Memulihkan Norma Berbangsa

Indonesia memasuki usia ke-80 tahun sebagai negara merdeka pada tahun ini. Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, perjalanan negeri ini dipenuhi dinamika politik, sosial, budaya, dan ekonomi yang menempa dan membentuk karakter bangsa. Delapan dekade adalah usia yang cukup matang untuk mencapai konsensus nasional tentang prinsip-prinsip kebangsaan, dengan konstitusi sebagai fondasi hukum dan norma-norma sosial sebagai panduan moral. Keandalan bangsa ini sudah teruji selama berpuluh-puluh tahun berkat norma-norma yang tumbuh di tengah masyarakat. Namun, sebagai sebuah bangsa, saat ini kita mendapatkan ujian berat karena banyaknya pengabaian norma yang terus berulang, terutama dalam satu dekade terakhir, yang selanjutnya memunculkan pertanyaan besar: sejauh mana norma-norma ini masih dihormati dan dipegang teguh oleh bangsa ini?

Konstitusi Indonesia merupakan sumber hukum tertinggi yang membimbing arah kebijakan dan aturan negara. Sejak awal, konstitusi telah menjadi dasar dalam membangun sistem hukum yang menghargai demokrasi dan melindungi hak-hak warga negara. Empat kali amandemen konstitusi telah memperluas ruang demokrasi dan memperkuat jaminan hak-hak dasar. Namun, konstitusi sendiri tak cukup kuat tanpa didukung oleh norma sosial yang tumbuh dalam kesepakatan bersama masyarakat. Norma adalah elemen tak tertulis yang mengatur perilaku berdasarkan nilai-nilai yang dipegang oleh suatu komunitas. Norma berfungsi menjaga keteraturan dan solidaritas sosial dengan menetapkan batasan antara yang baik dan buruk.
Ketika norma sosial melemah, menurut Emile Durkheim, masyarakat akan mengalami anomie—kondisi di mana aturan kehilangan pengaruh atas perilaku individu. Pelanggaran norma bukan hanya masalah moral, melainkan ancaman bagi stabilitas sosial dan keberlangsungan bangsa. Pelanggaran terhadap aturan tertulis membawa konsekuensi hukum seperti sanksi pidana atau kewajiban ganti rugi. Namun, pelanggaran terhadap norma sosial memiliki dampak yang jauh lebih dalam: menurunkan kepercayaan publik, melemahkan solidaritas sosial, dan menciptakan fragmentasi di tengah masyarakat. Lebih buruk lagi, ketika pelanggaran norma terjadi secara kolektif dan dibiarkan tanpa konsekuensi, integritas moral bangsa pun dipertaruhkan, dan ancaman krisis yang lebih dalam tak terelakkan.
Dalam satu dekade terakhir, pelanggaran terhadap norma sosial semakin mencolok. Kebijakan publik yang memengaruhi kesejahteraan rakyat sering diambil tanpa partisipasi yang memadai. Kenaikan harga bahan bakar minyak, listrik, dan tarif tol adalah contoh kebijakan yang diumumkan tanpa dialog yang transparan dengan masyarakat. Norma keterbukaan dan partisipasi publik yang seharusnya menjadi ciri khas demokrasi deliberatif diabaikan, menunjukkan lemahnya etika komunikasi pemerintah kepada rakyat. Keputusan sepihak seperti ini menciptakan ketidakpercayaan yang merusak legitimasi demokrasi. Norma dalam sistem demokrasi mewajibkan pemerintah untuk melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kesejahteraan mereka. Mengabaikan prinsip ini mencerminkan kelalaian terhadap etika publik dan tanggung jawab moral.
Sejumlah buruh mengikuti aksi unjuk rasa di depan gedung DPR, Jakarta, Rabu (10/8/2022). Foto: Galih Pradipta/Antara Foto

Contoh lain yang cukup signifikan adalah pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang sarat masalah prosedural. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 menegaskan bahwa pembentukan UU tersebut cacat secara formil karena pelibatan publik yang minim. Norma partisipasi adalah elemen esensial dalam demokrasi deliberatif, di mana keputusan yang diambil harus melalui konsultasi dengan masyarakat. Legitimasi hukum terletak pada penghormatan terhadap proses pembentukan aturan, karena keadilan prosedural menjadi fondasi ketertiban sosial. Pelanggaran norma ini tak hanya memperlihatkan pengabaian terhadap prosedur, tetapi juga mencerminkan kegagalan mematuhi standar demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi.

