Beberapa pekan terakhir, harian Kompas gencar menurunkan berbagai ulasan, berita, ataupun opini yang apabila dicerna dengan saksama sesungguhnya sedang memberikan peringatan atas situasi panggung publik kita. Riset Litbang Kompas menyimpulkan bahwa rakyat merindukan keteladanan pejabat publik, terutama berkenaan dengan soal-soal etika dan integritas (Kompas , 1 Agustus 2022).
Serangkaian pemberitaan dan opini berkenaan dengan kasus yang melibatkan sejumlah perwira tinggi Polri sudah lebih dari sebulan ini memakan energi pikiran dan suasana batin warga. Pun ulasan seputar memudarnya kredibilitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), garda terdepan sekaligus penjaga gawang ikhtiar menanggulangi korupsi. Belum lagi catatan politik dan hukum setiap akhir pekan, yang mengajak pembaca memberikan perhatian pada berbagai aspek fundamental dalam pengelolaan hukum dan politik kenegaraan.
Ada pesan jelas bahwa wajah pengelolaan kekuasaan (baca: kepemimpinan publik) sedang mengalami penurunan kredibilitas yang cukup serius. Tulisan ini tidak hendak memperdalam hal-hal di atas, tetapi ingin melengkapi dengan catatan perjalanan bangsa sekaligus membaca arah dan tantangan ke depan.
Capaian 77 tahun merdeka
Indonesia lahir, menyatakan diri sebagai bangsa merdeka, dan membentuk negara berdaulat, adalah kulminasi dari sejumlah tonggak pencapaian, sebagai hasil perjuangan menolak segala bentuk penjajahan. Dalam semangat bersyukur, 77 tahun Indonesia merdeka adalah deretan pencapaian, kemajuan, dan prestasi kolektif sebagai bangsa.
Jika kita layangkan pandangan ke 77 tahun silam, Indonesia adalah rumah dari 66 juta warga yang 97 persen di antaranya tak mampu membaca dan menulis, serta dapat dipastikan mereka hidup dalam kemelaratan yang akut. Kini, jumlah warga kita tumbuh menjadi 273 juta jiwa yang hampir semua telah mengecap pendidikan; bahkan, sebagian darinya beroleh pendidikan terbaik pada jenjang paling tinggi.
Memang benar, di akhir era Bung Karno — memasuki Orde Baru — ekonomi dan kesejahteraan rakyat sungguh memprihatinkan. Sekitar 40 persen dari 97 juta rakyat masuk kategori miskin, dengan tingkat harapan hidup mereka rata-rata hanya 49,63 tahun. Ketika itu, pertumbuhan ekonomi hanya 1,08 persen, dengan inflasi sangat ekstrem (600 persen), dan defisit APBN tercatat 71 persen.
Dalam semangat bersyukur, 77 tahun Indonesia merdeka adalah deretan pencapaian, kemajuan, dan prestasi kolektif sebagai bangsa.
Sejak Orde Baru ekonomi Indonesia terus tumbuh. Selama periode tersebut, ekonomi Indonesia rata-rata tumbuh 5,98 persen. Bahkan, perekonomian Indonesia pernah mencatat level tertingginya hingga 10,92 persen pada 1968. Saat ini, GDP per kapita Indonesia 4,349 dollar AS, mencatatkan pertumbuhan yang semula hanya 523,25 dollar AS pada 1980.
Indeks Pembangunan Manusia (versi BPS) yang merupakan indikator dari derajat kesejahteraan dan kesehatan terus mengalami perbaikan, dari 67,7 persen (1996) kini mencapai 72,29 persen. Secara normatif tingkat kemiskinan kita ”tinggal” 9,54 persen dengan jumlah penduduk yang masuk kategori miskin 26,5 juta jiwa.
Kiranya penting dicatat bahwa kemampuan warga negara untuk membiayai pemerintahnya semakin hari semakin menunjukkan kekuatannya. Reformasi perpajakan dalam 20 tahun terakhir berhasil menaikkan sumbangan pajak pada pendapatan negara yang semula hanya 22,81 persen pada 1983 menjadi 65,1 persen pada 2020. Artinya, terjadi peningkatan signifikan peran rakyat dalam membiayai jalannya negara.
Di atas semua itu, Indonesia berhasil melewati tikungan-tikungan tajam penuh risiko yang mengancam. Berbagai konflik baik yang bernuansa SARA, separatisme, maupun pertarungan ideologi yang amat keras berhasil kita kelola dan lewati.
Berbagai konflik selama ini pada satu sisi mengancam keutuhan negara bangsa, tetapi pada sisi yang lain menjadi pembelajaran sejarah yang membentuk kedewasaan bangsa. Indonesia kini adalah Indonesia merdeka, yang secara prosedur menjalankan praktik demokrasi, otonomi daerah, dan memiliki desain kelembagaan cukup kuat.
