Program
Webinar

Webinar

Acara terdekat

Pidato Kebangsaan: “Menggelorakan Elan Pergerakan Jong Indonesia”

Tegal, 28 Oktober 2025

Dalam rangka memperingati 97 Tahun Sumpah Pemuda, Pusat Studi Kebangsaan (PUSDIKA) Universitas Harkat Negeri menyelenggarakan Pidato Kebangsaan bertema “Menggelorakan Elan Pergerakan Jong Indonesia”.

Acara yang digelar di Aula Mataram, Universitas Harkat Negeri, Kota Tegal, ini menjadi momentum reflektif bagi sivitas akademika dan masyarakat luas untuk menyegarkan kembali makna kemerdekaan, persatuan, dan harkat kebangsaan di tengah dinamika sosial-politik masa kini.

Dalam pidatonya, Sudirman Said yang dikenal sebagai tokoh nasional, menegaskan bahwa Sumpah Pemuda bukan sekadar teks sejarah, melainkan janji spiritual bangsa yang harus terus dihidupkan melalui kesadaran moral, intelektual, dan kemanusiaan. Ia mengingatkan bahwa bangsa Indonesia sering kali pandai memperingati, tetapi belum benar-benar mengingat. Peringatan berhenti di panggung seremonial, sementara pengingatan menuntun bangsa untuk menyelami makna sejarah dan menyalakan kembali api perjuangan di dada setiap warga negara.

Sudirman Said juga mengajak kaum muda untuk tidak hanya mewarisi sejarah, tetapi memperbarui maknanya, dengan semangat kejujuran, integritas, dan tanggung jawab sosial. Pesan ini menggema saat orator mengucapkan kalimat,

“Menjadi muda bukan berarti selalu benar, tetapi berarti berani mencari kebenaran.
Menjadi berharkat bukan berarti terhormat di mata dunia, tetapi terhormat di hadapan hati nurani.”

Dalam suasana yang khidmat, Sudirman Said menguraikan perjalanan sejarah yang melahirkan Sumpah Pemuda 1928. Ia menjelaskan bahwa kesadaran kebangsaan itu tumbuh dari ruang-ruang pendidikan, dari pena dan diskusi, dari anak-anak muda yang menolak diperintah dan memilih untuk memerintah dirinya sendiri. Pendidikan, menurutnya, tidak boleh berhenti pada gelar dan ijazah, tetapi harus berbuah pada kesadaran dan keberharkatan — kemampuan untuk menyalakan terang bagi sesama manusia.

Pidato ini juga menggarisbawahi pentingnya etika sebagai kompas kebangsaan. Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap politik dan birokrasi, moral menjadi jalan pulang bangsa ini. “Politik etis di masa lalu melahirkan kemerdekaan; maka etika berpolitik hari ini harus melahirkan kebangkitan,” tegasnya.

Melalui pidato berdurasi hampir empat puluh lima menit itu, Sudirman Said menekankan bahwa bangsa yang besar bukanlah bangsa yang paling kuat atau kaya, melainkan yang paling jujur dan sadar akan harkat kemanusiaannya. Indonesia, katanya, tidak sekadar tanah air, tetapi jalan menuju kemanusiaan yang luhur, dan generasi mudalah penjaga jalannya.

Direktur Pusat Studi Kebangsaan Universitas Harkat Negeri, Gunawan Adib Achmadi menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari program tahunan “Refleksi Kebangsaan” yang diinisiasi oleh PUSDIKA sebagai ruang bagi kampus untuk menumbuhkan kesadaran moral dan tanggung jawab sosial di kalangan mahasiswa dan akademisi. “Kami ingin menjadikan kampus bukan sekadar tempat belajar, tetapi ruang refleksi — tempat bangsa ini menimbang nuraninya,” ujarnya.

Acara ini dihadiri oleh ratusan mahasiswa, dosen, tokoh masyarakat, serta perwakilan pemerintah daerah dan lembaga pendidikan. Seluruh hadirin berdiri memberi penghormatan saat bagian penutup pidato dibacakan dengan suara lantang dan penuh keteduhan:

“Indonesia bukan sekadar tanah air, tetapi jalan menuju kemanusiaan yang luhur. dan kita — adalah penjaga jalannya.”

Pusat Studi Kebangsaan (PUSDIKA) Universitas Harkat Negeri adalah lembaga riset dan pengabdian masyarakat yang berfokus pada kajian kebangsaan, etika publik, dan kepemimpinan moral. Melalui riset, pelatihan, dan orasi reflektif, PUSDIKA berkomitmen untuk membangun kesadaran nasional berbasis ilmu, nilai, dan pengabdian.

Tanggal Acara           : 28 Oktober 2025
Tempat                       : Aula Mataram, Universitas Harkat Negeri, Kota Tegal
Penyelenggara           : Pusat Studi Kebangsaan (PUSDIKA), Universitas Harkat Negeri
Kontak Media           : humas@harkatnegeri.ac.id | +6281902121423

Jong Indonesia: Yang Muda, Yang Berharkat

Assalamualaikum wr. wb.

