Tilik adalah manifestasi guyub. Desa adalah entitas organik, yang orang-orang didalamnya adalah sebuah keluarga besar.
Dari sisi akting film dan tatakelola ‘panggung’ saya masih awam. Dalam film ‘Tilik’, saya hanya bisa menikmati adegan demi adegan dengan perasaan haru biru. Ada kejenakaan, kejengkelan dan keharuan yang bercampur baur. Tentu perasaan saya terseret pada pemain bintang Bu Tedjo yang bermain cemerlang dan amat menjiwai. Termasuk aktris Yu Ning yang berusaha mengimbangi Bu Tedjo. Meski awam film, dibanding sinetron atau film TV (FTV), saya menilai Tilik jauh lebih bermutu.
Film pendek itu cukup memotret pernik kehidupan ‘wong Ndeso’ yang apa adanya. Perbincangan keseharian yang ngalor ngidul dengan gosip gosip aktual di desa terasa nyata dan apik ditampilkan. Saya merasa begitulah umumnya kehidupan warga dengan segala keluguan dan pengetahuan yang dimiliki.
Ada beberapa pesan penting dari film itu yang patut ditangkap. Pertama, soal guyup. Tilik adalah manifestasi guyub. Desa adalah entitas organik, yang orang-orang didalamnya adalah sebuah keluarga besar. Satu orang punya hajat atau mungkin kena musibah warga lain turut perhatian dan nyengkuyung (turut memberi dukungan/bantuan).
Mereka melakukan upaya apa saja, kontribusi apa saja agar bisa terlibat atau partisipasi sebagai bagian dari ‘keluarga’. Tilik adalah potret kecil dalam ekspresi keguyuban warga di pedesaan. Menurut saya fenomena tilik adalah bentuk asuransi sosial di tengah warga khususnya di pedesaan. Dan Desa punya banyak stok sosial macam itu. Jika mau melihat potret lain yang serupa tilik bisa diangkat kisah kisah lain seperti ‘lelayu’, ‘kerja bhakti’, ‘rewang’ dll.
Memang tak semua desa masih ‘hidup’ tradisi keguyuban. Banyak desa sudah berubah menjadi ‘kota’ dan diwarnai kehidupan kota yang cenderung individualistik dan materialistik yang memudarkan kehidupan guyub. Warna kota sudah mulai menerobos kehidupan desa, meski masih banyak tradisi yang mampu bertahan, Tilik atau tilikan satu diantaranya.
Kedua, egoisme yang menjadi ‘musuh’. Adalah tokoh Dian yang menjadi gosip warga. Dian tampaknya sosok yang punya dunia lain. Punya gaya pergaulan lain dan mungkin karena wawasan dan pengetahuan yang dimilikinya. Boleh jadi Dian kurang bergaul dengan warga yg kebetulan punya kelebihan, cantik.
Persoalannya bukan soal cantik, tapi perilaku Dian yang mungkin tidak banyak gaul dengan warga membuat gosip bertebaran. Mungkin beda jika Dian, yang cantik dan mungkin juga pintar, berada dalam radius pergaulan warga. Yang terjadi mungkin adalah pujian. Intinya, bahwa dalam kehidupan dipedesaan, kebersamaan dalam pergaulan sosial sangat penting dan utama.
Ketiga, soal nilai. Masih dalam tokoh gosip Dian. Meski tak jelas kebenarannya, Dian dipertanyakan perilaku dan gaya hidupnya. Sorotan terhadap Dian atas perilakunya dengan orang tak dikenal dan materi yang diperolehnya menjadi tanda tanya warga desa.
Warga tak mesti benar dalam memandang Dian, tapi penilaian warga masih mengandung unsur nilai tentang pergaulan dan bagaimana orang mendapatkan materi. Ada semacam rasionalisasi nilai yang sebenarnya masih hidup diwarga, khususnya pedesaan.
Keempat, gosip dan tekanan sosial. Film Tilik menggambarkan betapa beratnya hidup di tengah warga, utamanya dalam menghadapi gosip. Obrolan sepanjang perjalan menuju rumah sakit itu adalah juga obrolan keseharian warga. Sementara itu omongan warga bagi kebanyakan orang adalah ‘nyata’. Menjadi semacam ‘hukuman’ yang tak ringan. Oleh karena itu banyak warga pedesaan sangat menjaga perilaku dan pergaulanyanya, agar tidak jadi ‘omongan’ warga. Disitu beratnya hidup dipedesaan yang membuat sebagian memilih kehidupan kota yang cuek dan tak peduli.
Secara umum saya menganggap film itu bagus. Dan saya memberi apresiasi yang tinggi pada mereka yang bekerja membuat film itu. Selain kreatif dan cerdas, saya menganggap para sineas dibalik film tilik itu adalah penyambung lidah kebudayaan.