Dewasa ini menyeruak kecemasan akan lunturnya daya kritis dan keberanian dalam mengoreksi keadaan, termasuk dari kalangan kaum intelektual, motor perubahan.
Dalam pidatonya pada Hari Alumni Universitas Indonesia yang pertama, 11 Juni 1957, Dr. Mohammad Hatta, Wakil Presiden RI 1945-1957, mengingatkan bahwa krisis kepercayaan terhadap pimpinan negara yang dihadapi oleh bangsa Indonesia kala itu tidak dapat diatasi dengan mengganti demokrasi dengan diktator. Malahan pergantian itu akan menimbulkan keadaan yang lebih buruk, akan menghilangkan kepercayaan sama sekali.
"Obatnya hanya satu: memberikan kepada negara, pimpinan yang dipercayai oleh rakyat!”
Dalam alinea yang sama, Hatta melanjutkan: “Oleh karena krisis ini merupakan pula krisis demokrasi, maka perlulah hidup berpolitik diperbaiki, partai-partai mengindahkan dasar-dasar moral dalam segala tindakannya. Korupsi harus diberantas sampai pada akar-akarnya, dengan tiada memandang bulu. Jika tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan. Demoralisasi yang mulai menjadi penyakit masyarakat diusahakan hilangnya berangsur-angsur dengan tindakan yang positif, yang memberi harapan pada perbaikan nasib”.
Keadaan yang dilukiskan dalam pidato Bung Hatta 68 tahun lalu, sekilas seperti mewakili suasana batin (sebagian) masyarakat kita dewasa ini: ada krisis kepercayaan, ada krisis demokrasi, ada korupsi yang gila-gilaan, dan ada demoralisasi. Itulah kekuatan pikiran seorang intelektual atau cendekiawan. Mereka memiliki kemampuan memahami keadaan secara luas dan dalam. Dan karenanya pikiran mereka tetap relevan, melampaui usia, bahkan usia generasi keturunannya.
Kaum Intelegensia dan Pergerakan
Pada umumnya cendekiawan atau intelektual diartikan sebagai orang-orang yang memiliki keahlian dan pengetahuan mendalam pada suatu bidang, berpikir kritis dan analitis, serta peduli terhadap kemaslahatan orang banyak. Mereka juga orang-orang yang terlibat dalam berbagai penelitian atau penelaahan, untuk menelurkan pengetahuan dan cara-cara baru. Intelektual atau cendekiawan terus menerus melakukan refleksi atas fenomena sekitarnya, dan mengajukan berbagai gagasan sebagai solusi atas masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh Bung Hatta, orang-orang seperti ini disebut sebagai kaum intelegensia.
Di Indonesia, munculnya golongan terpelajar ini terjadi pada awal abad ke-20 yang melahirkan gerakan Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1908. Dilandasi oleh kesadaran akan keterbelakangan bangsanya, golongan terpelajar mulai bangkit menjadi kekuatan sosial baru, berjuang untuk menuntut kesejahteraan dan kemerdekaan nasional.
Kemunculan mereka dipicu oleh Politik Etis (1901), ketika pemerintah kolonial mulai memberi kesempatan pada anak-anak Boemi Poetra untuk memperoleh pendidikan. Seiring waktu, golongan terpelajar mampu menumbuhkan kesadaran nasional. Melalui berbagai kegiatan diskusi sosial-politik, mereka melontarkan kritik-kritik atas kebijakan kolonial yang merugikan rakyat banyak, dan secara organik mulai membentuk organisasi-organisasi pergerakan menentang diskriminasi dan penindasan.
Menariknya, kaum terpelajar dengan latar belakang lingkungan kolonial Belanda juga banyak yang bergabung dalam gerakan ini. Pelan tapi pasti, gerakan kaum intelegensia ini mampu menyebarluaskan gagasan dan semangat pergerakan kemerdekaan.
