Pahlawan dan Korupsi

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin

“…tatkala negara yang dibentuknya sendiri telah bergerak jauh dari tujuan, maka rakyat bergerak membentuk ruang kemungkinan baru agar perbaikan bisa dilakukan.”

Apa kaitannya pahlawan dan kepahlawanan dengan korupsi? Percaya atau tidak, pertanyaan ini terus terngiang-ngiang, terutama setelah ada elite politik yang mengingatkan bahwa pada masa awal kemerdekaan para pejuang mengandalkan dukungan rakyat. Tanpa dukungan rakyat, para pejuang akan mati kelaparan, dan sangat mungkin langkah tidak sampai.

Pandangan ini sendiri mungkin sekali dalam satu garis teori yang mengatakan bahwa jika suatu gerilya bertahan lama, pastilah gerakan tersebut memperoleh dukungan rakyat. Jika tidak, maka dengan isolasi pergerakan makanan, akan dengan segera berakhir suatu perlawanan.

Dalam berbagai kisah perubahan di banyak negeri, kerangka kerja tersebut juga muncul. Apa yang terjadi di Filipina, dan di Indonesia sendiri pada 1998, sebenarnya memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa keberadaan dukungan rakyat akan memberi makna yang sangat besar. Bukan hanya dukungan bahan kebutuhan, tetapi juga legitimasi.

Oleh sebab itulah, setiap abuse of power akan senantiasa memutus hubungan antara kekuatan perubahan dan rakyat. Apakah melalui pembatasan pertemuan, restriksi berorganisasi, hingga menekan kebebasan berbicara. Dan, barangkali karena faktor itu pula, mereka yang menguasai tribune kekuasaan, juga berlomba untuk mendekat kepada rakyat dan memelihara dukungan, walaupun telah tidak lagi di panggung formal.

Dukungan rakyat demikian penting artinya, dan bahkan apabila kita menarik garis waktu ke belakang, maka akan juga terlihat jelas bahwa rakyatlah yang sesungguhnya memberi makna nyata pada kemerdekaan Indonesia. Mengapa demikian? Pertama, jika kita kembali kepada konfigurasi politik nasional dan politik global pada Agustus 1945, akan tergambar bahwa faktor eksternal lebih memberi ruang kesempatan ketimbang konfigurasi politik nasional.

Para pemimpin dengan keberanian dan jiwa patriot telah mengambil langkah yang tidak terduga, yakni menyatakan Indonesia merdeka. Padahal apa yang kita punya? Dalam amanat kemerdekaan tahun 1946, Bung Karno secara gamblang mengatakan bahwa modal kita hanya spirit, yakni rasa ingin yang sangat kuat untuk merdeka.

Kedua, masalah muncul persis setelah kemerdekaan dinyatakan. Pemerintahan Bala Tentara Pendudukan masih eksis dan memegang kendali pemerintahan. Pada saat yang bersamaan ada kabar bahwa sekutu akan segera masuk. Bagaimana mengatasi situasi yang pelik dan menentukan hari depan kemerdekaan? Secara tidak terduga, terutama jika dilihat dari perspektif yang lebih strategis, kendati mungkin para pejuang terus merintis jalan, muncul suatu peristiwa yang demikian penting artinya. Yakni, mobilisasi besar di Lapangan Ikada (19 September 1945) dan perjuangan 10 November 1945 yang demikian menyejarah.

Pada 10 November, kendati elite Jakarta kurang mendukung karena tengah melakukan diplomasi, gelora rakyat yang tidak terbendung menunjukkan kepada dunia bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan peristiwa besar yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh dunia.

Apa yang menjadi penting untuk menjadi bahan refleksi adalah bahwa dukungan rakyat yang kuat, jiwa dan raga, serta harta benda, telah menjadikan gagasan Indonesia menjadi nyata dan hidup.

Pada tahap selanjutnya, dukungan rakyat makin luas, terutama jika dikaitkan dengan perlawanan bersenjata dan gerilya, yang kesemuanya itu dimungkinkan karena adanya bantuan dari pihak rakyat. Para sejarawan dengan pendekatan yang tidak hanya memberikan perhatian pada peran elite, makin membuka mata publik bahwa peran rakyat demikian besar dalam mewujudkan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara.

