
Penggantian Dirut dan Wadirut Pertamina yang terkesan mendadak, semoga, tidak menjadi signal buruknya pola pengambilan keputusan di sektor energi secara keseluruhan. Ada gejala berbagai keputusan strategis di bidang energi kurang mengedepankan karakteristik pengelolaan sektor yang harusnya berorientasi jangka panjang.
Semua tahu betapa strategisnya sektor energi. Pembangunan di berbagai kawasan hanya mungkin dilakukan apabila ada dukungan ketersediaan energi. Pasar, rumah sakit, sekolah, stasiun kereta, terminal bus, bandara, pelabuhan laut dan sungai, semuanya hanya dapat dioperasikan apabila listrik tersedia.Keterlambatan penyediaan energi akan membuat pembangunan di segala aspek terhambat juga.
Mengingat betapa strategisnya peran sektor energi bagi perkembangan sektor-sektor lainnya, pengelolaan sektor energi haruslah memperhatikan beberapa prinsip di bawah ini: berorientasi jangka panjang, berfokus pada penguatan kemampuan sendiri menuju terwujudnya kedaulatan energi, dan dilakukan dengan mengedepankan asas-asas profesionalisme.
Prinsip-prinsip di atas telah secara jelas diatur dalam berbagai regulasi di bidang energi, termasuk UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, dan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Meski demikian, prinsip-prinsip tersebut tampaknya belum sepenuhnya dilaksanakan. Masih banyak hal-hal yang harus disempurnakan yang menjadi pekerjaan rumah kita bersama.
Contoh yang mutakhir adalah proses pemberhentian dua petinggi Pertamina, yaitu Direktur Utama dan Wakil Direktur Utama. Pertamina adalah ”kapal induk raksasa”, yang tidak mudah dibelokkan begitu saja. Untuk mengganti nakhodanya, seharusnya dilakukan pertimbangan-pertimbangan yang amat matang.
Apalagi jika diingat, saat ini Pertamina sedang mencapai kinerja terbaiknya setelah berkali-kali mengalami pasang surut pembenahan manajemen, dan tata kelola bisnisnya.
Banyak arah pembenahan yang sedang dijalankan atau bahkan baru saja dimulai.Tetapi secara tiba-tiba, Presiden melalui Menteri BUMN memutuskan untuk mencopot dirut dan wakil dirutnya.
Keputusan ini buruk karena mengabaikan prinsip kehati-hatian, mencopot pimpinan tertinggi perusahaan besar, tanpa persiapan matang. Lebih buruk lagi, mencopot Dirut dan Wadirut sekaligus, tetapi penggantinya digantung, dikosongkan. Suatu signal yang negatif, baik ke dalam maupun ke luar Pertamina, karena membuka ruang ketidakpastian.
Mengelola perusahaan raksasa seperti Pertamina tidak saja memerlukan pemahaman tentang industrinya, tetapi juga memerlukan kepemimpinan yang diterima dengan baik untuk memperoleh dukungan yang memadai dari seluruh pemangku kepentingan.
Dalam hal ini, lamanya masa kerja menjadi faktor penting.Karena itu, banyak perusahaan minyak besar di dunia, rata-rata CEO-nya diberi kepercayaan untuk jangka waktu yang cukup lama.
CEO Petronas, misalnya, pernah selama 12 tahun tidak diganti, ketika dijabat oleh Tan Sri Hasan Merican. CEO ExxonMobil, Rex Tillerson, yang baru saja diangkat sebagai Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, menduduki jabatannya selama 10 tahun. Sedangkan CEO Saudi Aramco masa kerjanya berkisar antara lima tahun sampai 14 tahun.
Bandingkan dengan Direktur Utama Pertamina, yang sejak era reformasi mengalami pergantian rata-rata setiap dua tahun. Ariffi Nawawi mengalami masa tugas terpendek, yaitu hanya 11 bulan.
Dwi Sutjpto dan Ahmad Bambang, yang diberhentikan, masa tugasnya baru dua tahun tiga bulan.
Sejak 1998, Direktur Utama Pertamina telah mengalami pergantian sembilan kali. Terlalu seringnya pucuk tertinggi pimpinan Pertamina diganti, menyebabkan Pertamina sulit mencapai prestasi terbaiknya.
Sebab, dengan bergantinya pimpinan, berganti pula preferensi, prioritas, dan gaya kepemimpinan; yang sedikit banyak akan berpengaruh pada tata cara pengelolaan perusahaan secara keseluruhan.
