Kas!

 

Korupsi, penyakit menahun yang menempatkan negeri kita di kelas paria dalam gerakan antirasuah itu.  Ini merupakan topik yang sudah lama saya geluti, 30-an tahun. Karena itu, kelak-kelok sebagian besar rute peta jelajahnya, sudah hafal. Ibaratnya, tidak perlu pakai aplikasi googlemaps atau waze lagi-lah. Makanya, biar tidak stres, sesekali kita butuh penyegaran.

Penyegaran pertama, beberapa waktu lalu melintas video stand up comedy di “Great Forbidden Show”-nya Deddy Corbuzier.  Cuplikan yang beredar, tak sampai satu menit. Perhatian saya dengan lekas tersedot sebab komediannya ternyata tentara, dari Sidoarjo. “Saya bisa ke mari karena sudah diberi izin sama komandan,” ujarnya. Ketika manggung pun ia tetap berseragam tentara, lengkap. Namanya: Sersan Mayor TNI AL, Yusuf.    Anda bisa tonton sendiri di internet, semoga belum dihapus. Begini kata Serma Yusuf:

“Saya ini tidak suka berita di luar yang jelek-jelek tentang tentara. Katanya, masuk tentara itu bayar. Itu hoaks! Eggak ada itu. Itu diembuskan sama orang-orang yang gagal. Kalau kamu enggak diterima, ya kamu harus perbaiki, dong. Gimana mau berkorban untuk negara dan bangsa kalau berkorban sawah saja nggak mau?”

Seperti itulah kondisi penerimaan atau toleransi masyarakat kita hari ini terhadap perilaku korupsi/KKN. Saking konyolnya, sampai-sampai dijadikan konten, oleh tentara lagi, sebuah profesi yang banyak disegani masyarakat kita. Topiknya pun nasib dia sendiri.

Sebulan lalu kita mendengar kecelakaan di Tol Purbaleunyi. Jika diusut-usut, sumber dari sumber penyebabnya ya korupsi: uji kelayakan kendaraan di-by pass oleh amplop. Belum lagi meledaknya judol, pinjol, narkoba, stunting atau gizi buruk, aksi lancung membanjiri bansos ini-itu saat jelang pemilu/pilkada, jalan buruk, guru dibayar murah, bapak bunuh diri karena kesulitan ekonomi, dst. Pendek kata, di luar soal nasib atau takdir, warta-warta buruk itu hampir pasti disebabkan oleh hulu yang juga buruk. …

Penyegaran kedua, hari ini, saya memberanikan diri untuk membincang korupsi dengan memulainya dari sesuatu yang, setidaknya buat saya, relatif baru. Dan, rasa-rasanya, cocoklah untuk orang-orang seusia saya sekarang. Mengingat bahwa ini area terra incognita saya, maka kalau ada meleset-melesetnya, mohon dimaafkan.

Terra incognita saya yang saya maksud tadi adalah menembang macapat Jawa. Pasti dalam hati, Anda akan bergumam, Wah, kalau ini sih bukan penyegaran, tapi penyegaran banget. Semoga tidak fals-fals amat.” Belum pernah dengar saya nembang, kan? Kaget, kan? Jangan khawatir, saya sendiri pun kaget.

Yang mau saya tembangkan ialah Serat Wedhatama, sebuah adikarya didaktis Jawa abad ke-19 gubahan seseorang bernama Mas Sudiro. Ada yang familiar dengan nama ini? Jika belum, beliaulah pencipta gending Ketawang Puspawarna (PUSPOWARNO?), satu dari sedikit karya terpilih

umat manusia yang dicari-cari NASA dan kemudian direkam. Pada 1977, rekaman itu, oleh pesawat antariksa nir-awak NASA, Voyager-I, ditaruh di luar angkasa agar kelak ditemukan oleh kehidupan cerdas di luar sana atau manusia Bumi era masa depan.  Sebagian dari kita, pasti tahu: Mas Sudiro adalah nama kanak-kanak dari (Adipati) Mangkunegara IV.

Serat Wedhatama berisi 100 bait. Saya pinjam satu bait saja, bait ke-33. Itu saya pilih karena, selain paling kuat dan populer, pesannya pun relevan dengan acara kita. Saya coba tembangkan, ya. Metrum tembangnya: pocung.

Teks Asli Terjemahan
Ngelmu iku kalakone kanthi laku,

lekase lawan kas,

tegese kas nyantosani,

sêtya budya pangekêse dur angkara.

Ngelmu itu terlaksananya melalui aksi nyata,

dimulainya dengan kas,

kas itu bermakna sikap militan/spartan,

setia/militansi pada budya, merupakan peringkus segala bentuk kejahatan.

 

Sêtya Budya

Budya”; bahasa Jawa Kuno ini agak susah dicari padanan katanya di bahasa Indonesia. Biasanya dipadankan dengan “budaya”, tapi budya maknanya jauh lebih indah dan dalam.

Budya berasal dari kata budh (sadar, tercerahkan) dan daya (kualitas ilahiah/ketuhanan). Jadi, budya bermakna: kondisi bangkit/sadarnya kualitas ketuhanan yang sebenarnya sudah bersemayam lama dalam diri.

Apa itu kualitas ketuhanan? Pasti kita semua sudah tahulah itu: welas asih, berintegritas, bertanggung jawab, pemaaf, mustahil nyolong, mustahil korupsi, dll., termasuk punya malu karena Tuhan sendiri adalah al-Hayyiyu ‘Maha Punya Malu’.

Ini memang kesadaran level tinggi, tapi tidak susah untuk dijelaskan. Begini. Ketika kita sudah mem-budya, maka emohnya kita bertindak korupsi, misalnya, itu sepatutnya bukan lagi dimotivasi oleh takut pada pasal-pasal, dosa, ayat, sanksi, penjara, neraka, dll. Bukan. Tapi semata-mata karena kita budh ‘sadar’ bahwa Tuhan, sesembahan sekaligus sumber pengajaran kita itu, MUSTAHIL korup/nyolong, dan itu kita tempatkan sebagai cermin berperilaku. Titik.   Itulah yang dimaksud budya, benteng kualitas ketuhanan dalam diri.

Sebaliknya, ketika berbuat baik/lurus, maka motivasi kita pun seyogianya bukan untuk cari pahala, surga, apalagi insentif dan puji-sanjung, tapi semata-mata karena Tuhan kita PASTI baik/lurus, dan itu kita tempatkan sebagai cermin berperilaku. Pahala dan surga, itu domain Tuhan, bukan domain kita. Segala bentuk puji-sanjung, itu toh bukan kita punya, tapi mutlak punya-Nya: alhamdulillah.

Nah, konsep kesetiaan/militansi berperilaku seperti itulah yang, menurut Mas Sudiro, dipercaya ampuh untuk membentengi diri kita dari energi jahat: sêtya budya pangekêse dur angkara! Hal ini mirip “panoptikon”,

yakni konsep yang memungkinkan pengawasan efektif berlangung tanpa kehadiran pengawas yang terlihat.

Tuh, indah dan dalam sekali maknanya, bukan? Dalam hemat saya, proses membangun karakter semacam ini, yaitu melalui cara menemu-kenali “kedirian” kita dengan merelasikannya ke realitas keilahian sebagai sangkan-paran (titik berangkat dan berpulang) hidup, itu sangat khas manusia Nusantara!

Kas

 

Betapa pun indahnya sêtya budya, dalam praktiknya, kita toh butuh strategi. Syukurlah Mas Sudiro memberi tahu kuncinya, kas! Saya tadi mengartikan kas sebagai militansi, spartan, atau ngotot, holistik, tidak asal-asalan, teguh-kukuh, bersetia, penuh determinasi.

Pertanyaannya, mengapa kita atau negeri kita saat ini sepertinya tidak kas lagi dalam upaya-upaya memberantas korupsi? Bukankah karena itulah yang membuat negeri ini jadi buruk, jelek, sial, dan bangkrut?

Seburuk-buruk keadaan adalah ketika bahasa kejujuran-kebenaran sudah jadi tabu atau ditabukan, dan bahasa kebohongan-penipuan justru dibanjiri puja-puji apresiasi.

