Kas!

 

Korupsi, penyakit menahun yang menempatkan negeri kita di kelas paria dalam gerakan antirasuah itu.  Ini merupakan topik yang sudah lama saya geluti, 30-an tahun. Karena itu, kelak-kelok sebagian besar rute peta jelajahnya, sudah hafal. Ibaratnya, tidak perlu pakai aplikasi googlemaps atau waze lagi-lah. Makanya, biar tidak stres, sesekali kita butuh penyegaran.

Penyegaran pertama, beberapa waktu lalu melintas video stand up comedy di “Great Forbidden Show”-nya Deddy Corbuzier.  Cuplikan yang beredar, tak sampai satu menit. Perhatian saya dengan lekas tersedot sebab komediannya ternyata tentara, dari Sidoarjo. “Saya bisa ke mari karena sudah diberi izin sama komandan,” ujarnya. Ketika manggung pun ia tetap berseragam tentara, lengkap. Namanya: Sersan Mayor TNI AL, Yusuf.    Anda bisa tonton sendiri di internet, semoga belum dihapus. Begini kata Serma Yusuf:

“Saya ini tidak suka berita di luar yang jelek-jelek tentang tentara. Katanya, masuk tentara itu bayar. Itu hoaks! Eggak ada itu. Itu diembuskan sama orang-orang yang gagal. Kalau kamu enggak diterima, ya kamu harus perbaiki, dong. Gimana mau berkorban untuk negara dan bangsa kalau berkorban sawah saja nggak mau?”

Seperti itulah kondisi penerimaan atau toleransi masyarakat kita hari ini terhadap perilaku korupsi/KKN. Saking konyolnya, sampai-sampai dijadikan konten, oleh tentara lagi, sebuah profesi yang banyak disegani masyarakat kita. Topiknya pun nasib dia sendiri.

Sebulan lalu kita mendengar kecelakaan di Tol Purbaleunyi. Jika diusut-usut, sumber dari sumber penyebabnya ya korupsi: uji kelayakan kendaraan di-by pass oleh amplop. Belum lagi meledaknya judol, pinjol, narkoba, stunting atau gizi buruk, aksi lancung membanjiri bansos ini-itu saat jelang pemilu/pilkada, jalan buruk, guru dibayar murah, bapak bunuh diri karena kesulitan ekonomi, dst. Pendek kata, di luar soal nasib atau takdir, warta-warta buruk itu hampir pasti disebabkan oleh hulu yang juga buruk. …

Penyegaran kedua, hari ini, saya memberanikan diri untuk membincang korupsi dengan memulainya dari sesuatu yang, setidaknya buat saya, relatif baru. Dan, rasa-rasanya, cocoklah untuk orang-orang seusia saya sekarang. Mengingat bahwa ini area terra incognita saya, maka kalau ada meleset-melesetnya, mohon dimaafkan.

Terra incognita saya yang saya maksud tadi adalah menembang macapat Jawa. Pasti dalam hati, Anda akan bergumam, Wah, kalau ini sih bukan penyegaran, tapi penyegaran banget. Semoga tidak fals-fals amat.” Belum pernah dengar saya nembang, kan? Kaget, kan? Jangan khawatir, saya sendiri pun kaget.

Yang mau saya tembangkan ialah Serat Wedhatama, sebuah adikarya didaktis Jawa abad ke-19 gubahan seseorang bernama Mas Sudiro. Ada yang familiar dengan nama ini? Jika belum, beliaulah pencipta gending Ketawang Puspawarna (PUSPOWARNO?), satu dari sedikit karya terpilih

umat manusia yang dicari-cari NASA dan kemudian direkam. Pada 1977, rekaman itu, oleh pesawat antariksa nir-awak NASA, Voyager-I, ditaruh di luar angkasa agar kelak ditemukan oleh kehidupan cerdas di luar sana atau manusia Bumi era masa depan.  Sebagian dari kita, pasti tahu: Mas Sudiro adalah nama kanak-kanak dari (Adipati) Mangkunegara IV.

Serat Wedhatama berisi 100 bait. Saya pinjam satu bait saja, bait ke-33. Itu saya pilih karena, selain paling kuat dan populer, pesannya pun relevan dengan acara kita. Saya coba tembangkan, ya. Metrum tembangnya: pocung.

Teks Asli Terjemahan
Ngelmu iku kalakone kanthi laku,

lekase lawan kas,

tegese kas nyantosani,

sêtya budya pangekêse dur angkara.

