Berdagang “Emphaty”

Dari obrolan santai bersama warga sambil ngopi dan makan cemilan disebuah dusun. Tibalah kami pada pembicaraan tentang nenek tua penjual jajan. Konon, tiap hari dia berjualan di pasar dusun. Banyak langganan yang tiap pagi membeli jajanananya, mulai dari anak hingga orang dewasa.

Suatu hari dia berjualan dengan badan berselimut. Dibiarkan dagangan ditempat biasanya dan dia tiduran didekatnya sambil menutup hampir seluruh tubuhnya. Rupanya dia sakit. Badannya demam.

Para pelanggan Iba. Mereka membeli dengan melayani sendiri keperluannya dan menaruh uang ditempat yang biasa nenek berjualan. Sebagian lagi membeli dan menyarankan agar sebaiknya si nenek istirahat dirumah saja.

Ketika ada seseorang yang bertanya kenapa nenek tidak istirahat saja dirumah? Sambil agak gemetar, mulut si nenek menjawab, “ Nanti Si A, Si B, Si C sarapannya bagaimana kalau saya tak jualan, kasihan mereka”.

Ternyata nenek itu berjualan bukan semata urusan ekonomi. Ada aspek lain yang dia hitung lebih dari sekedar soal untung. Ada rasa emphaty dan pergaulan kemanusiaan yang hangat. Mungkin perilaku si nenek berlebihan, lantaran harus mengorbankan dirinya demi orang lain. Namun faktanya ada yang begitu, dan saya kira masih banyak yang lain.

Kondisi itu sama dengan tetangga saya yang penjual kelontong. Saat ketersediaan gas mulai langka, tiga tiba sebuah mobil bak terbuka datang dan si pemilik mobil hendak memborong gas melon yang masih ada. Kontan tetangga saya menolak. Ia hanya menyediakan tiga tabung saja. Begitu saya tanya, kenapa tidak diserahkan semua saja biar barang segera habis. Si tetangga menjawab ringan, “Si A, si B, si C belum datang. Kasihan kalau dia mau beli barangnya habis”.