Sepenyok-penyok kondisi adalah ketika orang yang jujur-lurus dilibas-disingkirkan, dan para pembengkok-pelampau batas (penipu, pencuri, penggarong, pengemplang, pencuci uang, dsb) malah dielu-elukan bahkan dijadikan idola-panutan.

Sesial-sial kebangkrutan adalah ketika segala hal ditujukan buat berpuas-puas di hari ini, dan alpa bahkan “masa bodo amat” pada kenyataan generasi mendatang.

Serendah-rendah peradaban adalah ketika di mana-mana ajaran kemuliaan antusias sekali dijalankan tapi tidak lebih dari untuk beroleh citra “baik” atau “bermoral” di mata ego/sosial, sambil meludahi-memantati derajat hakiki kemanusiaan dan Tuhan.

Sehina-dina derajat manusia adalah ketika “malu bertindak cela” tidak dinajiskan, tidak disanksi, tidak dijauhi, tapi malah didekati, ditoleransi, dilegalkan, di-copy dan bahkan dijadikan way of life oleh banyak orang. Yang menentangnya malah dicap “sok suci”, dikepret, dibungkam, dikriminalisasi, disel, bahkan dijadikan pesakitan di pojok-pojok perundungan yang terorganisir-tersistematis.

Tuhan itu al-Hayyiyu, Yang Maha Punya Malu. Melaluinya, digariskanlah secara tegas derajat antara manusia dan binatang. Manusia berada di sisi yang punya malu (hiri’), dan binatang di sisi sebaliknya (ahirika). Mewabahnya perilaku ahirika yang hari-hari ini, mulai dari ujung ekor hingga terutama di kepala itu, dengan demikian, sejajar dengan aksi pembangkangan terhadap Tuhan.

Itulah mengapa, ibarat seorang imam yang ndableg salat terus padahal berkali-kali sudah ia kentut bahkan kencing, dampak kerusakan dari ahirika berjamaah ini tiada terperi, dahsyat sekali!  Kebobrokan terjadi di mana-mana. Degradasi moral jadi melazim. Terjun bebasnya etika malah disambut gemuruh tepuk tangan. Sudah pasti kehancuran bangsa tinggal tunggu waktu jika kondisi ini tidak lekas ditangani secara kas.

Bagi saya, dalam melawan korupsi, kas itu bukan soal spirit dan determinasi tinggi saja, tapi harus juga dimaknakan sebagai KAS: Knowledge, Action, System. Ketiganya modal penting kita memberesi korupsi yang dijalankannya harus secara paralel-sinergis.

Knowledge soal antikorupsi, dalam sebait tembang tadi paralel dengan diksi ngelmu ‘punya ilmu/pengetahuan’. Aksi tanpa ilmu, itu seperti mendayung sampan di padang sabana. Bergerak atau bekerja sonder ilmu akan sia-sia, tidak akan nyampe ke tujuan, sebab tak ada penuntun.

Adalah suatu kekonyolan dan kesia-siaan besar saat push diberikan untuk misi kerja-kerja-kerja tapi ilmu, visi, target, apalagi etika dan malunya zero.

Sehingga, yang pemandangan umumnya adalah: program-program antikorupsi hebohnya hanya saat seremoni belaka, bukan saat aksi. Alhasil, tanpa ilmu, semangat dan program antikorupsi hanya akan tergolek sebagai proyek belaka, buang-buang anggaran, kerja-kerja-kerja belaka, padahal korupsi merupakan kejahatan luar biasa.

Action tentang antikorupsi, dalam sebait tembang Mas Sudiro tadi paralel dengan diksi laku. Ilmu tanpa aksi dan perilaku, itu seperti pepohon yang gagal berbuah. Maka, konsep-konsep yang bagus dan komprehensif di langitan harus diturunkan ke bumi, dijabarkan hingga ke level aksi. Konkret.

Tanpanya, seperti sudah bisa diduga, program-program antikorupsi akan teronggok semata-mata hanya jadi jargon, gincu-gincu politik, atau konten entertaintment. Supaya masing-masing aksi bisa berjalan sinergis, dibutuhkanlah sistem.

System antikorupsi, dalam sebait tembang di Serat Wedhatama tadi paralel dengan diksi nyantosani ‘menguatkan, terkendali’. Dengan sistem yang baik, masing-masing pemangku kepentingan antikorupsi jadi tahu di mana, kapan, dan dengan siapa saja mereka bekerja atau berkoordinasi. Terobosan-terobosan antikorupsi yang dilancarkan akan berjalan efektif, efisien, terkendali.

Redundansi atau tumpang-tindih kewenangan jadi tereduksi. Aspek-aspek knowledge bisa dipertautkan secara pas dan komprehensif dengan aspek action; begitu pula sebaliknya. Masing-masing aspek jadi beroleh porsinya yang sepadan, tidak berat sebelah. Hanky-panky di antara pihak-pihak yang bersangkutan jadi bisa diantisipasi, diprediksi, dan diidentifikasi jauh sebelum terjadi.

Demikianlah kira-kira pendekatan kas terhadap gerakan antikorupsi yang saya dapat dan gali dari Serat Wedhatama-nya Mas Sudiro. Semoga bermanfaat, syukur-sukur jika bisa menawarkan sejenis perspektif yang lebih segar terhadap penanganan korupsi di masing-masing “pekarangan” kita, para pengampunya.

Akhir kata, tidak mau kalah dengan Mas Sudiro, saya akan tutup pidato ini dengan sebait “tembang” yang saya gubah dan lalu terbitkan di twitter pada 20 Maret 2016. Begini:

 

Jaga Pekarangan

Setiap zaman punya pemimpinnya.

Setiap pemimpin punya tantangannya.

Di masa revolusi, Panglima Soedirman berpesan:

“Jaga pekarangan masing-masing.”

 

Salam kas!

 

Pahlawan dan Korupsi

“…tatkala negara yang dibentuknya sendiri telah bergerak jauh dari tujuan, maka rakyat bergerak membentuk ruang kemungkinan baru agar perbaikan bisa dilakukan.”

Apa kaitannya pahlawan dan kepahlawanan dengan korupsi? Percaya atau tidak, pertanyaan ini terus terngiang-ngiang, terutama setelah ada elite politik yang mengingatkan bahwa pada masa awal kemerdekaan para pejuang mengandalkan dukungan rakyat. Tanpa dukungan rakyat, para pejuang akan mati kelaparan, dan sangat mungkin langkah tidak sampai.

Pandangan ini sendiri mungkin sekali dalam satu garis teori yang mengatakan bahwa jika suatu gerilya bertahan lama, pastilah gerakan tersebut memperoleh dukungan rakyat. Jika tidak, maka dengan isolasi pergerakan makanan, akan dengan segera berakhir suatu perlawanan.

Dalam berbagai kisah perubahan di banyak negeri, kerangka kerja tersebut juga muncul. Apa yang terjadi di Filipina, dan di Indonesia sendiri pada 1998, sebenarnya memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa keberadaan dukungan rakyat akan memberi makna yang sangat besar. Bukan hanya dukungan bahan kebutuhan, tetapi juga legitimasi.

Oleh sebab itulah, setiap abuse of power akan senantiasa memutus hubungan antara kekuatan perubahan dan rakyat. Apakah melalui pembatasan pertemuan, restriksi berorganisasi, hingga menekan kebebasan berbicara. Dan, barangkali karena faktor itu pula, mereka yang menguasai tribune kekuasaan, juga berlomba untuk mendekat kepada rakyat dan memelihara dukungan, walaupun telah tidak lagi di panggung formal.

Dukungan rakyat demikian penting artinya, dan bahkan apabila kita menarik garis waktu ke belakang, maka akan juga terlihat jelas bahwa rakyatlah yang sesungguhnya memberi makna nyata pada kemerdekaan Indonesia. Mengapa demikian? Pertama, jika kita kembali kepada konfigurasi politik nasional dan politik global pada Agustus 1945, akan tergambar bahwa faktor eksternal lebih memberi ruang kesempatan ketimbang konfigurasi politik nasional.

