Idealnya, suatu kompetisi adalah jalan bangsa untuk menata (kembali) langkahnya.
Disebut demikian karena bangsa sebagai suatu entitas yang plural sudah barang tentu akan selalu terbuka pada kemungkinan terjadinya ketidaktepatan dalam memilih atau mengambil keputusan. Ketidaktepatan tidak datang dari kesengajaan, tetapi mungkin karena keterbatasan cara atau perkembangan masyarakat.
Sila keempat Pancasila telah memberi ketentuan bahwa proses mengkaji dan mengambil keputusan hendaknya tidak semata-mata menggunakan metode ”suara terbanyak” (kuantitatif), tetapi ”suara nurani” atau hikmah kebijaksanaan (kualitatif).
Agar pemilu yang merupakan metode suara terbanyak tetap berada dalam kerangka sila keempat, maka yang seyogianya berlangsung adalah penguatan kesadaran rakyat agar pilihan yang diambil lewat tempat pemungutan suara (TPS) adalah pilihan hati nurani.
Jika tiap-tiap individu pada dirinya mampu dalam posisi ”merdeka” dan dengan demikian sepenuhnya mengambil keputusan berdasarkan hati nuraninya, maka suara terbanyak pada dasarnya adalah ”himpunan suara hati nurani”, yang artinya suara yang dilandasi kesadaran penuh akan pilihannya.
Sebaliknya, jika yang bekerja suatu ”operasi” yang membuat kemerdekaan rakyat berkurang, dapat dipastikan bahwa pilihan tidak sepenuhnya dapat dikatakan sebagai pilihan hati nurani. Sesuatu yang bertentangan dengan sila keempat.
Apa yang menjadi tantangan bagi bangsa adalah bahwa esensi dari pemilu bukan hanya pada jumlah suara yang diperoleh, melainkan lebih pada kualitas keputusan yang diambil oleh masyarakat saat memilih, baik eksekutif maupun legislatif.
Mengapa? Karena yang hendak dituju bukan hasil pemilu, melainkan langkah menata (kembali) bangsa melalui proses penuh pertimbangan dan tanggung jawab moral sedemikian rupa sehingga yang hadir adalah solusi strategis dan bukan masalah baru yang menjadi beban bangsa.
Tentang negara
Dalam konteks Indonesia, negara bermakna sebagai organisasi kekuasaan atau bangsa yang terorganisasi. Yang pertama lebih merujuk pada kuasa dan penyelenggaraannya, sedangkan yang kedua lebih merujuk pada posisi warga (bangsa) sebagai subyek. Lebih dari pengertian itu, Pembukaan UUD 1945 menguraikan empat sifat (ciri-ciri) dari negara yang hendak dibangun dan sekaligus asal-usul serta cara kerjanya.
Empat ciri dimaksud: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Artinya, negara yang dibentuk harus memiliki kemampuan melakukan apa yang dalam kuasa kolonial tak dapat dilakukan kepada bangsa, bahkan sebaliknya.
Sangat jelas dikatakan bahwa negara berasal dari kemerdekaan bangsa dan mengambil bentuk negara hukum, dan suatu republik berbasis kedaulatan rakyat (demokrasi). Ketentuan ini menjelaskan bahwa negara merupakan manifestasi dari kemerdekaan bangsa dan, karena itu, pada dirinya terdapat watak emansipasi. Untuk memastikan agar negara tak jadi ”masalah bagi rakyat”, kekuasaan harus datang dari hukum dan berjalan dalam pembatasan hukum. Yang dalam segala hal dalam ”kendali” rakyat (bangsa).
Dengan kesemuanya itu, keadaan ideal yang diharapkan adalah bekerjanya sistem yang transparan, inklusif, dan responsif, dengan institusi yang kuat yang mampu menjalankan kewajiban-kewajiban konstitusional secara efektif. Kepemimpinan dalam negara mutlak mensyaratkan visi yang jelas agar sanggup menghadirkan ciri dasar negara dan punya kemauan kuat untuk menyelenggarakan reformasi yang mendukung kesejahteraan umum dan komitmen untuk menjaga etika dan integritas dalam tata kelola pemerintahan.