Semenjak itu, semua milestone penting perkembangan kehidupan bangsa kita, seperti Soempah Pemoeda (1928), Proklamasi Kemerdekaan (1945), Revolusi Politik (1966), hingga reformasi (1998) selalu diwarnai oleh tindak kepeloporan kaum intelektual. Polanya kurang lebih sama: membaca keadaan secara kritis, menyebarluaskan pemikiran, mengoreksi penyimpangan, memperjuangkan keadilan, membela hak asasi manusia, dan menentang penindasan.
Pola tindak tanduk inilah yang oleh Chomsky (1967) dirumuskan dengan lugas: “It is the responsibility of intellectuals to speak the truth and to expose lies.” Karena itu, dalam sejarah, kaum intelegensia yang setia pada nilai-nilai luhur sering kali harus menerima perlakuan buruk: ditekan, dimarjinalkan, ditindas, bahkan dipenjarakan.
Warga Makin Berdaya, Tata Kelola Memburuk?
Menyongsong 80 tahun merdeka, sesungguhnya capaian Indonesia tidaklah buruk, bahkan harus kita syukuri. Kualitas hidup warga rerata terus mengalami peningkatan. Angka Harapan Hidup (AHH) warga selama 20 tahun terakhir, meningkat dari 65,8 tahun (2004) menjadi 73,93 tahun (2023).
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terus naik dari 66,53 (2010) menjadi 74,20 (2024). Index Human Capital (IHC) juga meningkat dari 0,53 (2018) menjadi 0,54 (2020). Secara ekonomi, dalam dua dekade GDP per kapita naik lima kali lipat, dari 830,58 USD (2000) menjadi 4.8761,31 USD (2023). Tentu saja dengan catatan kaki, kita masih punya PR besar untuk mengatasi ketimpangan yang kian menganga.
Di bidang pendidikan, kita mengalami kemajuan bersama. Wajib belajar telah dinikmati hampir seluruh warga. Di awal kemerdekaan 97% bangsa kita buta huruf, kini hampir 100% warga sudah mengenyam pendidikan dasar. Dewasa ini sekitar 19 juta warga telah menikmati pendidikan tinggi, memang masih terlalu sedikit dibanding jumlah penduduk kita, tetapi tetap merupakan capaian penting.
Indonesia saat ini memiliki lebih dari 77.000 doktor, dan tak kurang 8.000 guru besar. 50 ribu sarjana telah mendapatkan beasiswa dari LPDP, lebih dari 150 ribu warga negara telah menerima beasiswa dari negara-negara sahabat seperti Australia, Jepang, Amerika Serikat, Singapura, Kerajaan Inggris dan negara sahabat lainnya.
Fakta di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya rakyat kita makin berdaya. Mereka makin sehat, makin cerdas, dan makin memiliki kapasitas untuk mengurus dirinya sendiri. Fakta bahwa ratusan ribu warga negara telah menyelesaikan pendidikan tingginya di berbagai negara maju, menunjukkan bahwa semakin banyak warga yang memiliki wawasan global dan layak menjadi warga dunia.
Lebih dari itu, dalam hal partisipasi mengurus negara, Penerimaan dalam negeri sampai dengan 31 Desember 2024 mencapai Rp 2.511 triliun, atau 75,7 % dari total APBN. Ini berarti, sebagian besar biaya bernegara dipikul oleh warganya. Jika ditarik garis sejarah jauh ke belakang, adalah berkat jasa-jasa para perintis negara, yang telah berjuang sejak masa kebangkitan nasional 1908, kita sampai di titik ini.
Bagi generasi masa depan, perjalanan panjang bangsa ini akan menjadi modal besar, bila dikelola dengan mengedepankan prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan, menjunjung tinggi tata kelola yang baik, menempatkan etika dan moral sebagai panduan utama.