Para pemimpin dengan keberanian dan jiwa patriot telah mengambil langkah yang tidak terduga, yakni menyatakan Indonesia merdeka. Padahal apa yang kita punya? Dalam amanat kemerdekaan tahun 1946, Bung Karno secara gamblang mengatakan bahwa modal kita hanya spirit, yakni rasa ingin yang sangat kuat untuk merdeka.

Kedua, masalah muncul persis setelah kemerdekaan dinyatakan. Pemerintahan Bala Tentara Pendudukan masih eksis dan memegang kendali pemerintahan. Pada saat yang bersamaan ada kabar bahwa sekutu akan segera masuk. Bagaimana mengatasi situasi yang pelik dan menentukan hari depan kemerdekaan? Secara tidak terduga, terutama jika dilihat dari perspektif yang lebih strategis, kendati mungkin para pejuang terus merintis jalan, muncul suatu peristiwa yang demikian penting artinya. Yakni, mobilisasi besar di Lapangan Ikada (19 September 1945) dan perjuangan 10 November 1945 yang demikian menyejarah.

Pada 10 November, kendati elite Jakarta kurang mendukung karena tengah melakukan diplomasi, gelora rakyat yang tidak terbendung menunjukkan kepada dunia bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan peristiwa besar yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh dunia.

Apa yang menjadi penting untuk menjadi bahan refleksi adalah bahwa dukungan rakyat yang kuat, jiwa dan raga, serta harta benda, telah menjadikan gagasan Indonesia menjadi nyata dan hidup.

Pada tahap selanjutnya, dukungan rakyat makin luas, terutama jika dikaitkan dengan perlawanan bersenjata dan gerilya, yang kesemuanya itu dimungkinkan karena adanya bantuan dari pihak rakyat. Para sejarawan dengan pendekatan yang tidak hanya memberikan perhatian pada peran elite, makin membuka mata publik bahwa peran rakyat demikian besar dalam mewujudkan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara.

Bukan hanya itu, tatkala negara yang dibentuknya sendiri telah bergerak jauh dari tujuan, maka rakyat bergerak membentuk ruang kemungkinan baru agar perbaikan bisa dilakukan.

Korupsi

Dari mana datangnya korupsi? Para ahli mungkin bisa bertukar pikiran untuk menjelaskan secara baik asal-usulnya. Namun, bagi publik, korupsi jelas merupakan problem mendasar yang mengganggu bangunan tata hidup bersama. Masalahnya: mengapa praktik korupsi dari waktu ke waktu menunjukkan gerak grafik yang naik?

Sementara langkah pemberantasan korupsi terus diperbaiki dan pada masa kampanye terus disuarakan sebagai agenda utama? Apakah ada yang salah dalam strategi, atau bahkan kesalahan pada tingkat yang lebih awal: mendefinisikan apa itu korupsi? Para ahli telah memberi penjelasan, termasuk di antaranya B Herry Priyono, yang dari padanya dapat diduga bahwa sangat mungkin kesalahan datang dari pangkal.

Memang, dalam praktik hari-hari ini, apa yang disebut sebagai korupsi sangat lekat dengan bagaimana perbuatan itu didefinisikan. Jika dilihat dari kerangka hukum, jelaslah bahwa sesuatu dinyatakan tindak pidana korupsi jika dan hanya jika masuk dalam kategori hukum atau ada di dalam pasal.

Apabila publik, dengan rasa keadilannya, memandang bahwa suatu perbuatan telah masuk kategori korupsi, sementara ketentuan tidak memasukkannya, maka jelas perbuatan tersebut tidak akan terkena sanksi hukum. Demikian itulah yang berlangsung. Publik dapat segera paham bahwa pada akhir perdebatan yang terjadi ialah perdebatan tentang pasal, pengertian dan tentu tafsir atasnya. Soalnya: siapa yang paling berhak memberikan tafsir?

Pertanyaan terakhir tersebut tentu bukan dimaksudkan untuk memproblematisasi, tetapi demi mengangkat problem tersebut ke level yang melampaui teks formil dan meletakkan problem ke arena publik (republik). Masalahnya, bukan lagi sekadar apakah ada di wilayah legal formal, melainkan di dalam arena hidup publik, yang dalam hal ini hendak digunakan kategori wajar ataukah tidak.

Adapun kewajaran sendiri hendak dilandaskan pada esensi dari apa yang di atas disebut sebagai dukungan rakyat. Kemerdekaan adalah reaksi publik atas relasi yang tidak wajar. Suatu relasi di mana yang berhak justru berkuasa dan mengatur nasib bangsa lain. Ketidakwajaran tersebut dirumuskan secara sangat adi manusiawi: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa….”

Dengan perspektif tersebut, korupsi bukan sekadar peristiwa hukum, melainkan peristiwa kebangsaan. Praktik korupsi sudah tidak memadai dipandang sebagai ‘tindak mengambil’, tetapi suatu ‘tindak merusak’. Lantas apa yang dirusaknya? Jika diperkenankan untuk memberikan pandangan atas apa yang sungguh-sungguh dirusak, dapat dikatakan bahwa yang dirusak ialah jiwa bangsa itu sendiri. Apa maksudnya? Yakni bahwa apa yang diperjuangkan, dibela dengan jiwa raga, ternyata menjadi tempat subur bagi tindakan yang ingin dihilangkan dari bumi pertiwi.

Kemerdekaan adalah pintu bagi hari depan yang baru. Hari depan di mana tidak ada lagi tindakan yang tidak dibenarkan oleh moral merdeka. Adanya tindak korupsi berarti mengabaikan segala pengorbanan para pahlawan yang membentuk Indonesia.

Lewat nalar itu pula, barangkali akan lebih mudah dijelaskan mengapa korupsi masih tetap ada dan malah berkembang? Salah satu sebabnya tentu karena negara telah dirusak lapisan moralnya, sehingga kesanggupannya untuk melahirkan tata hidup yang tidak memberi tempat pada segala tindakan yang anti-republik telah mengalami penurunan.

Tidak saja kerangka legal formal yang mengalami penurunan kemampuan, tetapi juga politik, ekonomi, dan sosial budaya. Kontestasi politik yang dimaksudkan untuk menemukan dia yang paling baik moral politiknya, dalam kenyataan justru menjadi pintu bagi mereka yang sanggup menerobos batas-batas kepatutan. Demikian halnya ekonomi dan sosial, yang konstruksinya memungkinkan kesenjangan yang lebar dan membiarkan sebagian besar hidup di bawah garis kemiskinan.

Jalan Kewajaran

Kita tentu tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa dunia berkembang demikian cepat. Ragam penyesuaian telah dan sedang serta mungkin akan terus berlangsung. Apa yang dulu dianggap ideal, bisa jadi kini telah berkebalikan. Generasi baru bisa saja punya pandangan-pandangan baru, sebagai akibat pergaulan global dan barangkali juga akibat dari keadaan yang berubah.

Meski demikian, kita dapat mengatakan bahwa di antara berbagai perubahan tersebut, terdapat hal-hal yang tidak terbantahkan, yang akan memaksa kita sebagai bangsa untuk pulang kepada nilai-nilai dasar republik. Salah satu yang paling aktual ialah kenyataan perubahan iklim, yang apabila digunakan kacamata Gandhi, maka dapat dikatakan bahwa kesemua itu merupakan akibat dari ketidakwajaran (baca: keserakahan).

Secara teknis, keadaan tersebut tentu akan memaksa penyesuaian di sana-sini. Ekologi tidak mungkin lagi sepenuhnya ada dalam kendali ekonomi, bahkan mungkin harus diubah 180 derajat? Apa mungkin secara drastis. Rasanya tidak, walaupun jalan ke arah itu mau tidak mau harus dilewati, jika kita tidak ingin keadaan semakin buruk.

Pada titik inilah kita ingin mengatakan bahwa telah tiba waktunya di mana kewajaran menjadi paradigma dalam hidup bersama kita, sedemikian rupa sehingga segala ketidakwajaran dapat dikendalikan oleh hukum, karena memang sedari awal dikonstruksi untuk mengendalikan dan bukan untuk melayani ketidakwajaran.

Jalan kewajaran inilah yang kita harapkan dapat memulihkan jiwa republik yang telah dirusak oleh tindak korupsi. Namun, kita juga menyadari bahwa kesembuhan total dari sesuatu yang telah berbentuk laksana kanker harus mungkin terjadi jika ada tindakan khusus pada penyebab utama. Terhadap hal yang besar dan berat, tidak mungkin diselenggarakan dalam tempo bertahap.

