Memulihkan Norma Berbangsa

Indonesia memasuki usia ke-80 tahun sebagai negara merdeka pada tahun ini. Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, perjalanan negeri ini dipenuhi dinamika politik, sosial, budaya, dan ekonomi yang menempa dan membentuk karakter bangsa. Delapan dekade adalah usia yang cukup matang untuk mencapai konsensus nasional tentang prinsip-prinsip kebangsaan, dengan konstitusi sebagai fondasi hukum dan norma-norma sosial sebagai panduan moral. Keandalan bangsa ini sudah teruji selama berpuluh-puluh tahun berkat norma-norma yang tumbuh di tengah masyarakat. Namun, sebagai sebuah bangsa, saat ini kita mendapatkan ujian berat karena banyaknya pengabaian norma yang terus berulang, terutama dalam satu dekade terakhir, yang selanjutnya memunculkan pertanyaan besar: sejauh mana norma-norma ini masih dihormati dan dipegang teguh oleh bangsa ini?

Konstitusi Indonesia merupakan sumber hukum tertinggi yang membimbing arah kebijakan dan aturan negara. Sejak awal, konstitusi telah menjadi dasar dalam membangun sistem hukum yang menghargai demokrasi dan melindungi hak-hak warga negara. Empat kali amandemen konstitusi telah memperluas ruang demokrasi dan memperkuat jaminan hak-hak dasar. Namun, konstitusi sendiri tak cukup kuat tanpa didukung oleh norma sosial yang tumbuh dalam kesepakatan bersama masyarakat. Norma adalah elemen tak tertulis yang mengatur perilaku berdasarkan nilai-nilai yang dipegang oleh suatu komunitas. Norma berfungsi menjaga keteraturan dan solidaritas sosial dengan menetapkan batasan antara yang baik dan buruk.
Ketika norma sosial melemah, menurut Emile Durkheim, masyarakat akan mengalami anomie—kondisi di mana aturan kehilangan pengaruh atas perilaku individu. Pelanggaran norma bukan hanya masalah moral, melainkan ancaman bagi stabilitas sosial dan keberlangsungan bangsa. Pelanggaran terhadap aturan tertulis membawa konsekuensi hukum seperti sanksi pidana atau kewajiban ganti rugi. Namun, pelanggaran terhadap norma sosial memiliki dampak yang jauh lebih dalam: menurunkan kepercayaan publik, melemahkan solidaritas sosial, dan menciptakan fragmentasi di tengah masyarakat. Lebih buruk lagi, ketika pelanggaran norma terjadi secara kolektif dan dibiarkan tanpa konsekuensi, integritas moral bangsa pun dipertaruhkan, dan ancaman krisis yang lebih dalam tak terelakkan.
Dalam satu dekade terakhir, pelanggaran terhadap norma sosial semakin mencolok. Kebijakan publik yang memengaruhi kesejahteraan rakyat sering diambil tanpa partisipasi yang memadai. Kenaikan harga bahan bakar minyak, listrik, dan tarif tol adalah contoh kebijakan yang diumumkan tanpa dialog yang transparan dengan masyarakat. Norma keterbukaan dan partisipasi publik yang seharusnya menjadi ciri khas demokrasi deliberatif diabaikan, menunjukkan lemahnya etika komunikasi pemerintah kepada rakyat. Keputusan sepihak seperti ini menciptakan ketidakpercayaan yang merusak legitimasi demokrasi. Norma dalam sistem demokrasi mewajibkan pemerintah untuk melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kesejahteraan mereka. Mengabaikan prinsip ini mencerminkan kelalaian terhadap etika publik dan tanggung jawab moral.
Sejumlah buruh mengikuti aksi unjuk rasa di depan gedung DPR, Jakarta, Rabu (10/8/2022). Foto: Galih Pradipta/Antara Foto

Contoh lain yang cukup signifikan adalah pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang sarat masalah prosedural. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 menegaskan bahwa pembentukan UU tersebut cacat secara formil karena pelibatan publik yang minim. Norma partisipasi adalah elemen esensial dalam demokrasi deliberatif, di mana keputusan yang diambil harus melalui konsultasi dengan masyarakat. Legitimasi hukum terletak pada penghormatan terhadap proses pembentukan aturan, karena keadilan prosedural menjadi fondasi ketertiban sosial. Pelanggaran norma ini tak hanya memperlihatkan pengabaian terhadap prosedur, tetapi juga mencerminkan kegagalan mematuhi standar demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi.