Bukan hanya itu, tatkala negara yang dibentuknya sendiri telah bergerak jauh dari tujuan, maka rakyat bergerak membentuk ruang kemungkinan baru agar perbaikan bisa dilakukan.

Korupsi

Dari mana datangnya korupsi? Para ahli mungkin bisa bertukar pikiran untuk menjelaskan secara baik asal-usulnya. Namun, bagi publik, korupsi jelas merupakan problem mendasar yang mengganggu bangunan tata hidup bersama. Masalahnya: mengapa praktik korupsi dari waktu ke waktu menunjukkan gerak grafik yang naik?

Sementara langkah pemberantasan korupsi terus diperbaiki dan pada masa kampanye terus disuarakan sebagai agenda utama? Apakah ada yang salah dalam strategi, atau bahkan kesalahan pada tingkat yang lebih awal: mendefinisikan apa itu korupsi? Para ahli telah memberi penjelasan, termasuk di antaranya B Herry Priyono, yang dari padanya dapat diduga bahwa sangat mungkin kesalahan datang dari pangkal.

Memang, dalam praktik hari-hari ini, apa yang disebut sebagai korupsi sangat lekat dengan bagaimana perbuatan itu didefinisikan. Jika dilihat dari kerangka hukum, jelaslah bahwa sesuatu dinyatakan tindak pidana korupsi jika dan hanya jika masuk dalam kategori hukum atau ada di dalam pasal.

Apabila publik, dengan rasa keadilannya, memandang bahwa suatu perbuatan telah masuk kategori korupsi, sementara ketentuan tidak memasukkannya, maka jelas perbuatan tersebut tidak akan terkena sanksi hukum. Demikian itulah yang berlangsung. Publik dapat segera paham bahwa pada akhir perdebatan yang terjadi ialah perdebatan tentang pasal, pengertian dan tentu tafsir atasnya. Soalnya: siapa yang paling berhak memberikan tafsir?

Pertanyaan terakhir tersebut tentu bukan dimaksudkan untuk memproblematisasi, tetapi demi mengangkat problem tersebut ke level yang melampaui teks formil dan meletakkan problem ke arena publik (republik). Masalahnya, bukan lagi sekadar apakah ada di wilayah legal formal, melainkan di dalam arena hidup publik, yang dalam hal ini hendak digunakan kategori wajar ataukah tidak.

Adapun kewajaran sendiri hendak dilandaskan pada esensi dari apa yang di atas disebut sebagai dukungan rakyat. Kemerdekaan adalah reaksi publik atas relasi yang tidak wajar. Suatu relasi di mana yang berhak justru berkuasa dan mengatur nasib bangsa lain. Ketidakwajaran tersebut dirumuskan secara sangat adi manusiawi: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa….”

Dengan perspektif tersebut, korupsi bukan sekadar peristiwa hukum, melainkan peristiwa kebangsaan. Praktik korupsi sudah tidak memadai dipandang sebagai ‘tindak mengambil’, tetapi suatu ‘tindak merusak’. Lantas apa yang dirusaknya? Jika diperkenankan untuk memberikan pandangan atas apa yang sungguh-sungguh dirusak, dapat dikatakan bahwa yang dirusak ialah jiwa bangsa itu sendiri. Apa maksudnya? Yakni bahwa apa yang diperjuangkan, dibela dengan jiwa raga, ternyata menjadi tempat subur bagi tindakan yang ingin dihilangkan dari bumi pertiwi.

Kemerdekaan adalah pintu bagi hari depan yang baru. Hari depan di mana tidak ada lagi tindakan yang tidak dibenarkan oleh moral merdeka. Adanya tindak korupsi berarti mengabaikan segala pengorbanan para pahlawan yang membentuk Indonesia.

Lewat nalar itu pula, barangkali akan lebih mudah dijelaskan mengapa korupsi masih tetap ada dan malah berkembang? Salah satu sebabnya tentu karena negara telah dirusak lapisan moralnya, sehingga kesanggupannya untuk melahirkan tata hidup yang tidak memberi tempat pada segala tindakan yang anti-republik telah mengalami penurunan.

