Hari ini, 77 tahun yang lalu, Soekarno-Hatta telah mengambil kesempatan sejarah. Mewakili bangsa Indonesia mengucapkan pengumuman pernyataan Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Dalam pidato setelah teks Proklamasi dibacakan, Ir. Soekarno mengatakan: “Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan berdiri dengan kuatnya.”
Sebagai refleksi, kita bisa mengajukan pertanyaan penting; atas dasar apa para perintis kemerdekaan punya keberanian untuk mengambil kesempatan sejarah tersebut? Pidato Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1946, mungkin dapat menggambarkan bagaimana suasana ketika Proklamasi:
“Tatkala pada 17 Agustus tahun yang lalu kita memproklamirkan kemerdekaan kita dengan kata-kata sederhana, belum dapat kita membayangkan benar-benar apa yang kita hadapi. Kita hanyalah mengetahui, bahwa Proklamasi kita itu adalah satu kata pekik “berhenti!” kepada penjajahan yang 350 tahun. Kita majukan proklamasi kita itu kepada dunia sebagai hak asli kita, hak bangsa kita, hak kemanusiaan kita, hak hidup kita, dengan cara yang setajam-tajamnya. Kita majukan proklamasi kita itu, pula sebagai seruan yang sejelas-jelas serta yang selangsung-langsungnya kepada rakyat dan bangsa kita sendiri, untuk menentukan nasibnya sendiri dengan tindakan dan perbuatan sendiri.”
Lebih jauh Presiden Presiden Soekarno mengatakan:
“Apakah yang kita miliki pada waktu itu? pada waktu itu yang ada pada kita hanyalah kehendak, kemauan, jiwa, yang menyala-nyala dengan semangat kemerdekaan. Kekuasaan masihlah berada di tangannya balatentara Jepang yang jumlahnya berpuluh-puluh ribu serdadu yang bersenjata selengkap-lengkapnya. Dan balatentara serikat segera akan mendarat pula, menambah persenjataan asing yang ada di negeri kita.”
Dengan ungkapan tersebut, kita membayangkan bahwa ternyata langkah penting tersebut sesungguhnya tidaklah didasarkan pada penguasaan sepenuhnya atas keadaan. Tetapi justru sebaliknya: ” … dengan kata-kata sederhana, belum dapat kita membayangkan benar-benar apa yang kita hadapi.” Sangat jelas bahwa satu-satu yang jelas, dan ada dalam genggaman atau ada dalam tangan adalah cita-cita kemerdekaan. Suatu hasrat kuat untuk menentukan nasib sendiri, karena tidak ada bangsa yang lebih baik yang berhak mengatur nasib bangsa lain. Cita-cita lah yang sesungguhnya menjadi tenaga penggerak sejarah. Sekaligus merupakan dasar pembenar dari tindakan strategis, yakni mengambil kesempatan sejarah, kendati tidak ada kesiapan apa pun kecuali ketersediaan semangat yang datang dari cita-cita luhur: menjadi bangsa merdeka.
*****
Tentu menjadi pertanyaan sejarah yang penting, yakni: di mana sesungguhnya cita-cita luhur tersebut diletakkan? Jika ditelusuri dengan seksama, maka pada waktunya kita akan bertemu dengan suatu kenyataan bahwa dalam kata Indonesia lah, cita-cita luhur dan sekaligus kehendak untuk “bebas dari” berada. Kita tahu bahwa nama Indonesia pada awalnya hanya nama yang dipakai untuk menunjuk letak geografi dan penduduk dari suatu wilayah, tanpa suatu bobot di luar pengertian tersebut. Peristiwa Sumpah Pemuda/i, menjadi petunjuk penting, bahwa istilah Indonesia telah berubah dari sekadar istilah dalam dunia akademi, menjadi istilah yang punya jiwa, atau istilah yang di dalamnya termuat cita-cita luhur dari suatu bangsa terjajah.
Dalam buku Maju Setapak, suntingan Pitut Soeharto dan A Zainoel Ihsan (1981), termuat artikel ”Sekelumit tentang nama”, disusun oleh Redaksi Jong Indonesia, yang dikatakan merupakan kutipan dari Indonesia Merdeka Maret-April 1927 dan Indonesia Moeda No 8, yang menguraikan asal dan makna nama Indonesia: ”… digunakan sebagai garis tanda tujuan luhur yang sedang mereka kejar itu: suatu tanah air yang bebas dan merdeka: Indonesia” (hlm 291). Keterangan ini, memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa kata Indonesia telah berubah maknanya. Dalam suatu uraian, Bung Hatta menjelaskan bahwa Indonesia bagi penguasa kolonial merupakan sebuah kata ”yang mengerikan”: Indonesia berarti tuntutan kemerdekaan.
Pada kata Indonesia dengan demikian termuat sejarah, pikiran besar, nilai-nilai perjuangan dan cita-cita luhur, berikut strategi mencapainya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dalam Indonesia menghuni ide tentang anti kolonialisme, anti feodalisme, anti diskriminasi dan segala yang berlawanan dengan kemanusiaan dan keadilan. Indonesia merupakan manifestasi dari semangat kemerdekaan, kebebasan, keadilan dan kemajuan. Pendek kata Indonesia mencerminkan suatu emansipasi, suatu watak anti kolonial dan watak anti penindasan yang sangat kuat. Kata Indonesia sesungguhnya merupakan tenaga sejarah yang memanggil dan menggerakkan.
Pertanyaan besarnya adalah apakah keseluruhan makna tersebut masih tinggal dalam kata Indonesia hari-hari ini? Apakah kata Indonesia masih dihuni oleh cita-cita luhur bangsa? Dalam momen peringatan 17 Agustus 1945, sangat baik jika kita memeriksa kembali. Suatu pemeriksaan yang tentu bukan dimaksudkan hanya laksana tamasya sejarah, melainkan untuk menemukan kembali makna Indonesia. Jangan sampai kata Indonesia mengalami degradasi, dari suatu cita-cita luhur bangsa menjadi istilah yang sekadar menunjuk lokasi tertentu dalam geografi. Jika itu yang terjadi, kita patut memulihkan. Mengapa? Karena hanya dengan itu, kita akan dapat memeriksa apa yang telah dicapai bangsa selama 77 tahun, dan apa yang masih menjadi tantangan bangsa. Hanya dengan energi sejarah, bangsa Indonesia akan sampai pada cita-cita luhurnya.
dipublikasikan di Kumparan.com