Ngelmu itu terlaksananya melalui aksi nyata,

dimulainya dengan kas,

kas itu bermakna sikap militan/spartan,

setia/militansi pada budya, merupakan peringkus segala bentuk kejahatan.

 

Sêtya Budya

Budya”; bahasa Jawa Kuno ini agak susah dicari padanan katanya di bahasa Indonesia. Biasanya dipadankan dengan “budaya”, tapi budya maknanya jauh lebih indah dan dalam.

Budya berasal dari kata budh (sadar, tercerahkan) dan daya (kualitas ilahiah/ketuhanan). Jadi, budya bermakna: kondisi bangkit/sadarnya kualitas ketuhanan yang sebenarnya sudah bersemayam lama dalam diri.

Apa itu kualitas ketuhanan? Pasti kita semua sudah tahulah itu: welas asih, berintegritas, bertanggung jawab, pemaaf, mustahil nyolong, mustahil korupsi, dll., termasuk punya malu karena Tuhan sendiri adalah al-Hayyiyu ‘Maha Punya Malu’.

Ini memang kesadaran level tinggi, tapi tidak susah untuk dijelaskan. Begini. Ketika kita sudah mem-budya, maka emohnya kita bertindak korupsi, misalnya, itu sepatutnya bukan lagi dimotivasi oleh takut pada pasal-pasal, dosa, ayat, sanksi, penjara, neraka, dll. Bukan. Tapi semata-mata karena kita budh ‘sadar’ bahwa Tuhan, sesembahan sekaligus sumber pengajaran kita itu, MUSTAHIL korup/nyolong, dan itu kita tempatkan sebagai cermin berperilaku. Titik.   Itulah yang dimaksud budya, benteng kualitas ketuhanan dalam diri.

Sebaliknya, ketika berbuat baik/lurus, maka motivasi kita pun seyogianya bukan untuk cari pahala, surga, apalagi insentif dan puji-sanjung, tapi semata-mata karena Tuhan kita PASTI baik/lurus, dan itu kita tempatkan sebagai cermin berperilaku. Pahala dan surga, itu domain Tuhan, bukan domain kita. Segala bentuk puji-sanjung, itu toh bukan kita punya, tapi mutlak punya-Nya: alhamdulillah.

Nah, konsep kesetiaan/militansi berperilaku seperti itulah yang, menurut Mas Sudiro, dipercaya ampuh untuk membentengi diri kita dari energi jahat: sêtya budya pangekêse dur angkara! Hal ini mirip “panoptikon”,

yakni konsep yang memungkinkan pengawasan efektif berlangung tanpa kehadiran pengawas yang terlihat.

Tuh, indah dan dalam sekali maknanya, bukan? Dalam hemat saya, proses membangun karakter semacam ini, yaitu melalui cara menemu-kenali “kedirian” kita dengan merelasikannya ke realitas keilahian sebagai sangkan-paran (titik berangkat dan berpulang) hidup, itu sangat khas manusia Nusantara!

Kas

 

Betapa pun indahnya sêtya budya, dalam praktiknya, kita toh butuh strategi. Syukurlah Mas Sudiro memberi tahu kuncinya, kas! Saya tadi mengartikan kas sebagai militansi, spartan, atau ngotot, holistik, tidak asal-asalan, teguh-kukuh, bersetia, penuh determinasi.

Pertanyaannya, mengapa kita atau negeri kita saat ini sepertinya tidak kas lagi dalam upaya-upaya memberantas korupsi? Bukankah karena itulah yang membuat negeri ini jadi buruk, jelek, sial, dan bangkrut?

Seburuk-buruk keadaan adalah ketika bahasa kejujuran-kebenaran sudah jadi tabu atau ditabukan, dan bahasa kebohongan-penipuan justru dibanjiri puja-puji apresiasi.

Sepenyok-penyok kondisi adalah ketika orang yang jujur-lurus dilibas-disingkirkan, dan para pembengkok-pelampau batas (penipu, pencuri, penggarong, pengemplang, pencuci uang, dsb) malah dielu-elukan bahkan dijadikan idola-panutan.

Sesial-sial kebangkrutan adalah ketika segala hal ditujukan buat berpuas-puas di hari ini, dan alpa bahkan “masa bodo amat” pada kenyataan generasi mendatang.