Sayangnya, capaian-capaian di atas seperti bertabrakan dengan kemerosotan cara mengurus negara, atau tata kelola dalam sepuluh tahun terakhir. Meskipun hampir seluruh biaya bernegara diletakkan di pundak warganya, kualitas demokrasi kita bukannya membaik, tetapi malah memburuk.
Sejak EIU mengenalkan Indeks Demokrasi pada 2006, demokrasi kita tetap masuk kategori demokrasi cacat (flawed democracy), dengan skor 6,44 (2024). Indikator lain adalah Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang sejak reformasi terus naik sampai dengan dengan skor tertinggi di angka 40 (2019), kini berada di titik balik, yaitu skor 34 (2023).
Begitupun dalam bidang politik, hak asasi manusia, dan penegakan hukum, survei-survei persepsi publik menempatkan lembaga politik dan lembaga penegak hukum pada posisi yang paling tidak dipercaya publik. Indeks kerawanan bernegara kita berada dalam posisi “warning”, alias harus diwaspadai. Tampak jelas kecenderungan yang kontradiktif: sementara rakyatnya semakin berdaya, tetapi cara mengurus negara (tata kelola) justeru semakin memburuk.
Bagaimana dengan keadaan perekonomian kita?
“Pasar” adalah pelaku paling rasional, yang tak bisa ditekan dan dipaksa-paksa untuk bersikap. Harus diterima kenyataan bahwa sikap pasar mencerminkan keadaan ekonomi kita yang rawan, baik dari sisi fiskal maupun moneter, baik aspek makro maupun mikro. Dalam enam bulan terakhir, IHSG mengalami koreksi hingga 20%, sementara kurs rupiah terus melemah, mendekati situasi menjelang krisis 1998.
Pada tataran mikro, sejumlah industri mengalami tekanan, sebagian harus menutup atau merampingkan bisnisnya, yang berakibat pada PHK besar-besaran. Ada konsensus di antara pelaku pasar bahwa ekonomi kita mengalami apa yang disebut trust issue. Terlalu banyak praktik perburuan rente dan praktik conflict of interest antara pengambil kebijakan dengan pelaku bisnis, yang mewarnai perekonomian Indonesia.
Saya sepakat dengan pandangan bahwa akar dari segala soal adalah penyakit kronis bernama Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), yang menjelang reformasi 1998 nyaris menghancurkan Indonesia. Mengapa demikian? Sebab korupsi telah menyuburkan kebiasaan mencuri, mengambil yang bukan haknya, sikap manipulatif, dan tindakan curang. Kolusi telah menerobos pagar kontrol, melumpuhkan fungsi check and balance, dan menyuburkan praktik “pagar makan tanaman”. Sementara itu, praktik nepotisme telah menempatkan kekerabatan sebagai pembuka jalan dan kesempatan; seraya meminggirkan prinsip-prinsip luhur bernama meritokrasi, kompetisi, integritas, prestasi, dan kreativitas. Bayangkan, betapa besarnya kerusakan yang ditimbulkan, bila KKN saling memperkuat sebagai warna dan tata cara kita bernegara.
Tapi inilah yang sedang berlangsung. Kenyataan yang di depan mata memang menunjukkan bahwa sendi-sendi keluhuran tidak lagi menjadi pegangan utama. Kekuasaan dan politik tidak lagi tampak dihadirkan sebagai jalan untuk melayani dan memajukan warga. Politik dan kekuasaan telah dikonversi menjadi jalan untuk memupuk kekuatan ekonomi; politik yang mahal membuat hanya yang kuat secara ekonomi yang bisa masuk ke gelanggang kompetisi. Jadilah lingkaran setan, yang lahirkan nepotisme, sirkulasi kekuasaan hanya berlangusng di antara “siapanya siapa”: anak, isteri, keponakan, mantu, adik, kakak, ipar, bahkan sudah ada yang mempersiapkan cucu.
Jangan-jangan frasa: “Atas berkat rahmat Allah SWT, dan dengan didorong oleh keinginan luhur….dst”, tidak lagi mewarnai praktik-praktik kenegaraan kita. Lantas harus mulai dari mana?