Lebih mencolok lagi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan keluarga. Perubahan aturan yang membuka peluang bagi anak presiden untuk mencalonkan diri dalam kontestasi politik tingkat nasional adalah pelanggaran terhadap norma hukum, meritokrasi dan integritas politik. Ketika kekuasaan digunakan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu, hukum kehilangan otoritas moralnya, dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik melemah. Perilaku pengabaian norma oleh elit ini akan menyebar ke tingkat yang lebih luas dalam masyarakat, dan menciptakan iklim di mana penyalahgunaan wewenang dianggap wajar.

Menurut Transparency International, Indonesia berada di peringkat ke-96 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi 2024. Angka ini menunjukkan rendahnya tingkat kepercayaan terhadap tata kelola negara dan lemahnya penegakan hukum. Korupsi yang dibiarkan terus berkembang tanpa sanksi yang tegas mencerminkan pelanggaran norma yang telah menjadi bagian dari kebiasaan politik. Budaya permisif seperti ini semakin memudarkan harapan akan keadilan dan kesejahteraan sosial yang merata.

Immanuel Kant, dalam teorinya tentang imperatif kategoris, menekankan bahwa setiap tindakan harus dapat dijadikan prinsip universal. Norma moral tidak boleh bergantung pada tujuan pragmatis, melainkan harus menghormati manusia sebagai tujuan dalam dirinya sendiri. Kekuasaan yang digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok bertentangan dengan prinsip ini karena memperlakukan rakyat sebagai alat, bukan sebagai subjek yang memiliki hak dan martabat yang harus dihormati.
Tentang tantangan moral dalam kehidupan kolektif, Reinhold Niebuhr menyatakan bahwa manusia secara individu mungkin mampu bertindak berdasarkan moralitas tinggi, tetapi dalam kelompok besar, kepentingan egois cenderung mendominasi. Niebuhr menegaskan bahwa hanya kepemimpinan yang memiliki komitmen moral kuat yang dapat membawa perubahan dalam masyarakat yang telah tenggelam dalam krisis nilai. Kepemimpinan yang berintegritas harus menempatkan keadilan dan kebenaran di atas kekuasaan, serta berani menegakkan norma yang adil meski menghadapi tekanan politik.
Pemulihan norma adalah tugas berat yang menuntut keberanian politik dan komitmen moral. Presiden Prabowo Subianto kini menghadapi tantangan besar untuk memulihkan norma yang terus memburuk dan membangun kembali kepercayaan rakyat. Reformasi yang diperlukan tidak hanya berupa perubahan kebijakan, tetapi juga menciptakan budaya politik baru yang menempatkan nilai-nilai moral di atas kepentingan jangka pendek. Reformasi moral di Indonesia memerlukan perubahan nyata dalam perilaku para pemimpin yang harus menjadi teladan dalam menjunjung tinggi etika publik. Langkah nyata lain adalah penegakan hukum tanpa diskriminasi dan peningkatan transparansi kebijakan yang akan menjadi kunci untuk membangun kembali legitimasi moral dan sosial.

Masyarakat juga memiliki peran penting dalam menjaga norma-norma sosial. Kesadaran kolektif untuk tidak mentoleransi pelanggaran etika harus ditumbuhkan melalui pendidikan karakter dan penguatan nilai-nilai kebangsaan. Lembaga pendidikan, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, dan media perlu berkolaborasi dalam mempromosikan budaya integritas dan nilai-nilai kebangsaan. Dalam konteks demokrasi yang semakin dinamis, tanggung jawab moral bukan hanya milik para pemimpin, melainkan seluruh elemen bangsa. Rakyat harus berani menyuarakan kebenaran, menolak praktik korupsi, dan mendukung tata kelola yang transparan dan akuntabel.

Presiden Prabowo Subianto. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS

Kini, tanggung jawab besar berada di pundak Presiden Prabowo Subianto untuk memulihkan norma berbangsa yang mengalami penurunan nilai. Membangun kembali moralitas bangsa memerlukan upaya serius dan konsisten. Sebagaimana Durkheim menyatakan bahwa norma adalah fondasi kehidupan kolektif, bangsa yang kehilangan norma akan kehilangan arah, dan tanpa arah, peradaban suatu bangsa akan runtuh. Mengakhiri pelanggaran norma adalah langkah pertama dalam perjalanan panjang menuju kedewasaan demokrasi dan kebangkitan moral yang sejati. Hanya dengan kembali menghormati norma, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita sebagai bangsa yang bermartabat dan berkeadilan. Masa depan Indonesia ditentukan oleh norma dan moralitas keputusan para pemimpinnya hari ini.

