The Strategic Research and Consulting (TSRC) menyebut isu perpanjangan masa jabatan presiden di media sosial didominasi akun robot. Hal itu diketahui TSRC melalui analisis jaringan wacana (discourse betwork analysis/DNA) di Twitter dengan kata kunci “Pemilu 2024”. Isu ini muncul bukan secara organik dari masyarakat, tetapi sengaja dimunculkan oleh pihak-pihak tertentu melalui akun-akun robot, diamplifikasi dan dimasifkan di media sosial dengan berbagai macam narasi.
Dinamika akun robot terjadi bukan pada saat ini saja, tetapi cukup marak terjadi pada saat menjelang Pemilu 2019. Akun-akun robot menjadi senjata bagi kontestan Pilpres untuk saling menyerang dan mengunggulkan jagoannya. Akun robot semakin bebas beraksi karena hampir tidak ada larangan dan sanksi dari penegak hukum. Bila akun robot dipelihara terus menerus tanpa ada aturan, maka ini merupakan ancaman serius bagi demokrasi kita. Masyarakat akan terbuai dengan informasi semu dari kelompok-kelompok yang hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dan menginginkan kekuasaan untuk dapat mengakses eksploitasi sumber daya. Penyalahgunaan akun robot dapat merusak sistem bernegara, pengelolaan negara, dan semakin menjauhkan cita-cita bangsa untuk menuju masyarakat adil dan makmur.
Permasalahan yang muncul di masyarakat tidak bisa diselesaikan dengan mengandalkan akun robot. Penggiringan pemahaman dan opini yang dilakukan secara masif oleh pihak-pihak tertentu cenderung berbentuk manipulasi dan kebohongan publik. Penguatan pengelolaan negara tidak dapat dilakukan dengan memarakkan akun robot, tetapi harus dilakukan dengan memperkuat penerapan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (governance). Masyarakat berharap pada periode kedua ini, kinerja presiden Joko Widodo akan lebih baik dibanding periode pertama. Pada periode pertama, Jokowi menyisakan pekerjaan rumah yang besar dalam pengelolaan Negara, terutama terkait isu governance. Jokowi terlihat mengabaikan prinsip-prinsip umum governance, seperti transparansi, akuntabilitas, dan prinsip kesetaraan.
Prinsip transparansi dalam negara demokrasi dapat diperlihatkan salah satunya adalah adanya kebebasan pers. Pers sebagai ujung tombak demokrasi merupakan sarana check and balances antara penyelenggara negara dengan rakyat. Adanya kebebasan pers memungkinkan terjadi dialog yang produktif antara negara dan warga negara demi penyelenggaraan negara yang lebih baik. Hal ini tidak terjadi dalam periode pertama. Sebagian besar media dimiliki oleh tokoh-tokoh partai politik dan pengusaha pendukung. Akibatnya pemberitaan berjalan sepihak, begitu juga opini pakar juga pakar pendukung. Sehingga secara keseluruhan tidak terjadi komunikasi dan dialog antara negara dan warga negara. Hal ini berpotensi menjadi ancaman bagi penyelenggaraan negara karena kebenaran bukan berasal dari hasil dialog tetapi kebenaran menjadi monopoli negara.
Bentuk lain dari transparansi adalah kebebasan mengemukakan pendapat. Pada periode pertama dan awal periode kedua, Jokowi dihadapkan dengan maraknya demonstrasi mahasiswa yang turun ke jalan menentang UU Cipta Kerja dan revisi RUU Komisi Pemberantasan Korupsi. Suara mahasiswa adalah cerminan suara rakyat. Bila mahasiswa sudah turun ke jalan berarti ada yang salah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Boro-boro Jokowi mengapresiasi para mahasiswa, tetapi justru aparat bertindak represif yang mengakibatkan beberapa mahasiswa meninggal dunia.
Prinsip akuntabilitas tidak kalah juga abai dilakukan negara. Prinsip ini mengharuskan penyelenggara negara untuk bertanggungjawab dalam penggunaan sumber daya. Dalam negara demokrasi, negara diberi kewenangan untuk mengakses dan mengelola seluruh sumber daya demi kemakmuran warga negara. Berbagai kontroversi mewarnai pengelolaan BUMN, dari mulai penunjukan komisaris yang berasal dari relawan yang tidak relevan kompetensinya, penunjukan direksi yang tidak cenderung melanggar aturan, merger antar BUMN yang cenderung tertutup, sampai dengan kecenderungan adanya manipulasi laporan keuangan.
Bahkan yang cukup memprihatinkan adalah ketika negara semakin cenderung mengabaikan soal akuntabilitas. yaitu dengan munculnya isu penumpulan kinerja dua lembaga yang mengurusi akuntabilitas, BPK dan KPK. Penumpulan BPK dilakukan DPR dengan memilih wakil-wakil partai politik menjadi anggota BPK. Ada kekhawatiran nantinya anggota BPK yang berasal dari partai politik cenderung mewakili kepentingan partai dibanding menegakkan aturan menjaga akuntabilitas penggunaan uang negara. Sedangkan penumpulan KPK dilakukan dengan dugaan adanya skenario menempatkan orang yang bermasalah menjadi pimpinan KPK dan merevisi undang-undang KPK yang sebenarnya tidak bermasalah. Cukup disayangkan bila kedua lembaga yang dipercaya masyarakat dapat mencegah penyalahgunaan penyelenggaraan negara, menjadi tidak berdaya.
Sedangkan prinsip kesetaraan menuntut adanya perlakuan yang adil oleh negara dalam pemenuhan hak-hak warga negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Negara diharapkan memberikan jaminan perlakuan yang adil diantara beragam kepentingan warga negara. Prinsip ini yang perlu benar-benar diperhatikan oleh negara. Masyarakat seringkali tidak menggunakan ukuran rasional, tetapi seringkali masyarakat lebih menggunakan perasaan dalam mengukur keadilan yang ditampilan negara. Saat ini masyarakat merasakan adanya pembedaan perlakuan negara terhadap warga yang mendukung penguasa dengan yang mengkritisi penguasa.
Permasalahan governance di atas bila terus terpelihara di periode kedua pemerintahan Jokowi tentu berpotensi memperparah kondisi bernegara. Saat ini bukan lagi jaman dimana negara bisa menyembunyikan perilaku buruknya. Adanya media sosial telah menembus batas usia, batas pendidikan, dan batas geografis warga negara untuk turut serta mengawasi penyelenggaraan pemerintahan. Warga yang tinggal di ujung Papua atau Sumatera bisa mengakses informasi sama dengan warga yang tinggal di kota besar seperti Jakarta.
Pekerjaan besar Jokowi pada periode kedua saat ini adalah menyelesaikan permasalahan governance supaya tidak perlu terlalu banyak sumber daya yang dialokasikan untuk mengawasi dan memidanakan rakyatnya sendiri. Jokowi lebih baik fokus melaksanakan pembangunan untuk menyejahterakan rakyat yang hidupnya dari hari ke hari makin sulit.
Ditulis: Agung Hendarto
Direktur Eksekutif IHN