Oleh: Baasitha Nurindah
Juara Pertama Lomba Menulis Esai Ringkas “Indonesia Pasca Covid-19 di Mata kamu Muda”
Sebagaimana setiap raga begitu berharga, maka pentingnya jiwa tidak akan terlepas darinya. Pandemi COVID-19 yang hampir menggerogoti seperempat penduduk bumi masih terus berdikari. Manusia hanya dapat berusaha menjaga nyawa dalam menghadapinya. Berbagai cara yang kita tempuh, belum pernah membuat virus ini benar-benar lumpuh, namun menyerah bukanlah solusi yang utuh. Banyak permasalahan yang ditimbulkan akibat pandemi. Ia menyentuh hampir seluruh sektor kehidupan. Dimulai dari ekonomi, pendidikan, kebudayaan, sosial, hingga yang paling utama, kesehatan. Manusia memiliki 2 poin penting terkait kesehatan, yaitu kesehatan fisik dan kesehatan psikis. Kesehatan psikis lebih sering disebut kesehatan jiwa/kesehatan mental/mental health. Kesehatan mental adalah aspek kesehatan masyarakat yang paling terabaikan diantara semua bidang. Padahal, hampir satu miliar orang hidup dengan gangguan mental, tiga juta orang meninggal setiap tahun akibat penggunaan alkohol yang berbahaya, dan satu orang meninggal setiap 40 detik karena bunuh diri. Saat ini, miliaran orang di seluruh dunia telah terpengaruh oleh pandemi COVID-19, yang berdampak pada buruknya kondisi kesehatan mental masyarakat (WHO, 2020). Terutama negara-negara berkembang yang diperkirakan lebih tidak peduli terkait masalah kesehatan mental masyarakatnya (Ayuningtyas, dkk: 2018).
Kondisi kesehatan mental yang terpengaruh oleh COVID-19 dirasakan oleh siapapun. Orang yang tidak terinfeksi COVID-19 merasakan dampak dari pandemi yakni adanya pemberlakuan social & physical distancing yang mana harus menjaga jarak satu sama lain dimanapun kita berada. Social & physical distancing juga membuat seseorang menjadi cemas, tertekan dan depresi akibat merasa terasingkan (Megatsari, dkk: 2020). Selain itu, runtuhnya perekonomian global juga menyebabkan seseorang muncul perasaan ketidakpastian, putus asa, dan tidak berharga sehingga meningkatkan angka bunuh diri (Singgih, 2020). Di kalangan pelajar dan mahasiswa, aspek pendidikan menjadi hal yang paling awal terdampak. Sekolah ditutup, beralih ke sistem online. Siswa merasa jenuh dan bosan. Di sisi lain, sistem online ini juga memicu masalah kecanduan gadget untuk menyalurkan hobi mereka. Jika berlangsung terus menerus, maka akan mengakibatkan kelelahan, over atensi/perhatian berlebihan pada sesuatu hingga menurunkan kesadaran akan lingkungan sekitar. Beralih kepada masalah yang lebih parah, yakni para penderita COVID-19. Mereka memiliki permasalahan diantaranya gejala kecemasan, depresi dan trauma karena COVID-19. Pada Juli 2020, kasus bunuh diri terjadi pada pasien COVID-19 di Surabaya, Jawa Timur dari lantai 6 Rumah Sakit karena depresi sebab sudah tujuh kali melakukan swab dan hasilnya selalu positif (Antara, 2020). Di samping itu, tenaga medis juga kerap ditemukan mengalami gangguan kesehatan mental diantaranya cemas, stres, depresi hingga sebagian kecil mengalami trauma. Penyebabnya karena beberapa hal, yaitu perasaan bersalah karena tidak berhasil menyelamatkan pasien, respon buruk dari keluarga korban, kelelahan, diskriminasi oleh orang-orang sekitar. Diskriminasi masyarakat kepada tenaga medis berupa dilarang menaiki kendaraan umum, dikucilkan tetangga, dijauhi anggota keluarga. diusir dari tempat tinggal, bahkan dilarang menikahi mereka. Di Korea, Singapura, Taiwan dan beberapa negara lainnya hal ini membuat pelayanan kesehatan menjadi terganggu (Jeong, dkk: 2016; Kang, dkk: 2020; Park, dkk: 2018). Diskriminasi dan stigma negatif kepada mantan pasien COVID-19 dan tenaga medis yang diberikan masyarakat mempunyai resiko jangka panjang menurut National Collaborating Centre for Determinants of Health (NCCDH, 2020).