Kembali Kepada Indonesia

“Indonesia adalah sumur harapan yang tidak akan kering, kendati setiap saat diambil tanpa henti.”

Pidato Presiden Prabowo Subianto saat pelantikannya di hadapan sidang MPR RI, jika dilihat dari isi maupun bagaimana hal tersebut disampaikan, memiliki bobot tersendiri. Mungkin ada pro dan kontra di sini, terkait bagaimana menilai pidato tersebut. Namun demikian, jika dilihat sebagai pidato perdana sesaat setelah pelantikan, maka dapat diduga bahwa apa yang disampaikan adalah suatu manifestasi dari keinginan kuat yang telah lama terpendam.

Publik yang kerap mendengarkan pidato di masa kampanye, tentu tidak bisa disalahkan jika bersikap pesimistis. Namun karena pidato disampaikan di forum resmi dan merupakan pesan yang disampaikan oleh Presiden RI, bukan hanya di hadapan sidang MPR RI dan tamu undangan, melainkan di hadapan dunia karena disiarkan secara langsung, pidato tersebut merupakan pesan politik yang pada waktunya akan tiba sebagai kebijakan publik.

Dalam kerangka itulah, pidato Presiden Prabowo, seperti memanggil “kembali”, apa yang mungkin telah terjalan di luar jalur, menyimpang atau bahkan lebih buruk dari itu. Jika demikian, masalah yang segera muncul adalah apakah gerak “kembali” dimungkinkan di tengah dunia yang melaju cepat? Andaikata dimungkinkan, lantas apa yang sesungguhnya dapat dijadikan rujukan dalam menilai situasi dan merancang masa depan? Pada titik inilah, kita memandang pentingnya “kembali” kepada gagasan Indonesia yang berkembang sejak awal abad XX.

Indonesia

Keadaan hidup rakyat yang terus merosot, baik jika ditinjau sejak perang Jawa hingga akhir abad XIX, telah menimbulkan ragam reaksi di kalangan pejuang kemerdekaan, khususnya di kalangan angkatan muda. Pledoi Bung Hatta pada Maret 1928, yang berjudul “Indonesia Merdeka”, dan peristiwa politik sebelumnya pada 1925, memperlihatkan dengan jelas apa yang diyakini akan tiba, yakni Indonesia Merdeka. Soalnya adalah apakah atau siapakah itu Indonesia? Hal yang barangkali paling jelas adalah bahwa penguasa kolonial keberatan dengan nama Indonesia.

Sumpah Pemuda/i, dalam hal ini dapat dipahami sebagai peristiwa yang memperjelas sosok Indonesia lewat tiga poin pokoknya yakni tanah air, bangsa dan bahasa. Jika boleh disederhanakan, maka peristiwa tersebut merupakan momen terbentuknya suatu bangsa, yang diinisiasi oleh generasi baru. Apabila periode sebelumnya, mulai akhir abad XIX hingga awal abad XX, adalah gerakan peristiwa yang menghadirkan jiwa Indonesia atau suatu cita-cita luhur, maka 28 Oktober 1928, adalah kejadian formil, yang akhirnya memberi badan wadag bagi spirit emansipasi bernama Indonesia

Hal yang penting untuk mendapatkan perhatian lebih adalah bahwa bangsa yang baru lahir tersebut, berada di dalam tata kolonial yang tidak menghendaki kelahirannya. Pleidoi Bung Karno di hadapan pengadilan kolonial pada 1930, dapat dikatakan menjadi saksi bagaimana ketegangan antara dua entitas yang berlawanan kepentingan. Sebagaimana Bung Hatta, Bung Karno juga tidak menempatkan peristiwa atas pribadinya adalah peristiwa personal, melainkan peristiwa politik atas sebuah bangsa. Dan mungkin, karena itu pula, Bung Karno menulis: “… selama rakyat belum mencapai kekuasaan politik atas negeri sendiri, maka sebagian atau semua syarat-syarat hidupnya, baik ekonomi maupun sosial maupun politik, diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan yang bukan kepentingannya, bahkan bertentangan dengan kepentingannya.”

Pernyataan tersebut laksana sebuah formula, yang menjelaskan bahwa tidak mungkin keadaan berpihak pada rakyat, jika rakyat tidak memiliki kendali atas kekuasaan dan pergerakannya. Oleh sebab itulah, kemerdekaan menjadi kemutlakan. Teks Proklamasi, dalam batas tertentu, dapat dikatakan sebagai manifestasi dari formula tersebut. Dalam teks, tidak hanya memuat pernyataan merdeka (bebas dari), akan tetapi juga “pemindahan kekuasaan”, dengan sesegera mungkin dan dengan cara yang tepat.

