Program
Webinar

Webinar

Acara terdekat

Negara yang Melayani, Bukan Menguasai

Pada tahun 2020, ketika pandemi COVID-19 menyapu Indonesia, pemerintah pusat dan daerah disibukkan oleh keruwetan prosedur administratif. Surat keputusan harus melintasi hirarki kementerian, dana bantuan sosial tertahan di sistem verifikasi berlapis, dan data penerima manfaat tumpang tindih antarinstansi. Di tengah krisis yang menuntut kecepatan dan empati, negara justru tampil lamban dan prosedural.

Bagi banyak warga, negara bukan hadir untuk melayani, melainkan sibuk menata dirinya sendiri. Fenomena ini mengungkapkan satu kenyataan yang terlalu lama dibiarkan, yaitu Indonesia masih mengandalkan paradigma rule by bureaucracy—sebuah model tata kelola yang berakar pada dominasi hirarki, dokumen, dan prosedur ketat, yang terkadang justru menghalangi pelayanan publik yang tanggap dan manusiawi.

Namun dunia berubah, dan begitu pula ekspektasi masyarakat terhadap negara. Muncullah sebuah tuntutan baru governance with society—sebuah paradigma yang menempatkan negara sebagai mitra warga, bukan penguasa birokrasi. Ini bukan sekadar slogan reformasi, melainkan pergeseran mendalam dalam cara berpikir, cara bertindak, dan cara melibatkan masyarakat dalam roda pemerintahan.

Sejak era Reformasi, Indonesia telah menegaskan komitmen untuk memperbaiki birokrasi melalui Grand Design Reformasi Birokrasi 2010–2025. Beberapa kemajuan memang tercapai; Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia meningkat dari skor 1,7 (skala 0-10) pada 2000 menjadi 37 (skala 0-100) pada 2024, walaupun korupsi di Indonesia masih tinggi, dan sistem merit mulai diterapkan dalam pengelolaan sumber daya manusia di berbagai instansi, walaupun belum optimal.

Namun, kemajuan ini lebih sering terbatas pada aspek teknis seperti digitalisasi dokumen dan pelatihan layanan pelanggan. Yang belum berubah secara mendasar adalah relasi antara negara dan warga. Pemerintah masih memosisikan diri sebagai pusat segala keputusan; partisipasi masyarakat masih bersifat simbolik.

Padahal, dari ukuran efektivitas pemerintahan Indonesia menurut World Bank tahun 2023, hanya berada di skor 0,58 dalam skala -2,5 hingga +2,5. Ini menunjukkan bahwa kualitas layanan dan kredibilitas kebijakan masih menjadi pekerjaan rumah besar. Birokrasi modern tak cukup hanya mengandalkan teknologi dan sistem merit, tapi yang diperlukan memperbarui logika dasarnya, dari sentralitas kontrol menuju kolaborasi sosial.

Paradigma governance with society sendiri berakar pada pemikiran new public governance, yang bertolak belakang dengan model klasik Weberian bureaucracy. Negara tidak lagi berdiri di atas warga, melainkan menyatu dalam jejaring sosial masyarakat; organisasi sipil, komunitas lokal, perguruan tinggi, bahkan sektor swasta.

Keputusan tidak lagi diambil secara top-down, tetapi dikonstruksikan bersama. Prinsip-prinsip seperti akuntabilitas, partisipasi, transparansi, responsivitas, dan efektivitas menjadi kunci bagi negara-negara yang ingin bergerak menuju tata kelola kolaboratif.

Benih dari pendekatan ini sebenarnya sudah mulai tumbuh di Indonesia, meskipun masih sporadis. Di Surabaya, misalnya, Tri Rismaharini menciptakan e-Musrenbang, platform digital untuk menyerap aspirasi warga dari tingkat kelurahan. Di Bojonegoro, pemerintah daerah membuka data APBD secara real-time dan melibatkan jurnalis desa dalam menyusun rencana pembangunan.

Jakarta mencoba memadukan forum daring dengan musyawarah rencana pembangunan wilayah. Namun semua inovasi itu masih bergantung pada keberanian dan visi individu kepala daerah, belum menjadi sistem yang mengakar secara nasional.