Rumus yang tersimpan dalam teks Proklamasi dapat digunakan, yakni perlunya suatu operasi, atau tindakan cepat, agar sumber penyakit bangsa dapat diatasi. Baru setelah sumber utama diangkat, dibutuhkan cukup waktu untuk pemulihan. Apakah mungkin dilakukan?

Pernyataan pemimpin nasional dan langkah-langkah yang ingin diambil menampilkan secara terang suatu watak patriotik. Sebagaimana disinggung di atas bahwa sikap memberi hormat kepada rakyat, atas jasa-jasa ketika menolong para pejuang kemerdekaan, memberi pesan kuat suatu keinginan untuk tidak menyia-nyiakan segala yang telah diberikan oleh para pahlawan.

Gerak negara yang benar, yang sepenuhnya dalam koridor dasar negara dan konstitusi serta mengabdi untuk kepentingan publik, akan dapat dibaca sebagai sikap terpuji dan luhur untuk menghormati pengorbanan para pahlawan yang membentuk Indonesia. Dengan teguh dan sikap setia pada apa yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan, maka segala bentuk korupsi dan derivasinya akan bisa dihilangkan dari Indonesia.

 


Artikel ini dipublikasikan pertama kali oleh penulis melalui https://mediaindonesia.com/opini/715687/pahlawan-dan-korupsi pada 7 Novermber 2024.

Kembali Kepada Indonesia

“Indonesia adalah sumur harapan yang tidak akan kering, kendati setiap saat diambil tanpa henti.”

Pidato Presiden Prabowo Subianto saat pelantikannya di hadapan sidang MPR RI, jika dilihat dari isi maupun bagaimana hal tersebut disampaikan, memiliki bobot tersendiri. Mungkin ada pro dan kontra di sini, terkait bagaimana menilai pidato tersebut. Namun demikian, jika dilihat sebagai pidato perdana sesaat setelah pelantikan, maka dapat diduga bahwa apa yang disampaikan adalah suatu manifestasi dari keinginan kuat yang telah lama terpendam.

Publik yang kerap mendengarkan pidato di masa kampanye, tentu tidak bisa disalahkan jika bersikap pesimistis. Namun karena pidato disampaikan di forum resmi dan merupakan pesan yang disampaikan oleh Presiden RI, bukan hanya di hadapan sidang MPR RI dan tamu undangan, melainkan di hadapan dunia karena disiarkan secara langsung, pidato tersebut merupakan pesan politik yang pada waktunya akan tiba sebagai kebijakan publik.

Dalam kerangka itulah, pidato Presiden Prabowo, seperti memanggil “kembali”, apa yang mungkin telah terjalan di luar jalur, menyimpang atau bahkan lebih buruk dari itu. Jika demikian, masalah yang segera muncul adalah apakah gerak “kembali” dimungkinkan di tengah dunia yang melaju cepat? Andaikata dimungkinkan, lantas apa yang sesungguhnya dapat dijadikan rujukan dalam menilai situasi dan merancang masa depan? Pada titik inilah, kita memandang pentingnya “kembali” kepada gagasan Indonesia yang berkembang sejak awal abad XX.

Indonesia

Keadaan hidup rakyat yang terus merosot, baik jika ditinjau sejak perang Jawa hingga akhir abad XIX, telah menimbulkan ragam reaksi di kalangan pejuang kemerdekaan, khususnya di kalangan angkatan muda. Pledoi Bung Hatta pada Maret 1928, yang berjudul “Indonesia Merdeka”, dan peristiwa politik sebelumnya pada 1925, memperlihatkan dengan jelas apa yang diyakini akan tiba, yakni Indonesia Merdeka. Soalnya adalah apakah atau siapakah itu Indonesia? Hal yang barangkali paling jelas adalah bahwa penguasa kolonial keberatan dengan nama Indonesia.

Sumpah Pemuda/i, dalam hal ini dapat dipahami sebagai peristiwa yang memperjelas sosok Indonesia lewat tiga poin pokoknya yakni tanah air, bangsa dan bahasa. Jika boleh disederhanakan, maka peristiwa tersebut merupakan momen terbentuknya suatu bangsa, yang diinisiasi oleh generasi baru. Apabila periode sebelumnya, mulai akhir abad XIX hingga awal abad XX, adalah gerakan peristiwa yang menghadirkan jiwa Indonesia atau suatu cita-cita luhur, maka 28 Oktober 1928, adalah kejadian formil, yang akhirnya memberi badan wadag bagi spirit emansipasi bernama Indonesia

Hal yang penting untuk mendapatkan perhatian lebih adalah bahwa bangsa yang baru lahir tersebut, berada di dalam tata kolonial yang tidak menghendaki kelahirannya. Pleidoi Bung Karno di hadapan pengadilan kolonial pada 1930, dapat dikatakan menjadi saksi bagaimana ketegangan antara dua entitas yang berlawanan kepentingan. Sebagaimana Bung Hatta, Bung Karno juga tidak menempatkan peristiwa atas pribadinya adalah peristiwa personal, melainkan peristiwa politik atas sebuah bangsa. Dan mungkin, karena itu pula, Bung Karno menulis: “… selama rakyat belum mencapai kekuasaan politik atas negeri sendiri, maka sebagian atau semua syarat-syarat hidupnya, baik ekonomi maupun sosial maupun politik, diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan yang bukan kepentingannya, bahkan bertentangan dengan kepentingannya.”

Pernyataan tersebut laksana sebuah formula, yang menjelaskan bahwa tidak mungkin keadaan berpihak pada rakyat, jika rakyat tidak memiliki kendali atas kekuasaan dan pergerakannya. Oleh sebab itulah, kemerdekaan menjadi kemutlakan. Teks Proklamasi, dalam batas tertentu, dapat dikatakan sebagai manifestasi dari formula tersebut. Dalam teks, tidak hanya memuat pernyataan merdeka (bebas dari), akan tetapi juga “pemindahan kekuasaan”, dengan sesegera mungkin dan dengan cara yang tepat.

Apa yang akan terjadi setelah pernyataan kemerdekaan? Bung Karno menyampaikan: “Kita sekarang telah merdeka! Tidak ada suatu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita. Mulai saat ini kita menyusun negara kita!” Suatu peristiwa sangat penting terjadi: penyusunan sebuah negara.

Kenyataan

Apakah dengan berdirinya negara, maka dengan sendirinya kekuasaan yang ditunjuk teks proklamasi sebagai peristiwa “pemindahan kekuasaan”, telah secara langsung dapat diambil sepenuhnya? Atau, apakah seluruh kekuasaan dengan itu telah berada di tangan negara, dan negara itu sendiri ada di dalam (kendali) kekuasaan bangsa, sebagaimana maksud formula Bung Karno? Masalah ini penting diajukan, karena akan diperoleh “lensa kritis” dalam melihat dinamika sejarah yang berkembang pada waktu itu.

Dua kemungkinan dapat saja terjadi. Satu, suatu keadaan ideal dimana kekuasaan telah sepenuhnya ada dalam negara dan seluruh gerak negara ada dalam kendali rakyat atau bangsa Indonesia. Jika keadaan ideal ini yang berjalan, maka dapat dipastikan kekayaan negeri akan dikelola untuk kemakmuran rakyat, dan tidak ada lagi isu kebocoran, korupsi dan berbagai aspek yang merupakan kolonial. Bukan itu saja, negara akan mampu membawa bangsa kepada derajat kehidupan yang tinggi.

Dua, suatu keadaan kurang ideal, dimana kekuasaan telah sepenuhnya ada di dalam negara, namun tidak sepenuhnya gerak negara ada dalam kontrol rakyat. Dalam hal ini, kita dapat menghadirkan peringatan Hatta pada sidang BPUPK (15/7/1945) yang khawatir adanya kekuasaan negara di dalam negara: “ … janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan.” Apa yang dikhawatirkan adalah negara menjadi kekuatan tidak sejalan dengan kehendak rakyat.