Berbagai konflik selama ini pada satu sisi mengancam keutuhan negara bangsa, tetapi pada sisi yang lain menjadi pembelajaran sejarah yang membentuk kedewasaan bangsa.
Dalam percaturan global sejumlah peran kepemimpinan, seperti menjadi ketua negara-negara nonblok melalui forum Konferensi Asia Afrika, menjadi pemimpin kawasan Asia Tenggara melalui ASEAN, keterlibatan dalam forum APEC, dan bertepatan ulang tahun ke-77 tahun ini Indonesia menjadi tuan rumah G20. Pendek kata, 77 tahun merdeka adalah perjalanan ”menjadi bangsa merdeka seutuhnya”, dari terjajah miskin dan paria menjadi Indonesia yang diperhitungkan dunia, salah satu dari 20 negara dengan ekonomi terbesar.
Pemulihan kepemimpinan publik
Bagi sebuah bangsa merdeka, seluruh pencapaian menimbulkan dua rasa kembar. Pertama, tentu semua merupakan prestasi yang patut dibanggakan. Kedua, persis di sebelahnya bangsa layak bertanya secara kritis, yakni apakah kemerdekaan dalam maknanya yang fundamental telah dimiliki oleh seluruh rakyat?
Mengapa pertanyaan terakhir harus diajukan? Bukankah kemajuan telah dicapai? Apakah hal tersebut bukan tanda bahwa gerak bangsa memang telah berarah yang benar?
Sebagai bangsa kita tengah dan terus akan bergerak ke depan. Pada konteks itulah pertanyaan di atas menjadi penting karena sesungguhnya merupakan refleksi untuk memandu dan memastikan bahwa gerak pembangunan benar-benar menuju arah hakiki, yaitu mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas, merdeka, adil, dan makmur. Refleksi yang dimaksud bukan jenis peristiwa elite, tetapi peristiwa bangsa. Dunia akademi diundang partisipasinya, baik dalam menyumbang metode maupun mengawal prosesnya.
Pelibatan masyarakat, tidak pertama-tama dimaksudkan sebagai proses formal, melainkan suatu proses substansial. Apa yang hendak dituju? Pertama, bangsa perlu memastikan bahwa seluruh ide yang menjadi tenaga sejarah dalam membentuk Indonesia merdeka tetap menjadi energi utama dalam bergerak mencapai masa depan yang merupakan cita-cita luhurnya.
Kedua, bangsa mendapatkan jaminan bahwa segala langkah negara bangsa, datang dari pedoman yang rakyat sendiri yang menentukan. Hal yang harus dihindari adalah suatu tampilan prosedural, yang seakan-akan telah melibatkan rakyat, tetapi sesungguhnya menjauhkan rakyat dari kedudukan dasarnya sebagai subyek utama negara bangsa.
Tentu tidak mudah untuk sampai pada keadaan yang dikatakan di sini sebagai pelibatan rakyat dalam arti yang seungguhnya. Langkah melibatkan mensyaratkan dua hal sekaligus terjadi. Pertama, adanya kesadaran rakyat sebagai warga negara bangsa. Kesadaran dimaksud adalah pengertian mendalam rakyat akan sejarah bangsa, negara, dan kedudukan rakyat.
Kedua, adanya praktik penyelenggaraan kekuasaan negara, yang dalam segala hal merujuk pada konstitusi (Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945), dan digerakkan oleh jiwa bangsa. Pada yang kedua, akan dapat dilihat dari tindak tanduk negara dan seluruh kinerjanya.
Dalam perjalanan 77 tahun, bangsa sesungguhnya dapat merasakan bahwa kedua hal di atas masih merupakan tantangan. Hal ditunjukkan dengan munculnya beberapa masalah strategis. Pertama, apa yang kini kerap disebut sebagai pembelahan sosial. Kedua, kinerja hukum yang belum sepenuhnya memberikan rasa keadilan masyarakat. Ketiga, kemiskinan dan kesenjangan sosial. Keempat, politik yang makin dalam terjebak dalam pragmatisme transaksional. Kelima, soal-soal terkait dengan kerusakan dan menurunnya daya dukung lingkungan.
Semua itu menunjukkan bahwa kinerja penyelenggaraan kekuasaan negara tidak dapat dikatakan telah sepenuhnya mencerminkan apa yang disebut sebagai kinerja kepemimpinan publik, atau kepemimpinan Indonesia.
Kepemimpinan publik yang dimaksudkan di sini adalah jenis kepemimpinan yang merupakan anak kandung dari kemerdekaan bangsa. Kepemimpinan yang didasarkan pada nilai-nilai utama pembentukan negara bangsa, dan diarahkan sepenuhnya untuk menghimpun seluruh kekuatan bangsa guna menggerakkan sejarah, agar bangsa segera tiba pada tujuannya.