Lebih mencolok lagi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan keluarga. Perubahan aturan yang membuka peluang bagi anak presiden untuk mencalonkan diri dalam kontestasi politik tingkat nasional adalah pelanggaran terhadap norma hukum, meritokrasi dan integritas politik. Ketika kekuasaan digunakan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu, hukum kehilangan otoritas moralnya, dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik melemah. Perilaku pengabaian norma oleh elit ini akan menyebar ke tingkat yang lebih luas dalam masyarakat, dan menciptakan iklim di mana penyalahgunaan wewenang dianggap wajar.

Menurut Transparency International, Indonesia berada di peringkat ke-96 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi 2024. Angka ini menunjukkan rendahnya tingkat kepercayaan terhadap tata kelola negara dan lemahnya penegakan hukum. Korupsi yang dibiarkan terus berkembang tanpa sanksi yang tegas mencerminkan pelanggaran norma yang telah menjadi bagian dari kebiasaan politik. Budaya permisif seperti ini semakin memudarkan harapan akan keadilan dan kesejahteraan sosial yang merata.

Immanuel Kant, dalam teorinya tentang imperatif kategoris, menekankan bahwa setiap tindakan harus dapat dijadikan prinsip universal. Norma moral tidak boleh bergantung pada tujuan pragmatis, melainkan harus menghormati manusia sebagai tujuan dalam dirinya sendiri. Kekuasaan yang digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok bertentangan dengan prinsip ini karena memperlakukan rakyat sebagai alat, bukan sebagai subjek yang memiliki hak dan martabat yang harus dihormati.
Tentang tantangan moral dalam kehidupan kolektif, Reinhold Niebuhr menyatakan bahwa manusia secara individu mungkin mampu bertindak berdasarkan moralitas tinggi, tetapi dalam kelompok besar, kepentingan egois cenderung mendominasi. Niebuhr menegaskan bahwa hanya kepemimpinan yang memiliki komitmen moral kuat yang dapat membawa perubahan dalam masyarakat yang telah tenggelam dalam krisis nilai. Kepemimpinan yang berintegritas harus menempatkan keadilan dan kebenaran di atas kekuasaan, serta berani menegakkan norma yang adil meski menghadapi tekanan politik.
Pemulihan norma adalah tugas berat yang menuntut keberanian politik dan komitmen moral. Presiden Prabowo Subianto kini menghadapi tantangan besar untuk memulihkan norma yang terus memburuk dan membangun kembali kepercayaan rakyat. Reformasi yang diperlukan tidak hanya berupa perubahan kebijakan, tetapi juga menciptakan budaya politik baru yang menempatkan nilai-nilai moral di atas kepentingan jangka pendek. Reformasi moral di Indonesia memerlukan perubahan nyata dalam perilaku para pemimpin yang harus menjadi teladan dalam menjunjung tinggi etika publik. Langkah nyata lain adalah penegakan hukum tanpa diskriminasi dan peningkatan transparansi kebijakan yang akan menjadi kunci untuk membangun kembali legitimasi moral dan sosial.