Pada titik inilah publik seperti mendapatkan pencerahan, tatkala Presiden Prabowo mengatakan: “Marilah kita berani mawas diri, menatap wajah sendiri, dan mari berani memperbaiki diri sendiri, berani mengoreksi diri kita sendiri.” Mengapa melihat kenyataan membutuhkan jenis keberanian tertentu?

Apabila ditinjau dari sudut negara bangsa, maka kemungkinan ada tiga soal yang membutuhkan keberanian dalam mengungkapkannya. Satu, kenyataan tentang (kekuasaan) negara, baik susunan, tata kelola dan kinerjanya dalam melayani rakyat. Dua, kenyataan tentang (seluruh) kekayaan bangsa, baik yang nyata berwujud maupun tak berwujud. Tiga, kenyataan tentang hidup dan kualitas hidup rakyat. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi pada ketiganya, jika Presiden mengatakan: “Terlalu banyak saudara-saudara kita yang berada di bawah garis kemiskinan. Terlalu banyak anak-anak yang berangkat sekolah tidak makan pagi. Terlalu banyak anak-anak kita yang tidak punya pakaian untuk berangkat sekolah.”

Harapan

Indonesia adalah sumur harapan yang tidak akan kering, kendati setiap saat diambil tanpa henti. Pandangan ini diperoleh dari kenyataan historis, yakni tatkala generasi baru pada 28 Oktober 1928, menyatakan diri sebagai Indonesia, dan dengan demikian pula telah terjadi transformasi menjadi dan berada di dalam Indonesia. Peristiwa tersebut dapat pula dipandang sebagai lahirnya pihak baru yang berhadapan dengan kekuasaan kolonial. Dengan lensa Indonesia, tampak jelas bagaimana kekayaan negeri tidak menjadi bagian dari kehidupan rakyat. Bung Karno menggambarkannya sebagai “penyerotan rezeki keluar”.

Frans Magnis-Suseno, dalam “Etika Politik” (1987), menggambarkan sulitnya mengatasi ketidakadilan sosial jika mengandalkan kekuatan yang sebenarnya ikut bertanggungjawab atas keadaan tersebut. Hal itu pula yang mungkin menjelaskan mengapa generasi baru memilih membentuk suatu entitas baru, dan tujuhbelas tahun kemudian: Indonesia Merdeka.

Makna dalam peristiwa tersebut adalah bahwa dengan dan dalam Indonesia, harapan selalu tersedia, dan dari harapan itu pula lahir langkah-langkah bertenaga yang mengubah sejarah. Ketika muncul kesadaran bahwa tulang punggung perjuangan kemerdekaan dan pendirian negara, adalah rakyat, maka hal itu dapat dikatakan sebagai suatu pesan bahwa cita-cita luhur bangsa hanya mungkin dicapai, jika dan hanya jika “kembali kepada Indonesia”. Dengan langkah itu, tidak saja akan diperoleh keberanian mengungkapkan kenyataan secara apa adanya dan jujur, akan tetapi keberanian mengatasi masalah yang telah berakar dalam struktur.

Sampai di sini, rasa pesimistis mungkin akan menghadang. Apakah kesadaran baru akan dengan sendirinya diikuti oleh langkah-langkah yang sejalan? Sebagian kalangan meragukan, mengingat pembentukan tim kerja (kabinet Merah Putih), dianggap kurang mencerminkan kesadaran bahwa situasi penuh keterbatasan. Sebagian yang lain justru punya optimisme: yang berlangsung bukan suatu inefisiensi, melainkan suatu pesan bahwa tanpa kebersamaan seluruh kekuatan negeri, mustahil keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat diwujudkan.

Jika demikian itu yang berlangsung, yakni suatu inovasi politik dalam bentuk bangunan kerja sama dengan spektrum lebar, maka yang menjadi masalah berikutnya adalah bagaimana membuktikan bahwa metode tersebut adalah benar dan optimal? Jika muncul masalah di mana elemen-elemen yang ada berpotensi bekerja untuk arah dan kepentingan yang berbeda, bagaimana mengatasinya? Apakah dimungkinkan suatu terobosan politik, agar kesadaran “kembali kepada Indonesia”, dapat menjadi landasan bagi langkah-langkah utama pembaruan pembangunan bangsa?

Inovasi

Tentu tidak bisa dipungkiri bahwa dia yang dilantik adalah representasi formal dari mayoritas kehendak rakyat. Artinya, rakyat memberikan mandat agar yang terpilih bertindak atas rakyat dan demi kepentingan rakyat. Segala halangan mestinya tidak ada lagi, karena kekuasaan eksekutif telah sepenuhnya diberikan untuk dipergunakan sesuai dengan ketentuan hukum. Namun kenyataan kerap berkehendak lain. Sejarah menyodorkan bukti peluang terjadinya penyimpangan atau keadaan dimana kata dan tindakan berselisih jalan.

Dasar historis itulah yang seharusnya membuka kemungkinan bagi terobosan sejarah. Yang dimaksud adalah langkah inovasi yang merupakan terjemahan dari kehendak kembali kepada Indonesia.

Satu, alih-alih mengadakan pembatasan demi efektivitas jalannya kekuasaan, yang dikembangkan justru memperbesar ruang kebebasan politik bagi warga, dengan arah melebarkan ruang partisipasi publik. Pandangan ini didasarkan pada prinsip bahwa hanya dengan melihatkan rakyat dalam pembangunan bangsa, maka akan dapat lebih dijamin ketercapaiannya.

Dua, perubahan mendasar yang mengangkat kualitas hidup rakyat, dalam kenyataannya sangat mengandalkan daya hidupnya. Bahkan dalam keterbatasan, dan dalam skala mikro, namun ekonomi tidak hanya mampu bertahan dalam hantaman krisis, namun juga dapat menyumbang ketahanan ekonomi. Oleh sebab itulah, cara berpikir yang hanya mengandalkan ekonomi besar dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi, perlu dilengkapi dengan memperkuat ekonomi akar rumput, yang dengan demikian meningkatkan partisipasi ekonomi, akses adil atas kekayaan secara adil, perluasan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan.

Tiga, pola relasi kekuasaan konvensional, yang menempatkan rakyat atau suara akar rumput hanya sebagai penghuni TPS, perlu ditransformasi menjadi suatu relasi baru yang berbasis pada prinsip bahwa rakyatlah pejuang, pelindung dan patriot penjaga eksistensi negara bangsa. Untuk itulah, relasi tidak lagi sebagai relasi kontrol, melainkan relasi partisipasi-emansipatif, yang merepresentasikan relasi demokratik antara rakyat dan negara. Suatu formasi demokrasi yang merepresentasikan kepribadian Indonesia. Adonan ketiganya, yang berporos persatuan nasional, tentu akan menghadirkan kembali Indonesia, yang mampu membawa bangsa kepada cita-cita luhurnya.

 


Artikel ini dipublikasikan pertama kali oleh penulis melalui https://www.antaranews.com/berita/4439941/kembali-kepada-indonesia pada 3 Novermber 2024.

Pancasila dan Nasionalisme Baru

Apakah ”segala hal” yang ada di masa lalu merupakan satu kesatuan yang utuh ataukah masih merupakan bagian-bagian yang terpisah?

Bagaimana keadaan idealnya? Apakah seluruh warga bangsa, tanpa terkecuali, berhak atas seluruh ”hal” di masa lalu ataukah masih terdapat ”hal tertentu” yang (masih) bersifat eksklusif?

Masalah ini memiliki relevansi, mengingat muncul dialog publik, yang dipicu oleh pernyataan presiden terpilih Prabowo Subianto, terkait ”posisi” Ir Soekarno. Pernyataan Presiden kelima, Megawati Soekarnoputri, bahwa Sang Proklamator adalah ”milik” bangsa tidak hanya merupakan jawaban, tetapi juga telah mengirim pesan persatuan yang kuat.

Justru dari situlah publik laksana memperoleh pintu masuk yang elegan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar, terkait dengan ”segala hal” di masa lalu, baik makna maupun tempatnya dalam seluruh perjalanan bangsa.

Kesadaran dalam kebersamaan akan membuat setiap warga bangsa memiliki kesempatan sama untuk menggali dan menafsirkan peristiwa-peristiwa sejarah, dengan keragaman lensa, tetapi didasarkan pada maksud yang sama, yakni mengokohkan langkah bangsa mencapai tujuan mulianya.

