Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah melewati usia 100 hari. Sejumlah catatan baik seperti tingkat kepuasan masyarakat yang mencapai 80 persen tentunya perlu diapresiasi. Namun, 100 hari pertama juga menyajikan pelajaran penting untuk perbaikan kedepannya.
Presiden Prabowo menduduki kursi Istana dengan membawa agenda-agenda yang ambisius seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sudah dijanjikan dari kampanye pemilihan presiden tahun lalu. Program MBG dan program-program prioritas kemenangan cepat (quick win) lainnya dieksekusi dengan segera di periode 100 hari pertama pemerintahannya.
Ujian sebenarnya bagi pemerintah bukan hanya soal perumusan program atau kebijakan, tapi juga implementasinya. Ujian ini lah yang dapat dijadikan salah satu tolok ukur evaluasi 100 hari pertama pemerintahan. Kita perlu melihat bagaimana program masif seperti MBG diimplementasikan, dan tentunya menarik pelajaran dan hikmah agar pelaksanaannya lebih baik di hari ke-101 dan selanjutnya.
Tantangan Mengimplementasikan Ambisi dan Koordinasi
Jika kita memperhatikan tantangan-tantangan yang muncul dari tahap awal implementasi program-program ambisius seperti MBG, kita dapat melihat satu benang merah permasalahan: koordinasi. Program berskala besar seperti MBG melibatkan banyak Kementerian dan Lembaga (KL), baik itu di level nasional maupun di level daerah. Walaupun Presiden Prabowo mengamanatkan Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai pelaksana utama program MBG, tetap saja koordinasi dengan banyak pihak dibutuhkan agar pelaksanaannya berjalan sesuai rencana.
Permasalah koordinasi tercermin dari ketidaksiapan penyediaan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang dibutuhkan sebagai pedoman pelaksanaan program MBG di beberapa daerah. Ketiadaan juklak dan juknis di masa awal implementasi tercatat di Provinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah, serta tercatat di Bantul, Kota Bogor, Kebumen, Madiun, Ngawi, Jombang, dan Cirebon. Permasalahan ini muncul walaupun dalam Peraturan Presiden No 83 tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional, BGN diamanatkan untuk menyelenggarakan fungsi koordinasi, perumusan, dan penetapan kebijakan teknis dalam tugas melaksanakan pemenuhan gizi nasional.
Catatan permasalahan koordinasi tersebut perlu segera diatasi oleh pemerintah agar implementasi program-program ambisius dapat berjalan lebih efektif. Ada banyak cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan implementasi dan memperlancar koordinasi. Salah satu cara yang sebetulnya sudah pernah dilakukan pemerintah Indonesia dan di banyak wilayah lain adalah dengan memperkuat peranan delivery unit.
Penguatan Peran Delivery Unit dan Pelajaran dari SBY
Delivery unit (DU) merupakan unit khusus dalam pemerintah yang bertugas memastikan pelaksanaan program-program prioritas berjalan dengan efektif. Salah satu DU pertama yang dibentuk di dunia bermula di Inggris pada era pemerintahan Perdana Menteri (PM) Tony Blair. DU tersebut dipimpin oleh Michael Barber, yang kemudian menuliskan intisari pengalamannya ke dalam buku berjudul How to Run a Government (2016).
Dalam karyanya tersebut, Barber menyatakan bahwa DU bertugas memastikan agar program-program pemerintah tidak hanya terlaksana di atas kertas saja, melainkan sampai manfaatnya dirasakan oleh masyarakat. Untuk mencapai dampak tersebut, DU berperan sebagai penghubung kunci dari pemimpin pemerintahan dengan pelaksana lapangan, dengan menjaga fokus dan memecahkan berbagai permasalahan yang muncul. Selain itu, DU juga berperan sebagai fasilitator kerjasama dengan menghubungkan semua KL yang terlibat dalam program-program prioritas. Dengan kata lain, DU berperan sebagai titik pusat koordinasi yang dapat memecah kebuntuan dan mendorong keberhasilan implementasi.
Pemerintah Indonesia sebetulnya sudah berpengalaman dalam memanfaatkan DU untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan program-program prioritas. Pada tahun 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang baru memulai periode kedua pemerintahannya membentuk DU yang bernama Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Riwayat kerja UKP4 ini dijadikan salah satu studi kasus Innovations for Successful Societies yang diterbitkan oleh Princeton University (2013).
Dalam studi kasus tersebut, disebutkan bahwa UKP4 berperan besar dalam mendorong keberhasilan program-program prioritas pemerintahan SBY. Unit ini bekerja untuk membantu menentukan prioritas, menyelesaikan kebuntuan (bottlenecks) dan menginformasikan presiden tentang progres setiap kementerian. Unit ini dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto yang telah memimpin Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias dan dikenal atas integritasnya, serta diisi oleh staf nonpartisan yang menandatangani pakta integritas yang menolak suap dan hadiah. Contoh konkret efektivitas UKP4 bahkan langsung terlihat pada 100 hari pemerintahan SBY, di mana UKP4 melaporkan bahwa 127 dari 129 rencana aksi prioritas telah diselesaikan.