Patut dicatat, proyek-proyek yang dikerjakan Pertamina merupakan proyek jangka panjang dengan nilai investasi ratusan trilyun rupiah. Dengan masa kerja yang pendek itu, bagaimana mungkin Pertamina mampu bersaing dengan perusahaan kelas dunia seperti disebutkan di atas?
Saya termasuk yang mengikuti cukup dekat proses-proses pergantian Direksi Pertamina, karena tugas dan tanggung jawab saya sebagai birokrat di Kementerian BUMN maupun tugas-tugas lain sesudahnya.
Dapat saya katakan, semakin besar ”minat” penguasa untuk menjadikan kapal besar bernama Pertamina sebagai instrumen politiknya, maka pergantian kepemimpinan di Pertamina semakin tidak berpola: tidak jelas kriterianya, tidak jelas waktunya, dan tidak jelas tata cara penggantiannya. Dalam situasi seperti ini, maka jangankan peran Dewan Komisaris, peran kuasa pemegang saham (Menteri BUMN), pun diabaikan. Proses TPA hanyalah menjadi formalitas dari preferensi subjektif pimpinan tertinggi negara, yaitu Presiden RI.
Sebaliknya, semakin besar niat pemimpin negara untuk membangun Pertamina sebagai perusahaan yang kuat, keleluasaan dan kewenangan yang diberikan kepada kuasa pemegang saham dan pengurus korporasi, baik direksi maupun Dewan Komisaris, semakin besar.
Banyak sekali keputusan teknis yang akan menghasilkan hal terbaik, jika diambil oleh para ahlinya. Dan ini berarti, diperlukan keleluasaan dan kewenangan penuh para profesional di bidangnya.
Sekadar menyebut contoh adalah pengelolaan Petral. Dahulu pembahasan bubar atau tidaknya Petral, anak perusahaan Pertamina penuh dengan nuansa kepentingan politik.Tetapi, pada saat kewenangan dan keleluasaan diberikan penuh kepada pelaksana teknis, dan dikerjakan secara profesional, maka efisiensi mata rantai pasokan BBM dapat ditingkatkan signifikan dengan pembubaran Petral dan pemberdayaan unit kerja Integrated Supply Chain (ISC) di Pertamina.
Kembali ke Pertamina, publik menunggu apakah akan ditunjuk pemimpin yang kredibel; yang tidak saja kuat integritasnya melainkan juga memiliki pemahaman industri dan kapasitas kepemimpinan yang kuat.
Atau sebaliknya, yang ditempatkan hanyalah proxy untuk agenda-agenda jangka pendek, yang berlawanan dengan prinsip-prinsip pengelolaan energi seperti diatur dalam undang-undang kita.
Kita menaruh simpati pada seluruh jajaran Pertamina yang tengah bekerja keras. Kita memberikan apresiasi pada hasil-hasil yang telah dicapai.Jangan sampai semangat yang sedang tinggi-tingginya, diruntuhkan oleh tangan-tangan kotor yang ingin kembali mengangkangi industri yang sudah mulai dibenahi ini.
Dapat dimengerti jika rasa cemas menghantui para profesional yang sungguh-sungguh ingin menata sektor energi. Masih segar dalam ingatan kita, proses penggantian Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral di tengah semangat tinggi para stakeholders seluruh sektor yang sedang berbenah.
Proses penggantian yang mengejutkan, dan diangkatnya warga negara asing sebagai Menteri telah memicu kegaduhan yang menyebabkan sektor industri sempat limbung untuk waktu yang cukup lama.
Kita berharap, para penentu kebijakan dan pengambil keputusan tetap mengedepankan nurani dan tanggung jawab moral.
Rusaknya sektor energi akan mengancam kelangsungan pembangunan di sektor-sektor yang lain. Karena itu, ada baiknya kita mengingat kata-kata bijak dari salah seorang sahabat Nabi: ”Serahkan segala sesuatu pada ahlinya, jika tidak maka tunggu saja kehancurannya.”
Kita mendambakan Pertamina dan sektor energi keseluruhan yang kuat dan membanggakan. Maka serahkan pengurusan Pertamina dan sektor energi ini pada tangan-tangan yang jujur, ahli di bidangnya, dan sudah selesai dengan diri sendiri. Pertamina dan sektor energi kita sungguh membutuhkan pemimpin sejati.
�
Dr. Muhammad Said Didu
Sekretaris Kementerian BUMN 2005-2010 dan Staf Khusus MESDM 2014-2016
(Dimuat di majalah Gatra, 9 Februari 2017)