Pembangunan seharusnya tidak sekadar mengejar capaian ekonomi, tetapi menjadi bagian dari upaya membentuk masa depan bersama.

Nasionalisme

Pada titik inilah tinjauan strategis dibutuhkan, yakni upaya belajar dari ”yang lalu” tentang bagaimana melihat ”kenyataan” dan melahirkan respons sejarah atasnya. Dari padanya diharapkan diperoleh ”pengetahuan baru” untuk menata langkah bangsa ke depan.

Suatu momen sejarah yang sangat penting adalah ketika mereka yang terjajah mengalami apa yang akan disebut di sini sebagai mendapatkan dua kesadaran sekaligus. Satu, bahwa akhirnya kolonialisme dapat dilihat sebagai kenyataan, sebagaimana adanya.

Apa yang (mungkin) semula dianggap sebagai aksi perdagangan dengan segala turunannya ternyata adalah kolonialisme, dengan wajah asli, yang eksklusif (dan mengeksklusi), diskriminatif dan eksploitatif.

Lebih dari itu, berbagai pihak dengan asal-usul dan sejarah yang berbeda-beda menyadari bahwa setiap elemen sesungguhnya mendapatkan perlakuan yang sama, yakni aksi yang tak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Dua, bahwa akhirnya ”yang terjajah” bertemu dengan kesadaran bahwa kolonialisme hanya dapat diakhiri, jika dan hanya jika, ada upaya sengaja dalam kerangka persatuan.

Dengan lensa itulah, tiga teks hendak diajukan di sini, untuk melihat bagaimana suatu respons sejarah bergerak. Kesatu, manifesto politik yang dikeluarkan Perhimpunan Indonesia (Mohammad Hatta ada di dalamnya) pada 1923 di Belanda. Begawan sejarah Prof Sartono Kartodirdjo mengatakan, manifesto politik adalah fakta historis mengacu ke suatu titik puncak perkembangan gerakan nasionalis.

Kedua, sebuah teks yang ditulis Ir Soekarno, ”Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, di Suluh Indonesia Muda (1926). Dari teks, tampak bagaimana seorang Soekarno muda (usia 25) menaruh perhatian besar pada kenyataan di mana kekuatan-kekuatan utama pergerakan masih berpisah jalan.

Bagi Soekarno, perpecahan dengan segala bentuknya merupakan pintu utama bagi masalah-masalah yang merendahkan martabat bangsa: ”… jikalau kita semua insaf, bahwa dalam percerai-beraian itu letaknya benih perbudakan kita; jikalau kita semua insaf, bahwa permusuhan itulah yang menjadi asal kita punya via dolorosa”.

Soekarno dalam keyakinan bahwa persatuan dan hanya persatuan yang akan mampu membawa bangsa kepada impiannya: ”…, bahwa persatuanlah yang kelak kemudian hari membawa kita ke arah terkabulnya impian kita: Indonesia-Merdeka!” (Soekarno, 1926).

Yang menjadi pertanyaan, mengapa persatuan belum juga terbit? Dalam teks itu digambarkan bahwa bisa menerima juga harus bisa memberi.

Pancasila, dalam hal ini, diletakkan sebagai fundamen persatuan, baik dalam perjuangan emansipasi maupun membentuk negara dengan elemen dasarnya adalah kemerdekaan bangsa.

Ketiga, Sumpah Pemuda 1928, yang memuat suatu ikrar tentang (1) satu Tanah Air, (2) satu bangsa, dan (3) menjunjung tinggi bahasa persatuan.

Kata ”Indonesia” sendiri telah menjadi kata sangat sarat dengan makna dan watak emansipasi. Secara sederhana, Indonesia adalah tujuan dari seluruh perjuangan dan bahkan langkah perjuangan itu sendiri.

Dalam batas tertentu, Sumpah Pemuda dapat dibaca sebagai tindakan yang menyimpulkan seluruh proses sebelumnya, dengan cara membentuk entitas baru, yakni bangsa Indonesia. Indonesia menjadi tonggak persatuan dari ragam asal-usul dan sejarah. Artinya, Indonesia adalah persatuan atas dasar tujuan yang sama, yakni kemerdekaan, dalam makna yang seluas-luasnya.

Secara demikian, pembentukan entitas baru menjadi tahap lanjut dari upaya membebaskan diri dari hegemoni kolonial. Sebutan ”kami” menjadi mungkin dan monumental.

Pancasila

Pada 1 Juni 2016, terbit Keppres No 24/2016 tentang Hari Lahir Pancasila. Kini telah sewindu lamanya. Latar belakangnya bisa dibaca pada bagian menimbang, yang menyatakan: © untuk pertama kalinya Pancasila sebagai dasar negara diperkenalkan oleh Ir Soekarno, anggota BPUPKI di depan sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945.

Juga; (d) bahwa sejak kelahirannya pada 1 Juni 1945, Pancasila mengalami perkembangan hingga menghasilkan naskah Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan dan disepakati menjadi rumusan final pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Kemudian; (e) bahwa rumusan Pancasila sejak 1 Juni 1945 yang dipidatokan Ir Soekarno, rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hingga rumusan final 18 Agustus 1945 adalah satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai dasar negara.

Dari keterangan ini, publik dapat membaca asal-usul dan proses hingga akhirnya bangsa Indonesia menetapkan suatu dasar bagi bangunan negara yang didirikannya.

Ada tiga hal yang mungkin akan tampak atau terungkap jika penelusuran mendalam dilakukan. Satu, bahwa kemerdekaan atau mendirikan negara adalah soal kemauan dan bukan soal kesiapan. Segala soal yang ada di dalam tata kolonial hanya akan bisa diselesaikan dalam tata nasional.

Dua, bahwa bangsa membutuhkan suatu fundamen persatuan nasional yang kokoh. Bukan hanya fundamen untuk didirikan negara di atasnya, melainkan juga fundamen untuk menyelenggarakan perjuangan.

Tiga, bahwa perjuangan itu sendiri merupakan elemen dasar yang tidak terhindarkan dan bahkan menjadi syarat untuk mewujudkan semua cita-cita.

Baca juga: Pancasila dan Reorientasi Pembangunan

Baca juga: Politik Kebahagiaan

Ir Soekarno menegaskan: ”Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perjuangan! …,jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Panca Sila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, … — janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan.”

Kesemuanya itu dapat ditafsirkan sebagai suatu manifestasi dari aspirasi sejarah: ”bebas dari”. Yang dimaksud adalah terbebasnya bangsa dari seluruh belenggu kolonial dan pada waktu yang bersamaan segera terbentuk tata hidup baru yang sepenuhnya nasional.

Pancasila, dalam hal ini, diletakkan sebagai fundamen persatuan, baik dalam perjuangan emansipasi maupun membentuk negara dengan elemen dasarnya adalah kemerdekaan bangsa. Pancasila yang dirancang menjadi tempat bagi semua membuatnya memiliki sifat ”ke dalam”. Suatu sifat intrinsik, yang muncul dari kebutuhan pembangunan karakter bangsa (identitas bangsa), dan segala upaya mewujudkan kepentingan nasional.

Nasionalisme baru

Diakui atau tidak, rasanya belum semua masalah bangsa warisan kolonial bisa diatasi. Kesenjangan, kemiskinan, dan keterbelakangan masih menjadi bagian dari tata nasional kita.

Lebih dari itu, kini bangsa menghadapi masalah-masalah baru yang belum tampak pada awal abad XX. Seperti tantangan perubahan iklim dan masalah kesehatan global, integrasi ekonomi dunia yang membuat perekonomian nasional rentan terhadap perubahan geoekonomi, revolusi teknologi informasi yang menembus batas-batas geografi dan administrasi, serta berbagai masalah lainnya.

Sementara kekuatan sosial-ekonomi mengalami perubahan formasi, terutama munculnya kelas menengah baru, dengan karakter dan aspirasi juga baru. Kenyataan ini membutuhkan suatu watak baru dari fundamen persatuan bangsa.

