Kas!

 

Korupsi, penyakit menahun yang menempatkan negeri kita di kelas paria dalam gerakan antirasuah itu.  Ini merupakan topik yang sudah lama saya geluti, 30-an tahun. Karena itu, kelak-kelok sebagian besar rute peta jelajahnya, sudah hafal. Ibaratnya, tidak perlu pakai aplikasi googlemaps atau waze lagi-lah. Makanya, biar tidak stres, sesekali kita butuh penyegaran.

Penyegaran pertama, beberapa waktu lalu melintas video stand up comedy di “Great Forbidden Show”-nya Deddy Corbuzier.  Cuplikan yang beredar, tak sampai satu menit. Perhatian saya dengan lekas tersedot sebab komediannya ternyata tentara, dari Sidoarjo. “Saya bisa ke mari karena sudah diberi izin sama komandan,” ujarnya. Ketika manggung pun ia tetap berseragam tentara, lengkap. Namanya: Sersan Mayor TNI AL, Yusuf.    Anda bisa tonton sendiri di internet, semoga belum dihapus. Begini kata Serma Yusuf:

“Saya ini tidak suka berita di luar yang jelek-jelek tentang tentara. Katanya, masuk tentara itu bayar. Itu hoaks! Eggak ada itu. Itu diembuskan sama orang-orang yang gagal. Kalau kamu enggak diterima, ya kamu harus perbaiki, dong. Gimana mau berkorban untuk negara dan bangsa kalau berkorban sawah saja nggak mau?”

Seperti itulah kondisi penerimaan atau toleransi masyarakat kita hari ini terhadap perilaku korupsi/KKN. Saking konyolnya, sampai-sampai dijadikan konten, oleh tentara lagi, sebuah profesi yang banyak disegani masyarakat kita. Topiknya pun nasib dia sendiri.

Sebulan lalu kita mendengar kecelakaan di Tol Purbaleunyi. Jika diusut-usut, sumber dari sumber penyebabnya ya korupsi: uji kelayakan kendaraan di-by pass oleh amplop. Belum lagi meledaknya judol, pinjol, narkoba, stunting atau gizi buruk, aksi lancung membanjiri bansos ini-itu saat jelang pemilu/pilkada, jalan buruk, guru dibayar murah, bapak bunuh diri karena kesulitan ekonomi, dst. Pendek kata, di luar soal nasib atau takdir, warta-warta buruk itu hampir pasti disebabkan oleh hulu yang juga buruk. …

Penyegaran kedua, hari ini, saya memberanikan diri untuk membincang korupsi dengan memulainya dari sesuatu yang, setidaknya buat saya, relatif baru. Dan, rasa-rasanya, cocoklah untuk orang-orang seusia saya sekarang. Mengingat bahwa ini area terra incognita saya, maka kalau ada meleset-melesetnya, mohon dimaafkan.

Terra incognita saya yang saya maksud tadi adalah menembang macapat Jawa. Pasti dalam hati, Anda akan bergumam, Wah, kalau ini sih bukan penyegaran, tapi penyegaran banget. Semoga tidak fals-fals amat.” Belum pernah dengar saya nembang, kan? Kaget, kan? Jangan khawatir, saya sendiri pun kaget.

Yang mau saya tembangkan ialah Serat Wedhatama, sebuah adikarya didaktis Jawa abad ke-19 gubahan seseorang bernama Mas Sudiro. Ada yang familiar dengan nama ini? Jika belum, beliaulah pencipta gending Ketawang Puspawarna (PUSPOWARNO?), satu dari sedikit karya terpilih

umat manusia yang dicari-cari NASA dan kemudian direkam. Pada 1977, rekaman itu, oleh pesawat antariksa nir-awak NASA, Voyager-I, ditaruh di luar angkasa agar kelak ditemukan oleh kehidupan cerdas di luar sana atau manusia Bumi era masa depan.  Sebagian dari kita, pasti tahu: Mas Sudiro adalah nama kanak-kanak dari (Adipati) Mangkunegara IV.