Apa yang akan terjadi setelah pernyataan kemerdekaan? Bung Karno menyampaikan: “Kita sekarang telah merdeka! Tidak ada suatu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita. Mulai saat ini kita menyusun negara kita!” Suatu peristiwa sangat penting terjadi: penyusunan sebuah negara.

Kenyataan

Apakah dengan berdirinya negara, maka dengan sendirinya kekuasaan yang ditunjuk teks proklamasi sebagai peristiwa “pemindahan kekuasaan”, telah secara langsung dapat diambil sepenuhnya? Atau, apakah seluruh kekuasaan dengan itu telah berada di tangan negara, dan negara itu sendiri ada di dalam (kendali) kekuasaan bangsa, sebagaimana maksud formula Bung Karno? Masalah ini penting diajukan, karena akan diperoleh “lensa kritis” dalam melihat dinamika sejarah yang berkembang pada waktu itu.

Dua kemungkinan dapat saja terjadi. Satu, suatu keadaan ideal dimana kekuasaan telah sepenuhnya ada dalam negara dan seluruh gerak negara ada dalam kendali rakyat atau bangsa Indonesia. Jika keadaan ideal ini yang berjalan, maka dapat dipastikan kekayaan negeri akan dikelola untuk kemakmuran rakyat, dan tidak ada lagi isu kebocoran, korupsi dan berbagai aspek yang merupakan kolonial. Bukan itu saja, negara akan mampu membawa bangsa kepada derajat kehidupan yang tinggi.

Dua, suatu keadaan kurang ideal, dimana kekuasaan telah sepenuhnya ada di dalam negara, namun tidak sepenuhnya gerak negara ada dalam kontrol rakyat. Dalam hal ini, kita dapat menghadirkan peringatan Hatta pada sidang BPUPK (15/7/1945) yang khawatir adanya kekuasaan negara di dalam negara: “ … janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan.” Apa yang dikhawatirkan adalah negara menjadi kekuatan tidak sejalan dengan kehendak rakyat.

Pada titik inilah publik seperti mendapatkan pencerahan, tatkala Presiden Prabowo mengatakan: “Marilah kita berani mawas diri, menatap wajah sendiri, dan mari berani memperbaiki diri sendiri, berani mengoreksi diri kita sendiri.” Mengapa melihat kenyataan membutuhkan jenis keberanian tertentu?

Apabila ditinjau dari sudut negara bangsa, maka kemungkinan ada tiga soal yang membutuhkan keberanian dalam mengungkapkannya. Satu, kenyataan tentang (kekuasaan) negara, baik susunan, tata kelola dan kinerjanya dalam melayani rakyat. Dua, kenyataan tentang (seluruh) kekayaan bangsa, baik yang nyata berwujud maupun tak berwujud. Tiga, kenyataan tentang hidup dan kualitas hidup rakyat. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi pada ketiganya, jika Presiden mengatakan: “Terlalu banyak saudara-saudara kita yang berada di bawah garis kemiskinan. Terlalu banyak anak-anak yang berangkat sekolah tidak makan pagi. Terlalu banyak anak-anak kita yang tidak punya pakaian untuk berangkat sekolah.”

Harapan

Indonesia adalah sumur harapan yang tidak akan kering, kendati setiap saat diambil tanpa henti. Pandangan ini diperoleh dari kenyataan historis, yakni tatkala generasi baru pada 28 Oktober 1928, menyatakan diri sebagai Indonesia, dan dengan demikian pula telah terjadi transformasi menjadi dan berada di dalam Indonesia. Peristiwa tersebut dapat pula dipandang sebagai lahirnya pihak baru yang berhadapan dengan kekuasaan kolonial. Dengan lensa Indonesia, tampak jelas bagaimana kekayaan negeri tidak menjadi bagian dari kehidupan rakyat. Bung Karno menggambarkannya sebagai “penyerotan rezeki keluar”.

Frans Magnis-Suseno, dalam “Etika Politik” (1987), menggambarkan sulitnya mengatasi ketidakadilan sosial jika mengandalkan kekuatan yang sebenarnya ikut bertanggungjawab atas keadaan tersebut. Hal itu pula yang mungkin menjelaskan mengapa generasi baru memilih membentuk suatu entitas baru, dan tujuhbelas tahun kemudian: Indonesia Merdeka.