Pertama-tama, izinkan saya menyebut Saudara-saudara bukan dengan panggilan “anak-anakku”, bukan “adik-adikku”. Bukan “mahasiswa-mahasiswiku”. Tetapi, Sengaja saya pilihkan panggilan yang kuat aroma kesetaraan dan kebangsaannya, yaitu: “Jong Indonesia”!

Jong itu Bahasa Belanda, artinya: orang muda. Bacanya: “Yong”. Nama Jong Indonesia seperti merekam elan kebangsaan. Juga kebanggaan, kejuangan, dan harapan-harapan baik orang muda.

Jong Indonesia pernah menjadi nama perkumpulan pemuda sejak Februari 1927. Ia cikal-bakal utama dari Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928.

Dari kongres itu, disepakati “Putusan Kongres Pemuda-Pemuda Indonesia”. yang pada 30 tahun kemudian namanya diubah menjadi “Sumpah Pemuda”, oleh Bung Karno.

Jadi, kata “Sumpah Pemuda” itu munculnya bukan langsung pada 1928, tapi pada 1958.

Setahun sebelum Sumpah Pemuda, Pada Desember 1927, nama Jong Indonesia diganti menjadi “Pemuda Indonesia.” Jadi, nama Jong Indonesia eksisnya hanya 10 bulan. Magis Jong Indonesia seperti ditidurkan cukup lama. Maka, tak ada salahnya jika kita ambil kembali. Kita bangunkan. Kita hidupkan. Kita nyalakan apinya.

Apakah api Jong Indonesia? Jong Indonesia adalah api yang hidup di antara pemuda perumus dan peletak fondasi kebangsaan, dengan semangat “harkat ber-Indonesia”.

Dengan demikian ada dua kata kunci di sini: (1) muda, (2) berharkat. Dan, bagi kita, di Universitas Harkat Negeri, muda itu bukan soal usia. Tapi soal semangat dan daya juang. Sepakat, ya?

Jadi, kalau saya sapa Saudara-saudara dengan “Jong Indonesia!”, balas dengan teriakan: “Kami Muda, Kami Berharkat”. Jangan lupa, kepalkan tangan kanan. Setinggi-tingginya.

Mari, kita coba...

“Jong Indonesiaaaa...!”... (3 kali)
“Kami Muda, Kami Berharkat!”

Perayaan vs Peringatan

Saudara-Saudara, hari ini kita menyelenggarakan perayaan, mengingat kembali hari Sumpah Pemuda, yang terjadi 97 tahun lalu.

Kalau kita ingat-ingat, betapa sibuknya kita pada segala perayaan ini dan itu. Apalagi dengan pasang baliho besar-besar, didominasi wajah-wajah pejabat, bagaikan kandidat Pilkada.

Saya mau tanya sekarang. Dari waktu ke waktu, adakah perayaan-perayaan semacam itu menorehkan kesan di hati? Atau mendesakkan kuat-kuat spirit kejuangan di level aksi?

Rasa-rasanya kok tidak. Atau belum. Karena, perayaan macam itu tidak lebih dari sekadar suatu rutinitas yang monoton. Tidak menyisakan apa-apa kecuali letih, lelah, dan sisa-sisa pesta. Slogan-slogannya klise.

Betapa seringnya kita terjebak... hanya bicara-bicara, tanpa makna.

Kita sering bersemangat menata bungkus, tapi lalai menyiapkann isinya.
Heboh di seremoni, tapi tak peduli substansi
Gagah perkasa dalam slogan, tapi lemah dalam aksi.

Tidak ada yang salah dengan perayaan. Yang salah adalah karena itu kita jadikan sekadar check list pemenuhan kewajiban saja. Bukan berdasar kesadaran tentang apa maknanya.

Di kampus ini, Universitas Harkat Negeri, kita harus dobrak tradisi perayaan tanpa makna. Yang kita maui adalah memaknai “peringatan” dengan sungguh-sungguh. Menjadi refleksi. Menjadi kesempatan tadabbur. Refleksi untuk apa? Refleksi untuk mewarisi apinya sejarah kejuangan. Bukan abunya!. Mengapa? Karena ..

Dalam peringatan, kebersihan niat dan akal-budi dikedepankan.
Dalam peringatan, ketajaman kritik dan koreksi didorongkan.
Dalam peringatan, kesegaran tafsir dan diksi dihadirkan.

Karena itu, sepulang dari sini, lelah dan letih Anda harus terbayar. Energi semangat harus terisi penuh kembali. Jiwa saudara-saudara harus disuburkan. Tekad bulat menata masa depan kalian, harus dipancangkan. Apalagi, hari ini adalah Hari Pengingatan Sumpah Pemuda! Harinya orang-orang muda seusia Saudara-Saudara.

Wahai Jong Indonesia, tangkaplah api Sumpah Pemuda. Bangunkan energi kejuanganmu dengannya. Kembalikan elan juang. Kembalikan jiwa pergerakanmu, sebagaimana jiwa-jiwa para pelaku Sumpah Pemuda 1928. Bersiaplah menjawab pertanyaan mendasar yang semakin merisaukan: “Hari-hari ini, akan dibawa ke mana Indonesia kita?”

Kalian, Jong Indonesia wajib menjawab pertanyaan ini, sebab kalian lah pemilik masa depan yang sesungguhnya...