Serat Wedhatama berisi 100 bait. Saya pinjam satu bait saja, bait ke-33. Itu saya pilih karena, selain paling kuat dan populer, pesannya pun relevan dengan acara kita. Saya coba tembangkan, ya. Metrum tembangnya: pocung.

Teks Asli Terjemahan
Ngelmu iku kalakone kanthi laku,

lekase lawan kas,

tegese kas nyantosani,

sêtya budya pangekêse dur angkara.

Ngelmu itu terlaksananya melalui aksi nyata,

dimulainya dengan kas,

kas itu bermakna sikap militan/spartan,

setia/militansi pada budya, merupakan peringkus segala bentuk kejahatan.

 

Sêtya Budya

Budya”; bahasa Jawa Kuno ini agak susah dicari padanan katanya di bahasa Indonesia. Biasanya dipadankan dengan “budaya”, tapi budya maknanya jauh lebih indah dan dalam.

Budya berasal dari kata budh (sadar, tercerahkan) dan daya (kualitas ilahiah/ketuhanan). Jadi, budya bermakna: kondisi bangkit/sadarnya kualitas ketuhanan yang sebenarnya sudah bersemayam lama dalam diri.

Apa itu kualitas ketuhanan? Pasti kita semua sudah tahulah itu: welas asih, berintegritas, bertanggung jawab, pemaaf, mustahil nyolong, mustahil korupsi, dll., termasuk punya malu karena Tuhan sendiri adalah al-Hayyiyu ‘Maha Punya Malu’.

Ini memang kesadaran level tinggi, tapi tidak susah untuk dijelaskan. Begini. Ketika kita sudah mem-budya, maka emohnya kita bertindak korupsi, misalnya, itu sepatutnya bukan lagi dimotivasi oleh takut pada pasal-pasal, dosa, ayat, sanksi, penjara, neraka, dll. Bukan. Tapi semata-mata karena kita budh ‘sadar’ bahwa Tuhan, sesembahan sekaligus sumber pengajaran kita itu, MUSTAHIL korup/nyolong, dan itu kita tempatkan sebagai cermin berperilaku. Titik.   Itulah yang dimaksud budya, benteng kualitas ketuhanan dalam diri.

Sebaliknya, ketika berbuat baik/lurus, maka motivasi kita pun seyogianya bukan untuk cari pahala, surga, apalagi insentif dan puji-sanjung, tapi semata-mata karena Tuhan kita PASTI baik/lurus, dan itu kita tempatkan sebagai cermin berperilaku. Pahala dan surga, itu domain Tuhan, bukan domain kita. Segala bentuk puji-sanjung, itu toh bukan kita punya, tapi mutlak punya-Nya: alhamdulillah.

Nah, konsep kesetiaan/militansi berperilaku seperti itulah yang, menurut Mas Sudiro, dipercaya ampuh untuk membentengi diri kita dari energi jahat: sêtya budya pangekêse dur angkara! Hal ini mirip “panoptikon”,

yakni konsep yang memungkinkan pengawasan efektif berlangung tanpa kehadiran pengawas yang terlihat.

Tuh, indah dan dalam sekali maknanya, bukan? Dalam hemat saya, proses membangun karakter semacam ini, yaitu melalui cara menemu-kenali “kedirian” kita dengan merelasikannya ke realitas keilahian sebagai sangkan-paran (titik berangkat dan berpulang) hidup, itu sangat khas manusia Nusantara!

Kas

 

Betapa pun indahnya sêtya budya, dalam praktiknya, kita toh butuh strategi. Syukurlah Mas Sudiro memberi tahu kuncinya, kas! Saya tadi mengartikan kas sebagai militansi, spartan, atau ngotot, holistik, tidak asal-asalan, teguh-kukuh, bersetia, penuh determinasi.

Pertanyaannya, mengapa kita atau negeri kita saat ini sepertinya tidak kas lagi dalam upaya-upaya memberantas korupsi? Bukankah karena itulah yang membuat negeri ini jadi buruk, jelek, sial, dan bangkrut?