Kepemimpinan mengandalkan subyek utama negara untuk menjadi tenaga perubahan dan pembangunan. Rakyat bukan sekadar deretan antre di depan TPS, melainkan harus menjadi sumber kekuasaan negara, sekaligus menjadi penjuru dari penyelenggaraan kekuasaan negara.
Rakyat bukan sekadar deretan antre di depan TPS, melainkan harus menjadi sumber kekuasaan negara.
Pada titik inilah kita hendak mengatakan bahwa berbagai problem mendasar bangsa, yang membuntuti secara ketat apa yang dapat diklaim sebagai pencapaian pembangunan, sesungguhnya merupakan cermin dari memudarnya kepemimpinan publik. Untuk masa depan Indonesia, terutama memasuki abad pertama kemerdekaan, kita membutuhkan suatu kepemimpinan publik yang kuat. Masalah-masalah mendasar bangsa, yakni masalah yang berpotensi menghalangi bangsa dalam mencapai tujuan sucinya, hanya mungkin diatasi dengan suatu kepemimpinan publik yang efektif, dan berfungsi secara optimal.
Tiga langkah pemulihan
Bangsa tengah membutuhkan keberanian dan kesengajaan (by design ) untuk melahirkan langkah sejarah memulihkan kepemimpinan publik. Ada tiga langkah utama yang dapat dilakukan. Pertama, agar dilakukan review menyeluruh terhadap kebijakan negara untuk menemukan pola kerja dan dengan begitu diperoleh peta masalah bangsa, ditinjau dari formasi kebijakan.
Proses ini hendaknya tidak dipandang sebagai wilayah elite, melainkan proses yang seharusnya merupakan proses publik. Kita berharap kaum cendekiawan mengambil tanggung jawab sejarah. Tidak saja merintis jalan agar proses berlangsung, tetapi juga menemukan jalan agar publik luas terlibat aktif.
Kedua, pembaruan proses rekrutmen politik sehingga hanya yang terbaik yang dapat bekerja dan memimpin di sektor publik. Kita menyadari sepenuhnya bahwa kepemimpinan akan sangat bergantung kepada para pemimpinnya. Nilai-nilai kepemimpinan publik perlu menjadi pengetahuan masyarakat luas.
Hal tersebut penting agar masyarakat, sedari awal, terlibat dalam proses melahirkan pemimpin yang sanggup menyelenggarakan kepemimpinan publik. Pada sisi yang lain, pengetahuan publik tersebut diharapkan dapat ikut mendorong terjadinya perubahan pola rekrutmen kepemimpinan agar dapat dihindari proses yang dipimpin oleh pragmatisme transaksional.
Kepemimpinan akan sangat bergantung kepada para pemimpinnya. Nilai-nilai kepemimpinan publik perlu menjadi pengetahuan masyarakat luas.
Ketiga, perluasan ruang partisipasi masyarakat sehingga muncul kriteria kepemimpinan yang mengacu pada profil ideal pemimpin publik. Kita menyadari bahwa kriteria ideal masih jauh dari kesadaran umum masyarakat. Karena itu, dibutuhkan ruang partisipasi masyarakat. Suatu ruang yang memungkinkan masyarakat belajar dan melakukan koreksi mendasar, baik dari segi kriteria maupun dalam proses.
Dengan itu, kehadiran masyarakat dalam proses pemilu tidak sekadar kehadiran prosedural, tetapi kehadiran kepentingan umum. Yang dengan itu, akan dapat dipastikan bahwa yang lolos hanyalah dia yang pada dirinya bersemayam jiwa bangsa.
Ketiga hal tersebut, bagi kita hanya sebagian dari kebutuhan melakukan pemulihan besar-besaran postur dan tindak tanduk kepemimpinan publik sehingga di semua tingkatan yang hadir adalah kepemimpinan yang mengabdi pada kepentingan publik, berorientasi pada kemanfaatan umum dan pada kebaikan bersama.
Bangsa memerlukan kesempatan untuk melakukan koreksi dan langkah menyusun kembali perjalanannya. Semua itu hanya akan dapat berlangsung manakala kepemimpinan publik sebagaimana maksud dari Pembukaan UUD 1945 dapat dihadirkan.
Dengan model kepemimpinan yang demikian, kita tentu percaya pengalaman bangsa dalam membentuk diri dan seluruh kehadirannya akan menjadi bahan pembelajaran yang sangat penting. Suatu proses yang membuat bangsa menjadi lebih kokoh dan punya kesanggupan dalam mengatasi berbagai masalah.
Kepemimpinan publik yang harus dibangun adalah suatu model kepemimpinan yang akan membawa bangsa, tidak saja mampu membentuk sejarahnya, tetapi juga punya ketangguhan dalam mengatasi masalah-masalah yang tidak terduga, dengan tetap setia pada tujuan mulia dan makna merdeka, yakni menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sudirman Said , Ketua Institut Harkat Negeri (IHN)