 

Pelajaran Ber-Indonesia

Saudara-Saudara sebangsa dan se-Tanah Air...

Seperti halnya kalian para mahasiswa, saya pun pernah muda. Kita semua pernah muda. Pernah merasakan bunga-bunga gelora muda, dan gelegak masa muda.

Setiap orang-muda, punya masanya. Setiap masa, punya orang-mudanya. Mari kita tengok dinamika orang-orang muda pada masa itu.

Sumpah Pemuda 1928 tidak sekonyong-konyong lahir. Ada konteks dan pemicunya. Pemicu utamanya adalah, dijalankannya Politik Etis oleh Pemerintah Kolonial Belanda sejak 17 September 1901. Suatu politik balas budi dari “bangsa pemerintah” kepada “bangsa terperintah”; dari bangsa kolonial yang penjajah, kepada bangsa koloni yang terjajah.

Wujud programnya ada tiga, yaitu: edukasi, irigasi, dan emigrasi. Sebenarnya tiga alat itu, diberikan bukan semata didasari maksud baik pemerintah kolonial. Tetapi terselip pula agenda kebutuhan praktis dan pragmatis.

Program edukasi, misalnya, itu untuk mencetak tenaga-tenaga kerja siap-pakai buat kepentingan kolonial juga. Program irigasi dijalankan untuk memperbaiki pengairan bagi kebun-kebun yang hasilnya akan diambil oleh pemerintah kolonial. Pun program emigrasi adalah usaha memindahkan tenaga kerja untuk mendukung penyelenggaraan masif ekonomi mereka.

Tetapi, alam semesta dan Tuhan yang Maha Kuasa, bekerja dengan caranya. Ternyata, berkat program edukasi, tak dinyana, malah tumbuh tunas-tunas kesadaran berbangsa. Program edukasinya Politik Etis justru melahirkan agen-agen muda cerdas-tercerahkan. Para pejuang. Para perintis kemerdekaan. Sesuatu yang sudah pasti tidak diinginkan Belanda.

Mereka berjamaah di Jong ini, Jong itu. Juga di berbagai daerah dan komunitas. Gaya mereka berbeda dengan pendahulunya. Kalau pendahulunya lebih menekankan kerja otot, mereka kerja otak. Kerja intelektual. Medan laga mereka bernama pers, organisasi, pelayanan pendidikan dan kesehatan, dll. Dari banyak daerah dan etnis, lalu berhimpunlah mereka di Kongres Pemuda.

Semula, orbit perjuangan mereka lebih berkutat pada wilayah kesenasiban masing-masing. Masih primordial. Jong Java, misalnya, dibentuk hanya di dan untuk selingkup orang Jawa. Sekar Rukun, ya hanya untuk orang Sunda. Begitu pula Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, dll.

Pertanyaannya, apa yang mendorong mereka harus bersatu dan ber-Indonesia? Jawabnya satu, yakni: karena sama-sama punya perasaan senasib sebagai bangsa terperintah. Bangsa terjajah. Karena adanya keinginan kuat mereka untuk menjadi bangsa yang lepas dari penindasasan, dari ketidakadilan, dan dari kesewenangan. Mereka bersatu karena semangat yang berkobar-kobar untuk menjadi bangsa merdeka... dalam arti yang seluas-luasnya.

Begitulah kurang-lebih asal-usul “ber-Indonesia” dalam konteks orang-orang muda kala itu. Sejarah pun mencatat, para Jong itu bukan saja penanda zaman, tapi bahkan lokomotif perubahan. Visi yang mereka pancangkan melalui kerja-kerja cerdas, inklusif, berdikari, dan sikap setara, senasib sepenanggungan pun bunyinya masih relevan sampai sekarang.

Tak butuh waktu lama, katalis Politik Etis membuat mereka lekas menyadari dua hal, yakni:

  1. Kesadaran bahwa perjuangan itu harus ditempuh dengan cara menghimpun diri sebagai bangsa “yang satu”. Mengapa? Agar jelas betul “jenis kelaminnya”: mana bangsa terperintah (kawan) dan mana bangsa pemerintah (lawan). Nah, nama yang mereka angkat dan sepakati untuk menyebut “yang satu” itu, adalah “Indonesia”.
  2. Ternyata, “campur tangan” Tuhan untuk memerdekakan Indonesia itu ditaruh-Nya pada “buah tak terduga” dari program edukasi atau pendidikan-nya Politik Etis. Gerakan mereka bukan tak berelasi dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tonggak pertama, berdirinya Budi Utomo pada tujuh tahun setelah Politik Etis dirilis, itu adalah “buah tak terduga” dari pohon pendidikan. Tonggak kedua, yakni Sumpah Pemuda 1928, itu “buah tak terduga” juga dari pohon pendidikan. Bahkan, kemerdekaan 1945 pun demikian: golongan muda bertarung ide dengan golongan tua.

Oleh karena itu, kita, sivitas akademika Universitas Harkat Negeri, harus sadar. Kita ini sejatinya adalah anak kandung dan penerus dari spirit luhur itu. Oleh sebab itu, tugas kita di sini, kewajiban kita disini, adalah:

  • membuahkan sebanyak-banyaknya anak muda terdidik-tercerahkan,
  • dari pohon pendidikan dengan segala manifestasinya,
  • demi seluas-seluas kebermanfaatan bagi orang banyak,
  • bagi rakyat, bagi bangsa, bagi kemanusiaan seluruhnya.

