Pada tahun 2020, ketika pandemi COVID-19 menyapu Indonesia, pemerintah pusat dan daerah disibukkan oleh keruwetan prosedur administratif. Surat keputusan harus melintasi hirarki kementerian, dana bantuan sosial tertahan di sistem verifikasi berlapis, dan data penerima manfaat tumpang tindih antarinstansi. Di tengah krisis yang menuntut kecepatan dan empati, negara justru tampil lamban dan prosedural.
Bagi banyak warga, negara bukan hadir untuk melayani, melainkan sibuk menata dirinya sendiri. Fenomena ini mengungkapkan satu kenyataan yang terlalu lama dibiarkan, yaitu Indonesia masih mengandalkan paradigma rule by bureaucracy—sebuah model tata kelola yang berakar pada dominasi hirarki, dokumen, dan prosedur ketat, yang terkadang justru menghalangi pelayanan publik yang tanggap dan manusiawi.
Namun dunia berubah, dan begitu pula ekspektasi masyarakat terhadap negara. Muncullah sebuah tuntutan baru governance with society—sebuah paradigma yang menempatkan negara sebagai mitra warga, bukan penguasa birokrasi. Ini bukan sekadar slogan reformasi, melainkan pergeseran mendalam dalam cara berpikir, cara bertindak, dan cara melibatkan masyarakat dalam roda pemerintahan.
Sejak era Reformasi, Indonesia telah menegaskan komitmen untuk memperbaiki birokrasi melalui Grand Design Reformasi Birokrasi 2010–2025. Beberapa kemajuan memang tercapai; Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia meningkat dari skor 1,7 (skala 0-10) pada 2000 menjadi 37 (skala 0-100) pada 2024, walaupun korupsi di Indonesia masih tinggi, dan sistem merit mulai diterapkan dalam pengelolaan sumber daya manusia di berbagai instansi, walaupun belum optimal.
Namun, kemajuan ini lebih sering terbatas pada aspek teknis seperti digitalisasi dokumen dan pelatihan layanan pelanggan. Yang belum berubah secara mendasar adalah relasi antara negara dan warga. Pemerintah masih memosisikan diri sebagai pusat segala keputusan; partisipasi masyarakat masih bersifat simbolik.
Padahal, dari ukuran efektivitas pemerintahan Indonesia menurut World Bank tahun 2023, hanya berada di skor 0,58 dalam skala -2,5 hingga +2,5. Ini menunjukkan bahwa kualitas layanan dan kredibilitas kebijakan masih menjadi pekerjaan rumah besar. Birokrasi modern tak cukup hanya mengandalkan teknologi dan sistem merit, tapi yang diperlukan memperbarui logika dasarnya, dari sentralitas kontrol menuju kolaborasi sosial.
Paradigma governance with society sendiri berakar pada pemikiran new public governance, yang bertolak belakang dengan model klasik Weberian bureaucracy. Negara tidak lagi berdiri di atas warga, melainkan menyatu dalam jejaring sosial masyarakat; organisasi sipil, komunitas lokal, perguruan tinggi, bahkan sektor swasta.
Keputusan tidak lagi diambil secara top-down, tetapi dikonstruksikan bersama. Prinsip-prinsip seperti akuntabilitas, partisipasi, transparansi, responsivitas, dan efektivitas menjadi kunci bagi negara-negara yang ingin bergerak menuju tata kelola kolaboratif.

Benih dari pendekatan ini sebenarnya sudah mulai tumbuh di Indonesia, meskipun masih sporadis. Di Surabaya, misalnya, Tri Rismaharini menciptakan e-Musrenbang, platform digital untuk menyerap aspirasi warga dari tingkat kelurahan. Di Bojonegoro, pemerintah daerah membuka data APBD secara real-time dan melibatkan jurnalis desa dalam menyusun rencana pembangunan.
Jakarta mencoba memadukan forum daring dengan musyawarah rencana pembangunan wilayah. Namun semua inovasi itu masih bergantung pada keberanian dan visi individu kepala daerah, belum menjadi sistem yang mengakar secara nasional.
Dalam dunia yang semakin kompleks, negara tidak bisa berjalan sendiri. Ketika banjir menerjang pemukiman urban, misalnya, negara membutuhkan informasi dari komunitas warga tentang aliran air dan sistem drainase. Saat pandemi melanda, negara mengandalkan jaringan RT/RW dan organisasi keagamaan atau organisasi kemasyarakatan untuk menjangkau masyarakat terdampak.
Menghadapi perubahan iklim, kolaborasi dengan ilmuwan, petani, dan pelaku industri menjadi penting. Sayangnya, struktur birokrasi kita masih menutup pintu bagi kolaborasi semacam itu. Nilai integrasi layanan publik dalam Indeks SPBE Nasional 2023 masih di bawah 2,5 dari skala 5, menandakan rendahnya koordinasi antarlembaga dan keterlibatan masyarakat. Laporan Ombudsman RI tahun 2022 bahkan mencatat bahwa 70% aduan publik masih berkaitan dengan lambannya pelayanan dan ketimpangan akses.
Padahal, di banyak tempat, masyarakat sipil justru menunjukkan kapasitas untuk berkontribusi. Di Makassar, komunitas BaKTI membuat platform yang memfasilitasi kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sector swasta untuk mendorong pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
Di Yogyakarta, gerakan Civic-Tech seperti Lapor Sleman dan Open Data Jogja berhasil menggerakkan warga sebagai pengawas aktif anggaran dan pelayanan publik. Di Wonosobo, forum warga desa mengintegrasikan sistem perencanaan berbasis gender dan disabilitas. Gerakan-gerakan ini membuktikan bahwa governance with society bukan utopia. Ia sedang tumbuh, meski perlahan, dan menuntut keberanian negara untuk membuka ruang partisipasi, bukan mencurigainya.
Mewujudkan negara yang melayani tidak cukup dengan mempercantik gedung atau meluncurkan aplikasi layanan. Diperlukan perubahan cara pandang dan relasi kekuasaan. Pemerintah harus berhenti melihat dirinya sebagai satu-satunya aktor dan mulai berperan sebagai enabler—pemberdaya ekosistem kolaboratif.
Harapan memang mulai tampak dalam penyusunan RPJPN 2025–2045 oleh Bappenas, yang menjadikan akuntabilitas kolaboratif, digital governance, dan keterbukaan data sebagai prinsip dasar. Namun semua itu akan menjadi dokumen belaka tanpa komitmen politik yang kuat.
Reformasi birokrasi gelombang kedua tidak boleh berhenti pada pengukuran teknokratik, ia harus bergerak ke arah penguatan etika, integritas, dan relasi antarmanusia. Negara harus bukan hanya canggih, tetapi juga mendengar dan melibatkan. Ia tidak cukup memiliki sistem, tetapi harus membangun kepercayaan.
Negara yang melayani adalah negara yang menyadari bahwa kekuasaan bukanlah hak istimewa, melainkan amanah untuk memenuhi kebutuhan warganya. Di tengah perubahan zaman dan meningkatnya tuntutan publik, pemerintah Indonesia dihadapkan pada pilihan krusial; bertahan dalam kenyamanan benteng birokrasi, atau membuka diri menuju tata kelola yang lebih hidup, partisipatif, dan berkeadilan. Sebab masa depan bukan milik negara yang kuat dan tertutup, melainkan milik negara yang hadir—bersama rakyatnya.