Tidak saja kerangka legal formal yang mengalami penurunan kemampuan, tetapi juga politik, ekonomi, dan sosial budaya. Kontestasi politik yang dimaksudkan untuk menemukan dia yang paling baik moral politiknya, dalam kenyataan justru menjadi pintu bagi mereka yang sanggup menerobos batas-batas kepatutan. Demikian halnya ekonomi dan sosial, yang konstruksinya memungkinkan kesenjangan yang lebar dan membiarkan sebagian besar hidup di bawah garis kemiskinan.

Jalan Kewajaran

Kita tentu tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa dunia berkembang demikian cepat. Ragam penyesuaian telah dan sedang serta mungkin akan terus berlangsung. Apa yang dulu dianggap ideal, bisa jadi kini telah berkebalikan. Generasi baru bisa saja punya pandangan-pandangan baru, sebagai akibat pergaulan global dan barangkali juga akibat dari keadaan yang berubah.

Meski demikian, kita dapat mengatakan bahwa di antara berbagai perubahan tersebut, terdapat hal-hal yang tidak terbantahkan, yang akan memaksa kita sebagai bangsa untuk pulang kepada nilai-nilai dasar republik. Salah satu yang paling aktual ialah kenyataan perubahan iklim, yang apabila digunakan kacamata Gandhi, maka dapat dikatakan bahwa kesemua itu merupakan akibat dari ketidakwajaran (baca: keserakahan).

Secara teknis, keadaan tersebut tentu akan memaksa penyesuaian di sana-sini. Ekologi tidak mungkin lagi sepenuhnya ada dalam kendali ekonomi, bahkan mungkin harus diubah 180 derajat? Apa mungkin secara drastis. Rasanya tidak, walaupun jalan ke arah itu mau tidak mau harus dilewati, jika kita tidak ingin keadaan semakin buruk.

Pada titik inilah kita ingin mengatakan bahwa telah tiba waktunya di mana kewajaran menjadi paradigma dalam hidup bersama kita, sedemikian rupa sehingga segala ketidakwajaran dapat dikendalikan oleh hukum, karena memang sedari awal dikonstruksi untuk mengendalikan dan bukan untuk melayani ketidakwajaran.

Jalan kewajaran inilah yang kita harapkan dapat memulihkan jiwa republik yang telah dirusak oleh tindak korupsi. Namun, kita juga menyadari bahwa kesembuhan total dari sesuatu yang telah berbentuk laksana kanker harus mungkin terjadi jika ada tindakan khusus pada penyebab utama. Terhadap hal yang besar dan berat, tidak mungkin diselenggarakan dalam tempo bertahap.

Rumus yang tersimpan dalam teks Proklamasi dapat digunakan, yakni perlunya suatu operasi, atau tindakan cepat, agar sumber penyakit bangsa dapat diatasi. Baru setelah sumber utama diangkat, dibutuhkan cukup waktu untuk pemulihan. Apakah mungkin dilakukan?

Pernyataan pemimpin nasional dan langkah-langkah yang ingin diambil menampilkan secara terang suatu watak patriotik. Sebagaimana disinggung di atas bahwa sikap memberi hormat kepada rakyat, atas jasa-jasa ketika menolong para pejuang kemerdekaan, memberi pesan kuat suatu keinginan untuk tidak menyia-nyiakan segala yang telah diberikan oleh para pahlawan.

Gerak negara yang benar, yang sepenuhnya dalam koridor dasar negara dan konstitusi serta mengabdi untuk kepentingan publik, akan dapat dibaca sebagai sikap terpuji dan luhur untuk menghormati pengorbanan para pahlawan yang membentuk Indonesia. Dengan teguh dan sikap setia pada apa yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan, maka segala bentuk korupsi dan derivasinya akan bisa dihilangkan dari Indonesia.

 


Artikel ini dipublikasikan pertama kali oleh penulis melalui https://mediaindonesia.com/opini/715687/pahlawan-dan-korupsi pada 7 Novermber 2024.

Institut Harkat Negeri
Jl. H Sa’aba No. 7A
Cipete Utara, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan, Indonesia – 12150
Hotline : 0811 911 2016
Email : sekretariat@harkatnegeri.org

Institut Harkat Negeri

Institut Harkat Negeri
All rights reserved | 2024