 

Muda, Berharkat

Mari kita kenali lebih dekat beberapa tokoh di Jong Indonesia 1927, generasi pencetus Sumpah Pemuda 1928. Tersebutlah nama Sugondo Joyopuspito. Ia mahasiswa RHS (Recht Hoge School, Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia, ketua panitia Kongres Pemuda II.

Saat kuliah, Sugondo aktivis pergerakan. Progresif. Padahal, sebagian besar pribumi pegawai-pegawai kolonial alergi dengan label “pergerakan”. “Bikin susah hidup,” katanya.

Sistem kepegawaian kala itu bisa memaksa para orang tuanya tutup-kuping tutup-mulut, atau berbohong, atau ABS (Asal Bapak Senang) saja terhadap perilaku buruk pemerintah kolonial. Tetapi, kondisi itu justru memicu kesadaran anak-anak mereka agar praktik-praktik semacam itu dihentikan.

Tak jarang dunia pergerakan di lingkungan kampus menjadi penyebab gagalnya kuliah parah aktivis pergerakan sebagaimana nasib Sugondo. Oleh karena waktu Sugondo banyak tersedot untuk menentang penjajah melalui dunia pergerakan, setahun setelah Sumpah Pemuda, dia di-drop out oleh kampusnya.

Ada satu lagi. Arnol Mononutu, namanya. Ia teman satu indekos Sugondo. Aktivis Jong Celebes ini juga pernah gagal kuliah karena alasan serupa. Ketika kuliah di Belanda, biaya hidup Arnold distop. Penyebabnya adalah, Pemerintah Hindia Belanda mengintimidasi orang tuanya yang pegawai pemerintah itu.

Ini catatan kaki saya. Saya tentu tidak bermaksud membela para mahasiswa yang keteteran kuliah, malas kuliah, atau IP jelek. Bukan. Bukan sama sekali. Dalam kondisi apa pun, studi tetap harus menjadi prioritas.

Hanya saja, imbangi studi itu dengan atensi kalian pada kondisi bangsa. Salah satunya melalui jalan “pergerakan”. Aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan, ikut-serta dalam forum-forum diskusi. Di sanalah pikiran kalian akan diasah, semangat juang akan ditempa, dan jiwa merdeka Saudara-saudara akan terus diperkuat.

Apa yang bisa dipetik dari cerita Sugondo dan Arnold tadi? Betapa dalam usia yang masih bau kencur, awal 20-an tahun, mereka yakin betul pada pilihan luhur. Pilihan itu adalah: “hidup berharkat dalam kemerdekaan, bukan hidup nikmat dalam rezim dan tabiat penjajah”. Ketika Kemerdekaan yang mereka perjuangkan belum terjadi, maka jalan pergerakan adalah pilihan mereka!

 

Saudara-saudara sekalian.....

Muhamad Tabrani, pada pidato sambutannya sebagai Ketua Panitia Kongres Pemuda I, 26 April 1926, menegaskan:

“... Kita semua—orang-orang Jawa, Sumatera, Minahasa, Ambon, dll.—oleh sejarah dijadikan makhluk yang harus saling mengulur tangan dalam kita mencapai apa yang menjadi cita-cita kita semua; yaitu kemerdekaan Indonesia, Tanah Air yang kita cintai.”

 

 

Penyelenggaraan Ilahi

Saudara-saudara.... buah dari tindakan Jong Indonesia itu luar biasa dampaknya. Kala itu, semua elemen orang muda seperti tengah berlomba untuk men-stempel dirinya sebagai “Indonesia”. Bahkan, menjadi sejenis demam “akulah yang paling Indonesia!”

Tiba-tiba saja “Indonesia” diterima sebagai identitas nasional. Wilayahnya, Indonesia. Bangsanya, Indonesia. Bahkan bahasanya pun, Indonesia. Padahal, negara dan pemerintahnya, belum lahir. Patih Gajah Mada saja, dengan “Sumpah Palapa"-nya itu, toh tak pernah bisa mempersatukan Nusantara. Sumpah Palapa itu sekadar testamen politik.

Artinya, belum pernah ada satu penguasa pun yang berhasil mempersatukan Indonesia kecuali kaum tahun 1928 itu. Jong-jong itu. Sumpah Pemuda menciptakan persatuan Indonesia sebelum pemerintah Indonesia mengusahakan persatuan.

Itu semua dari dan oleh rakyat. Yang pelakunya didominasi oleh orang muda. Itulah kenyataan sejarah.

Tentang “kenyataan sejarah” tersebut, penyair WS Rendra pernah berujar:

“Tidak ada satu penguasa pun yang bisa mempersatukan. Sultan Agung yang namanya Agung itu, mempersatukan Jawa saja tidak bisa. Masuk Betawi saja tidak bisa, hanya sampai Matraman, Batavia. Sampai Belanda masuk pun, tidak satu penguasa pun yang bisa mempersatukan 'Indonesia'. Belanda pun tidak bisa... Tetapi, (ternyata) bangsa Indonesia sendiri, bahkan yang anonimus itu, bisa mengatakan ‘(kami) satu bangsa, satu Tanah Air, satu bahasa’… Tidak semua bangsa bisa mendapat rahmat seperti kita!”