Serendah-rendah peradaban adalah ketika di mana-mana ajaran kemuliaan antusias sekali dijalankan tapi tidak lebih dari untuk beroleh citra “baik” atau “bermoral” di mata ego/sosial, sambil meludahi-memantati derajat hakiki kemanusiaan dan Tuhan.

Sehina-dina derajat manusia adalah ketika “malu bertindak cela” tidak dinajiskan, tidak disanksi, tidak dijauhi, tapi malah didekati, ditoleransi, dilegalkan, di-copy dan bahkan dijadikan way of life oleh banyak orang. Yang menentangnya malah dicap “sok suci”, dikepret, dibungkam, dikriminalisasi, disel, bahkan dijadikan pesakitan di pojok-pojok perundungan yang terorganisir-tersistematis.

Tuhan itu al-Hayyiyu, Yang Maha Punya Malu. Melaluinya, digariskanlah secara tegas derajat antara manusia dan binatang. Manusia berada di sisi yang punya malu (hiri’), dan binatang di sisi sebaliknya (ahirika). Mewabahnya perilaku ahirika yang hari-hari ini, mulai dari ujung ekor hingga terutama di kepala itu, dengan demikian, sejajar dengan aksi pembangkangan terhadap Tuhan.

Itulah mengapa, ibarat seorang imam yang ndableg salat terus padahal berkali-kali sudah ia kentut bahkan kencing, dampak kerusakan dari ahirika berjamaah ini tiada terperi, dahsyat sekali!  Kebobrokan terjadi di mana-mana. Degradasi moral jadi melazim. Terjun bebasnya etika malah disambut gemuruh tepuk tangan. Sudah pasti kehancuran bangsa tinggal tunggu waktu jika kondisi ini tidak lekas ditangani secara kas.

Bagi saya, dalam melawan korupsi, kas itu bukan soal spirit dan determinasi tinggi saja, tapi harus juga dimaknakan sebagai KAS: Knowledge, Action, System. Ketiganya modal penting kita memberesi korupsi yang dijalankannya harus secara paralel-sinergis.

Knowledge soal antikorupsi, dalam sebait tembang tadi paralel dengan diksi ngelmu ‘punya ilmu/pengetahuan’. Aksi tanpa ilmu, itu seperti mendayung sampan di padang sabana. Bergerak atau bekerja sonder ilmu akan sia-sia, tidak akan nyampe ke tujuan, sebab tak ada penuntun.

Adalah suatu kekonyolan dan kesia-siaan besar saat push diberikan untuk misi kerja-kerja-kerja tapi ilmu, visi, target, apalagi etika dan malunya zero.

Sehingga, yang pemandangan umumnya adalah: program-program antikorupsi hebohnya hanya saat seremoni belaka, bukan saat aksi. Alhasil, tanpa ilmu, semangat dan program antikorupsi hanya akan tergolek sebagai proyek belaka, buang-buang anggaran, kerja-kerja-kerja belaka, padahal korupsi merupakan kejahatan luar biasa.

Action tentang antikorupsi, dalam sebait tembang Mas Sudiro tadi paralel dengan diksi laku. Ilmu tanpa aksi dan perilaku, itu seperti pepohon yang gagal berbuah. Maka, konsep-konsep yang bagus dan komprehensif di langitan harus diturunkan ke bumi, dijabarkan hingga ke level aksi. Konkret.

Tanpanya, seperti sudah bisa diduga, program-program antikorupsi akan teronggok semata-mata hanya jadi jargon, gincu-gincu politik, atau konten entertaintment. Supaya masing-masing aksi bisa berjalan sinergis, dibutuhkanlah sistem.

System antikorupsi, dalam sebait tembang di Serat Wedhatama tadi paralel dengan diksi nyantosani ‘menguatkan, terkendali’. Dengan sistem yang baik, masing-masing pemangku kepentingan antikorupsi jadi tahu di mana, kapan, dan dengan siapa saja mereka bekerja atau berkoordinasi. Terobosan-terobosan antikorupsi yang dilancarkan akan berjalan efektif, efisien, terkendali.

Redundansi atau tumpang-tindih kewenangan jadi tereduksi. Aspek-aspek knowledge bisa dipertautkan secara pas dan komprehensif dengan aspek action; begitu pula sebaliknya. Masing-masing aspek jadi beroleh porsinya yang sepadan, tidak berat sebelah. Hanky-panky di antara pihak-pihak yang bersangkutan jadi bisa diantisipasi, diprediksi, dan diidentifikasi jauh sebelum terjadi.

