Ibu Adalah Pusat Peradaban

(Sebuah Refleksi di Hari Ibu)

Dalam peradaban manusia, peran ibu tidak hanya sekadar sebagai pengasuh atau pendidik, tetapi juga sebagai pusat dari nilai-nilai kehidupan yang menjadi fondasi sebuah masyarakat. Ibu adalah sosok sentral dalam keluarga, sekolah pertama manusia, serta penjaga nilai dan moral generasi. Melalui kasih sayang dan pengorbanannya, ibu membentuk individu yang berkontribusi pada peradaban dunia.

Ibu Sebagai Pusat Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dari sebuah masyarakat, dan ibu berada di jantungnya. Sebagai seorang ibu, ia tidak hanya bertanggung jawab atas kelangsungan fisik anggota keluarganya tetapi juga menciptakan kehangatan, cinta, dan stabilitas emosional. Kehadiran ibu memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak-anak, sekaligus menjadi penghubung yang menyatukan seluruh anggota keluarga.

Seorang ibu berperan sebagai pengelola rumah tangga, pendidik informal, dan motivator. Ia adalah tempat pertama anak-anak belajar tentang kasih sayang, pengorbanan, dan empati. Dalam kehangatan pelukannya, seorang anak mendapatkan rasa percaya diri untuk menghadapi dunia. Tanpa kehadiran ibu, rumah tangga sering kehilangan arah dan harmoni.

Sekolah Pertama bagi Manusia

Ibu adalah sekolah pertama bagi manusia. Sebelum anak mengenal sekolah formal, ia telah mendapatkan pelajaran berharga dari ibunya. Melalui komunikasi sehari-hari, seorang ibu mengajarkan bahasa, etika, dan nilai-nilai dasar kehidupan. Dari ibu, seorang anak belajar tentang pentingnya kebenaran, kejujuran, dan tanggung jawab.

Selain itu, ibu juga menanamkan pendidikan karakter yang membentuk kepribadian anak. Ia mendidik dengan memberikan teladan langsung, menunjukkan bagaimana bersikap baik kepada orang lain, mengelola emosi, dan menghadapi tantangan hidup. Dengan demikian, ibu memainkan peran penting dalam membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga berintegritas.

Penjaga Nilai dan Moral Generasi

Salah satu tugas terpenting seorang ibu adalah menjadi penjaga nilai dan moral. Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh godaan, ibu memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga agar anak-anaknya tetap berada di jalur yang benar. Ia menanamkan nilai-nilai agama, budaya, dan etika yang menjadi bekal anak-anak dalam menjalani kehidupan.

Melalui nasihat dan pengajaran yang konsisten, ibu membantu anak-anak memahami pentingnya menghormati orang lain, bekerja keras, dan menjaga kejujuran. Ketika anak-anak menghadapi dilema moral, ibu sering menjadi tempat pertama mereka mencari bimbingan. Peran ini tidak hanya berpengaruh pada kehidupan individu tetapi juga pada keberlanjutan moral masyarakat.

 

Pengaruh Ibu dalam Peradaban

Peradaban manusia tidak akan mencapai titik seperti sekarang tanpa peran ibu. Dalam sejarah, banyak tokoh besar yang keberhasilannya tidak lepas dari peran seorang ibu di belakang mereka. Contohnya adalah Thomas Alva Edison, penemu terkenal, yang sangat menghormati ibunya, Nancy Matthews Elliott. Ketika Edison dianggap “terbelakang” oleh gurunya, ibunya mengambil alih pendidikannya di rumah dan memberinya keyakinan untuk terus belajar. Berkat ibunya, Edison mampu mengembangkan bakatnya dan memberikan kontribusi besar bagi dunia.

Demikian pula, Abraham Lincoln, presiden ke-16 Amerika Serikat, pernah berkata, “Segala sesuatu yang saya capai dan yang saya harapkan adalah karena ibu saya.” Ibu Lincoln, Nancy Hanks Lincoln, mengajarkan nilai-nilai kejujuran dan kerja keras yang membentuk karakter Lincoln sebagai pemimpin besar.

Tokoh lain adalah Imam Syafi’i, salah satu imam besar dalam Islam. Ibu beliau, meskipun hidup dalam keterbatasan, memastikan anaknya mendapatkan pendidikan terbaik, bahkan berjalan jauh untuk membawa Imam Syafi’i belajar dari para ulama terbaik. Dedikasinya menjadi inspirasi bagi lahirnya seorang ulama besar yang memengaruhi dunia Islam hingga kini.