 

Coba cermati kalimat terakhir WS Rendra itu: “Tidak semua bangsa bisa mendapat rahmat seperti kita.” Ada suatu kesadaran yang subtil di situ. Yakni: ini semua mustahil terjadi tanpa adanya campur-tangan Tuhan. Suatu providentia Dei. Penyelenggaraan ilahiah.

Tujuan perjuangan proyek persatuan dari angkatan muda 1928 itu bukan demi persatuan itu sendiri, melainkan demi sesuatu yang lebih besar: kemerdekaan.

 

Saudara-saudara sekalian...
Hari-hari ini, kita sudah mencapai kemerdekaan. Membentuk suatu negara. Sejak 1945. Jadi, sudah 80 tahun lamanya.

Namun, kemerdekaan sebagai bangsa, masih banyak yang harus kita perjuangkan. Semua ide tentang persatuan akan lekas jadi mitos belaka manakala cita-cita kemerdekaan sebagai bangsa tidak sungguh-sungguh dihadirkan, apalagi sampai dinistakan.

Cita-cita merdeka itu adalah: terlindunginya segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, majunya kesejahteraan umum, cerdasnya kehidupan bangsa, serta terlibatnya kita dalam ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Lantas, apa pentingnya Sumpah Pemuda buat orang muda sekarang? Rasa-rasanya, orang muda, para mahasiswa, saudara-saudara sekalian, memerlukan role model, sosok rujukan, figur teladan, yang bisa menemani Saudara-saudara menjawab tantangan dan problem kekinian.

Jangan ragu, jangan bimbang. Ambil saja mereka para kaum muda 1928 yang menorehkan catatan gemilang dalam perjuangan kemerdekaan kita, sebagai role model, sebagai teladan, sebagai sumber inspirasi kalian.

Teladani mereka. Bukan saja pribadinya, tapi juga nilai-nilai luhur dan elan kejuangannya. Nilai-nilai luhur dan semangat juang mereka dapat menjadi referensi dan inspirasi dalam menghadapi tantangan-tantangan kebangsaan. Kewajiban kita adalah terus menjaga relevansi. Mengkinikan yang lampau, untuk kebutuhan bikin-betul dan bikin-baik bangsa ini ke depan!

 

Saudara-saudara, Anda sekarang sedang berada di usia-usia muda. Usia produktif. Usia yang harus melawan dekomposisi atau pembusukan. Baru-baru ini, sebuah lembaga merilis hasil surveinya. Hasilnya cukup menggembirakan saya.

Menurut survei Yayasan Pelopor Pilihan Tujuhbelas, pada Semester I 2025, sebagian besar (40%) orang muda Indonesia punya pandangan politik yang sudah cukup progresif. Adapun yang tergolong (sangat) progresif, konsisten di angka 49%. Artinya, orang muda Indonesia secara konsisten menaruh perhatian dan kepedulian pada nilai-nilai kesetaraan serta keadilan sosial.

Survei itu mendorongkan optimisme, bahwa tanaman yang baru saja tumbuh ini semakin menolak rontok dan busuk. Jika Anda mendapati orang-orang muda yang dulu gagah betul melawan kezaliman dan otoritarian, tapi sekarang justru masuk mendukung lingkaran kezaliman otoritarian yang dulu ia lawan, jangan ditiru. Jangan dicontoh. Jauhi. Itu adalah proses pembusukan, namanya.

Di sini, di kampus ini, kita semua sedang menempa diri, menghindar dari proses pembusukan itu. Kita tidak sedang ingin membusuk, bukan?

 

Belajar Kepemimpinan pada Jong Indonesia 1928

Saudara-saudara sekalian, para Jong Indonesia....

Sekarang, mari kita bicara tentang kompas moral, penjaga arah suatu perjuangan...

Muda-mudi Jong Indonesia angkatan 1928 itu telah memampangkan kepada kita tentang karakter kejuangan yang sepatutnya dimiliki. Yakni: (1) tabah dalam menghadapi tekanan; (2) berjamaah dalam kejujuran dan kompetensi; (3) manunggal dengan rakyat, serta (4) menjaga integritas dengan jalan terus bangun rekam-jejak kebaikan.

Keempat syarat kejuangan itu, oleh Doris Kearns Goodwin (2015), disebut sebagai “atribut penjaga kepemimpinan moral”. Dalam hal ini, Goodwin merujukkannya pada karakter dua presiden legendaris Amerika Serikat, yakni Abraham Lincoln dan Theodore Roosevelt

Dari jong-jong angkatan 1928 itu pula kita bisa belajar, bahwa kompas pemimpin dalam bekerja itu namanya adalah moral. Pemimpin bukan dinilai dari kata-kata manis dan sopan-santunnya, karena itu semua punya sifat manipulatif.

Pemimpin itu dinilai dari aksi nyata integritas dan komitmen dalam meneguhinya. Juga dari kesanggupannya untuk membenamkan kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Pada gilirannya, nilai-nilai itu akan membangun dan merebut trust publik. Publik pun akan menjadikannya sebagai standar dan panduan, terutama terkait praktik-praktik berbangsa dan bernegara.

