Apakah ”segala hal” yang ada di masa lalu merupakan satu kesatuan yang utuh ataukah masih merupakan bagian-bagian yang terpisah?
Bagaimana keadaan idealnya? Apakah seluruh warga bangsa, tanpa terkecuali, berhak atas seluruh ”hal” di masa lalu ataukah masih terdapat ”hal tertentu” yang (masih) bersifat eksklusif?
Masalah ini memiliki relevansi, mengingat muncul dialog publik, yang dipicu oleh pernyataan presiden terpilih Prabowo Subianto, terkait ”posisi” Ir Soekarno. Pernyataan Presiden kelima, Megawati Soekarnoputri, bahwa Sang Proklamator adalah ”milik” bangsa tidak hanya merupakan jawaban, tetapi juga telah mengirim pesan persatuan yang kuat.
Justru dari situlah publik laksana memperoleh pintu masuk yang elegan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar, terkait dengan ”segala hal” di masa lalu, baik makna maupun tempatnya dalam seluruh perjalanan bangsa.
Kesadaran dalam kebersamaan akan membuat setiap warga bangsa memiliki kesempatan sama untuk menggali dan menafsirkan peristiwa-peristiwa sejarah, dengan keragaman lensa, tetapi didasarkan pada maksud yang sama, yakni mengokohkan langkah bangsa mencapai tujuan mulianya.
Pembangunan seharusnya tidak sekadar mengejar capaian ekonomi, tetapi menjadi bagian dari upaya membentuk masa depan bersama.
Nasionalisme
Pada titik inilah tinjauan strategis dibutuhkan, yakni upaya belajar dari ”yang lalu” tentang bagaimana melihat ”kenyataan” dan melahirkan respons sejarah atasnya. Dari padanya diharapkan diperoleh ”pengetahuan baru” untuk menata langkah bangsa ke depan.
Suatu momen sejarah yang sangat penting adalah ketika mereka yang terjajah mengalami apa yang akan disebut di sini sebagai mendapatkan dua kesadaran sekaligus. Satu, bahwa akhirnya kolonialisme dapat dilihat sebagai kenyataan, sebagaimana adanya.
Apa yang (mungkin) semula dianggap sebagai aksi perdagangan dengan segala turunannya ternyata adalah kolonialisme, dengan wajah asli, yang eksklusif (dan mengeksklusi), diskriminatif dan eksploitatif.
Lebih dari itu, berbagai pihak dengan asal-usul dan sejarah yang berbeda-beda menyadari bahwa setiap elemen sesungguhnya mendapatkan perlakuan yang sama, yakni aksi yang tak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dua, bahwa akhirnya ”yang terjajah” bertemu dengan kesadaran bahwa kolonialisme hanya dapat diakhiri, jika dan hanya jika, ada upaya sengaja dalam kerangka persatuan.
Dengan lensa itulah, tiga teks hendak diajukan di sini, untuk melihat bagaimana suatu respons sejarah bergerak. Kesatu, manifesto politik yang dikeluarkan Perhimpunan Indonesia (Mohammad Hatta ada di dalamnya) pada 1923 di Belanda. Begawan sejarah Prof Sartono Kartodirdjo mengatakan, manifesto politik adalah fakta historis mengacu ke suatu titik puncak perkembangan gerakan nasionalis.
Kedua, sebuah teks yang ditulis Ir Soekarno, ”Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, di Suluh Indonesia Muda (1926). Dari teks, tampak bagaimana seorang Soekarno muda (usia 25) menaruh perhatian besar pada kenyataan di mana kekuatan-kekuatan utama pergerakan masih berpisah jalan.
Bagi Soekarno, perpecahan dengan segala bentuknya merupakan pintu utama bagi masalah-masalah yang merendahkan martabat bangsa: ”… jikalau kita semua insaf, bahwa dalam percerai-beraian itu letaknya benih perbudakan kita; jikalau kita semua insaf, bahwa permusuhan itulah yang menjadi asal kita punya via dolorosa”.
Soekarno dalam keyakinan bahwa persatuan dan hanya persatuan yang akan mampu membawa bangsa kepada impiannya: ”…, bahwa persatuanlah yang kelak kemudian hari membawa kita ke arah terkabulnya impian kita: Indonesia-Merdeka!” (Soekarno, 1926).
Yang menjadi pertanyaan, mengapa persatuan belum juga terbit? Dalam teks itu digambarkan bahwa bisa menerima juga harus bisa memberi.