Makna dalam peristiwa tersebut adalah bahwa dengan dan dalam Indonesia, harapan selalu tersedia, dan dari harapan itu pula lahir langkah-langkah bertenaga yang mengubah sejarah. Ketika muncul kesadaran bahwa tulang punggung perjuangan kemerdekaan dan pendirian negara, adalah rakyat, maka hal itu dapat dikatakan sebagai suatu pesan bahwa cita-cita luhur bangsa hanya mungkin dicapai, jika dan hanya jika “kembali kepada Indonesia”. Dengan langkah itu, tidak saja akan diperoleh keberanian mengungkapkan kenyataan secara apa adanya dan jujur, akan tetapi keberanian mengatasi masalah yang telah berakar dalam struktur.

Sampai di sini, rasa pesimistis mungkin akan menghadang. Apakah kesadaran baru akan dengan sendirinya diikuti oleh langkah-langkah yang sejalan? Sebagian kalangan meragukan, mengingat pembentukan tim kerja (kabinet Merah Putih), dianggap kurang mencerminkan kesadaran bahwa situasi penuh keterbatasan. Sebagian yang lain justru punya optimisme: yang berlangsung bukan suatu inefisiensi, melainkan suatu pesan bahwa tanpa kebersamaan seluruh kekuatan negeri, mustahil keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat diwujudkan.

Jika demikian itu yang berlangsung, yakni suatu inovasi politik dalam bentuk bangunan kerja sama dengan spektrum lebar, maka yang menjadi masalah berikutnya adalah bagaimana membuktikan bahwa metode tersebut adalah benar dan optimal? Jika muncul masalah di mana elemen-elemen yang ada berpotensi bekerja untuk arah dan kepentingan yang berbeda, bagaimana mengatasinya? Apakah dimungkinkan suatu terobosan politik, agar kesadaran “kembali kepada Indonesia”, dapat menjadi landasan bagi langkah-langkah utama pembaruan pembangunan bangsa?

Inovasi

Tentu tidak bisa dipungkiri bahwa dia yang dilantik adalah representasi formal dari mayoritas kehendak rakyat. Artinya, rakyat memberikan mandat agar yang terpilih bertindak atas rakyat dan demi kepentingan rakyat. Segala halangan mestinya tidak ada lagi, karena kekuasaan eksekutif telah sepenuhnya diberikan untuk dipergunakan sesuai dengan ketentuan hukum. Namun kenyataan kerap berkehendak lain. Sejarah menyodorkan bukti peluang terjadinya penyimpangan atau keadaan dimana kata dan tindakan berselisih jalan.

Dasar historis itulah yang seharusnya membuka kemungkinan bagi terobosan sejarah. Yang dimaksud adalah langkah inovasi yang merupakan terjemahan dari kehendak kembali kepada Indonesia.

Satu, alih-alih mengadakan pembatasan demi efektivitas jalannya kekuasaan, yang dikembangkan justru memperbesar ruang kebebasan politik bagi warga, dengan arah melebarkan ruang partisipasi publik. Pandangan ini didasarkan pada prinsip bahwa hanya dengan melihatkan rakyat dalam pembangunan bangsa, maka akan dapat lebih dijamin ketercapaiannya.

Dua, perubahan mendasar yang mengangkat kualitas hidup rakyat, dalam kenyataannya sangat mengandalkan daya hidupnya. Bahkan dalam keterbatasan, dan dalam skala mikro, namun ekonomi tidak hanya mampu bertahan dalam hantaman krisis, namun juga dapat menyumbang ketahanan ekonomi. Oleh sebab itulah, cara berpikir yang hanya mengandalkan ekonomi besar dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi, perlu dilengkapi dengan memperkuat ekonomi akar rumput, yang dengan demikian meningkatkan partisipasi ekonomi, akses adil atas kekayaan secara adil, perluasan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan.

Tiga, pola relasi kekuasaan konvensional, yang menempatkan rakyat atau suara akar rumput hanya sebagai penghuni TPS, perlu ditransformasi menjadi suatu relasi baru yang berbasis pada prinsip bahwa rakyatlah pejuang, pelindung dan patriot penjaga eksistensi negara bangsa. Untuk itulah, relasi tidak lagi sebagai relasi kontrol, melainkan relasi partisipasi-emansipatif, yang merepresentasikan relasi demokratik antara rakyat dan negara. Suatu formasi demokrasi yang merepresentasikan kepribadian Indonesia. Adonan ketiganya, yang berporos persatuan nasional, tentu akan menghadirkan kembali Indonesia, yang mampu membawa bangsa kepada cita-cita luhurnya.

 


Artikel ini dipublikasikan pertama kali oleh penulis melalui https://www.antaranews.com/berita/4439941/kembali-kepada-indonesia pada 3 Novermber 2024.