Secara sederhana dapat dikatakan, telah muncul suatu kebutuhan obyektif untuk suatu penafsiran baru, penafsiran abad XXI. Apa yang diharapkan adalah adanya pandangan yang secara intrinsik berwatak inklusif, sosial, ekologis, kolaboratif. Jika keadaan abad XX menghendaki daya respons yang berakar pada sifat ”ke dalam”, keadaan abad XXI mensyaratkan sifat inklusif (”ke luar”).

Mengapa? Karena berbagai masalah yang ada, hampir tidak mungkin diselesaikan dengan cara-cara lama yang bersumber pada sifat ”ke dalam”.

Pada titik inilah, gagasan nasionalisme baru hendak didorong ke depan. Mengapa? Satu, dalam satu dasawarsa ini, publik bisa merasakan berkembangnya politik yang justru cenderung melemahkan kohesi sosial. Publik mungkin hidup dalam genangan pesan inklusi, tetapi dalam praktik yang berkembang justru watak eksklusif.

Hal ini mengakibatkan ada pihak yang merasa lebih berhak atas Republik dan karena itu (merasa) bisa bertindak mengeksklusi yang lain atau yang dipandang tak sejalan. Keadaan inilah yang amat perlu bertransformasi agar terbangun sikap inklusif, di mana setiap pihak diakui dan dihargai perannya dalam pembangunan. Bangsa butuh suatu watak baru dari persatuan, suatu watak dengan fundamen inklusif.

Dua, ide kemajuan yang dihela oleh sifat ”ke dalam” telah menghasilkan gerak pembangunan yang eksploitatif dan cenderung melahirkan ketidakadilan. Akibatnya, pembangunan (dengan sifat ”ke dalam”) yang dirancang menjadi bagian dari penyelesaian masalah bangsa justru hadir secara berkebalikan.

Pembangunan seharusnya tidak sekadar mengejar capaian ekonomi, tetapi menjadi bagian dari upaya membentuk masa depan bersama. Dengan demikian, pembangunan menjadi wahana yang menghilangkan segala sekat, diskriminasi dan eksklusivitas, yang ujungnya berupa keadilan sosial-ekologi, yang makin memperkokoh landasan persatuan nasional.

Setiap masa mempunyai tantangannya sendiri dan dengan demikian setiap masa juga punya jawabannya sendiri.

Ketiga, dunia yang makin terintegrasi, baik oleh masalah-masalah maupun oleh sistem dan teknologi, secara obyektif membutuhkan inklusivitas dan kebersamaan dalam kerangka kolaborasi sosial-global.

Identitas lama yang bersifat ke dalam harus bertransformasi menjadi identitas yang bersifat inklusif. Barangkali inilah momen sejarah di mana bangsa dipanggil untuk secara sengaja menempatkan diri sebagai warga global yang penuh tanggung jawab melahirkan tata dunia baru yang lebih adil, damai, dan berkelanjutan.

Hanya dengan pandangan kebangsaan yang baru, Indonesia akan mampu melahirkan kolaborasi global yang mengubah wajah dunia.

Akhirnya, nasionalisme baru merupakan upaya mengenali formasi bangsa hari-hari ini dan meletakkannya di atas tantangan obyektif yang berkembang. Setiap masa mempunyai tantangannya sendiri dan dengan demikian setiap masa juga punya jawabannya sendiri.

Dengan menggali seluruh pengalaman bangsa di masa lalu, diharapkan bangsa dapat menemukan apa yang disebut di sini sebagai metode Indonesia, yakni suatu kemampuan bangsa merumuskan masalah secara tepat, dan dengan itu membuatnya juga mampu melahirkan jawaban yang tepat dan menyejarah. Transformasi dari eksklusif ke inklusif merupakan keharusan sejarah.

Sudirman SaidKetua Institut Harkat Negeri (IHN)

Urgensi Pemulihan Kepemimpinan Publik

Untuk masa depan Indonesia, terutama memasuki satu abad kemerdekaan, kita butuh kepemimpinan publik yang kuat. Kepemimpinan yang mengabdi pada kepentingan publik, berorientasi pada kemanfaatan umum dan kebaikan.

Menata (Kembali) Negara

Idealnya, suatu kompetisi adalah jalan bangsa untuk menata (kembali) langkahnya.

Disebut demikian karena bangsa sebagai suatu entitas yang plural sudah barang tentu akan selalu terbuka pada kemungkinan terjadinya ketidaktepatan dalam memilih atau mengambil keputusan. Ketidaktepatan tidak datang dari kesengajaan, tetapi mungkin karena keterbatasan cara atau perkembangan masyarakat.

Sila keempat Pancasila telah memberi ketentuan bahwa proses mengkaji dan mengambil keputusan hendaknya tidak semata-mata menggunakan metode ”suara terbanyak” (kuantitatif), tetapi ”suara nurani” atau hikmah kebijaksanaan (kualitatif).

Agar pemilu yang merupakan metode suara terbanyak tetap berada dalam kerangka sila keempat, maka yang seyogianya berlangsung adalah penguatan kesadaran rakyat agar pilihan yang diambil lewat tempat pemungutan suara (TPS) adalah pilihan hati nurani.

Jika tiap-tiap individu pada dirinya mampu dalam posisi ”merdeka” dan dengan demikian sepenuhnya mengambil keputusan berdasarkan hati nuraninya, maka suara terbanyak pada dasarnya adalah ”himpunan suara hati nurani”, yang artinya suara yang dilandasi kesadaran penuh akan pilihannya.

Sebaliknya, jika yang bekerja suatu ”operasi” yang membuat kemerdekaan rakyat berkurang, dapat dipastikan bahwa pilihan tidak sepenuhnya dapat dikatakan sebagai pilihan hati nurani. Sesuatu yang bertentangan dengan sila keempat.

Apa yang menjadi tantangan bagi bangsa adalah bahwa esensi dari pemilu bukan hanya pada jumlah suara yang diperoleh, melainkan lebih pada kualitas keputusan yang diambil oleh masyarakat saat memilih, baik eksekutif maupun legislatif.

Mengapa? Karena yang hendak dituju bukan hasil pemilu, melainkan langkah menata (kembali) bangsa melalui proses penuh pertimbangan dan tanggung jawab moral sedemikian rupa sehingga yang hadir adalah solusi strategis dan bukan masalah baru yang menjadi beban bangsa.

Tentang negara

Dalam konteks Indonesia, negara bermakna sebagai organisasi kekuasaan atau bangsa yang terorganisasi. Yang pertama lebih merujuk pada kuasa dan penyelenggaraannya, sedangkan yang kedua lebih merujuk pada posisi warga (bangsa) sebagai subyek. Lebih dari pengertian itu, Pembukaan UUD 1945 menguraikan empat sifat (ciri-ciri) dari negara yang hendak dibangun dan sekaligus asal-usul serta cara kerjanya.

Empat ciri dimaksud: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Artinya, negara yang dibentuk harus memiliki kemampuan melakukan apa yang dalam kuasa kolonial tak dapat dilakukan kepada bangsa, bahkan sebaliknya.

Sangat jelas dikatakan bahwa negara berasal dari kemerdekaan bangsa dan mengambil bentuk negara hukum, dan suatu republik berbasis kedaulatan rakyat (demokrasi). Ketentuan ini menjelaskan bahwa negara merupakan manifestasi dari kemerdekaan bangsa dan, karena itu, pada dirinya terdapat watak emansipasi. Untuk memastikan agar negara tak jadi ”masalah bagi rakyat”, kekuasaan harus datang dari hukum dan berjalan dalam pembatasan hukum. Yang dalam segala hal dalam ”kendali” rakyat (bangsa).

Dengan kesemuanya itu, keadaan ideal yang diharapkan adalah bekerjanya sistem yang transparan, inklusif, dan responsif, dengan institusi yang kuat yang mampu menjalankan kewajiban-kewajiban konstitusional secara efektif. Kepemimpinan dalam negara mutlak mensyaratkan visi yang jelas agar sanggup menghadirkan ciri dasar negara dan punya kemauan kuat untuk menyelenggarakan reformasi yang mendukung kesejahteraan umum dan komitmen untuk menjaga etika dan integritas dalam tata kelola pemerintahan.