Begitu juga dengan Mahatma Gandhi, pemimpin perjuangan kemerdekaan India yang terkenal dengan filosofi ahimsa (tanpa kekerasan). Ibu Gandhi, Putlibai, adalah seorang wanita religius yang mengajarkan nilai-nilai spiritual, kesederhanaan, dan pengendalian diri. Ajaran dan keteladanan ibunya membentuk karakter Gandhi sebagai pemimpin yang penuh kasih sayang dan teguh pada prinsipnya.

Di Indonesia, Soekarno, proklamator dan presiden pertama Republik Indonesia, memiliki hubungan yang sangat erat dengan ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai. Dalam berbagai kisah hidupnya, Soekarno kerap menyebut ibunya sebagai sumber inspirasinya. Dukungan dan doa ibunya selalu menguatkannya dalam perjuangan kemerdekaan. Soekarno sering mengatakan bahwa nilai-nilai keberanian dan kebijaksanaan yang dimilikinya banyak dipengaruhi oleh ajaran dan kasih sayang ibunya.

Ketika seorang ibu mendidik anak dengan nilai-nilai positif, ia sebenarnya sedang mencetak generasi yang akan membawa perubahan besar bagi dunia. Anak-anak yang dibesarkan dengan cinta dan moral yang kuat cenderung menjadi individu yang bertanggung jawab, peduli pada sesama, dan mampu memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat.

Tantangan Modern dan Peran Ibu

Di era modern ini, peran ibu menjadi semakin menantang. Banyak ibu yang harus membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Namun, tantangan ini justru mempertegas pentingnya peran ibu yang tak bisa diabaikan. Dengan kemajuan teknologi dan perubahan sosial, ibu harus tetap menjadi benteng bagi nilai-nilai moral.

Para ibu masa kini dituntut untuk terus belajar dan beradaptasi agar tetap relevan dalam mendidik anak-anak mereka. Mereka harus mampu mengimbangi pengaruh media, teman sebaya, dan lingkungan sosial yang dapat memengaruhi nilai-nilai anak. Dalam situasi ini, peran ibu sebagai mentor dan sahabat anak menjadi sangat penting.

Sebagai refleksi di hari Ibu, sosok ibu perlu ditempatkan kembali pada peran sebagai pusat keluarga dan peradaban, karena dari rahim dan asuhannya lahir individu-individu yang menjadi pembangun dunia. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita menghormati dan memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada ibu, karena tanpa mereka, peradaban manusia tidak akan pernah mencapai kemajuannya yang luar biasa.

Berdagang “Emphaty”

Dari obrolan santai bersama warga sambil ngopi dan makan cemilan disebuah dusun. Tibalah kami pada pembicaraan tentang nenek tua penjual jajan. Konon, tiap hari dia berjualan di pasar dusun. Banyak langganan yang tiap pagi membeli jajanananya, mulai dari anak hingga orang dewasa.

Suatu hari dia berjualan dengan badan berselimut. Dibiarkan dagangan ditempat biasanya dan dia tiduran didekatnya sambil menutup hampir seluruh tubuhnya. Rupanya dia sakit. Badannya demam.

Para pelanggan Iba. Mereka membeli dengan melayani sendiri keperluannya dan menaruh uang ditempat yang biasa nenek berjualan. Sebagian lagi membeli dan menyarankan agar sebaiknya si nenek istirahat dirumah saja.

Ketika ada seseorang yang bertanya kenapa nenek tidak istirahat saja dirumah? Sambil agak gemetar, mulut si nenek menjawab, “ Nanti Si A, Si B, Si C sarapannya bagaimana kalau saya tak jualan, kasihan mereka”.

Ternyata nenek itu berjualan bukan semata urusan ekonomi. Ada aspek lain yang dia hitung lebih dari sekedar soal untung. Ada rasa emphaty dan pergaulan kemanusiaan yang hangat. Mungkin perilaku si nenek berlebihan, lantaran harus mengorbankan dirinya demi orang lain. Namun faktanya ada yang begitu, dan saya kira masih banyak yang lain.

Kondisi itu sama dengan tetangga saya yang penjual kelontong. Saat ketersediaan gas mulai langka, tiga tiba sebuah mobil bak terbuka datang dan si pemilik mobil hendak memborong gas melon yang masih ada. Kontan tetangga saya menolak. Ia hanya menyediakan tiga tabung saja. Begitu saya tanya, kenapa tidak diserahkan semua saja biar barang segera habis. Si tetangga menjawab ringan, “Si A, si B, si C belum datang. Kasihan kalau dia mau beli barangnya habis”.

Sedikit Membedah “TILIK”

Tilik adalah manifestasi guyub. Desa adalah entitas organik, yang orang-orang didalamnya adalah sebuah keluarga besar.