Demikianlah kira-kira pendekatan kas terhadap gerakan antikorupsi yang saya dapat dan gali dari Serat Wedhatama-nya Mas Sudiro. Semoga bermanfaat, syukur-sukur jika bisa menawarkan sejenis perspektif yang lebih segar terhadap penanganan korupsi di masing-masing “pekarangan” kita, para pengampunya.

Akhir kata, tidak mau kalah dengan Mas Sudiro, saya akan tutup pidato ini dengan sebait “tembang” yang saya gubah dan lalu terbitkan di twitter pada 20 Maret 2016. Begini:

 

Jaga Pekarangan

Setiap zaman punya pemimpinnya.

Setiap pemimpin punya tantangannya.

Di masa revolusi, Panglima Soedirman berpesan:

“Jaga pekarangan masing-masing.”

 

Salam kas!

 

Pahlawan dan Korupsi

“…tatkala negara yang dibentuknya sendiri telah bergerak jauh dari tujuan, maka rakyat bergerak membentuk ruang kemungkinan baru agar perbaikan bisa dilakukan.”

Apa kaitannya pahlawan dan kepahlawanan dengan korupsi? Percaya atau tidak, pertanyaan ini terus terngiang-ngiang, terutama setelah ada elite politik yang mengingatkan bahwa pada masa awal kemerdekaan para pejuang mengandalkan dukungan rakyat. Tanpa dukungan rakyat, para pejuang akan mati kelaparan, dan sangat mungkin langkah tidak sampai.

Pandangan ini sendiri mungkin sekali dalam satu garis teori yang mengatakan bahwa jika suatu gerilya bertahan lama, pastilah gerakan tersebut memperoleh dukungan rakyat. Jika tidak, maka dengan isolasi pergerakan makanan, akan dengan segera berakhir suatu perlawanan.

Dalam berbagai kisah perubahan di banyak negeri, kerangka kerja tersebut juga muncul. Apa yang terjadi di Filipina, dan di Indonesia sendiri pada 1998, sebenarnya memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa keberadaan dukungan rakyat akan memberi makna yang sangat besar. Bukan hanya dukungan bahan kebutuhan, tetapi juga legitimasi.

Oleh sebab itulah, setiap abuse of power akan senantiasa memutus hubungan antara kekuatan perubahan dan rakyat. Apakah melalui pembatasan pertemuan, restriksi berorganisasi, hingga menekan kebebasan berbicara. Dan, barangkali karena faktor itu pula, mereka yang menguasai tribune kekuasaan, juga berlomba untuk mendekat kepada rakyat dan memelihara dukungan, walaupun telah tidak lagi di panggung formal.

Dukungan rakyat demikian penting artinya, dan bahkan apabila kita menarik garis waktu ke belakang, maka akan juga terlihat jelas bahwa rakyatlah yang sesungguhnya memberi makna nyata pada kemerdekaan Indonesia. Mengapa demikian? Pertama, jika kita kembali kepada konfigurasi politik nasional dan politik global pada Agustus 1945, akan tergambar bahwa faktor eksternal lebih memberi ruang kesempatan ketimbang konfigurasi politik nasional.

Para pemimpin dengan keberanian dan jiwa patriot telah mengambil langkah yang tidak terduga, yakni menyatakan Indonesia merdeka. Padahal apa yang kita punya? Dalam amanat kemerdekaan tahun 1946, Bung Karno secara gamblang mengatakan bahwa modal kita hanya spirit, yakni rasa ingin yang sangat kuat untuk merdeka.

Kedua, masalah muncul persis setelah kemerdekaan dinyatakan. Pemerintahan Bala Tentara Pendudukan masih eksis dan memegang kendali pemerintahan. Pada saat yang bersamaan ada kabar bahwa sekutu akan segera masuk. Bagaimana mengatasi situasi yang pelik dan menentukan hari depan kemerdekaan? Secara tidak terduga, terutama jika dilihat dari perspektif yang lebih strategis, kendati mungkin para pejuang terus merintis jalan, muncul suatu peristiwa yang demikian penting artinya. Yakni, mobilisasi besar di Lapangan Ikada (19 September 1945) dan perjuangan 10 November 1945 yang demikian menyejarah.

Pada 10 November, kendati elite Jakarta kurang mendukung karena tengah melakukan diplomasi, gelora rakyat yang tidak terbendung menunjukkan kepada dunia bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan peristiwa besar yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh dunia.

