Semua pasti kenal Albert Einstein dan Leonardo Da Vinci. Dua orang jenius ini memiliki keterampilan ambidextrous. Apa maknanya? Sir Thomas Browne (1646), seorang dokter yang juga penulis, berkebangsaan Inggris mendefinisikan istilah ambidexterity dengan, “orang-orang yang kedua sisi indranya dapat berfungsi sama baiknya”.
“Einstein dapat menulis sama baiknya, dengan tangan kiri maupun kanannya. Tangan kirinya juga mahir memainkan biola. Demikian pula Da Vinci, jejak sejarahnya mengatakan ia melukis dengan kedua tangannya, baik kanan maupun kiri.”

Cerita di atas adalah makna teknis dari ambidexterity. Bisakan kita memaknai kapasitas semacam itu dengan lebih luas, lebih filosofis? Bila diterjemahkan lebih luas, maka sikap ambidextrous adalah kesiapan untuk melengkapi diri dengan sebanyak mungkin keterampilan, dengan mengoptimalkan kemampuan tak sekadar fisik kita, tetapi juga mental model, dan kemampuan otak kita. Filosofi ambidextrous juga bisa dimaknai dengan kesiapan untuk menjalani berbagai peran dan tugas, dalam ketidakpastian; dalam suasana terbaik, maupun dalam keadaan terburuk sekalipun.
Bila bukan pejabat struktural, ia bisa jadi spesialis. Bila tak ada kesempatan jadi spesialis, turun pangkat pun siap, tak harus merasa turun martabat. Bila tak ada kerja kantoran, bisa juga menjalankan usaha kecil-kecilan. Sebagai praktisi, ia juga terampil menjadi pembicara dan pendidik, pun antusias untuk menjadi penulis dan story teller.
“Dapatlah dikatakan, manusia ambidextrous adalah manusia yang terus melengkapi diri dengan segala keterampilan: memimpin dan dipimpin, keterampilan teknis dan manajerial, berbicara dan menulis, belajar dan mengajar, menjadi karyawan dan menjalankan bisnis, hingga menjadi penggerak organisasi sosial kemasyarakatan.

“Bagi manusia ambidextrous, ketidakpastian adalah sumber gairah baru, karena di dalamnya ada kesempatan besar untuk belajar, bergelut, dan hidup bersama, co-exist dengan hal-hal baru.