Untuk memastikan agar negara tak jadi ”masalah bagi rakyat”, kekuasaan harus datang dari hukum dan berjalan dalam pembatasan hukum.

Tantangan bangsa

Indonesia seharusnya bisa menjadi lensa terang dalam melihat realitas hidup bangsa. Yang dimaksud adalah Indonesia sebagai suatu perspektif yang didasarkan pada segala nilai yang termuat di Pembukaan UUD 1945. Dengan lensa ini, kemungkinan besar kita akan langsung bertemu dengan tiga tantangan strategis bangsa.

Hal itu, pertama, korupsi dengan segala bentuk manifestasinya makin meluas dan dikhawatirkan menjadi metode baku dalam politik. Masalah ini tentu harus dilihat sebagai pantulan atas kinerja politik.

Dalam batas tertentu, bisa dikatakan bahwa kesemuanya itu merupakan akibat dari lemahnya institusi demokrasi, ketidakberdayaan hukum, dan tak efektifnya mekanisme kontrol dan keseimbangan. Secara timbal balik, kesemuanya merusak satu sama lain: lemahnya sistem kontrol menyebabkan korupsi marak, korupsi yang parah menjebol sistem kontrol yang seharusnya jadi penjaga.

Kedua, kemiskinan dan kesenjangan, yang sesungguhnya merupakan pokok masalah yang ingin diselesaikan dengan proyek dekolonisasi. Keadaan ini merupakan dampak nyata dari kebijakan ekonomi yang membuat distribusi sumber-sumber kemakmuran tak merata.

Apa yang dikhawatirkan adalah keadaan ketika kemauan untuk mengatasi keadilan justru tereksklusi dengan langkah sebaliknya. Pada jangka panjang, ini akan membuat kemiskinan kian buruk dan mobilitas sosial rendah, yang bisa menimbulkan ketidakstabilan sosial.

Ketiga, kerusakan lingkungan yang makin buruk sejalan dengan masih bekerjanya kebijakan pembangunan yang tak sungguh-sungguh mempertimbangkan dampak lingkungan, seperti deforestasi, polusi industri, dan penggunaan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan.

Watak pembangunan seperti ini tak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengurangi kualitas hidup dan merusak basis sumber daya yang diperlukan untuk ekonomi di masa depan.

Tiga soal yang diangkat di atas tentu tak mewakili keseluruhan problem bangsa hari-hari ini. Masalah potensi pembelahan sosial akibat residu politik, ancaman disintegrasi akibat kesenjangan antardaerah, dan masih banyak problem lainnya.

Pesan tersembunyi di baliknya adalah merosotnya kinerja negara, dan bahkan berpotensi tak lagi punya kesanggupan untuk hadir seperti maksud pembentukannya. Pada titik inilah langkah menata kembali negara sangat dibutuhkan. Pemilu, dalam kerangka ini, seharusnya diletakkan sebagai langkah utama bangsa ke arah itu.

Menata negara

Benar kiranya bahwa pemilu adalah ajang kompetisi. Akan tetapi, seharusnya hal itu disadari bukan pertama-tama sebagai ajang kompetisi, melainkan sarana bagi rakyat untuk melakukan pemeriksaan kembali, melakukan evaluasi berkala, atas semua peralatan yang dimilikinya, dalam rangka memperbaiki kualitas hidupnya, yakni negara.

Apa yang dialami rakyat selama lima tahun adalah bahan yang cukup untuk melihat secara lebih utuh, tak hanya hidup dan kehidupan rakyat, tetapi juga kapasitas dari peralatan yang dimiliki rakyat. Misalnya, mengapa kesenjangan sosial tidak kunjung dapat diatasi?

Apa yang mungkin telah menjadi problem baru adalah bahwa pemilu yang seharusnya menjadi ”hajat rakyat” mungkin telah bermetamorfosis menjadi ”hajat para kandidat” semata. Akibatnya, pemilu tidak menjadi wahana bagi rakyat untuk mengungkapkan masalah-masalah mendasar yang dihadapinya dan mengemasnya menjadi aspirasi fundamental.

Perbaikan kualitas hidup rakyat akan meningkatkan penerimaan dan kepercayaan rakyat, serta dengan begitu akan berlangsung perbaikan kapasitas negara.

Sebaliknya, pemilu menjadi layaknya catwalk, yakni ”arena” di mana para model dapat menampilkan diri dan seluruh ”citra” dirinya. Jika benar, besar kemungkinan keadaan tersebut sebagai hasil dari kombinasi evolusi media, strategi kampanye yang berorientasi pada ”citra”, dan dinamika sosial budaya yang mengutamakan gaya di atas substansi, yang kian menjauhkan maksud utama dari diselenggarakannya pemilu.

Suatu keadaan yang berada di luar kendali rakyat, yang secara demikian pemilu, tanpa disadari, telah diambil dari pemiliknya, yakni rakyat.

Peristiwa pascapemilu dapat menjadi lukisan pelengkap dari kontestasi tersebut, terutama jika diperhatikan diskursus yang berkembang. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang ”realitas politik” sebagai keseluruhan kurang menjadi perhatian dan seluruh pandangan lebih berfokus pada rencana ”distribusi kuasa”. Tentu ini merupakan hal yang wajar.

Justru karena itu pula sangat layak untuk diajukan tantangan yang melampaui diskursus tersebut, agar pembicaraan tidak menyempit, yang justru dapat membatasi ruang gerak dari yang terpilih. Yang dimaksudkan di sini adalah langkah mengembalikan proses pascapemilu, dalam kerangka menata (kembali) negara.

Dengan demikian, perhatian dan diskursus politik seyogianya tak terbatas hanya pada masalah arsitektur kabinet dan formasinya, melainkan mendudukkan masalah itu dalam ruang lebih besar: menata ulang formasi instrumen bernegara.

Hasil pemilu akan optimal apabila juga dijadikan momentum menata ulang dan memperkuat segenap cabang-cabang pengelolaan negara, baik eksekutif, yudikatif, legislatif, maupun lembaga-lembaga auxiliary yang melengkapi jalannya mekanisme bernegara secara sehat.

Sudut pandang ini tidak saja akan membawa masalah-masalah bangsa naik ke permukaan, tetapi juga akan memperluas partisipan atau memperluas pihak karena yang sedang diurus adalah kepentingan nasional.

Memang harus diakui, untuk tiba pada level ini dibutuhkan kematangan tersendiri. Karena itu, akan muncul kesadaran baru, yang hendak disebut di sini sebagai kesadaran Indonesia. Suatu kesadaran yang akan membuat semua pihak dapat dipersatukan oleh tujuan (baca: kepentingan nasional) dan selebihnya hanya soal fungsi, dan bukan yang lain.

Harus diakui bahwa rakyat tak hanya memutuskan siapa di dalam, tetapi juga siapa di luar. Dan dengan kesadaran Indonesia, gerak menata (kembali) negara jadi agenda bersama.

Ada dua pokok yang perlu jadi perhatian utama. Pertama, perlunya reformasi politik untuk memulihkan kapasitas negara. Ini tak saja melibatkan perubahan kebijakan politik, tetapi juga penguatan institusi pengawasan, sekaligus memperkuat peran media dan masyarakat sipil, serta semua konstituen demokrasi dan keadilan.

Kedua, perlunya reformasi ekonomi dan inovasi sosial untuk memperkuat watak sosial dan inklusif serta berkelanjutan dari mesin pembangunan. Kebijakan ekonomi tidak hanya mendukung pertumbuhan ekonomi, tetapi juga keadilan, keberlanjutan, dan termasuk di dalamnya keadilan antardaerah.

Langkah ini untuk meningkatkan kemampuan negara dalam mendistribusikan sumber-sumber kesejahteraan bangsa. Perbaikan kualitas hidup rakyat akan meningkatkan penerimaan dan kepercayaan rakyat, serta dengan begitu akan berlangsung perbaikan kapasitas negara.

Hanya dengan itu, kapasitas negara akan pulih dan menguat sehingga cita-cita luhur bangsa akan dapat diraih dengan mudah dan mulia. Dengan inilah pemilu yang akan kita selenggarakan dari waktu ke waktu akan memiliki makna yang luhur bagi segenap warga negara, sang pemilik kedaulatan.