Data yang dihimpun dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PDSKJI) yang menggelar survei online terkait kesehatan mental selama pandemi menunjukkan bahwa 63% responden mengalami cemas, 66% mengalami depresi, 80% mengalami stres pasca trauma psikologis, 46% mengalami stres pasca trauma psikologis berat, 33% mengalami stres pasca trauma sedang, dan 19% mengalami stres pasca trauma ringan (Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia, 2020). Pada hasil survei lainnya yang dilakukan di Tiongkok, Hong Kong, Macau, dan Taiwan, melibatkan 52.730 responden.
Menurut National Collaborating Centre for Determinants of Health terdapat 4 faktor utama penyebab stres selama pandemi, yaitu adaptasi baru dengan social & physical distancing, terpuruknya ekonomi, stigma negatif masyarakat, rendahnya pengetahuan tentang kesehatan mental (NCCDH, 2020). Hal tersebut relevan dengan hasil penelitian Salari (2020) yang menunjukkan dampak pandemi kepada kesehatan mental, sebagai berikut :
Gambar 1. Dampak Pandemi kepada Kesehatan Mental
Bagan diatas memperlihatkan dampak yang pandemi ciptakan, terhadap kesehatan mental masyarakat. Secara umum masyarakat mengalami stres, depresi, dan kecemasan. Individu dengan kondisi mental seperti ini akan sangat kesulitan mengontrol diri, terlebih merancang tujuan-tujuan kedepan. Sebagaimana menurut Kholil Nur Rochman (2011) menyatakan bahwa gejala-gejala kecemasan meliputi hati merasa cemas, emosi tidak stabil, mual-muntah, ketakutan, dan sebagainya. Menurut Kupriyanov dan Zhdanov (2014) menyimpulkan bahwa hasil reaksi tubuh terhadap sumber-sumber stres merupakan eustress. Ketika eustress (stres yang berdampak baik) dialami seseorang, maka terjadilah peningkatan kinerja dan kesehatan (Greenberg, 2006). Sebaliknya ketika seseorang mengalami distress (stres yang berdampak buruk), maka mengakibatkan semakin buruknya kinerja, kesehatan dan timbul gangguan hubungan dengan orang lain. Menurut Atkinson (1991) depresi sebagai suatu gangguan mood dicirikan tak ada harapan dan patah hati, ketidakberdayaan yang berlebihan, tak mampu mengambil keputusan memulai suatu kegiatan, tak mampu berkonsentrasi, tak punya semangat hidup, selalu tegang, dan mencoba bunuh diri.
Kehidupan pasca covid memang akan berbeda dengan ketika pandemi itu berlangsung, namun keadaan mental seseorang bisa jadi masih dalam keadaan yang ‘sama’. Setiap perubahan memang mengandung harapan, namun tidak semua harapan bisa dijadikan kenyataan, semua bergantung pada keadaan. Keadaan disini merupakan keadaan lingkungan sekitar, dan keadaan diri sendiri. Dalam merencanakan hari esok untuk menyambut dunia pasca pandemi, kita butuh adaptasi. Raga beradaptasi, jiwa berekonstruksi. Rekonstruksi dibutuhkan sebagai tahap awal pemulihan mental dari situasi pandemi dengan pasca pandemi. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa mental masyarakat di kala pandemi banyak mengalami stres, depresi dan kecemasan, maka perlu adanya rekonstruksi mental, terlebih untuk para generasi muda. Rekonstruksi mental ini berupa Kelas Persiapan Masa Depan atau bisa kita sebut Kelas SIAP MAPAN. Kelas ini berbentuk pelatihan, dimana pelatihan adalah suatu proses belajar mengenai sebuah wacana pengetahuan dan keterampilan yang ditujukan untuk penerapan hasil belajar yang sesuai dengan tuntutan tertentu (Kamil, 2010). Hasil penelitian Darmawan (2017) menyatakan 80,83 % peserta berpendapat sangat setuju bahwa pelatihan berpengaruh pada peserta dalam kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian Nurmuhibah (2019) juga berpendapat bahwa terdapat pengaruh antara pelatihan pengembangan diri terhadap potensi diri santri di Pesantren Peradaban, Kota Bandung sebesar 64,1% dan sisanya sebesar 35,9% dipengaruhi oleh faktor lain. Beberapa pertimbangan tersebut menjadi penguat untuk diciptakannya Kelas SIAP MAPAN. Kelas ini ditujukan untuk siswa-siswi SMA/sederajat ke atas, dengan pertimbangan kurikulum yang ada di dalam kelas hanya dapat diberikan kepada usia tersebut. Kelas dioperasikan oleh para volunteer, dan disampaikan oleh para ahli yakni Konselor, Psikolog, dan Psikiater. Kurikulum dasar Kelas SIAP MAPAN akan sebagai berikut:
Tabel 1. Rancangan Kelas SIAP MAPAN
NO | KEGIATAN | DURASI PROGRAM |
1 | Pre-test Peserta Kelas | 1 minggu |
2 | Asesmen Diri Peserta Kelas | 2 minggu |
3 | Pembagian Kelas berdasarkan Asesmen Diri | 1 minggu |
4 | Pelaksanaan Kelas sesuai Kebutuhan Diri | 4 minggu |
5 | Perancangan Kegiatan Masa Depan | 2 minggu |
6 | Monitoring dan Evaluasi Kelas | 2 minggu |
7 | Pelepasan Peserta | 1 minggu |
Perubahan itu butuh direncanakan, kemudian di realisasikan. Perubahan membutuhkan pengarahan. Every good things, takes time. Ketika kita melihat pasca pandemi adalah sebuah harapan, maka buatlah menjadi impian menuju kenyataan. Hanya orang-orang terpilih lah yang dapat melihat kesempatan di setiap kesulitan, dan menjadikannya sebuah keajaiban. Kita memang pernah terpuruk di belakang, tapi bukan berarti akan berlaku sama di depan. Seburuk apapun masa lalu, masa depan adalah suci, dan aksi saat ini adalah kunci. Pasca pandemi adalah waktu menuntaskan masalah dengan sebaik-baiknya solusi. Pasca pandemi adalah masa mewujudkan mimpi-mimpi.
REFERENCESAntara. (2020). Pasien positif COVID-19 RSU Haji Surabaya diduga bunuh diri. Diunduh dari: Tirto.id.
https://tirto.id/pasien-positif-covid-19-di-rsu-haji-surabaya-diduga-bunuh-diri-fUCe
Atkinson, R. L. (1991). Pengantar psikologi 2 (Terjemahan: Nurdjannah). Jakarta: Erlangga.
Ayuningtyas, D. Dkk. (2018). Analisis Situasi Kesehatan Mental pada Masyarakat di Indonesia dan Strategi Penanggulangannya. Jurnal Prodi Kesehatan Masyarakat UI. 9(1). 1-10
Darmawan, D. (2017). Pengaruh diklat santri siap guna terhadap peserta pelatihan. Journal of Nonformal Education and Community Empowerment, 1(2), 170-175
Greenberg, J. S. (2006). Comprehensive stress management 10th edition. New York, USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
Jeong, et al. (2016). Mental health status of people isolated due to Middle East Respiratory Syndrome. Epidemiology and Health, 38.
Kamil, M. (2010). Model pendidikan dan pelatihan (konsep dan aplikasi). Bandung: Alfabeta.
Kang, et al. (2020). The mental health of medical workers in Wuhan, China dealing with the 2019 novel coronavirus. The Lancet Psychiatry, 7(3).
Kholil Lur Rochman. (2010). Kesehatan Mental. Purwokerto: Fajar Media Press.
Kupriyanov, R., & Zhdanov, R. (2014). The eustress concept: Problems and out looks. World Journal of Medical Sciences, 11(2), 179-185.
Megatsari, dkk. (2020). The community psychosocial burden during the COVID-19 pandemic in Indonesia. Heliyon, 6(10).
National Collaborating Centre for Determinants of Health (NCCDH). (2020). Stigma, discrimination, health impacts and COVID-19.
Nurmuhibah. (2019). Pengaruh pelatihan pengembangan diri terhadap potensi diri santri: Penelitian bimbingan kelompok di Pesantren Peradaban Jl. Manisi, Kelurahan Pasirbiru, Kec. Cibiru, Kota Bandung. Diploma thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Park, et al. (2018). Mental health of nurses working at a government-designated hospital during MERS-COV outbreak: A cross-sectional study. Archives of Psychiatric Nursing, 32(1), 2-6
Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia. (2020). 5 bulan pandemi COVID-19 di Indonesia. Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia. Diunduh dari: http://pdskji.org/home
Salari, dkk. (2020). Prevalence of stress, anxiety, depression among the general population during the COVID-19 pandemic: a systematic review and meta-analysis. Journal of Globalization and Health, 16(57), 1-11.
World Health Organization. (2020). World mental health day: An opportunity to kick-starts a massive scale-up in investment in mental health.