Solo identik dengan kota Batik. Kurang afdol bila ke Solo tanpa mengunjungi Kampung Batik Laweyan. Oleh karena itu, dalam rangka kegiatan Membaca Indonesia Tim IHN mengagendakan kunjungan ke Kampung Batik Laweyan.Tempat ini merupakan sentra kerajinan batik tertua di Kota Solo. Kampung batik Laweyan juga merupakan tempat lahirnya Sarekat Dagang Islam (SDI) yang dibentuk oleh KH Samanhudi. Pembentukan SDI di Laweyan merupakan upaya untuk melindungi produksi batik Laweyan dari cukong-cukong firma Tionghoa.


Ketua IHN juga menyempatkan diri untuk membaca dan mengamati risalah seputar Serikat Dagang Islam (SDI) dan aktifitas KH Samanhudi pada dinding Rumah Makan Roemahkoe, di Laweyan. Konon, sebagian benda benda Museum KH Samanhudi ditempatkan disini, lantaran museum aslinya sudah tutup. Risalah yang terpajang di dinding berupa foto-foto dan narasi perjalanan KH Samanhudi dan Serikat Dagang Islam.

Sepanjang menyusuri Kampung Batik Laweyan, rombongan IHN menyaksikan bangunan-bangunan tua yang masih terlihat besar dan kokoh, bangunan-bangunan tersebut merupakan warisan dari kejayaan gerakan ekonomi rakyat yang dicetuskan oleh KH Samanhudi.

Dari Kampung Batik Laweyan,Tim IHN berjalan menuju makam KH Samanhudi yang terletak di komplek pemakaman umum Desa Banaran, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo. KH Samanhudi mendapat gelar pahlawan dari Soekarno dengan menyematkan Bintang Mahaputera kepada anaknya Soekamto atas nama keluarga KH Samanhudi. Sayangnya, kondisi makam Pahlawan Nasional ini cukup memprihatinkan. Jauh dari ekspektasi penghargaan untuk makam seorang Pahlawan Bangsa.

Ziarah ke makam KH Samanhudi dilakukan sambil napak tilas perjalanan pergerakan SDI. KH Samanhudi menoreh sejarah karena ia adalah orang pertama di Indonesia yang mendirikan sebuah bentuk organisasi, yang dinamai Sarekat Dagang Islam pada 16 Oktober 1905. SDI kemudian berubah menjadi Sarekat Islam (SI) pada 11 November 1911. Di Pemakaman tersebut, Tim IHN melakukan refleksi dan doa yang dilanjutkan dengan foto bersama.
Perjalanan Tim IHN di Solo selanjutnya adalah ziarah ke makam Pangeran Sambernyowo. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyowo alias Raden Mas Said (lahir di Kraton Kartasura, 7 April 1725 meninggal di Surakarta, 28 Desember 1795 pada umur 70 tahun). Beliau adalah pendiri Praja Mangkunegaran, sebuah kadipaten agung di wilayah Jawa Tengah bagian timur, dan Pahlawan Nasional Indonesia. Julukan Pangeran Sambernyowo diberikan oleh Nicolaas Hartingh, Gubernur VOC, karena di dalam setiap peperangan, RM. Said selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya.

Tim IHN juga singgah ke Monumen Tridharma yang merupakan salah satu situs di area makam Pangeran Sambernyowo. Monumen ini mengisahkan bahwa selama menjalankan pemerintahannya, Pangeran Sambernyowo menerapkan prinsip Tridarma, yaitu Rumangsa Melu Handarbeni (merasa memiliki), Melu Hangrungkebi (merasa bertanggung jawab), dan Mulat Sarira Hangrasa Wani (berani mengoreksi dirinya sendiri). Prinsip Tridarma merupakan ajaran kepemimpinan Pangeran Sambernyowo yang memiliki makna dan dampak nyata dalam masa kepemimpinannya dan sangat relevan untuk kondisi sekarang.