Kebangkitan Kaum Terpelajar
Menghadapi begitu banyak kerumitan dan tantangan di hari-hari ini dan ke depan, kita menunggu kaum intelegensia, para cendekiawan untuk kembali pada tanggung jawab asasinya. Tidak peduli di mana mereka berperan, bisa di dalam atau di luar kekuasaan, baik di sektor publik, korporasi, atau di kampus-kampus, maupun di pergerakan sosial-politik; harus ada spirit bahu membahu mengoreksi segala sesuatu yang menyimpang. Dengan itu, kita menaruh harapan agar mereka mampu membawa jalannya negara, kembali ke relnya, kembali kepada maksud didirikannya.
Soedjatmoko (1985) pernah mengingatkan agar kaum intelektual atau para cendekiawan terlibat langsung dalam proses pembangunan bangsa, tidak hanya berdiri (di pinggir lapangan) sebagai pengamat. Dengan demikian tulisnya: “…intelektual (harus) berperan penting sebagai agen perubahan yang menyatukan pemikiran, moralitas, dan tindakan demi kemajuan masyarakat.”
Harus diakui, pada dewasa ini, mulai menyeruak kecemasan akan lunturnya daya kritis dan keberanian dalam mengoreksi keadaan. Cendekiawan Dr. Sukidi (2024) menyoroti secara tajam fenomena ini, “Hari-hari ini keberanian itu tidak dimiliki kaum intelektual, dan intelektual justru menjadi penyokong dari kekuasaan yang sangat tirani,” ucap Sukidi dalam suatu kesempatan.
Tak dapat dimungkiri, banyak di antara intelektual kita baik yang masuk ke dalam kekuasaan maupun berada di jalur independen sempat mengalami tekanan. Di lain pihak, usaha-usaha melumpuhkan daya kritis dari kaum terpelajar terus berlangsung dengan berbagai bentuk iming-iming. Banyak di antara mereka yang terpaksa mengungsi ke “dunia maya”, meninggalkan gelanggang perjuangan di dunia nyata. Karena itu kita harus berusaha memanggil pulang mereka, kembali pada tugas dan tanggung jawab utamanya. Sudah waktunya para intelektual menata pikiran dan agenda bersama untuk meneguhkan perannya sebagaimana ditekankan oleh Chomsky: to speak the truth and to expose lies (menyuarakan kebenaran dan membongkar kebusukan).
Hari-hari ini, kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional ke-117. Lebih dari seabad yang lalu, ketika bangsa Indonesia belum lagi terbentuk, kemiskinan dan keterbelakangan menjadi keseharian kita, ketika hidup kaum Boemi Poetera masih dalam kungkungan kolonial, sejumlah kaum terpelajar bangkit menggelorakan pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan yang membuahkan kemerdekaan, setelah 37 tahun lamanya.
Patut kiranya direnungkan, bila golongan terpelajar di era perjuangan kemerdekaan, produk Politik Etis kolonial, berani bersikap, maka para cendekiawan yang lahir dari rahim bangsa merdeka semestinya punya tekad dan keberanian yang lebih kuat dalam menyikapi keadaan.
Suatu agenda besar mungkin sudah waktunya disusun oleh para cendekiawan, kaum cerdik pandai buah investasi berpuluh tahun lamanya, untuk mendorong proses lahirnya kepemimpinan yang tepercaya. Kita memerlukan kepemimpinan yang menjunjung tinggi prinsip integritas, kompetensi, meritokrasi, yang jauh dari praktik-praktik conflict of interest. Kita mendambakan kepemimpinan yang disusun “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan didorongkan oleh keinginan luhur”.
Tanpa keduanya, mungkin negeri ini akan semakin jauh tersesat, suatu keadaan yang tidak kita inginkan bersama.
*Penulis adalah Ketua Institut Harkat Negeri.