Apa yang menjadi penting untuk menjadi bahan refleksi adalah bahwa dukungan rakyat yang kuat, jiwa dan raga, serta harta benda, telah menjadikan gagasan Indonesia menjadi nyata dan hidup.

Pada tahap selanjutnya, dukungan rakyat makin luas, terutama jika dikaitkan dengan perlawanan bersenjata dan gerilya, yang kesemuanya itu dimungkinkan karena adanya bantuan dari pihak rakyat. Para sejarawan dengan pendekatan yang tidak hanya memberikan perhatian pada peran elite, makin membuka mata publik bahwa peran rakyat demikian besar dalam mewujudkan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara.

Bukan hanya itu, tatkala negara yang dibentuknya sendiri telah bergerak jauh dari tujuan, maka rakyat bergerak membentuk ruang kemungkinan baru agar perbaikan bisa dilakukan.

Korupsi

Dari mana datangnya korupsi? Para ahli mungkin bisa bertukar pikiran untuk menjelaskan secara baik asal-usulnya. Namun, bagi publik, korupsi jelas merupakan problem mendasar yang mengganggu bangunan tata hidup bersama. Masalahnya: mengapa praktik korupsi dari waktu ke waktu menunjukkan gerak grafik yang naik?

Sementara langkah pemberantasan korupsi terus diperbaiki dan pada masa kampanye terus disuarakan sebagai agenda utama? Apakah ada yang salah dalam strategi, atau bahkan kesalahan pada tingkat yang lebih awal: mendefinisikan apa itu korupsi? Para ahli telah memberi penjelasan, termasuk di antaranya B Herry Priyono, yang dari padanya dapat diduga bahwa sangat mungkin kesalahan datang dari pangkal.

Memang, dalam praktik hari-hari ini, apa yang disebut sebagai korupsi sangat lekat dengan bagaimana perbuatan itu didefinisikan. Jika dilihat dari kerangka hukum, jelaslah bahwa sesuatu dinyatakan tindak pidana korupsi jika dan hanya jika masuk dalam kategori hukum atau ada di dalam pasal.

Apabila publik, dengan rasa keadilannya, memandang bahwa suatu perbuatan telah masuk kategori korupsi, sementara ketentuan tidak memasukkannya, maka jelas perbuatan tersebut tidak akan terkena sanksi hukum. Demikian itulah yang berlangsung. Publik dapat segera paham bahwa pada akhir perdebatan yang terjadi ialah perdebatan tentang pasal, pengertian dan tentu tafsir atasnya. Soalnya: siapa yang paling berhak memberikan tafsir?

Pertanyaan terakhir tersebut tentu bukan dimaksudkan untuk memproblematisasi, tetapi demi mengangkat problem tersebut ke level yang melampaui teks formil dan meletakkan problem ke arena publik (republik). Masalahnya, bukan lagi sekadar apakah ada di wilayah legal formal, melainkan di dalam arena hidup publik, yang dalam hal ini hendak digunakan kategori wajar ataukah tidak.

Adapun kewajaran sendiri hendak dilandaskan pada esensi dari apa yang di atas disebut sebagai dukungan rakyat. Kemerdekaan adalah reaksi publik atas relasi yang tidak wajar. Suatu relasi di mana yang berhak justru berkuasa dan mengatur nasib bangsa lain. Ketidakwajaran tersebut dirumuskan secara sangat adi manusiawi: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa….”

Dengan perspektif tersebut, korupsi bukan sekadar peristiwa hukum, melainkan peristiwa kebangsaan. Praktik korupsi sudah tidak memadai dipandang sebagai ‘tindak mengambil’, tetapi suatu ‘tindak merusak’. Lantas apa yang dirusaknya? Jika diperkenankan untuk memberikan pandangan atas apa yang sungguh-sungguh dirusak, dapat dikatakan bahwa yang dirusak ialah jiwa bangsa itu sendiri. Apa maksudnya? Yakni bahwa apa yang diperjuangkan, dibela dengan jiwa raga, ternyata menjadi tempat subur bagi tindakan yang ingin dihilangkan dari bumi pertiwi.

Kemerdekaan adalah pintu bagi hari depan yang baru. Hari depan di mana tidak ada lagi tindakan yang tidak dibenarkan oleh moral merdeka. Adanya tindak korupsi berarti mengabaikan segala pengorbanan para pahlawan yang membentuk Indonesia.