Masyarakat juga memiliki peran penting dalam menjaga norma-norma sosial. Kesadaran kolektif untuk tidak mentoleransi pelanggaran etika harus ditumbuhkan melalui pendidikan karakter dan penguatan nilai-nilai kebangsaan. Lembaga pendidikan, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, dan media perlu berkolaborasi dalam mempromosikan budaya integritas dan nilai-nilai kebangsaan. Dalam konteks demokrasi yang semakin dinamis, tanggung jawab moral bukan hanya milik para pemimpin, melainkan seluruh elemen bangsa. Rakyat harus berani menyuarakan kebenaran, menolak praktik korupsi, dan mendukung tata kelola yang transparan dan akuntabel.

Presiden Prabowo Subianto. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS

Kini, tanggung jawab besar berada di pundak Presiden Prabowo Subianto untuk memulihkan norma berbangsa yang mengalami penurunan nilai. Membangun kembali moralitas bangsa memerlukan upaya serius dan konsisten. Sebagaimana Durkheim menyatakan bahwa norma adalah fondasi kehidupan kolektif, bangsa yang kehilangan norma akan kehilangan arah, dan tanpa arah, peradaban suatu bangsa akan runtuh. Mengakhiri pelanggaran norma adalah langkah pertama dalam perjalanan panjang menuju kedewasaan demokrasi dan kebangkitan moral yang sejati. Hanya dengan kembali menghormati norma, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita sebagai bangsa yang bermartabat dan berkeadilan. Masa depan Indonesia ditentukan oleh norma dan moralitas keputusan para pemimpinnya hari ini.

Keteladanan Pemimpin dalam Demokrasi

Keteladanan pemimpin menjadi pondasi bagi tegaknya demokrasi yang adil dan transparan. Dalam sistem demokrasi, pemimpin tidak hanya berperan sebagai pengambil keputusan, tetapi juga sebagai teladan bagi masyarakat. Keteladanan ini menjadi kunci utama untuk menjaga kepercayaan publik, integritas, serta akuntabilitas dalam pemerintahan.

Pada hakikatnya, keteladanan pemimpin bertumpu pada prinsip-prinsip demokrasi, yakni transparansi, akuntabilitas, kejujuran, dan integritas. Ketika seorang pemimpin mampu menerapkan nilai-nilai tersebut, masyarakat akan semakin percaya pada sistem pemerintahan yang ada dan lebih bersemangat berpartisipasi dalam proses politik. Sebaliknya, tanpa keteladanan, seorang pemimpin berisiko merusak kepercayaan publik, yang berpotensi memicu ketidakstabilan politik.

Contoh dari keteladanan yang buruk bisa dilihat dari kasus Shinzo Abe, mantan Perdana Menteri Jepang. Pada tahun 2020, Abe mengundurkan diri setelah tersandung skandal favoritisme dalam pengadaan beasiswa. Meski Abe dikenal sebagai sosok pemimpin berpengaruh dengan agenda reformasi yang besar, kasus ini menggerus kepercayaan publik dan memaksanya untuk mundur. Insiden ini memperjelas bahwa keteladanan dalam hal etika dan transparansi sangat penting dalam mempertahankan kepercayaan masyarakat.

Shinzo Abe (Getty Images, BBC)

Kasus serupa terjadi di Korea Selatan. Mantan Presiden Park Geun-hye dilengserkan dari jabatannya pada 2017 setelah terlibat dalam skandal korupsi besar. Protes masif yang terjadi pada 2016 menunjukkan bagaimana keteladanan yang buruk dalam kepemimpinan bisa mempengaruhi kestabilan negara dan kepercayaan publik pada pemerintah.

Di Indonesia, Presiden Joko Widodo juga menghadapi tantangan serupa terkait keteladanan dalam lingkup keluarga. Putra Presiden, Gibran Rakabuming Raka, yang pernah menjabat sebagai Wali Kota Solo, menjadi sorotan publik terkait dugaan konflik kepentingan dalam beberapa proyek pemerintah di Solo yang melibatkan perusahaan yang memiliki hubungan dengan keluarganya. Meski tuduhan tersebut belum terbukti, persepsi negatif terhadap adanya benturan kepentingan dapat mencederai integritas pemerintahan.

Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi putranya Gibran Rakabuming (kanan) menyalami warga di depan Istana Negara, Jakarta, Minggu (20/10). Foto: ANTARA FOTO/Rachman

Tidak hanya Gibran, perhatian publik juga tertuju pada Kaesang Pangarep, putra lainnya, serta menantu presiden, Bobby Nasution, yang belakangan disorot karena menggunakan jet pribadi. Isu ini, disertai dengan kekayaan yang bertambah pesat di kalangan keluarga presiden, menimbulkan persepsi adanya gratifikasi atau benturan kepentingan. Hal ini mengingatkan bahwa persepsi publik terhadap penyalahgunaan kekuasaan bisa menjadi ancaman serius bagi kepercayaan terhadap pemerintah.

Keteladanan pemimpin tidak hanya berarti menghindari korupsi, tetapi juga mencegah situasi yang dapat menimbulkan benturan kepentingan. Setiap tindakan dan keputusan pemimpin harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan untuk menjaga kepercayaan publik.

Dalam konteks indeks demokrasi, Indonesia menghadapi tantangan serius. Menurut laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan, dari 6,10 pada 2021 menjadi 5,95 pada 2022, dan hanya sedikit naik menjadi 6,01 pada 2023. Angka ini menunjukkan bahwa meskipun ada sedikit perbaikan, Indonesia masih bergulat dengan masalah transparansi dan akuntabilitas yang membayangi pemerintahan.

Sebagai perbandingan, Singapura, yang berada dalam kategori negara demokrasi tinggi, justru mengalami peningkatan indeks demokrasi dari 6,57 pada 2021 menjadi 6,66 pada 2023. Kenaikan ini menggambarkan perbaikan dalam aspek tata kelola dan transparansi, meski isu kebebasan politik masih menjadi sorotan di negara tersebut.

Selain itu, tantangan yang dihadapi Indonesia juga menyentuh aspek iklim investasi. Rumitnya proses perizinan dan tingginya “biaya tambahan” menjadi hambatan signifikan bagi investor. Kondisi ini membuat lingkungan bisnis di Indonesia kurang menarik bagi investor asing. Kurangnya reformasi dalam birokrasi dan minimnya transparansi dalam proses perizinan memperburuk kepercayaan investor, yang pada akhirnya berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi.

Banyak investor asing yang akhirnya memilih negara lain, seperti Malaysia, Vietnam, atau Filipina, yang menawarkan lingkungan bisnis yang lebih efisien dan bersih dari praktik-praktik yang tidak transparan. Jika tidak ada upaya reformasi yang serius, Indonesia berisiko kehilangan kesempatan investasi yang sangat dibutuhkan untuk mempercepat pembangunan nasional.

Secara keseluruhan, keteladanan pemimpin sangat penting dalam menjaga kepercayaan, mendorong partisipasi publik, dan menjaga stabilitas demokrasi. Pemimpin harus berkomitmen untuk menjalankan peran mereka dengan integritas yang tinggi, serta mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi yang sejati. Dengan keteladanan, Indonesia dapat memperkuat demokrasi, menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif, dan memastikan pemerintahan yang efektif dan berintegritas.

Panitia Seleksi KPK tanpa Akuntabilitas

Sejumlah nama dalam daftar hasil seleksi calon pimpinan KPK bermasalah. Akuntabilitas panitia seleksi dipertanyakan.

PROSES seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memasuki babak akhir dengan terpilihnya 20 kandidat. Namun hasil seleksi ini memicu kehebohan publik karena beberapa nama yang muncul dalam daftar tersebut memiliki catatan masalah yang mencolok.

Johanis Tanak dan Pahala Nainggolan, misalnya, yang pernah diduga memiliki catatan pelanggaran kode etik. Lalu ada nama Agus Joko Pramono, bekas Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, yang diduga terlibat dalam transaksi janggal sebesar Rp 115 miliar. Di sisi lain, beberapa figur, seperti mantan Menteri ESDM Sudirman Said dan anggota IM57+ Institute — organisasi gerakan antikorupsi bentukan para eks-pegawai KPK — terpaksa gugur dari daftar calon.