Pancasila, dalam hal ini, diletakkan sebagai fundamen persatuan, baik dalam perjuangan emansipasi maupun membentuk negara dengan elemen dasarnya adalah kemerdekaan bangsa.
Ketiga, Sumpah Pemuda 1928, yang memuat suatu ikrar tentang (1) satu Tanah Air, (2) satu bangsa, dan (3) menjunjung tinggi bahasa persatuan.
Kata ”Indonesia” sendiri telah menjadi kata sangat sarat dengan makna dan watak emansipasi. Secara sederhana, Indonesia adalah tujuan dari seluruh perjuangan dan bahkan langkah perjuangan itu sendiri.
Dalam batas tertentu, Sumpah Pemuda dapat dibaca sebagai tindakan yang menyimpulkan seluruh proses sebelumnya, dengan cara membentuk entitas baru, yakni bangsa Indonesia. Indonesia menjadi tonggak persatuan dari ragam asal-usul dan sejarah. Artinya, Indonesia adalah persatuan atas dasar tujuan yang sama, yakni kemerdekaan, dalam makna yang seluas-luasnya.
Secara demikian, pembentukan entitas baru menjadi tahap lanjut dari upaya membebaskan diri dari hegemoni kolonial. Sebutan ”kami” menjadi mungkin dan monumental.
Pancasila
Pada 1 Juni 2016, terbit Keppres No 24/2016 tentang Hari Lahir Pancasila. Kini telah sewindu lamanya. Latar belakangnya bisa dibaca pada bagian menimbang, yang menyatakan: © untuk pertama kalinya Pancasila sebagai dasar negara diperkenalkan oleh Ir Soekarno, anggota BPUPKI di depan sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945.
Juga; (d) bahwa sejak kelahirannya pada 1 Juni 1945, Pancasila mengalami perkembangan hingga menghasilkan naskah Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan dan disepakati menjadi rumusan final pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Kemudian; (e) bahwa rumusan Pancasila sejak 1 Juni 1945 yang dipidatokan Ir Soekarno, rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hingga rumusan final 18 Agustus 1945 adalah satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai dasar negara.
Dari keterangan ini, publik dapat membaca asal-usul dan proses hingga akhirnya bangsa Indonesia menetapkan suatu dasar bagi bangunan negara yang didirikannya.
Ada tiga hal yang mungkin akan tampak atau terungkap jika penelusuran mendalam dilakukan. Satu, bahwa kemerdekaan atau mendirikan negara adalah soal kemauan dan bukan soal kesiapan. Segala soal yang ada di dalam tata kolonial hanya akan bisa diselesaikan dalam tata nasional.
Dua, bahwa bangsa membutuhkan suatu fundamen persatuan nasional yang kokoh. Bukan hanya fundamen untuk didirikan negara di atasnya, melainkan juga fundamen untuk menyelenggarakan perjuangan.
Tiga, bahwa perjuangan itu sendiri merupakan elemen dasar yang tidak terhindarkan dan bahkan menjadi syarat untuk mewujudkan semua cita-cita.
Baca juga: Pancasila dan Reorientasi Pembangunan
Baca juga: Politik Kebahagiaan
Ir Soekarno menegaskan: ”Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perjuangan! …,jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Panca Sila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, … — janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan.”
Kesemuanya itu dapat ditafsirkan sebagai suatu manifestasi dari aspirasi sejarah: ”bebas dari”. Yang dimaksud adalah terbebasnya bangsa dari seluruh belenggu kolonial dan pada waktu yang bersamaan segera terbentuk tata hidup baru yang sepenuhnya nasional.
Pancasila, dalam hal ini, diletakkan sebagai fundamen persatuan, baik dalam perjuangan emansipasi maupun membentuk negara dengan elemen dasarnya adalah kemerdekaan bangsa. Pancasila yang dirancang menjadi tempat bagi semua membuatnya memiliki sifat ”ke dalam”. Suatu sifat intrinsik, yang muncul dari kebutuhan pembangunan karakter bangsa (identitas bangsa), dan segala upaya mewujudkan kepentingan nasional.
Nasionalisme baru
Diakui atau tidak, rasanya belum semua masalah bangsa warisan kolonial bisa diatasi. Kesenjangan, kemiskinan, dan keterbelakangan masih menjadi bagian dari tata nasional kita.
