Saat Narsisme Menjadi Epidemi

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Andrea Piacquadio from Pexels

Message of Monday – Senin, 14 Maret 2022
Saat Narsisme Menjadi Epidemi
Oleh: Sonny Wibisono *

“You are enough just as you are.”
— Meghan Markle, isteri dari Pangeran Harry

Anda sudah menonton film ‘The Minimalists: Less is Now’? Netflix menayangkan film ini pada 1 Januari 2021. Belum lama. Film ini bercerita mengenai dua orang sahabat karib yang mengalami hidup susah di masa kecil. Joshua Fields Millburn dan Ryan Nicodemus hidup di tengah kesulitan ekonomi yang menimpa keluarga mereka. Walau begitu, Millburn dan Nicodemus tak pernah patah semangat. Upaya untuk meraih kesuksesan terus mereka lakukan. Singkat cerita, kerja keras mereka membuahkan hasil. Kedua sahahabat dekat tersebut akhirnya berhasil menduduki posisi bergengsi di perusahaan telekomunikasi Amerika Serikat.

Sayangnya, kesuksesan ini membawa mereka hidup konsumtif. Berlebihan malah. Kemudahan berbelanja dengan segala perangkat kemajuan teknologi membuat mereka dengan mudahnya membeli barang yang mereka inginkan. Apapun dibeli. Masalahnya, mereka membeli bukan hanya yang dibutuhkan, tapi juga segala printilan yang tak dibutuhkan sama sekali.

Hingga pada satu ketika, satu peristiwa mengubah pandangan hidup mereka tentang dunia. Mulai saat itu, mereka fokus untuk hidup dengan konsep miminalis. Kesadaran mereka dengan memiliki barang secukupnya membuat mereka merasa lebih damai dan tentram.

Viral berita di media mengenai penahanan dua orang crazy rich Indonesia membuat saya kembali mencoba menonton film ini. Tuduhan kepada crazy rich ini juga tak main-main, yakni penipuan. Lantas, apa hubungannya film ini dengan para crazy rich?

Belakangan ini, kita sering mendengar istilah crazy rich. Crazy rich tak hanya diartikan secara sederhana sebagai orang yang tajir melintir. Tak peduli kekayaan itu diraih melalui usaha sendiri atau warisan orang tuanya.

Menurut Urban Dictionary, crazy rich didefinisikan sebagai “a person who loves to spend their money on stupid things, that no one else would buy”. Atau artinya kurang-lebih adalah orang yang gemar mengeluarkan uangnya hanya untuk membeli barang yang tak diperlukan sedangkan orang lain tidak dapat membelinya. Nah, biasanya mereka memamerkan perilaku konsumtif tersebut di media sosial. Disini, media sosial dijadikan sebagai alat untuk menampilkan pundi-pundi kekayaan mereka secara maksimal.

Fenomena ini sebenarnya tak hanya terjadi di Indonesia saja. Di hampir semua negara, baik negara maju dan berkembang terdapat segelintir orang-orang yang disebut crazy rich ini. Media sosial menjadi ajang pembuktian bagi eksistensi mereka.

Apakah itu salah? Satu hal yang patut dicatat, siapapun berhak untuk kaya raya. Setelah mereka kaya, mereka bebas membeli apa saja yang mereka mau. Menjadi persoalan tersendiri ketika mereka memamerkan semua kegiatan yang mereka lakukan ke masyarakat luas, penting atau tidak penting, di media sosial.

Jean Twenge dan W. Keith Campbell telah mendalami fenomena ini sejak awal tahun 2000-an. Twenge dan Campbell yang merupakan peneliti, melakukan riset ini secara mendalam sejak lama. Hasilnya mereka publikasikan ke dalam buku yang berjudul: The Narcissism Epidemic: Living in the Age of Entitlement, yang terbit tahun 2009.

Epidemi tak selalu identik dengan wabah penyakit. Dalam buku tersebut, sejalan dengan riset mengenai social society yang dilakukan, ditemukan bahwa kehidupan masyarakat semakin lama semakin konsumtif. Dalam mekanismenya, ada proses pencarian makna dalam hidup ini.

Secara paradoks, narcissism muncul sejalan dengan tumbuhnya psikologi positif. Psikologi positif, gerakan yang mencoba mencari sisi positif dari diri sendiri. Gerakan ini sejatinya tidak salah. Tapi ketika melihat dari sisi positifnya saja, menjadi tipis bedanya antara fakta dengan kebohongan. Misalnya ada yang mengklaim sebagai ‘I am good one’ atau ‘I am special person’. Banyak orang pada akhirnya kehilangan makna jati diri karena tak ada proses pencarian. Hanya mencari artefak diluar sana untuk diri sendiri. Hal yang sebenarnya dapat menimpa siapa saja.

Kembali lagi ke film di awal, Millburn dan Nicodemus yang sadar akan kekeliruannya karena hidup secara berlebihan, akhirnya mengkampanyekan kepada dunia luar pentingnya hidup secara minimalis. Mereka menggunakan media sosial untuk mengkampanyekan gerakan yang mereka lakukan. Disini, media sosial dijadikan sebagai alat untuk menampilkan bagaimana mereka hidup secara minimalis.  Ingat, film ini merupakan film dokumenter. Berdasar kisah nyata. Bukan fiksi.

Gerakan dalam film ini memang dilakukan di Amerika. Tapi juga merambah di sebagian besar negara-negara di Eropa. Sayangnya, gerakan hidup minimalis ini belum dilakukan di masyarakat kita. Atau mungkin saya yang belum mendengarnya. Entahlah. Narcissism jelas tak bisa dianggap sebelah mata. Perilaku ini berbahaya. Karena disini kita tak bisa lagi membedakan mana substansi dan mana kemasan. Mana yang penting mana yang tidak. Sehingga pada akhirnya kita menjadi tidak kritis.

So, apa yang harus dilakukan? Berharap kepada orang kaya yang memamerkan hartanya agar lebih bijak dalam berperilaku nampaknya hal yang sulit. Saat seseorang memiliki kemampuan ekonomi di atas rata-rata, sejatinya ia berhak untuk self-care, yakni menjaga diri tetap sehat secara fisik, mental, dan juga spiritual. Tak hanya itu, dengan kemampuan materi yang berlebih itu, ia pun berhak untuk self-reward, melakukan sesuatu sebagai bentuk penghargaan untuk diri sendiri, memberikan selamat pada diri sendiri saat tujuan telah tercapai. Self-reward bisa dilakukan dengan banyak hal, seperti membeli barang-barang kesukaan. Atau dapat melakukan me time.

Nah, semua itu tak masalah bila dilakukan secara normal. Dalam batas kewajaran. Tapi bila dilakukan secara berlebihan, bisa menjadi penyakit. Implikasinya pun sangat tidak baik. Bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain. Itulah yang akhirnya terjadi bagi para sebagian crazy rich.

Sebagai masyarakat biasa, walau kita belum setajir melintir seperti mereka, yang perlu kita lakukan ialah membentengi diri sendiri, dengan menyaring informasi dengan cermat dan bijak. Bila nanti kita benar-benar menjadi tajir betulan, kelakuan kita setidaknya tak seperti mereka. Semoga.

* Penulis buku ‘Message of Monday’, Elexmedia, 2009 dan Ref Grafika Publishing, 2012

Institut Harkat Negeri
Jl. H Sa’aba No. 7A
Cipete Utara, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan, Indonesia – 12150
Hotline : 0811 911 2016
Email : sekretariat@harkatnegeri.org

Institut Harkat Negeri

Institut Harkat Negeri
All rights reserved | 2024