Keadaan ini menimbulkan keraguan mengenai integritas Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK. Publik mulai mempertanyakan, apakah panitia seleksi telah menerapkan prinsip-prinsip dasar dalam proses rekrutmen dan seleksi, yakni transparansi, akuntabilitas, keadilan, serta imparsialitas.

Transparansi adalah prinsip pertama yang penting dalam seleksi. Transparansi berarti seluruh tahapan dan keputusan dalam proses seleksi dilakukan secara jelas dan terbuka. Hal ini melibatkan pengumuman kriteria seleksi, proses evaluasi, serta alasan di balik setiap keputusan. Dengan transparansi, calon pemimpin dan pihak-pihak terkait dapat memahami bagaimana keputusan diambil dan apa yang diharapkan dari mereka.

Keuntungan dari transparansi adalah meningkatkan kepercayaan calon pemimpin dan pemangku kepentingan terhadap proses seleksi. Proses yang terbuka mengurangi potensi konflik atau tuduhan nepotisme dan favoritisme, yang pada akhirnya menciptakan lingkungan yang lebih adil.

Akuntabilitas merupakan prinsip kedua yang tidak kalah penting. Prinsip ini mengacu pada tanggung jawab panitia seleksi terhadap keputusan yang mereka ambil. Setiap keputusan, baik itu pemilihan maupun penolakan kandidat, harus dapat dipertanggungjawabkan dan didokumentasikan dengan baik.

Mekanisme akuntabilitas yang jelas membantu mencegah penyalahgunaan wewenang dan memastikan bahwa keputusan didasarkan pada penilaian yang obyektif, bukan kepentingan pribadi atau eksternal.

Keadilan adalah prinsip ketiga yang harus diterapkan dalam proses seleksi. Keadilan menekankan bahwa setiap calon harus dinilai berdasarkan meritokrasi — kemampuan, keterampilan, dan pengalaman — tanpa diskriminasi berdasarkan latar belakang, ras, jenis kelamin, atau faktor pribadi lainnya.

Dengan menerapkan prinsip keadilan, semua calon memiliki kesempatan yang sama untuk menunjukkan kompetensi mereka dan organisasi dapat memilih pemimpin berdasarkan kualifikasi yang relevan.

Imparsialitas adalah prinsip keempat yang sangat krusial. Imparsialitas memastikan bahwa panitia seleksi tidak menunjukkan bias atau favoritisme terhadap calon tertentu. Penilaian harus dilakukan secara obyektif, tanpa pengaruh dari hubungan pribadi atau kepentingan eksternal. Imparsialitas menjamin bahwa hasil seleksi adalah hasil yang adil dan obyektif.

Integritas panitia seleksi sangat bergantung pada sejauh mana keempat prinsip ini diterapkan dalam proses seleksi. Transparansi membangun kepercayaan, akuntabilitas menjamin tanggung jawab, keadilan memastikan peluang yang setara, sementara imparsialitas menjamin hasil yang obyektif. Jika prinsip-prinsip ini diterapkan dengan benar, panitia seleksi diharapkan dapat memilih pemimpin KPK yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan lembaga.

Namun publik merasa ada kecenderungan bahwa panitia seleksi tidak menerapkan prinsip-prinsip dasar ini dengan konsisten. Kegundahan ini makin diperkuat oleh kenyataan bahwa sebagian besar figur yang terpilih justru memiliki catatan integritas yang dipertanyakan.

Karena itu, penting bagi panitia seleksi untuk memperbaiki proses seleksi dan memastikan bahwa keempat prinsip tersebut diterapkan secara konsisten demi kepentingan pemberantasan korupsi yang efektif di Indonesia.