Lebih dari itu, kini bangsa menghadapi masalah-masalah baru yang belum tampak pada awal abad XX. Seperti tantangan perubahan iklim dan masalah kesehatan global, integrasi ekonomi dunia yang membuat perekonomian nasional rentan terhadap perubahan geoekonomi, revolusi teknologi informasi yang menembus batas-batas geografi dan administrasi, serta berbagai masalah lainnya.
Sementara kekuatan sosial-ekonomi mengalami perubahan formasi, terutama munculnya kelas menengah baru, dengan karakter dan aspirasi juga baru. Kenyataan ini membutuhkan suatu watak baru dari fundamen persatuan bangsa.
Secara sederhana dapat dikatakan, telah muncul suatu kebutuhan obyektif untuk suatu penafsiran baru, penafsiran abad XXI. Apa yang diharapkan adalah adanya pandangan yang secara intrinsik berwatak inklusif, sosial, ekologis, kolaboratif. Jika keadaan abad XX menghendaki daya respons yang berakar pada sifat ”ke dalam”, keadaan abad XXI mensyaratkan sifat inklusif (”ke luar”).
Mengapa? Karena berbagai masalah yang ada, hampir tidak mungkin diselesaikan dengan cara-cara lama yang bersumber pada sifat ”ke dalam”.
Pada titik inilah, gagasan nasionalisme baru hendak didorong ke depan. Mengapa? Satu, dalam satu dasawarsa ini, publik bisa merasakan berkembangnya politik yang justru cenderung melemahkan kohesi sosial. Publik mungkin hidup dalam genangan pesan inklusi, tetapi dalam praktik yang berkembang justru watak eksklusif.
Hal ini mengakibatkan ada pihak yang merasa lebih berhak atas Republik dan karena itu (merasa) bisa bertindak mengeksklusi yang lain atau yang dipandang tak sejalan. Keadaan inilah yang amat perlu bertransformasi agar terbangun sikap inklusif, di mana setiap pihak diakui dan dihargai perannya dalam pembangunan. Bangsa butuh suatu watak baru dari persatuan, suatu watak dengan fundamen inklusif.
Dua, ide kemajuan yang dihela oleh sifat ”ke dalam” telah menghasilkan gerak pembangunan yang eksploitatif dan cenderung melahirkan ketidakadilan. Akibatnya, pembangunan (dengan sifat ”ke dalam”) yang dirancang menjadi bagian dari penyelesaian masalah bangsa justru hadir secara berkebalikan.
Pembangunan seharusnya tidak sekadar mengejar capaian ekonomi, tetapi menjadi bagian dari upaya membentuk masa depan bersama. Dengan demikian, pembangunan menjadi wahana yang menghilangkan segala sekat, diskriminasi dan eksklusivitas, yang ujungnya berupa keadilan sosial-ekologi, yang makin memperkokoh landasan persatuan nasional.
Setiap masa mempunyai tantangannya sendiri dan dengan demikian setiap masa juga punya jawabannya sendiri.
Ketiga, dunia yang makin terintegrasi, baik oleh masalah-masalah maupun oleh sistem dan teknologi, secara obyektif membutuhkan inklusivitas dan kebersamaan dalam kerangka kolaborasi sosial-global.
Identitas lama yang bersifat ke dalam harus bertransformasi menjadi identitas yang bersifat inklusif. Barangkali inilah momen sejarah di mana bangsa dipanggil untuk secara sengaja menempatkan diri sebagai warga global yang penuh tanggung jawab melahirkan tata dunia baru yang lebih adil, damai, dan berkelanjutan.
Hanya dengan pandangan kebangsaan yang baru, Indonesia akan mampu melahirkan kolaborasi global yang mengubah wajah dunia.
Akhirnya, nasionalisme baru merupakan upaya mengenali formasi bangsa hari-hari ini dan meletakkannya di atas tantangan obyektif yang berkembang. Setiap masa mempunyai tantangannya sendiri dan dengan demikian setiap masa juga punya jawabannya sendiri.
Dengan menggali seluruh pengalaman bangsa di masa lalu, diharapkan bangsa dapat menemukan apa yang disebut di sini sebagai metode Indonesia, yakni suatu kemampuan bangsa merumuskan masalah secara tepat, dan dengan itu membuatnya juga mampu melahirkan jawaban yang tepat dan menyejarah. Transformasi dari eksklusif ke inklusif merupakan keharusan sejarah.
Sudirman Said, Ketua Institut Harkat Negeri (IHN)