Untuk memastikan agar negara tak jadi ”masalah bagi rakyat”, kekuasaan harus datang dari hukum dan berjalan dalam pembatasan hukum.
Tantangan bangsa
Indonesia seharusnya bisa menjadi lensa terang dalam melihat realitas hidup bangsa. Yang dimaksud adalah Indonesia sebagai suatu perspektif yang didasarkan pada segala nilai yang termuat di Pembukaan UUD 1945. Dengan lensa ini, kemungkinan besar kita akan langsung bertemu dengan tiga tantangan strategis bangsa.
Hal itu, pertama, korupsi dengan segala bentuk manifestasinya makin meluas dan dikhawatirkan menjadi metode baku dalam politik. Masalah ini tentu harus dilihat sebagai pantulan atas kinerja politik.
Dalam batas tertentu, bisa dikatakan bahwa kesemuanya itu merupakan akibat dari lemahnya institusi demokrasi, ketidakberdayaan hukum, dan tak efektifnya mekanisme kontrol dan keseimbangan. Secara timbal balik, kesemuanya merusak satu sama lain: lemahnya sistem kontrol menyebabkan korupsi marak, korupsi yang parah menjebol sistem kontrol yang seharusnya jadi penjaga.
Kedua, kemiskinan dan kesenjangan, yang sesungguhnya merupakan pokok masalah yang ingin diselesaikan dengan proyek dekolonisasi. Keadaan ini merupakan dampak nyata dari kebijakan ekonomi yang membuat distribusi sumber-sumber kemakmuran tak merata.
Apa yang dikhawatirkan adalah keadaan ketika kemauan untuk mengatasi keadilan justru tereksklusi dengan langkah sebaliknya. Pada jangka panjang, ini akan membuat kemiskinan kian buruk dan mobilitas sosial rendah, yang bisa menimbulkan ketidakstabilan sosial.
Ketiga, kerusakan lingkungan yang makin buruk sejalan dengan masih bekerjanya kebijakan pembangunan yang tak sungguh-sungguh mempertimbangkan dampak lingkungan, seperti deforestasi, polusi industri, dan penggunaan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan.
Watak pembangunan seperti ini tak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengurangi kualitas hidup dan merusak basis sumber daya yang diperlukan untuk ekonomi di masa depan.
Tiga soal yang diangkat di atas tentu tak mewakili keseluruhan problem bangsa hari-hari ini. Masalah potensi pembelahan sosial akibat residu politik, ancaman disintegrasi akibat kesenjangan antardaerah, dan masih banyak problem lainnya.
Pesan tersembunyi di baliknya adalah merosotnya kinerja negara, dan bahkan berpotensi tak lagi punya kesanggupan untuk hadir seperti maksud pembentukannya. Pada titik inilah langkah menata kembali negara sangat dibutuhkan. Pemilu, dalam kerangka ini, seharusnya diletakkan sebagai langkah utama bangsa ke arah itu.
Menata negara
Benar kiranya bahwa pemilu adalah ajang kompetisi. Akan tetapi, seharusnya hal itu disadari bukan pertama-tama sebagai ajang kompetisi, melainkan sarana bagi rakyat untuk melakukan pemeriksaan kembali, melakukan evaluasi berkala, atas semua peralatan yang dimilikinya, dalam rangka memperbaiki kualitas hidupnya, yakni negara.
Apa yang dialami rakyat selama lima tahun adalah bahan yang cukup untuk melihat secara lebih utuh, tak hanya hidup dan kehidupan rakyat, tetapi juga kapasitas dari peralatan yang dimiliki rakyat. Misalnya, mengapa kesenjangan sosial tidak kunjung dapat diatasi?
Apa yang mungkin telah menjadi problem baru adalah bahwa pemilu yang seharusnya menjadi ”hajat rakyat” mungkin telah bermetamorfosis menjadi ”hajat para kandidat” semata. Akibatnya, pemilu tidak menjadi wahana bagi rakyat untuk mengungkapkan masalah-masalah mendasar yang dihadapinya dan mengemasnya menjadi aspirasi fundamental.
Perbaikan kualitas hidup rakyat akan meningkatkan penerimaan dan kepercayaan rakyat, serta dengan begitu akan berlangsung perbaikan kapasitas negara.
