Darurat Narasi Kebangsaan

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin

Saat ini, narasi kebangsaan hampir lenyap, tergantikan oleh retorika politik jangka pendek dan pencitraan diri.

Debat calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta pada 6 Oktober 2024 memberikan gambaran jelas mengenai krisis narasi kebangsaan yang sedang melanda bangsa ini.

Tiga pasangan calon berlomba menyajikan program-program teknis operasional yang, meski menjanjikan jika diimplementasikan, tetapi gagal menyentuh isu strategis yang lebih mendalam.

Salah satu pasangan calon bahkan menganggap akal imitasi (artificial intelligence/AI) sebagai alat intelijen untuk memata-matai, dan wabah Covid-19 adalah agenda asing untuk mengambil kedaulatan negara.

Lebih mengejutkan lagi, tak satu pun dari mereka mengangkat misi besar tentang perubahan status Jakarta, dari ibu kota negara menjadi kota bisnis dengan segala implikasi fungsi dan peran barunya.

Hal ini mencerminkan betapa para pemimpin kehilangan narasi kebangsaan — mission statement — yang seharusnya menjadi pijakan dalam menentukan arah masa depan bangsa.

Setelah Era Reformasi, arah kebangsaan kita semakin kabur. Pemerintah sibuk menjalankan program-program manajerial tanpa narasi besar yang memberi kejelasan tentang visi dan arah pembangunan jangka panjang.

Program-program tersebut terlihat penting secara operasional, tetapi bersifat parsial dan lebih sering menyentuh aspek teknis, tanpa memperkuat jati diri bangsa. Kita tampak kehilangan visi yang seharusnya menyatukan kita sebagai bangsa besar dengan cita-cita mulia.

Hilangnya narasi kebangsaan

Selama 10 tahun terakhir, wacana kebangsaan terjebak dalam perdebatan yang sempit antara kelompok pro dan kontra pemerintah. Masyarakat disuguhi narasi politik yang dangkal, dengan polarisasi tajam di kedua belah pihak.

Konflik politik domestik yang didorong oleh pengerahan massa dan penggunaan pendengung (buzzer) untuk menyerang lawan politik semakin menenggelamkan diskursus penting tentang arah bangsa. Dalam situasi seperti ini, narasi kebangsaan — visi besar yang semestinya menjadi landasan kita bersama — menjadi semakin terpinggirkan.

Pada masa Orde Baru, meski berada di bawah sistem otoritarian, kita masih mendengar narasi kebangsaan dari elite politik. Presiden Soeharto dan para menteri sering menekankan pentingnya ”jati diri bangsa” dengan mengedepankan nilai-nilai Pancasila.

Narasi ini, meski dibungkus oleh propaganda, setidaknya berhasil memberikan arah yang jelas bagi masyarakat tentang tujuan pembangunan nasional. Sebaliknya, saat ini, narasi kebangsaan hampir lenyap, tergantikan oleh retorika politik jangka pendek dan pencitraan diri.

Tanpa narasi kebangsaan yang kuat, bangsa akan kehilangan jati diri dan terombang-ambing dalam arus perubahan global.

Pentingnya narasi kebangsaan

Narasi kebangsaan adalah benang merah yang menghubungkan visi besar suatu bangsa. Ia memberi makna pada pembangunan dan memandu masyarakat menuju tujuan bersama. Tanpa narasi kebangsaan yang kuat, bangsa akan kehilangan jati diri dan terombang-ambing dalam arus perubahan global. Banyak negara maju yang telah menunjukkan pentingnya narasi kebangsaan dalam membangun kekuatan nasional.

Amerika Serikat, misalnya, memiliki narasi kebangsaan yang sangat kuat. Mereka dengan bangga menyebut diri sebagai the greatest country in the world. Klaim ini tidak hanya mencerminkan kebanggaan nasional, tetapi juga memotivasi warganya untuk terus maju dan berinovasi. Narasi ini menyatukan keragaman etnis, budaya, dan ideologi di bawah payung besar ”American Dream”, yang menawarkan kesempatan bagi setiap individu untuk meraih sukses.

