Literasi Untuk Berbagi
Membaca belum juga menjadi budaya penting di Indonesia. Padahal, membaca memberikan manfaat yang baik untuk memperkaya gagasan. Sayangnya, masyarakat luas belum menyadari itu. Namun, tetap ada banyak orang yang bergerak menyadarkan masyarakat akan pentingnya membaca.
Ical, sapaan akrab dari Aprizal Sulthon Rasyid, S.Sy., adalah salah satu aktivis yang mulai menebar manfaat melalui literasi di Kota Mataram, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ical menginisiasi berdirinya Komunitas Cinta Baca Mataram (KCB Mataram). Saat ini KCB sudah memiliki seribuan buku dan sebuah perpustakaan sebagai basecamp kegiatan. Ia mengulas kembali pendirian KCB ini didasari atas pertemuannya dengan adik kelasnya di sebuah warung kopi, seusai ia lulus kuliah.
Munculnya Ide Literasi
Pertengahan 2015, Ical lulus kuliah dan kembali ke kampung halaman di Lombok. Pada suatu malam, Ical mengajak beberapa kenalan dari aktivis mahasiswa di sekitar Kota Mataram. Di tengah obrolan hangat seputar isu aktual, salah seorang aktivis yang juga dulunya adalah adik kelas Ical di Pondok, menceritakan bahwa ia sedang kena skors kuliah karena menjadi dalang beberapa demo besar di kampusnya, yang berakhir anarkis.
Untuk menghibur aktivis itu, Ical mengeluarkan buku Soe Hok Gie berjudul Zaman Peralihan dari tas. Niatnya ingin meminjamkan buku itu padanya, tapi terlebih dulu bertanya pada semua orang, sudah membaca buku Soe Hok Gie yang mana saja? Tanpa disangka, aktivis yang sedang kena skors bertanya balik, Siapa itu Soe Hok Gie?
Terkejutlah Ical. Seorang demonstran tapi tidak mengenal Soe Hok Gie. Ical mengambil kesimpulan bahwa mahasiswa itu adalah kuat dalam mobilisasi tapi minim edukasi. Dari situ Ical kemudian mengajak untuk membuat kelompok diskusi untuk memperkuat basis pemikiran.
Namun, terjadi perubahan orientasi ide saat pertemuan berikutnya. Dari yang mulanya mereka ingin membuat kelompok eksklusif kajian filsafat dan teori sosial, akhirnya semuanya sepakat untuk membuat komunitas terbuka yang membawa isu literasi dan kampanye gemar membaca. Semua orang dengan semua genre buku boleh bergabung. Bahkan, yang tidak suka membacapun bisa gabung di komunitas ini.
Malam itu, 13 desember 2015, Ical dan 4 teman aktivis mataram mendeklarasikan komunitas literasi ini, dengan nama Kelompok Cinta Baca (KCB) Mataram. Kegiatan Komunitas ini di bulan-bulan pertama adalah Temu Baca. Temu Baca adalah kegiatan membaca bersama, dan anggota yang hadir akan menceritakan kembali apa yang telah atau sedang dibaca. Ical menyampaikan bahwa, tidak masalah meskipun baru membaca dua atau tiga halaman saja. Anggota tetap diminta berbagi pengalaman membacanya. Temu Baca sangat intens di beberapa bulan pertama, sebelum KCB akhirnya merambah banyak macam aktivitas.
Bertemu Banyak Guru Literasi
Di awal perjalanan komunitas, Ical dan tim sepakat untuk membuat temu baca di ruang-ruang publik, seperti di taman kota. Tujuannya adalah kampanye, agar masyarakat terbiasa melihat pembicang buku di taman, sementara biasanya orang-orang hanya berpacaran di sana. Kadang anak-anak pedagang di taman datang meminta uang, kami suruh dulu mereka membaca tiga atau empat paragraf dulu, baru kami beri uang, kata Ical.
Komunitas ini memiliki jargon Dong Ayok Baca! Yang artinya, ayo dong membaca, hanya saja penulisan itu disesuaikan dengan logat lokal demi kampanye lebih efektif. Ical mengaku banyak menemui para penggerak literasi lain yang lebih sepuh, untuk silaturrahmi dan belajar mengembangkan komunitas. Salah satu silaturahmi itu mempertemukan Ical dengan Wien Muldian, penggagas Gerakan Indonesia Membaca dari Jakarta. Pertemuan ini membawa pelajaran untuk Ical dan komunitasnya agar segera memiliki basecamp berbasis perpustakaan.