Sebaliknya, pemilu menjadi layaknya catwalk, yakni ”arena” di mana para model dapat menampilkan diri dan seluruh ”citra” dirinya. Jika benar, besar kemungkinan keadaan tersebut sebagai hasil dari kombinasi evolusi media, strategi kampanye yang berorientasi pada ”citra”, dan dinamika sosial budaya yang mengutamakan gaya di atas substansi, yang kian menjauhkan maksud utama dari diselenggarakannya pemilu.
Suatu keadaan yang berada di luar kendali rakyat, yang secara demikian pemilu, tanpa disadari, telah diambil dari pemiliknya, yakni rakyat.
Peristiwa pascapemilu dapat menjadi lukisan pelengkap dari kontestasi tersebut, terutama jika diperhatikan diskursus yang berkembang. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang ”realitas politik” sebagai keseluruhan kurang menjadi perhatian dan seluruh pandangan lebih berfokus pada rencana ”distribusi kuasa”. Tentu ini merupakan hal yang wajar.
Justru karena itu pula sangat layak untuk diajukan tantangan yang melampaui diskursus tersebut, agar pembicaraan tidak menyempit, yang justru dapat membatasi ruang gerak dari yang terpilih. Yang dimaksudkan di sini adalah langkah mengembalikan proses pascapemilu, dalam kerangka menata (kembali) negara.
Dengan demikian, perhatian dan diskursus politik seyogianya tak terbatas hanya pada masalah arsitektur kabinet dan formasinya, melainkan mendudukkan masalah itu dalam ruang lebih besar: menata ulang formasi instrumen bernegara.
Hasil pemilu akan optimal apabila juga dijadikan momentum menata ulang dan memperkuat segenap cabang-cabang pengelolaan negara, baik eksekutif, yudikatif, legislatif, maupun lembaga-lembaga auxiliary yang melengkapi jalannya mekanisme bernegara secara sehat.
Sudut pandang ini tidak saja akan membawa masalah-masalah bangsa naik ke permukaan, tetapi juga akan memperluas partisipan atau memperluas pihak karena yang sedang diurus adalah kepentingan nasional.
Memang harus diakui, untuk tiba pada level ini dibutuhkan kematangan tersendiri. Karena itu, akan muncul kesadaran baru, yang hendak disebut di sini sebagai kesadaran Indonesia. Suatu kesadaran yang akan membuat semua pihak dapat dipersatukan oleh tujuan (baca: kepentingan nasional) dan selebihnya hanya soal fungsi, dan bukan yang lain.
Harus diakui bahwa rakyat tak hanya memutuskan siapa di dalam, tetapi juga siapa di luar. Dan dengan kesadaran Indonesia, gerak menata (kembali) negara jadi agenda bersama.
Ada dua pokok yang perlu jadi perhatian utama. Pertama, perlunya reformasi politik untuk memulihkan kapasitas negara. Ini tak saja melibatkan perubahan kebijakan politik, tetapi juga penguatan institusi pengawasan, sekaligus memperkuat peran media dan masyarakat sipil, serta semua konstituen demokrasi dan keadilan.
Kedua, perlunya reformasi ekonomi dan inovasi sosial untuk memperkuat watak sosial dan inklusif serta berkelanjutan dari mesin pembangunan. Kebijakan ekonomi tidak hanya mendukung pertumbuhan ekonomi, tetapi juga keadilan, keberlanjutan, dan termasuk di dalamnya keadilan antardaerah.
Langkah ini untuk meningkatkan kemampuan negara dalam mendistribusikan sumber-sumber kesejahteraan bangsa. Perbaikan kualitas hidup rakyat akan meningkatkan penerimaan dan kepercayaan rakyat, serta dengan begitu akan berlangsung perbaikan kapasitas negara.
Hanya dengan itu, kapasitas negara akan pulih dan menguat sehingga cita-cita luhur bangsa akan dapat diraih dengan mudah dan mulia. Dengan inilah pemilu yang akan kita selenggarakan dari waktu ke waktu akan memiliki makna yang luhur bagi segenap warga negara, sang pemilik kedaulatan.