Seburuk-buruk keadaan adalah ketika bahasa kejujuran-kebenaran sudah jadi tabu atau ditabukan, dan bahasa kebohongan-penipuan justru dibanjiri puja-puji apresiasi.

Sepenyok-penyok kondisi adalah ketika orang yang jujur-lurus dilibas-disingkirkan, dan para pembengkok-pelampau batas (penipu, pencuri, penggarong, pengemplang, pencuci uang, dsb) malah dielu-elukan bahkan dijadikan idola-panutan.

Sesial-sial kebangkrutan adalah ketika segala hal ditujukan buat berpuas-puas di hari ini, dan alpa bahkan “masa bodo amat” pada kenyataan generasi mendatang.

Serendah-rendah peradaban adalah ketika di mana-mana ajaran kemuliaan antusias sekali dijalankan tapi tidak lebih dari untuk beroleh citra “baik” atau “bermoral” di mata ego/sosial, sambil meludahi-memantati derajat hakiki kemanusiaan dan Tuhan.

Sehina-dina derajat manusia adalah ketika “malu bertindak cela” tidak dinajiskan, tidak disanksi, tidak dijauhi, tapi malah didekati, ditoleransi, dilegalkan, di-copy dan bahkan dijadikan way of life oleh banyak orang. Yang menentangnya malah dicap “sok suci”, dikepret, dibungkam, dikriminalisasi, disel, bahkan dijadikan pesakitan di pojok-pojok perundungan yang terorganisir-tersistematis.

Tuhan itu al-Hayyiyu, Yang Maha Punya Malu. Melaluinya, digariskanlah secara tegas derajat antara manusia dan binatang. Manusia berada di sisi yang punya malu (hiri’), dan binatang di sisi sebaliknya (ahirika). Mewabahnya perilaku ahirika yang hari-hari ini, mulai dari ujung ekor hingga terutama di kepala itu, dengan demikian, sejajar dengan aksi pembangkangan terhadap Tuhan.

Itulah mengapa, ibarat seorang imam yang ndableg salat terus padahal berkali-kali sudah ia kentut bahkan kencing, dampak kerusakan dari ahirika berjamaah ini tiada terperi, dahsyat sekali!  Kebobrokan terjadi di mana-mana. Degradasi moral jadi melazim. Terjun bebasnya etika malah disambut gemuruh tepuk tangan. Sudah pasti kehancuran bangsa tinggal tunggu waktu jika kondisi ini tidak lekas ditangani secara kas.

Bagi saya, dalam melawan korupsi, kas itu bukan soal spirit dan determinasi tinggi saja, tapi harus juga dimaknakan sebagai KAS: Knowledge, Action, System. Ketiganya modal penting kita memberesi korupsi yang dijalankannya harus secara paralel-sinergis.

Knowledge soal antikorupsi, dalam sebait tembang tadi paralel dengan diksi ngelmu ‘punya ilmu/pengetahuan’. Aksi tanpa ilmu, itu seperti mendayung sampan di padang sabana. Bergerak atau bekerja sonder ilmu akan sia-sia, tidak akan nyampe ke tujuan, sebab tak ada penuntun.

Adalah suatu kekonyolan dan kesia-siaan besar saat push diberikan untuk misi kerja-kerja-kerja tapi ilmu, visi, target, apalagi etika dan malunya zero.

Sehingga, yang pemandangan umumnya adalah: program-program antikorupsi hebohnya hanya saat seremoni belaka, bukan saat aksi. Alhasil, tanpa ilmu, semangat dan program antikorupsi hanya akan tergolek sebagai proyek belaka, buang-buang anggaran, kerja-kerja-kerja belaka, padahal korupsi merupakan kejahatan luar biasa.

Action tentang antikorupsi, dalam sebait tembang Mas Sudiro tadi paralel dengan diksi laku. Ilmu tanpa aksi dan perilaku, itu seperti pepohon yang gagal berbuah. Maka, konsep-konsep yang bagus dan komprehensif di langitan harus diturunkan ke bumi, dijabarkan hingga ke level aksi. Konkret.

