Cinta dan Risiko

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin

Message of Monday – Senin, 7 Maret 2022
Cinta dan Risiko
Oleh: Sonny Wibisono *

“Kapal akan aman bila berada di pelabuhan, tetapi kapal tidak diciptakan untuk itu.”
— Grace Murray Hopper, ahli matematika, penemu teknologi komputer, 1906-1992

Sumber: Fatih Turan from Pexels

Apa yang dikatakan Hopper ada benarnya. Kapal sejatinya memang dibuat untuk mengarungi lautan dengan segala risiko yang menghampirinya. Atas nama risiko itu pula akhirnya Felicity Ace tenggelam di lepas pantai kepulauan Azores, Portugal.

Felicity Ace merupakan kapal kargo raksasa berjenis ro-ro dengan berat mencapi 60 ribu ton dan panjang 200 meter. Pada 10 Februari, Felicity Ace berangkat dari Pelabuhan Emden, Jerman menuju Rhode Island, Amerika. Direncanakan kapal itu akan tiba pada tanggal 23 Februari. Malangnya, kapal itu tak pernah sampai tujuan. Di tengah lautan Samudera Atlantik, kapal itu mengalami musibah. Pada 16 Februari, kapal tersebut mengirimkan sinyal pertama akan terjadinya kebakaran di dek.

Setelah terbakar selama dua pekan, Felicity Ace akhirnya tenggelam. Walau jarang terjadi, musibah tenggelamnya kapal di tengah lautan sebenarnya bukan berita yang mengejutkan. Menjadi tidak biasa karena kapal tersebut mengangkut hampir 4 ribu mobil mewah!

Ya, kapal itu membawa ribuan mobil mewah dengan rincian 1.900 Audi, 1.100 Porsche, 500 Volkswagen, 189 Bentley, dan 85 Lamborghini. Upaya pemadaman sudah dilakukan berulang kali. Sayangnya, api tidak berhasil dipadamkan sejak percikan api pertama kali dilaporkan muncul. Petugas mengalami kesulitan memadamkan api karena beberapa mobil yang dibawa kapal tersebut merupakan kendaraan listrik. Api sukar dipadamkan karena baterai lithium ion yang berada di mobil-mobil listrik terus menimbulkan kebakaran baru.

Sulit dibayangkan, kapal beserta seluruh isinya tersebut tenggelam ke dasar laut. Rugi? Oh, pasti. Total kerugian ditaksir mencapai US$ 338 juta atau setara dengan Rp 6,2 triliun. Rp 5,7 triliun di antaranya merupakan kerugian dari terbakarnya mobil-mobil mewah tersebut.

Pabrikan ternama asal Jerman tersebut bukannya tak tahu dengan segala kemungkinan yang terjadi. Keputusan telah dijalankan. Risiko telah diambil. Mereka bukannya tidak tahu akan risiko yang dihadapi bila mobil-mobil itu dikirim via jalur laut. Terlebih, keputusan diambil di saat pandemi melanda dunia dimana hampir seluruh negara di dunia mengalami penurunan ekonomi. Nah, situasi pandemi sendiri telah membuat banyak perusahaan kesulitan memasarkan produk. Tak terkecuali  pabrikan mobil. Ditambah krisis chip semikonduktor untuk memenuhi permintaan pasar dunia, makin menambah pukulan telak bagi pabrikan asal Jerman tersebut.

Itu dari sudut pandang pabrikan mobil. Diyakini mobil-mobil tersebut telah diasuransikan sebelumnya. Bagaimana dari sisi kapal itu sendiri? Memang menjadi pertanyaan besar, mengapa kebakaran di kapal itu sulit dipadamkan, walau telah dibantu oleh petugas pemadam kebakaran dari kapal lain sekalipun. Diduga ada kelalaian yang yang terjadi pada kapal naas itu.

Nah, disinilah pentingnya mengelola risiko. Kapal itu telah ratusan (atau bahkan mungkin ribuan) kali berlayar sejak pertama kali diluncurkan Juli 2005. Dan selama itu pula tak ada masalah berarti yang dihadapi. Standar Operational Procedur alias SOP tentunya sudah dijalankan berulang kali oleh kapal itu. Tapi mengangkut ribuan mobil listrik yang mudah terbakar apakah SOP juga berlaku sama? Mobil listrik memang belum lama ditemukan. Jauh sebelum kapal itu dibuat tahun 2004. Seharusnya ada SOP atau perlakuan khusus terhadap barang yang berbeda yang diangkut kapal. Faktanya, kapal sulit dipadamkan karena keberadaan mobil listrik di dalam kapal. Kebakaran itu sendiri pun belum diketahui darimana sumbernya. Apakah dari kapal itu sendiri, human error, atau bahkan dari mobil listrik yang ada di kapal.

