Memiliki peran pemimpin dalam di tengah masyarakat atau di dalam organisasi tidak hanya memiliki fungsi, memperoleh keterampilan baru, dan kecocokan gaya kepemimpinan dengan fungsi peran yang dibutuhkan. Agar dapat menjalaninya dengan baik, maka pemimpin perlu menyesuaikan identitas dirinya sehingga sesuai dengan fungsi di peran barunya. Banyak organisasi secara tidak sengaja melemahkan proses ini ketika menyarankan perempuan untuk secara proaktif mencari peran kepemimpinan sementara kebijakan dan praktik tidak selaras antara cara pandang organisasi terhadap perempuan dan persepsi kualitas dan pengalaman yang cenderung diasosiasikan pemimpin secara umum.
Beberapa tahun belakangan ini kepemimpinan feminin semakin banyak diadopsi dalam praktik. Menekankan nilai seperti empati, intuisi, inklusivitas, dan kolaborasi, kepemimpinan feminin menawarkan pendekatan alternatif dari kepemimpinan maskulin yang menekankan kontrol, persaingan, dan hierarki. Kepemimpinan maskulin melahirkan budaya yang menghargai persaingan dibandingkan kolaborasi, kontrol atas pemberdayaan, dan hierarki dibandingkan inklusivitas. Model kepemimpinan maskulin kini dilihat sebagai gaya kepemimpinan tradisional ini terbukti berhasil dalam banyak hal, namun juga menimbulkan masalah-masalah seperti kurangnya keberagaman, fokus pada keuntungan jangka pendek dibandingkan keberlanjutan jangka panjang, dan pengabaian terhadap keadilan dan kesejahteraan manusia dan planet bumi.
Kepemimpinan tak berbasis gender
Penelitian terbaru menyoroti pentingnya menyadari bahwa sifat feminin dan maskulin dapat ditunjukkan oleh individu dari jenis kelamin apa pun. Meskipun secara historis, ciri-ciri tertentu telah dikaitkan dengan gender tertentu, penting untuk menghindari esensialisme gender dan menyadari bahwa ciri-ciri tersebut tidak hanya dimiliki oleh satu gender saja.
Perubahan iklim, kesenjangan ekonomi, ketidakadilan sosial, dan perubahan lanskap bisnis hanyalah beberapa permasalahan yang memerlukan pendekatan baru. Kepemimpinan feminin menekankan nilai dan karakter yang menempatkan individu sebagai sentra dalam berkarya dan menghadirkan wajah kepemimpinan yang lebih manusiawi.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Organizational Behavior menemukan bahwa pria yang menunjukkan sifat femininnya, seperti empati, dianggap sebagai pemimpin yang lebih efektif oleh karyawannya. Demikian pula, perempuan yang secara tradisional menunjukkan sifat-sifat maskulin, seperti ketegasan, dianggap sebagai pemimpin yang lebih efektif oleh rekan-rekan mereka. Studi lain yang diterbitkan dalam Journal of Vocational Behavior menemukan bahwa pria dan wanita yang menunjukkan kombinasi sifat maskulin dan feminin cenderung memiliki kepuasan kerja yang lebih tinggi dan kesehatan mental yang lebih baik.
Penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih cenderung memiliki ciri-ciri feminin tertentu yang terkait dengan kepemimpinan yang efektif. Misalnya, perempuan cenderung mendapat skor lebih tinggi dibandingkan laki-laki dalam hal kecerdasan emosional dan empati, yang merupakan ciri penting dalam membangun hubungan dan memahami kebutuhan orang lain.
Dengan merangkul sifat-sifat feminin yang melekat ini, perempuan dapat memimpin dengan lebih autentik dan efektif. Daripada merasakan tekanan untuk menyesuaikan diri dengan gaya kepemimpinan tradisional yang maskulin, perempuan dapat memprioritaskan empati, kerentanan, dan fleksibilitas, sehingga menciptakan tempat kerja yang lebih inklusif dan inovatif.
Model kepemimpinan maskulin atau feminin yang diadopsi tentu saja akan bergantung pada situasi yang kita hadapi di lapangan.
Kalau kamu cenderung pada model yang mana?
Sumber:
Harvard Business Review dan Psychology Today