Jakarta; diperparah oleh perubahan iklim kesemuanya menjadi tantangan alam bagi warga Jakarta.

Belum selesai masalah banjir, los-losan jualan kendaraan bermotor di Jakarta selama ini telah menjadikan ibu kota kita meraih ‘juara kedua’ sebagai kota termacet terparah di Asia. Kemacetan ini membuat 65 jam dalam setahun hilang. Dikutip dari Otodriver.com, untuk menempuh 10 km setiap pengendara mobil perlu 19 menit untuk berkendara.

Gambar 1 Jakarta urutan kedua di Asia. Data real time diambil pada Sabtu, 29 Juni 2024 17.35 WIB. (Data diambil dari situs resmi Inrix)

Meski menurut Inrix, Jakarta sudah tidak lagi masuk ke dalam 10 kota termacet dunia, situs pemantau kualitas udara IQAir dalam World Air Quality Report 2024 menyebut Indonesia pada urutan kedua sebagai negara dengan rata-rata kualitas udara terburuk di dunia. Kementerian Kesehatan mengkonfirmasi Jakarta sebagai salah satu dari kota dengan penderita ISPA  tertinggi.

Selain Jakarta, IQAir juga menyebut Batam sebagai daerah dengan 5 kota dengan kualitas udara terburuk. Jakarta memiliki konsentrasi tahunan PM 2,5 yang 8 kali lebih buruk dari standar pedoman WHO yaitu sebesar 43,8 ug/m3 (mikrogram per meter kubik). Ini artinya polusi udara Jakarta dapat mengganggu mereka yang punya riwayat ISPA.

Gambar 2 Jakarta memiliki kualitas udara terburuk kedua di dunia. Data real time diambil pada Sabtu, 29 Juni 2024, pukul 17.35 WIB. (Data diambil dari situs resmi IQAir)

Dalam analisanya DPR RI memberikan kajian akademik berjudul Dampak Ekonomi dan Risiko Pemindahan Ibu Kota Negara mengatakan pemindahan ini dibuat dalam rangka mengakselerasi pemerataan ekonomi sekaligus mengurangi kesenjangan antara Pulau Jawa dan luar Jawa. Pulau Jawa mengambil bagian 56% dari total populasi di Indonesia.

Jakarta sendiri diharapkan akan bertransisi menjadi kota global dan tetap menjadi inspirasi pembangunan di daerah lain di Indonesia. Untuk menjadi kota global yang layak, Jakarta mesti perlu mengejar banyak sekali ketinggalan. Terutama dan terdepan mesti menjawab tantangan masa depan dan menyelesaikan masalah masa lampau dan sekarang.

Sebagai bagian dari kota, warga Jakarta tidak boleh tinggal pragmatis menikmati fasilitas yang diberikan oleh kota tercinta kita ini. Yang menjadikan Jakarta sebagai kota global bukan lain yaitu warganya. Sebagaimana daerah menentukan sikap dan budaya warganya, sebaliknya, warga juga bisa menjadi penentu wajah dari daerahnya.

Baik banjir dan buruknya kualitas udara jangan diambil sebagai tantangan alam yang niscaya terjadi dan warga tak bisa melakukan apa-apa. Mengurangi macet dengan menggunakan kendaraan umum terintegrasi adalah upaya termudah dan termurah agar bisa memperbaiki kualitas udara. Sadar akan pengelolaan sampah pun juga bisa menghindarkan warga Jakarta dari banjir. Tentu didukung dengan regulasi dari Pemerintah Daerah, banjir dapat diatasi. Kalau Belanda bisa, masak kita gak bisa?

Penulis :  Zikki Zaelani
Editor :  Sophia Louretta | IHN

Editor: Sophia Louretta

https://inrix.com/scorecard/

https://www.iqair.com/world-air-quality-ranking

https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/blog/20240108

/5644635/polusi-ancam-saluran-pernapasan/

Jakarta: Kota Pemikat Hati

Jakarta-Indonesia | Tom Fisk

Jauh sebelum kita menikmati kemudahan Jakarta yang sekarang, tempat ini sudah menjadi rebutan para pedagang mengambil keuntungan dari Kalapa, nama pelabuhan Kerajaan Sunda ketika itu. Kalapa sering disebut dalam jurnal pribadi para pengembara asal Eropa dari abad 16. Saat dikooptasi oleh para pedagang Portugis pada tahun 1527, Pangeran Fatahillah mengambil alih pendudukan tepat pada tanggal 22 Juni, yang berabad setelahnya dijadikan hari jadi Jakarta.

Fase demi fase pendudukan Kalapa terjadi hingga namanya berganti dari masa ke masa. Pasca pengusiran Portugis membuat Kalapa berganti nama menjadi Jayakarta. Kemahsyuran Jayakarta menarik perhatian serombongan VOC yang kemudian merebutnya dan mengubah namanya menjadi Batavieren, nama yang diambil dari nenek moyang bangsa Belanda. Meski pengusiran pendudukan Belanda sudah diperjuangkan berulang kali hingga misi pembunuhan berencana petinggi Belanda, Jan Pieterzoon Coen, oleh Nyai Utari Sandijayaningsih, seorang telik sandi asal Desa Keramat, Tapos, Depok, dinyatakan berhasil, namun pengusiran tersebut tidak berhasil memukul mundur Belanda sepenuhnya, hingga tiga ratus tahun kemudian.