Darurat Narasi Kebangsaan

Saat ini, narasi kebangsaan hampir lenyap, tergantikan oleh retorika politik jangka pendek dan pencitraan diri.

Debat calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta pada 6 Oktober 2024 memberikan gambaran jelas mengenai krisis narasi kebangsaan yang sedang melanda bangsa ini.

Tiga pasangan calon berlomba menyajikan program-program teknis operasional yang, meski menjanjikan jika diimplementasikan, tetapi gagal menyentuh isu strategis yang lebih mendalam.

Salah satu pasangan calon bahkan menganggap akal imitasi (artificial intelligence/AI) sebagai alat intelijen untuk memata-matai, dan wabah Covid-19 adalah agenda asing untuk mengambil kedaulatan negara.

Lebih mengejutkan lagi, tak satu pun dari mereka mengangkat misi besar tentang perubahan status Jakarta, dari ibu kota negara menjadi kota bisnis dengan segala implikasi fungsi dan peran barunya.

Hal ini mencerminkan betapa para pemimpin kehilangan narasi kebangsaan — mission statement — yang seharusnya menjadi pijakan dalam menentukan arah masa depan bangsa.

Setelah Era Reformasi, arah kebangsaan kita semakin kabur. Pemerintah sibuk menjalankan program-program manajerial tanpa narasi besar yang memberi kejelasan tentang visi dan arah pembangunan jangka panjang.

Program-program tersebut terlihat penting secara operasional, tetapi bersifat parsial dan lebih sering menyentuh aspek teknis, tanpa memperkuat jati diri bangsa. Kita tampak kehilangan visi yang seharusnya menyatukan kita sebagai bangsa besar dengan cita-cita mulia.

Hilangnya narasi kebangsaan

Selama 10 tahun terakhir, wacana kebangsaan terjebak dalam perdebatan yang sempit antara kelompok pro dan kontra pemerintah. Masyarakat disuguhi narasi politik yang dangkal, dengan polarisasi tajam di kedua belah pihak.

Konflik politik domestik yang didorong oleh pengerahan massa dan penggunaan pendengung (buzzer) untuk menyerang lawan politik semakin menenggelamkan diskursus penting tentang arah bangsa. Dalam situasi seperti ini, narasi kebangsaan — visi besar yang semestinya menjadi landasan kita bersama — menjadi semakin terpinggirkan.

Pada masa Orde Baru, meski berada di bawah sistem otoritarian, kita masih mendengar narasi kebangsaan dari elite politik. Presiden Soeharto dan para menteri sering menekankan pentingnya ”jati diri bangsa” dengan mengedepankan nilai-nilai Pancasila.

Narasi ini, meski dibungkus oleh propaganda, setidaknya berhasil memberikan arah yang jelas bagi masyarakat tentang tujuan pembangunan nasional. Sebaliknya, saat ini, narasi kebangsaan hampir lenyap, tergantikan oleh retorika politik jangka pendek dan pencitraan diri.

Tanpa narasi kebangsaan yang kuat, bangsa akan kehilangan jati diri dan terombang-ambing dalam arus perubahan global.

Pentingnya narasi kebangsaan

Narasi kebangsaan adalah benang merah yang menghubungkan visi besar suatu bangsa. Ia memberi makna pada pembangunan dan memandu masyarakat menuju tujuan bersama. Tanpa narasi kebangsaan yang kuat, bangsa akan kehilangan jati diri dan terombang-ambing dalam arus perubahan global. Banyak negara maju yang telah menunjukkan pentingnya narasi kebangsaan dalam membangun kekuatan nasional.

Amerika Serikat, misalnya, memiliki narasi kebangsaan yang sangat kuat. Mereka dengan bangga menyebut diri sebagai the greatest country in the world. Klaim ini tidak hanya mencerminkan kebanggaan nasional, tetapi juga memotivasi warganya untuk terus maju dan berinovasi. Narasi ini menyatukan keragaman etnis, budaya, dan ideologi di bawah payung besar ”American Dream”, yang menawarkan kesempatan bagi setiap individu untuk meraih sukses.