Tanpanya, seperti sudah bisa diduga, program-program antikorupsi akan teronggok semata-mata hanya jadi jargon, gincu-gincu politik, atau konten entertaintment. Supaya masing-masing aksi bisa berjalan sinergis, dibutuhkanlah sistem.

System antikorupsi, dalam sebait tembang di Serat Wedhatama tadi paralel dengan diksi nyantosani ‘menguatkan, terkendali’. Dengan sistem yang baik, masing-masing pemangku kepentingan antikorupsi jadi tahu di mana, kapan, dan dengan siapa saja mereka bekerja atau berkoordinasi. Terobosan-terobosan antikorupsi yang dilancarkan akan berjalan efektif, efisien, terkendali.

Redundansi atau tumpang-tindih kewenangan jadi tereduksi. Aspek-aspek knowledge bisa dipertautkan secara pas dan komprehensif dengan aspek action; begitu pula sebaliknya. Masing-masing aspek jadi beroleh porsinya yang sepadan, tidak berat sebelah. Hanky-panky di antara pihak-pihak yang bersangkutan jadi bisa diantisipasi, diprediksi, dan diidentifikasi jauh sebelum terjadi.

Demikianlah kira-kira pendekatan kas terhadap gerakan antikorupsi yang saya dapat dan gali dari Serat Wedhatama-nya Mas Sudiro. Semoga bermanfaat, syukur-sukur jika bisa menawarkan sejenis perspektif yang lebih segar terhadap penanganan korupsi di masing-masing “pekarangan” kita, para pengampunya.

Akhir kata, tidak mau kalah dengan Mas Sudiro, saya akan tutup pidato ini dengan sebait “tembang” yang saya gubah dan lalu terbitkan di twitter pada 20 Maret 2016. Begini:

 

Jaga Pekarangan

Setiap zaman punya pemimpinnya.

Setiap pemimpin punya tantangannya.

Di masa revolusi, Panglima Soedirman berpesan:

“Jaga pekarangan masing-masing.”

 

Salam kas!

 

Berdagang “Emphaty”

Dari obrolan santai bersama warga sambil ngopi dan makan cemilan disebuah dusun. Tibalah kami pada pembicaraan tentang nenek tua penjual jajan. Konon, tiap hari dia berjualan di pasar dusun. Banyak langganan yang tiap pagi membeli jajanananya, mulai dari anak hingga orang dewasa.

Suatu hari dia berjualan dengan badan berselimut. Dibiarkan dagangan ditempat biasanya dan dia tiduran didekatnya sambil menutup hampir seluruh tubuhnya. Rupanya dia sakit. Badannya demam.

Para pelanggan Iba. Mereka membeli dengan melayani sendiri keperluannya dan menaruh uang ditempat yang biasa nenek berjualan. Sebagian lagi membeli dan menyarankan agar sebaiknya si nenek istirahat dirumah saja.

Ketika ada seseorang yang bertanya kenapa nenek tidak istirahat saja dirumah? Sambil agak gemetar, mulut si nenek menjawab, “ Nanti Si A, Si B, Si C sarapannya bagaimana kalau saya tak jualan, kasihan mereka”.

Ternyata nenek itu berjualan bukan semata urusan ekonomi. Ada aspek lain yang dia hitung lebih dari sekedar soal untung. Ada rasa emphaty dan pergaulan kemanusiaan yang hangat. Mungkin perilaku si nenek berlebihan, lantaran harus mengorbankan dirinya demi orang lain. Namun faktanya ada yang begitu, dan saya kira masih banyak yang lain.

Kondisi itu sama dengan tetangga saya yang penjual kelontong. Saat ketersediaan gas mulai langka, tiga tiba sebuah mobil bak terbuka datang dan si pemilik mobil hendak memborong gas melon yang masih ada. Kontan tetangga saya menolak. Ia hanya menyediakan tiga tabung saja. Begitu saya tanya, kenapa tidak diserahkan semua saja biar barang segera habis. Si tetangga menjawab ringan, “Si A, si B, si C belum datang. Kasihan kalau dia mau beli barangnya habis”.