Gambar 1 Jakarta jaman pendudukan VOC. (gambar diambil dari situs resmi Pemprov DKI Jakarta)

Saat negara lain di Eropa saling berebut nama lewat ideologi, sains, koersi wilayah, dan industri, Belanda yang bersaing dengan cara yang berbeda. Mereka memilih penguasaan terhadap jalur perniagaan sebagai pemenuhan kebutuhan orang-orang di Eropa yang terlalu sibuk berperang. Merasa di atas angin sebab nemu ‘harta karun’ di nusantara, Pemerintah Belanda menjadikan nusantara  sebagai bagian dari koloninya; macam tanah air ini tak bertuan.Strategis secara geografis, Batavia dijadikan pintu utama pengiriman komoditas hasil bumi: gula. Sedemikian mahalnya ketika itu produk tersebut hingga Belanda menjadi negara kaya di Eropa karena komoditas ini.

Dalam kekuasaannya, Coen mengatur kota. Bangunan-bangunan dibuat dalam bentuk blok. Tembok luar dibuat tebal laksana benteng yang ketika memasuki gerbangnya maka kita perlu melewati jembatan di atas parit-parit besar yang ditebing baik; kini kita mengenalnya dengan istilah normalisasi; sekarang kita bisa temui peninggalannya di area konservasi Kota Tua. Batavia digunakan sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian. Berabad setelahnya Batavia berkembang, Pemerintah Belanda memberikan imbuhan di depan kata Batavia untuk memperjelas status perkotaannya, seperti stad yang berarti kota dan gemeente yang diterjemahkan sebagai kotamadya.

Awal abad 20 situasi politik di Eropa berubah, membuat Belanda melemah. Pemberontakan oleh pribumi dirasakan mendesak Pemerintah Belanda. Ketika Belanda diserang Jerman hingga ratunya perlu mengungsi ke London, Inggris, dengan dalih ingin memenuhi pasokan pangannya, Jepang mengambil momentum ini untuk melakukan perjanjian dagang yang lebih tepat disebut sebagai opresi dagang. Jepang kala itu menjadi negara adikuasa baru di Asia berhasil membuat Pemerintah Belanda di Batavia pergi.

Menduduki Batavia, Jepang menggunakan fasilitas peninggalan Pemerintah Belanda untuk menjadi penguasa baru. Tak lama kemudian, Batavia berganti nama menjadi Jakaruta Tokubetsu Shi, yang berarti “jauhkan perbedaan”. Senafas dengan moto mereka ketika mempersuasi pribumi dengan bilang “saudara jauh dari Timur”, bukan? Kota yang telah rapi tertata dengan sistem administrasi dan tata kelola, pesisir telah memiliki sistem pasar, pengiriman logistik yang terkelola baik, memudahkan Jepang dalam menancapkan cakar mereka di Jakaruta.

Pemboman Hiroshima Nagasaki membuat Jepang menyerahkan pemerintahan kepada Soekarno dan Hatta; Indonesia pun memproklamirkan kemerdekannya. Sebagai tanda perubahan kekuasaan, Jakaruto Tokubetsu Shi kemudian berubah menjadi Jakarta.

Gambar 2 Situasi Jakarta saat proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. (Gambar diambil dari situs resmi Pemprov DKI Jakarta)

Sedari dulu tempat ini-Jakarta adalah tempat hidup yang menghidupkan dan juga mematikan. Banyak nyawa hilang agar kita bisa menikmati Jakarta yang sekarang. Ke Jakarta aku ‘kan kembali, kata Koes Ploes dalam lagunya, tepat rasanya, sebab Jakarta adalah magnet yang menggerakkan jantung setiap insan yang hidup di sana. Jakarta berevolusi. Lebih sedikit dari setengah abad, kerasnya Jakarta membuat rasa tentang Jakarta berbeda dan itu dituangkan oleh Nikki pada lagunya High School in Jakarta, di mana kerasnya hidup membuat frustrasi orang-orang di dalamnya dan memiliki masalah mental.

Kini Jakarta akan berevolusi sekali lagi. Ulang tahunnya yang ke-497 menjadi ulang tahun terakhir Jakarta sebagai ibu kota. Ia telah selamat di setiap tikungan dinamika perubahannya dalam tujuh belas abad.

Selamat ulang tahun Jakarta dan selamat atas lulusnya Jakarta sebagai ibu kota.

Semoga Jakarta menjadi kota yang hidup dan menghidupkan… selalu.

Penulis : Sophia Louretta | IHN

Sumber:

https://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta

https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Jakarta

https://www.jakarta.go.id/sejarah-jakarta

https://news.detik.com/berita/d-6782533/sejarah-nama-jakarta-dari-masa-ke-masa-sejak-1527-hingga-kini

https://lib.litbang.kemendagri.go.id/index.php?p=show_detail&id=1367&keywords=

https://intisari.grid.id/read/033762645/kisah-nyimas-utari-sandijayaningsih-telik-sandi-mataram-yang-berhasil-membunuh-petinggi-voc?page=all

https://intisari.grid.id/read/033762645/kisah-nyimas-utari-sandijayaningsih-telik-sandi-mataram-yang-berhasil-membunuh-petinggi-voc?page=all

https://en.wikipedia.org/wiki/Stad#:~:text=Stad%20is%20the%20word%20for,and%20related%20to%20German%20Stadt.

https://dictionary.cambridge.org/dictionary/dutch-english/gemeente#:~:text=noun,or%20belonging%20to%20a%20church

https://id.wikipedia.org/wiki/Kembali_ke_Jakarta

https://lyrics.lyricfind.com/