Korea Selatan juga memiliki narasi kebangsaan yang jelas. Sebagai the most innovative country. Korea Selatan berhasil menempatkan dirinya sebagai pemimpin dalam inovasi dan teknologi global. Narasi ini memberi dorongan bagi rakyat Korea Selatan untuk terus bekerja keras dan berinovasi, membangun kebanggaan nasional yang kuat. Hal ini membawa mereka dari negara terbelakang menjadi salah satu negara paling maju di dunia.

Jepang, dengan narasi ”wa” atau harmoni, berhasil menciptakan kebangkitan nasional pasca-Perang Dunia II. Nilai harmoni dan kerja keras menjadi fondasi dari kebijakan-kebijakan pembangunan Jepang, yang menjadikannya kekuatan ekonomi global. Narasi kebangsaan Jepang ini menggerakkan masyarakatnya untuk bersatu dalam menghadapi tantangan global, sambil mempertahankan identitas budaya mereka.

Narasi kebangsaan untuk Indonesia

Indonesia, sebagai bangsa dengan keragaman budaya dan sosial yang luar biasa, sangat membutuhkan narasi kebangsaan yang kuat. Narasi ini harus berbasis pada nilai-nilai luhur bangsa, seperti gotong royong, persatuan, dan keadilan sosial, yang dapat menginspirasi dan memandu arah kebijakan.

Narasi kebangsaan akan membentuk ekosistem pemerintahan yang solid, menggerakkan seluruh lapisan masyarakat menuju tujuan yang sama: masyarakat yang adil dan makmur.

Saat ini, pejabat publik tampaknya lebih fokus pada pencitraan diri. Presiden, menteri, dan pejabat tinggi lainnya berlomba-lomba tampil di media sosial, memperlihatkan aktivitas mereka tanpa kejelasan apakah yang disajikan itu kebijakan publik atau sekadar pencitraan pribadi.

Masyarakat dibuat bingung karena tidak jelas mana yang merupakan keputusan negara dan mana yang hanya promosi diri. Padahal, begitu seorang pemimpin memangku jabatan publik, setiap tindakan dan ucapannya menjadi kebijakan yang berdampak pada masyarakat luas.

Ketidakjelasan antara kebijakan dan pencitraan ini memperlemah kredibilitas narasi kebangsaan yang seharusnya menjadi landasan bagi kebijakan publik.

Jika Indonesia ingin bertahan dan berkembang di tengah arus perubahan global yang begitu cepat, kita membutuhkan kesepakatan bersama untuk membangun kembali narasi kebangsaan. Narasi ini harus menjadi kompas moral, politik, dan ekonomi yang dapat memandu bangsa menuju keadilan sosial dan kesejahteraan.

Narasi kebangsaan harus merespons dinamika global dengan mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa. Dengan narasi kebangsaan yang kuat, Indonesia akan mampu menghadapi tantangan global dengan identitas yang kokoh dan keyakinan diri yang kuat, siap bersaing di panggung dunia.

Narasi kebangsaan bukan sekadar retorika politik, melainkan fondasi yang membentuk arah pembangunan dan kebijakan publik. Tanpa narasi kebangsaan, kita akan terus terjebak dalam perdebatan teknis dan operasional tanpa arah yang jelas.

Dengan narasi kebangsaan yang kuat, kita dapat membangun bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur — bangsa yang berdiri kokoh di tengah persaingan global dengan jati diri yang jelas dan semangat kebangsaan yang tak tergoyahkan. Ingat, narasi kebangsaan harus disuarakan oleh pemimpin tertinggi dan elite bangsa ini supaya dapat menggerakkan dan menyatukan langkah bangsa menuju kemajuan.

Agung HendartoPeneliti Institut Harkat Negeri