Lewat nalar itu pula, barangkali akan lebih mudah dijelaskan mengapa korupsi masih tetap ada dan malah berkembang? Salah satu sebabnya tentu karena negara telah dirusak lapisan moralnya, sehingga kesanggupannya untuk melahirkan tata hidup yang tidak memberi tempat pada segala tindakan yang anti-republik telah mengalami penurunan.

Tidak saja kerangka legal formal yang mengalami penurunan kemampuan, tetapi juga politik, ekonomi, dan sosial budaya. Kontestasi politik yang dimaksudkan untuk menemukan dia yang paling baik moral politiknya, dalam kenyataan justru menjadi pintu bagi mereka yang sanggup menerobos batas-batas kepatutan. Demikian halnya ekonomi dan sosial, yang konstruksinya memungkinkan kesenjangan yang lebar dan membiarkan sebagian besar hidup di bawah garis kemiskinan.

Jalan Kewajaran

Kita tentu tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa dunia berkembang demikian cepat. Ragam penyesuaian telah dan sedang serta mungkin akan terus berlangsung. Apa yang dulu dianggap ideal, bisa jadi kini telah berkebalikan. Generasi baru bisa saja punya pandangan-pandangan baru, sebagai akibat pergaulan global dan barangkali juga akibat dari keadaan yang berubah.

Meski demikian, kita dapat mengatakan bahwa di antara berbagai perubahan tersebut, terdapat hal-hal yang tidak terbantahkan, yang akan memaksa kita sebagai bangsa untuk pulang kepada nilai-nilai dasar republik. Salah satu yang paling aktual ialah kenyataan perubahan iklim, yang apabila digunakan kacamata Gandhi, maka dapat dikatakan bahwa kesemua itu merupakan akibat dari ketidakwajaran (baca: keserakahan).

Secara teknis, keadaan tersebut tentu akan memaksa penyesuaian di sana-sini. Ekologi tidak mungkin lagi sepenuhnya ada dalam kendali ekonomi, bahkan mungkin harus diubah 180 derajat? Apa mungkin secara drastis. Rasanya tidak, walaupun jalan ke arah itu mau tidak mau harus dilewati, jika kita tidak ingin keadaan semakin buruk.

Pada titik inilah kita ingin mengatakan bahwa telah tiba waktunya di mana kewajaran menjadi paradigma dalam hidup bersama kita, sedemikian rupa sehingga segala ketidakwajaran dapat dikendalikan oleh hukum, karena memang sedari awal dikonstruksi untuk mengendalikan dan bukan untuk melayani ketidakwajaran.

Jalan kewajaran inilah yang kita harapkan dapat memulihkan jiwa republik yang telah dirusak oleh tindak korupsi. Namun, kita juga menyadari bahwa kesembuhan total dari sesuatu yang telah berbentuk laksana kanker harus mungkin terjadi jika ada tindakan khusus pada penyebab utama. Terhadap hal yang besar dan berat, tidak mungkin diselenggarakan dalam tempo bertahap.

Rumus yang tersimpan dalam teks Proklamasi dapat digunakan, yakni perlunya suatu operasi, atau tindakan cepat, agar sumber penyakit bangsa dapat diatasi. Baru setelah sumber utama diangkat, dibutuhkan cukup waktu untuk pemulihan. Apakah mungkin dilakukan?

Pernyataan pemimpin nasional dan langkah-langkah yang ingin diambil menampilkan secara terang suatu watak patriotik. Sebagaimana disinggung di atas bahwa sikap memberi hormat kepada rakyat, atas jasa-jasa ketika menolong para pejuang kemerdekaan, memberi pesan kuat suatu keinginan untuk tidak menyia-nyiakan segala yang telah diberikan oleh para pahlawan.

Gerak negara yang benar, yang sepenuhnya dalam koridor dasar negara dan konstitusi serta mengabdi untuk kepentingan publik, akan dapat dibaca sebagai sikap terpuji dan luhur untuk menghormati pengorbanan para pahlawan yang membentuk Indonesia. Dengan teguh dan sikap setia pada apa yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan, maka segala bentuk korupsi dan derivasinya akan bisa dihilangkan dari Indonesia.

 


Artikel ini dipublikasikan pertama kali oleh penulis melalui https://mediaindonesia.com/opini/715687/pahlawan-dan-korupsi pada 7 Novermber 2024.