Kepemimpinan moral perlu diiringi dengan langkah-langkah nyata mereformasi praktik bernegara dari seluruh alat Pengurus Negara. Yakni: para aparat sipil, aparat militer, aparat kepolisian, dan birokrasi seluruhnya. Perlunya, agar bersih dan efisien dalam melayani publik. Tak boleh juga dilupakan reformasi praktik-praktik politik agar mengembalikan kepercayaan publik bahwa politik adalah jalan beradab manusia masa kini untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan.

Untuk itu, kembalilah pada moral/etika sebagai kompas berpikir dan bertindak.

Pendeknya, kepemimpinan moral harus kita jadikan ‘jalan pulang’ bagi bangsa yang akhir-akhir ini tengah kelelahan dirudapaksa oleh korupsi, pengkhianatan konstitusi, pembajakan demokrasi, dan gelimang praktik-praktik tak punya malu.

Kalau boleh sedikit bermain kata...., dahulu, Politik Etis-lah yang menghasilkan “buah-buah tak terduga” melalui program-programnya. Hari ini, praktik-praktik Etika Berpolitik-lah yang semoga menghasilkan “buah-buah tak terduga” untuk bikin-betul negeri.

Semua pelajaran yang kita petik dari jong-jong 1928 itu, semoga bisa me-refresh, menyegarkan kembali sumpah atau prasetya kita pada persatuan dan bangsa ini. Melalui peringatan Sumpah Pemuda ini, kita segarkan kembali semangat juang para Jong, dengan membangun semangat baru.

Tidak lain-dan tidak bukan adalah sutau semangat: “hidup berharkat dalam (mengisi) kemerdekaan, bukan hidup nikmat dalam rezim dan bertabiat kolonial. Bukan keadaan yang memperlebar jarak antara “yang memerintah” dengan “yang diperintah”. Jarak yang lebar itu adalah warisan kolonial, yang semestinya telah diberangus melalui sejarah perjuangan para jong Indonesia. Ya, perjuangan para jong untuk menegakkan harkat ber-Indonesia!

Saudara-saudara sekalian...
saya ingin menutup pidato ini dengan mengucapkan “Selamat menunaikan ibadah refleksi Sumpah Pemuda.” Sampai jumpa di refleksi tahun mendatang dengan nyala harkat ber-Indonesia yang jauh lebih membara.

Mari kita maknai perayaan ini lebih dari sekedar rutinitas. Melainkan harus menjadi suatu peringatan. Suatu refleksi. Suatu kesempatan untuk mengingat dan memaknai kembali akan banyak hal.

Karena... dalam peringatan, kebersihan niat dan akal-budi dikedepankan.
Karena... dalam peringatan, ketajaman kritik dan koreksi didorongkan.
Karena... dalam peringatan, kesegaran tafsir dan diksi dihadirkan.

 

Akhir kata:

“Jong Indonesiaaaa...!”    “Kami Muda, Kami Berharkat!”

“Jong Indonesiaaaa...!”    “Kami Muda, Kami Berharkat!”

“Jong Indonesiaaaa...!”    “Kami Muda, Kami Berharkat!”

Merdeka!!

 

Wassalamu’alaikum wr wb.

Learning from Purbaya’s Leadership and Populism

It has been fascinating to observe the behaviour of Indonesia’s newly appointed Minister of Finance, who replaces one of the longest-serving cabinet members, Sri Mulyani Indrawati. Every leader has their own style, shaped by the context they engage and the challenges they face. It would therefore be inaccurate to simply compare who is “better” between the two.

Today marks 40 days since Purbaya Yudi Sadewa assumed his role as the nation’s chief financial policymaker. His actions and public demeanour have added a striking new tone to the early months of President Prabowo’s administration. The public has long been accustomed to a financial sector led with prudence, composure, and minimal controversy. What we have witnessed recently is the exact opposite. The public has been served a spectacle of provocative statements, one after another, combined with a confrontational style and a chest-thumping bravado difficult to ignore. Three Javanese words paint a vivid picture of his theatrics: ndongak (head held high with arrogance), cengengesan (smirking dismissively), and slengekan (carelessly irreverent).

The New Idol?

In the online universe, these theatrics have been welcomed with great fanfare complete with a full set of admirations: a “breath of fresh air,” “Gen Z energy,” “bold,” “a breaker of stagnation,” even celebrated as “a defender of the people.” He is greeted enthusiastically wherever he goes, with the public scrambling for selfies and the media giving him nonstop coverage. Social media is flooded with stories about him, surprise inspections, high-level meetings, even mundane moments like stopping by a roadside food stall. A new idol has been born!!

Will he succeed? Will he bring solutions to Indonesia’s financial and economic challenges? It is far too early to conclude. If this were a 90-minute football match, we have barely reached the third minute. He is running all over the field, his jersey still spotless, free of sweat, grass, and mud, yet already shouting, “I’m the best player out here; everyone else is useless;  just give me the ball and I’ll score all the goals.” Even the opposing goalkeeper, the referee, and the spectators have become targets of his taunts.