Korea Selatan juga memiliki narasi kebangsaan yang jelas. Sebagai the most innovative country. Korea Selatan berhasil menempatkan dirinya sebagai pemimpin dalam inovasi dan teknologi global. Narasi ini memberi dorongan bagi rakyat Korea Selatan untuk terus bekerja keras dan berinovasi, membangun kebanggaan nasional yang kuat. Hal ini membawa mereka dari negara terbelakang menjadi salah satu negara paling maju di dunia.

Jepang, dengan narasi ”wa” atau harmoni, berhasil menciptakan kebangkitan nasional pasca-Perang Dunia II. Nilai harmoni dan kerja keras menjadi fondasi dari kebijakan-kebijakan pembangunan Jepang, yang menjadikannya kekuatan ekonomi global. Narasi kebangsaan Jepang ini menggerakkan masyarakatnya untuk bersatu dalam menghadapi tantangan global, sambil mempertahankan identitas budaya mereka.

Narasi kebangsaan untuk Indonesia

Indonesia, sebagai bangsa dengan keragaman budaya dan sosial yang luar biasa, sangat membutuhkan narasi kebangsaan yang kuat. Narasi ini harus berbasis pada nilai-nilai luhur bangsa, seperti gotong royong, persatuan, dan keadilan sosial, yang dapat menginspirasi dan memandu arah kebijakan.

Narasi kebangsaan akan membentuk ekosistem pemerintahan yang solid, menggerakkan seluruh lapisan masyarakat menuju tujuan yang sama: masyarakat yang adil dan makmur.

Saat ini, pejabat publik tampaknya lebih fokus pada pencitraan diri. Presiden, menteri, dan pejabat tinggi lainnya berlomba-lomba tampil di media sosial, memperlihatkan aktivitas mereka tanpa kejelasan apakah yang disajikan itu kebijakan publik atau sekadar pencitraan pribadi.

Masyarakat dibuat bingung karena tidak jelas mana yang merupakan keputusan negara dan mana yang hanya promosi diri. Padahal, begitu seorang pemimpin memangku jabatan publik, setiap tindakan dan ucapannya menjadi kebijakan yang berdampak pada masyarakat luas.

Ketidakjelasan antara kebijakan dan pencitraan ini memperlemah kredibilitas narasi kebangsaan yang seharusnya menjadi landasan bagi kebijakan publik.

Jika Indonesia ingin bertahan dan berkembang di tengah arus perubahan global yang begitu cepat, kita membutuhkan kesepakatan bersama untuk membangun kembali narasi kebangsaan. Narasi ini harus menjadi kompas moral, politik, dan ekonomi yang dapat memandu bangsa menuju keadilan sosial dan kesejahteraan.

Narasi kebangsaan harus merespons dinamika global dengan mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa. Dengan narasi kebangsaan yang kuat, Indonesia akan mampu menghadapi tantangan global dengan identitas yang kokoh dan keyakinan diri yang kuat, siap bersaing di panggung dunia.

Narasi kebangsaan bukan sekadar retorika politik, melainkan fondasi yang membentuk arah pembangunan dan kebijakan publik. Tanpa narasi kebangsaan, kita akan terus terjebak dalam perdebatan teknis dan operasional tanpa arah yang jelas.

Dengan narasi kebangsaan yang kuat, kita dapat membangun bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur — bangsa yang berdiri kokoh di tengah persaingan global dengan jati diri yang jelas dan semangat kebangsaan yang tak tergoyahkan. Ingat, narasi kebangsaan harus disuarakan oleh pemimpin tertinggi dan elite bangsa ini supaya dapat menggerakkan dan menyatukan langkah bangsa menuju kemajuan.

Agung HendartoPeneliti Institut Harkat Negeri

Institut Harkat Negeri
Komplek Kavling Kowilhan I
Blok A3 No. 4,
Jl. Siung,
Setu, Cipayung,
Jakarta Timur 13880
Hotline : 0811 911 2016
Email : sekretariat@ihn.or.id

Institut Harkat Negeri

Institut Harkat Negeri
All rights reserved | 2024