Dari sisi akting film dan tatakelola ‘panggung’ saya masih awam. Dalam film ‘Tilik’, saya hanya bisa menikmati adegan demi adegan dengan perasaan haru biru. Ada kejenakaan, kejengkelan dan keharuan yang bercampur baur. Tentu perasaan saya terseret pada pemain bintang Bu Tedjo yang bermain cemerlang dan amat menjiwai. Termasuk aktris Yu Ning yang berusaha mengimbangi Bu Tedjo. Meski awam film, dibanding sinetron atau film TV (FTV), saya menilai Tilik jauh lebih bermutu.

Film pendek itu cukup memotret pernik kehidupan ‘wong Ndeso’ yang apa adanya. Perbincangan keseharian yang ngalor ngidul dengan gosip gosip aktual di desa terasa nyata dan apik ditampilkan. Saya merasa begitulah umumnya kehidupan warga dengan segala keluguan dan pengetahuan yang dimiliki.

Ada beberapa pesan penting dari film itu yang patut ditangkap. Pertama, soal guyup. Tilik adalah manifestasi guyub. Desa adalah entitas organik, yang orang-orang didalamnya adalah sebuah keluarga besar. Satu orang punya hajat atau mungkin kena musibah warga lain turut perhatian dan nyengkuyung (turut memberi dukungan/bantuan).

Mereka melakukan upaya apa saja, kontribusi apa saja agar bisa terlibat atau partisipasi sebagai bagian dari ‘keluarga’. Tilik adalah potret kecil dalam ekspresi keguyuban warga di pedesaan. Menurut saya fenomena tilik adalah bentuk asuransi sosial di tengah warga khususnya di pedesaan. Dan Desa punya banyak stok sosial macam itu. Jika mau melihat potret lain yang serupa tilik bisa diangkat kisah kisah lain seperti ‘lelayu’, ‘kerja bhakti’, ‘rewang’ dll.

Memang tak semua desa masih ‘hidup’ tradisi keguyuban. Banyak desa sudah berubah menjadi ‘kota’ dan diwarnai kehidupan kota yang cenderung individualistik dan materialistik yang memudarkan kehidupan guyub. Warna kota sudah mulai menerobos kehidupan desa, meski masih banyak tradisi yang mampu bertahan, Tilik atau tilikan satu diantaranya.

Kedua, egoisme yang menjadi ‘musuh’. Adalah tokoh Dian yang menjadi gosip warga. Dian tampaknya sosok yang punya dunia lain. Punya gaya pergaulan lain dan mungkin karena wawasan dan pengetahuan yang dimilikinya. Boleh jadi Dian kurang bergaul dengan warga yg kebetulan punya kelebihan, cantik.

Persoalannya bukan soal cantik, tapi perilaku Dian yang mungkin tidak banyak gaul dengan warga membuat gosip bertebaran. Mungkin beda jika Dian, yang cantik dan mungkin juga pintar, berada dalam radius pergaulan warga. Yang terjadi mungkin adalah pujian. Intinya, bahwa dalam kehidupan dipedesaan, kebersamaan dalam pergaulan sosial sangat penting dan utama.

Ketiga, soal nilai. Masih dalam tokoh gosip Dian. Meski tak jelas kebenarannya, Dian dipertanyakan perilaku dan gaya hidupnya. Sorotan terhadap Dian atas perilakunya dengan orang tak dikenal dan materi yang diperolehnya menjadi tanda tanya warga desa.

Warga tak mesti benar dalam memandang Dian, tapi penilaian warga masih mengandung unsur nilai tentang pergaulan dan bagaimana orang mendapatkan materi. Ada semacam rasionalisasi nilai yang sebenarnya masih hidup diwarga, khususnya pedesaan.

Keempat, gosip dan tekanan sosial. Film Tilik menggambarkan betapa beratnya hidup di tengah warga, utamanya dalam menghadapi gosip. Obrolan sepanjang perjalan menuju rumah sakit itu adalah juga obrolan keseharian warga. Sementara itu omongan warga bagi kebanyakan orang adalah ‘nyata’. Menjadi semacam ‘hukuman’ yang tak ringan. Oleh karena itu banyak warga pedesaan sangat menjaga perilaku dan pergaulanyanya, agar tidak jadi ‘omongan’ warga. Disitu beratnya hidup dipedesaan yang membuat sebagian memilih kehidupan kota yang cuek dan tak peduli.

Secara umum saya menganggap film itu bagus. Dan saya memberi apresiasi yang tinggi pada mereka yang bekerja membuat film itu. Selain kreatif dan cerdas, saya menganggap para sineas dibalik film tilik itu adalah penyambung lidah kebudayaan.