Anyone with a basic understanding of management and leadership should be cautious about what could be called a meteoritic phenomenon, something that rises very quickly but rarely stays in orbit for long and often crashes just as fast. We do not wish such a collapse to happen. However, out of a sense of responsibility, and concern for the Republic, it is worth offering a reminder before things go too far. A few points below may be worth reflecting upon together.

First, the financial sector must continue to be governed with a culture of prudence and measured decision-making. Controversy and frequent statements that are not preceded by a proper policy deliberation process will trigger speculation. The world of finance is highly sensitive to sentiment, often driven by words and gestures of state officials.

Change Leader vs Rock Star

Second, if within just 40 days a leader is busy producing one weighty statement after another, when does he conduct policy deepening, cross-agency coordination, and lead his team to follow through on those statements? Every high-quality policy requires an incubation process. Statements made by a financial sector leader must maintain their authority; they should not fall into the culture of shallow populist gimmicks. The Minister of Finance is not a pop celebrity or a rock star seeking cheers on every stage. He is the nation’s treasurer, a role that demands humility.

Third, a leader’s fundamental duty is to drive institutional development. That includes strengthening systems, governance, human capital, and organizational culture. Driving fundamental changes is not a solo mission, it requires teamwork and cross-sector cooperation. If every day is spent adding new “enemies” in other sectors, what can a Minister of Finance realistically accomplish?

Fourth, top leaders naturally depend on the people around them. Therefore, if one seeks to drive major transformation, the first step is to earn acceptance from the internal environment. Through that, trust is built, and eventually, support follows. If, in public forums, a leader arrogantly humiliates the dignity of their key personnel, who will be willing to support his moves?

Ultimately, just as he has asked many others to learn, I urge Purbaya to revisit the fundamentals of organizational management. If one intends to build a healthy organizational culture, then praise your subordinates in public, but when correcting or reprimanding them, do it in private. Mister Minister, it is time for you to read “Leadership for Dummies”. For the last decade, this country has already been led by misleading populism.  As a taxpayer, I refuse to watch the financial sector be dragged into yet another misguided populist experiment.

*) Sudirman Said: A Tax Payer & Co-Founder, Forum Warga Negara.

Negara yang Melayani, Bukan Menguasai

Pada tahun 2020, ketika pandemi COVID-19 menyapu Indonesia, pemerintah pusat dan daerah disibukkan oleh keruwetan prosedur administratif. Surat keputusan harus melintasi hirarki kementerian, dana bantuan sosial tertahan di sistem verifikasi berlapis, dan data penerima manfaat tumpang tindih antarinstansi. Di tengah krisis yang menuntut kecepatan dan empati, negara justru tampil lamban dan prosedural.

Bagi banyak warga, negara bukan hadir untuk melayani, melainkan sibuk menata dirinya sendiri. Fenomena ini mengungkapkan satu kenyataan yang terlalu lama dibiarkan, yaitu Indonesia masih mengandalkan paradigma rule by bureaucracy—sebuah model tata kelola yang berakar pada dominasi hirarki, dokumen, dan prosedur ketat, yang terkadang justru menghalangi pelayanan publik yang tanggap dan manusiawi.

Namun dunia berubah, dan begitu pula ekspektasi masyarakat terhadap negara. Muncullah sebuah tuntutan baru governance with society—sebuah paradigma yang menempatkan negara sebagai mitra warga, bukan penguasa birokrasi. Ini bukan sekadar slogan reformasi, melainkan pergeseran mendalam dalam cara berpikir, cara bertindak, dan cara melibatkan masyarakat dalam roda pemerintahan.

Sejak era Reformasi, Indonesia telah menegaskan komitmen untuk memperbaiki birokrasi melalui Grand Design Reformasi Birokrasi 2010–2025. Beberapa kemajuan memang tercapai; Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia meningkat dari skor 1,7 (skala 0-10) pada 2000 menjadi 37 (skala 0-100) pada 2024, walaupun korupsi di Indonesia masih tinggi, dan sistem merit mulai diterapkan dalam pengelolaan sumber daya manusia di berbagai instansi, walaupun belum optimal.

Namun, kemajuan ini lebih sering terbatas pada aspek teknis seperti digitalisasi dokumen dan pelatihan layanan pelanggan. Yang belum berubah secara mendasar adalah relasi antara negara dan warga. Pemerintah masih memosisikan diri sebagai pusat segala keputusan; partisipasi masyarakat masih bersifat simbolik.

Padahal, dari ukuran efektivitas pemerintahan Indonesia menurut World Bank tahun 2023, hanya berada di skor 0,58 dalam skala -2,5 hingga +2,5. Ini menunjukkan bahwa kualitas layanan dan kredibilitas kebijakan masih menjadi pekerjaan rumah besar. Birokrasi modern tak cukup hanya mengandalkan teknologi dan sistem merit, tapi yang diperlukan memperbarui logika dasarnya, dari sentralitas kontrol menuju kolaborasi sosial.

Paradigma governance with society sendiri berakar pada pemikiran new public governance, yang bertolak belakang dengan model klasik Weberian bureaucracy. Negara tidak lagi berdiri di atas warga, melainkan menyatu dalam jejaring sosial masyarakat; organisasi sipil, komunitas lokal, perguruan tinggi, bahkan sektor swasta.

