
Memulihkan Norma Berbangsa
Indonesia memasuki usia ke-80 tahun sebagai negara merdeka pada tahun ini. Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, perjalanan negeri ini dipenuhi dinamika politik, sosial, budaya, dan ekonomi yang menempa dan membentuk karakter bangsa. Delapan dekade adalah usia yang cukup matang untuk mencapai konsensus nasional tentang prinsip-prinsip kebangsaan, dengan konstitusi sebagai fondasi hukum dan norma-norma sosial sebagai panduan moral. Keandalan bangsa ini sudah teruji selama berpuluh-puluh tahun berkat norma-norma yang tumbuh di tengah masyarakat. Namun, sebagai sebuah bangsa, saat ini kita mendapatkan ujian berat karena banyaknya pengabaian norma yang terus berulang, terutama dalam satu dekade terakhir, yang selanjutnya memunculkan pertanyaan besar: sejauh mana norma-norma ini masih dihormati dan dipegang teguh oleh bangsa ini?

Contoh lain yang cukup signifikan adalah pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang sarat masalah prosedural. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 menegaskan bahwa pembentukan UU tersebut cacat secara formil karena pelibatan publik yang minim. Norma partisipasi adalah elemen esensial dalam demokrasi deliberatif, di mana keputusan yang diambil harus melalui konsultasi dengan masyarakat. Legitimasi hukum terletak pada penghormatan terhadap proses pembentukan aturan, karena keadilan prosedural menjadi fondasi ketertiban sosial. Pelanggaran norma ini tak hanya memperlihatkan pengabaian terhadap prosedur, tetapi juga mencerminkan kegagalan mematuhi standar demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi.
Lebih mencolok lagi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan keluarga. Perubahan aturan yang membuka peluang bagi anak presiden untuk mencalonkan diri dalam kontestasi politik tingkat nasional adalah pelanggaran terhadap norma hukum, meritokrasi dan integritas politik. Ketika kekuasaan digunakan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu, hukum kehilangan otoritas moralnya, dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik melemah. Perilaku pengabaian norma oleh elit ini akan menyebar ke tingkat yang lebih luas dalam masyarakat, dan menciptakan iklim di mana penyalahgunaan wewenang dianggap wajar.
Menurut Transparency International, Indonesia berada di peringkat ke-96 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi 2024. Angka ini menunjukkan rendahnya tingkat kepercayaan terhadap tata kelola negara dan lemahnya penegakan hukum. Korupsi yang dibiarkan terus berkembang tanpa sanksi yang tegas mencerminkan pelanggaran norma yang telah menjadi bagian dari kebiasaan politik. Budaya permisif seperti ini semakin memudarkan harapan akan keadilan dan kesejahteraan sosial yang merata.
Masyarakat juga memiliki peran penting dalam menjaga norma-norma sosial. Kesadaran kolektif untuk tidak mentoleransi pelanggaran etika harus ditumbuhkan melalui pendidikan karakter dan penguatan nilai-nilai kebangsaan. Lembaga pendidikan, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, dan media perlu berkolaborasi dalam mempromosikan budaya integritas dan nilai-nilai kebangsaan. Dalam konteks demokrasi yang semakin dinamis, tanggung jawab moral bukan hanya milik para pemimpin, melainkan seluruh elemen bangsa. Rakyat harus berani menyuarakan kebenaran, menolak praktik korupsi, dan mendukung tata kelola yang transparan dan akuntabel.

Kini, tanggung jawab besar berada di pundak Presiden Prabowo Subianto untuk memulihkan norma berbangsa yang mengalami penurunan nilai. Membangun kembali moralitas bangsa memerlukan upaya serius dan konsisten. Sebagaimana Durkheim menyatakan bahwa norma adalah fondasi kehidupan kolektif, bangsa yang kehilangan norma akan kehilangan arah, dan tanpa arah, peradaban suatu bangsa akan runtuh. Mengakhiri pelanggaran norma adalah langkah pertama dalam perjalanan panjang menuju kedewasaan demokrasi dan kebangkitan moral yang sejati. Hanya dengan kembali menghormati norma, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita sebagai bangsa yang bermartabat dan berkeadilan. Masa depan Indonesia ditentukan oleh norma dan moralitas keputusan para pemimpinnya hari ini.