Gagasan dieksekusi, dan perpustakaan pertama berdiri di salah satu unit kos seluas 3×3 meter persegi di belakang rumah Ical, dengan 470-an buku koleksi pribadi sebagai modal awal perpustakaan. Anggota pun menitipkan buku mereka di sana. Maret 2016 resmi KCB memiliki perpustakaan sebagai basecamp. Keberadaan Basecamp, menurutnya, memang memudahkan mobilisasi kegiatan.
Dukungan dari semesta
Atas semangatnya berbagi melalui literasi, Ical juga didukung oleh orang tuanya. Unit kos yang menjadi unit perpustakaan (dan kini KCB diberikan izin menggunakan satu unit rumah sebagai perpustakaan), semuanya adalah dukungan dari orang tua Ical. Fasilitas tersebut menambah semangat komunitas. Di tempat baru ini berdatangan buku-buku dari luar meskipun Ical dan teman-teman tidak mempublikasikan permintaan sumbangan buku secara khusus. Ical hanya konsisten menarasikan semua kegiatan KCB melalui sosial media, disertai foto-foto. Ical bercerita setiap harinya minimal ada 20 buku yang dipinjam oleh pengunjung.
Ical mengaku, komunitas ini belum mengajukan proposal permohonan kerjasama atau permohonan pendanaan dari pihak manapun. Ical meyakini bahwa, penting bagi KCB di 5 tahun untuk mandiri dalam gerakan, melatih ketulusan dan jiwa tanpa pamrih agar tidak rusak oleh semua yang berbau proyek dan dana.
Tantangan dan Harapan
Ical mengatakan bahwa perpustakaan mereka memang memiliki struktur dan administrasi tersendiri, tapi tidak berjalan kaku seperti organisasi pada umumnya. Waktu, masih menjadi tantangan terbesar bagi komunitas ini, demi meraih banyak cita-citanya. Meskipun pengurus perpustakaan sudah merencanakan secara matang pengembangan perpustakaan dalam jangka panjang, namun setiap anggota KCB harus bertarung dengan waktu mereka masing-masing. Perlahan sumber daya manusia di perpustakaan ini memang semakin kuat karena ditempa banyak edukasi, tapi sekaligus, suatu saat mereka harus pamit karena kesibukan yang bertambah, kata Ical.
Ical berharap, suatu saat nanti KCB dapat memberi manfaat lebih banyak. Ia ingin agar KCB menjadi rumah pemuda yang memperkaya pengetahuan dan kreativitas siapapun yang datang. Karena itulah kegiatan di Perpustakaan tidak hanya berupa diskusi. Ada juga kelas-kelas yang sifatnya rekreatif dan melatih sejumlah softskill, seperti kelas menulis, fotografi, dan bisnis. Semuanya gratis. KCB adalah sebuah komunitas kaderisasi.
Ical, mengibaratkan KCB seperti pabrik cangkul. KCB bukanlah sekumpulan cangkul yang langsung terjun menggarap tanah, melainkan sebuah pabrik yang membuat cangkul-cangkul berkualitas, yang kuat dan siap menggarap tanah di tempat lain. Pilihan ini dikarenakan KCB ada di kota, dengan basis masyarakat yang lebih cair. Mataram adalah melting pot semua daerah di Nusa Tenggara Barat, dan rata-rata kelurahan di Mataram sudah begitu mapan. Sehingga, model komunitas kaderisasi menjadi pilihan terbaik.Ada beberapa anggota komunitas, setelah lama ditempa di KCB, ketika pulang ke kampungnya langsung membuat komunitas serupa. Ada yang membuat perpustakaan mengaji dengan nama Santri Kampung, itu bagus banget. Di Sumbawa, ada yang membuat rumah baca untuk anak-anak dengan kegiatan belajar yang menarik. Kita support, kita kirim buku ke mereka. Kita senang bila ada bibit-bibit yang di daerah bisa melihat masalah dan menyediakan solusi dengan sebuah gerakan. Katanya.
Namun bukan berarti KCB tidak aktif bergerak terjun ke masyarakat. KCB tetap melakukan pengbadian sosial, terus menerima kerja-sama dengan beberapa sekolah untuk kampanye cinta baca, dan lain-lain. Bahkan kami rutin membuka lapak baca gratis di taman-taman, dan peminjamnya boleh membawa pulang buku tersebut. Ini adalah salah satu bentuk pengabdian nyata. pungkas Ical. (afd)