Keputusan tidak lagi diambil secara top-down, tetapi dikonstruksikan bersama. Prinsip-prinsip seperti akuntabilitas, partisipasi, transparansi, responsivitas, dan efektivitas menjadi kunci bagi negara-negara yang ingin bergerak menuju tata kelola kolaboratif.

Benih dari pendekatan ini sebenarnya sudah mulai tumbuh di Indonesia, meskipun masih sporadis. Di Surabaya, misalnya, Tri Rismaharini menciptakan e-Musrenbang, platform digital untuk menyerap aspirasi warga dari tingkat kelurahan. Di Bojonegoro, pemerintah daerah membuka data APBD secara real-time dan melibatkan jurnalis desa dalam menyusun rencana pembangunan.

Jakarta mencoba memadukan forum daring dengan musyawarah rencana pembangunan wilayah. Namun semua inovasi itu masih bergantung pada keberanian dan visi individu kepala daerah, belum menjadi sistem yang mengakar secara nasional.

Dalam dunia yang semakin kompleks, negara tidak bisa berjalan sendiri. Ketika banjir menerjang pemukiman urban, misalnya, negara membutuhkan informasi dari komunitas warga tentang aliran air dan sistem drainase. Saat pandemi melanda, negara mengandalkan jaringan RT/RW dan organisasi keagamaan atau organisasi kemasyarakatan untuk menjangkau masyarakat terdampak.

Menghadapi perubahan iklim, kolaborasi dengan ilmuwan, petani, dan pelaku industri menjadi penting. Sayangnya, struktur birokrasi kita masih menutup pintu bagi kolaborasi semacam itu. Nilai integrasi layanan publik dalam Indeks SPBE Nasional 2023 masih di bawah 2,5 dari skala 5, menandakan rendahnya koordinasi antarlembaga dan keterlibatan masyarakat. Laporan Ombudsman RI tahun 2022 bahkan mencatat bahwa 70% aduan publik masih berkaitan dengan lambannya pelayanan dan ketimpangan akses.

Padahal, di banyak tempat, masyarakat sipil justru menunjukkan kapasitas untuk berkontribusi. Di Makassar, komunitas BaKTI membuat platform yang memfasilitasi kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sector swasta untuk mendorong pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

Di Yogyakarta, gerakan Civic-Tech seperti Lapor Sleman dan Open Data Jogja berhasil menggerakkan warga sebagai pengawas aktif anggaran dan pelayanan publik. Di Wonosobo, forum warga desa mengintegrasikan sistem perencanaan berbasis gender dan disabilitas. Gerakan-gerakan ini membuktikan bahwa governance with society bukan utopia. Ia sedang tumbuh, meski perlahan, dan menuntut keberanian negara untuk membuka ruang partisipasi, bukan mencurigainya.

Mewujudkan negara yang melayani tidak cukup dengan mempercantik gedung atau meluncurkan aplikasi layanan. Diperlukan perubahan cara pandang dan relasi kekuasaan. Pemerintah harus berhenti melihat dirinya sebagai satu-satunya aktor dan mulai berperan sebagai enabler—pemberdaya ekosistem kolaboratif.

Harapan memang mulai tampak dalam penyusunan RPJPN 2025–2045 oleh Bappenas, yang menjadikan akuntabilitas kolaboratif, digital governance, dan keterbukaan data sebagai prinsip dasar. Namun semua itu akan menjadi dokumen belaka tanpa komitmen politik yang kuat.
Reformasi birokrasi gelombang kedua tidak boleh berhenti pada pengukuran teknokratik, ia harus bergerak ke arah penguatan etika, integritas, dan relasi antarmanusia. Negara harus bukan hanya canggih, tetapi juga mendengar dan melibatkan. Ia tidak cukup memiliki sistem, tetapi harus membangun kepercayaan.

Negara yang melayani adalah negara yang menyadari bahwa kekuasaan bukanlah hak istimewa, melainkan amanah untuk memenuhi kebutuhan warganya. Di tengah perubahan zaman dan meningkatnya tuntutan publik, pemerintah Indonesia dihadapkan pada pilihan krusial; bertahan dalam kenyamanan benteng birokrasi, atau membuka diri menuju tata kelola yang lebih hidup, partisipatif, dan berkeadilan. Sebab masa depan bukan milik negara yang kuat dan tertutup, melainkan milik negara yang hadir—bersama rakyatnya.

Acara yang lalu

Webinar

Pidato Kebangsaan: “Menggelorakan Elan Pergerakan Jong Indonesia”

Webinar

Jong Indonesia: Yang Muda, Yang Berharkat

Webinar

Learning from Purbaya’s Leadership and Populism

Webinar

Negara yang Melayani, Bukan Menguasai

Webinar

Menunggu Kebangkitan Kaum Terpelajar

Webinar

Menolak jalan pintas, menyongsong jalan kebangkitan

Institut Harkat Negeri
Komplek Kavling Kowilhan I
Blok A3 No. 4,
Jl. Siung,
Setu, Cipayung,
Jakarta Timur 13880
Hotline : 0811 911 2016
Email : sekretariat@ihn.or.id

Institut Harkat Negeri

Institut Harkat Negeri
All rights reserved | 2024