Ah, kita sedang bicara risiko rupanya. Lantas apa yang dimaksud dengan risiko? Seperti cinta, risiko sulit didefinisikan. Tapi bisa dirasakan. Tak aneh bila William J. Bernstein dalam bukunya ‘The Four Pillars of Investing’ menjelaskan, “Risk, like pornography, is difficult to define, but we think we know it when we see it.” Risiko, seperti pornograpi, sukar untuk didefinisikan, tapi kita akan mengetahuinya bila kita telah melihatnya. Begitu pula risiko, kita akan mengetahui dan merasakannya bila kita telah menjalaninya.

Cambridge Dictionary mendefinisikan risiko dengan “risk is the possibility of something bad happening.” Sedangkan The Oxford English Dictionary mendefinisikannya dengan “the possibility of loss, injury, or other adverse or unwelcome circumstance; a chance or situation involving such a possibility.”

Dalam menjalani hidup ini kita sejatinya telah mengambil risiko. Tiap orang tentu berbeda tiap risiko yang dihadapi dan diterimanya. Saat Putin mengambil keputusan menyerang Ukraina, ia telah mengambil risiko. Tak hanya terhadap dirinya sendiri, tapi juga bagi rakyat Rusia, rakyat Ukraina, dan juga dunia pada umumnya. Saat Anda jatuh cinta dan memilih seseorang menjadi pasangan hidup pun, risiko telah diambil.

Walau begitu, mengapa banyak orang takut untuk mengambil risiko? Sederhana jawabannya, mereka takut gagal. Mereka berpikir tak bisa melakukannya, belum berbakat, atau seribu satu alasan lainnya. Keberanian mengambil risiko, sesungguhnya lebih menunjukkan kepada karakter dan mental seseorang. Bukan pada besar kecilnya risiko yang dihadapi. Kualitas seseorang tidak ditentukan dari peristiwa yang datang menghampirinya, tapi dari respon yang ia berikan dari peristiwanya itu sendiri.

Sebaliknya, bila seseorang berani mengambil risiko, apapun itu, artinya ia telah berani menjalani kehidupan itu sendiri. Juga menunjukkan akan mendapatkan suatu pelajaran berharga dari setiap risiko yang diambil. Tentunya, bukan berarti melangkah tanpa perhitungan yang matang. Satu rahasia orang-orang sukses, seperti yang mereka ungkapkan, adalah bahwa mereka sering mengambil risiko dalam bertindak. Jangan pula ketika telah mengambil risiko, dan kejadian buruk menimpa, tapi tak tahu bagaimana mengelola risiko. Itu nekat tak bertanggung jawab namanya.

Bila kita telah mengambil risiko, ada konsekuensi dari tindakan tersebut. Nah, untuk meminimalisasi konsekuensi yang terjadi, disitu pentingnya kita mengelola risiko. Jangan hanya sibuk melihat peluangnya saja, tapi tidak melihat risiko yang muncul. Saat kita hanya sibuk melihat peluangnya saja, disana kita sudah abai dalam mengelola risiko.

Cinta dan risiko memang sama-sama sulit didefinisikan. Bedanya, risiko tak selalu mengandung cinta, tapi cinta sudah pasti mengandung risiko. Saat cinta menghampiri, Anda pasti menginginkan kebahagiaan. Tapi, Anda harus siap pula patah hati. Saat menjalin hubungan dengan kekasih, tapi tahu-tahu ia menikah dengan orang lain misalnya, Anda harus siap lahir batin. Almarhum Meggy Z sudah mengingatkan jauh-jauh hari dalam lagunya ’Jatuh Bangun’ yang hits di tahun 90-an,  “Percuma saja berlayar, kalau kau takut gelombang. Percuma saja bercinta, kalau kau takut sengsara.” Halah, kenapa dikaitkan dengan cinta. Basi banget.

Baiklah, kembali lagi soal kapal, karena tulisan ini diawali kutipan soal kapal, maka saya akhiri pula dengan kutipan soal kapal di atas. Tak beda jauh dengan kapal, bila Anda tak mau mengambil dan menerima risiko, maka Anda tak akan merasakan dan menikmati getar kemenangan dan kesuksesan, kecuali getir kekalahan dan kepahitan hidup Anda.

* Penulis buku ‘Message of Monday’, Elexmedia, 2009 dan Ref Grafika Publishing, 2012

Institut Harkat Negeri
Jl. H Sa’aba No. 7A
Cipete Utara, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan, Indonesia – 12150
Hotline : 0811 911 2016
Email : sekretariat@harkatnegeri.org

Institut Harkat Negeri

Institut Harkat Negeri
All rights reserved | 2024