Keberhasilan UKP4 sebagai suatu DU yang efektif dibangun di atas kerangka kerja yang menjawab tantangan implementasi dan koordinasi. Tugas pertama UKP4 adalah menyusun rencana aksi prioritas. Unit ini menerjemahkan visi-visi besar pemerintahan menjadi langkah-langkah konkret yang perlu diambil oleh KL pelaksana. Selanjutnya, UKP4 mengawasi pelaksanaan dari rencana aksi prioritas tersebut. Informasi yang dikumpulkan
dari pengawasan ini juga dilaporkan ke presiden. Jika UKP4 menemukan kebuntuan atau bottleneck, maka unit tersebut akan segera memecahkannya. Salah satu langkah yang sederhana namun efektif adalah mengumpulkan semua pihak yang terlibat dalam kebuntuan tersebut dalam satu pertemuan. Selain itu, sebagai upaya pengawasan tambahan, UKP4 juga membuka kanal pelaporan yang terbuka bagi semua warga negara untuk melaporkan permasalahan implementasi di lapangan. UKP4 berhasil menjawab tantangan koordinasi dengan efektif, dan menghubungkan semua pihak untuk memecahkan kebuntuan-kebuntuan.
Selain UKP4, ada banyak contoh dari negara-negara lain yang dapat dijadikan acuan. Malaysia sempat mengembangkan DU bernama Performance Management & Delivery Unit (PEMANDU) yang dijadikan contoh benchmark DU di berbagai negara lain di dunia. Begitupun dengan DU pertama di Inggris di bawah komando Michael Barber yang menjadi panutan pertama yang mempopulerkan konsep delivery unit. Namun, walaupun DU telah terbukti efektif di berbagai negara, terdapat satu benang merah yang sama yang menjadi faktor utama bagi keberlangsungan DU: kemauan politik dari pemimpin pemerintahan. UKP4, PEMANDU, dan DU yang dipimpin Michael Barber dibubarkan setelah pemimpin pemerintahan berganti, walaupun memiliki berbagai prestasi. Peranan pemimpin pemerintahan adalah kunci.
Sentralisasi Peranan Delivery Unit Sebagai Langkah Perbaikan
Presiden Prabowo dapat mengadopsi contoh keberhasilan dari UKP4 dan berbagai DU lain di dunia. Di atas kertas, sebetulnya Prabowo sudah memiliki delivery unit, yaitu Kantor Staf Presiden (KSP). Akan tetapi, Prabowo saat ini memiliki lembaga kepresidenan lain yang berpotensi memiliki tugas yang berkelindan dengan KSP, seperti Kantor Komunikasi Kepresidenan (KKK). Contohnya, dalam Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2024 tentang KKK, dijabarkan di pasal 4 bahwa KKK bertugas untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi informasi strategis antar KL terhadap kebijakan strategis dan program prioritas Presiden. Padahal, Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2019 tentang KSP menyebutkan di pasal 2 bahwa KSP bertugas dalam pengendalian program prioritas nasional dan pengelolaan isu strategis.
Adanya beberapa lembaga setara yang memiliki peranan delivery unit berpotensi menghambat esensi kerangka kerja delivery unit itu sendiri. Idealnya, DU merupakan satu lembaga yang terpusat dan bertugas untuk menyelesaikan kebuntuan dengan cepat dengan menyelaraskan koordinasi antar KL yang terlibat. Dengan kata lain, jika ada dua lembaga yang memiliki peranan delivery unit, maka muncul lapisan koordinasi baru di antara mereka, dan justru dapat memperlambat penyelesaian kebuntuan.
Untuk itu, Presiden Prabowo dapat mempertimbangkan untuk memusatkan peranan delivery unit ke salah satu lembaga kepresidenan. Langkah selanjutnya adalah melakukan penguatan peran delivery unit tersebut agar dapat memastikan program-program prioritas nasional yang berskala masif dapat diimplementasikan dengan efektif dan memperkuat koordinasi dalam memecahkan kebuntuan. Dalam kasus program MBG, misalnya, delivery unit tersebut dapat membantu BGN dan semua KL terkait menentukan rencana aksi yang jelas, dan juga mengawasi pelaksanaannya. Jika terdapat suatu kebuntuan, delivery unit sebagai perpanjangan tangan presiden dapat memanggil semua pihak yang terkait agar permasalahan bisa diselesaikan dengan cepat.
Seratus hari pertama tentunya tidak bisa dijadikan tolok ukur utama dalam menilai keberhasilan pemerintahan. Justru seratus hari pertama adalah ruang yang tepat untuk pembelajaran dan mengambil hikmah agar seratus, bahkan seribu hari selanjutnya mimpi dan visi pemerintahan dapat terwujud. Belum terlambat bagi Presiden Prabowo Subianto untuk memperkuat peranan delivery unit dan mendorong implementasi kebijakan yang lebih efektif serta menyelaraskan koordinasi. Pada akhirnya, delivery unit tak lain adalah aktor pendorong proses gotong royong menuju visi Indonesia yang lebih baik.