Dalam dunia yang semakin kompleks, negara tidak bisa berjalan sendiri. Ketika banjir menerjang pemukiman urban, misalnya, negara membutuhkan informasi dari komunitas warga tentang aliran air dan sistem drainase. Saat pandemi melanda, negara mengandalkan jaringan RT/RW dan organisasi keagamaan atau organisasi kemasyarakatan untuk menjangkau masyarakat terdampak.

Menghadapi perubahan iklim, kolaborasi dengan ilmuwan, petani, dan pelaku industri menjadi penting. Sayangnya, struktur birokrasi kita masih menutup pintu bagi kolaborasi semacam itu. Nilai integrasi layanan publik dalam Indeks SPBE Nasional 2023 masih di bawah 2,5 dari skala 5, menandakan rendahnya koordinasi antarlembaga dan keterlibatan masyarakat. Laporan Ombudsman RI tahun 2022 bahkan mencatat bahwa 70% aduan publik masih berkaitan dengan lambannya pelayanan dan ketimpangan akses.

Padahal, di banyak tempat, masyarakat sipil justru menunjukkan kapasitas untuk berkontribusi. Di Makassar, komunitas BaKTI membuat platform yang memfasilitasi kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sector swasta untuk mendorong pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

Di Yogyakarta, gerakan Civic-Tech seperti Lapor Sleman dan Open Data Jogja berhasil menggerakkan warga sebagai pengawas aktif anggaran dan pelayanan publik. Di Wonosobo, forum warga desa mengintegrasikan sistem perencanaan berbasis gender dan disabilitas. Gerakan-gerakan ini membuktikan bahwa governance with society bukan utopia. Ia sedang tumbuh, meski perlahan, dan menuntut keberanian negara untuk membuka ruang partisipasi, bukan mencurigainya.

Mewujudkan negara yang melayani tidak cukup dengan mempercantik gedung atau meluncurkan aplikasi layanan. Diperlukan perubahan cara pandang dan relasi kekuasaan. Pemerintah harus berhenti melihat dirinya sebagai satu-satunya aktor dan mulai berperan sebagai enabler—pemberdaya ekosistem kolaboratif.

Harapan memang mulai tampak dalam penyusunan RPJPN 2025–2045 oleh Bappenas, yang menjadikan akuntabilitas kolaboratif, digital governance, dan keterbukaan data sebagai prinsip dasar. Namun semua itu akan menjadi dokumen belaka tanpa komitmen politik yang kuat.
Reformasi birokrasi gelombang kedua tidak boleh berhenti pada pengukuran teknokratik, ia harus bergerak ke arah penguatan etika, integritas, dan relasi antarmanusia. Negara harus bukan hanya canggih, tetapi juga mendengar dan melibatkan. Ia tidak cukup memiliki sistem, tetapi harus membangun kepercayaan.

Negara yang melayani adalah negara yang menyadari bahwa kekuasaan bukanlah hak istimewa, melainkan amanah untuk memenuhi kebutuhan warganya. Di tengah perubahan zaman dan meningkatnya tuntutan publik, pemerintah Indonesia dihadapkan pada pilihan krusial; bertahan dalam kenyamanan benteng birokrasi, atau membuka diri menuju tata kelola yang lebih hidup, partisipatif, dan berkeadilan. Sebab masa depan bukan milik negara yang kuat dan tertutup, melainkan milik negara yang hadir—bersama rakyatnya.

Menunggu Kebangkitan Kaum Terpelajar

Dewasa ini menyeruak kecemasan akan lunturnya daya kritis dan keberanian dalam mengoreksi keadaan, termasuk dari kalangan kaum intelektual, motor perubahan.

Dalam pidatonya pada Hari Alumni Universitas Indonesia yang pertama, 11 Juni 1957, Dr. Mohammad Hatta, Wakil Presiden RI 1945-1957, mengingatkan bahwa krisis kepercayaan terhadap pimpinan negara yang dihadapi oleh bangsa Indonesia kala itu tidak dapat diatasi dengan mengganti demokrasi dengan diktator. Malahan pergantian itu akan menimbulkan keadaan yang lebih buruk, akan menghilangkan kepercayaan sama sekali.

"Obatnya hanya satu: memberikan kepada negara, pimpinan yang dipercayai oleh rakyat!”

Dalam alinea yang sama, Hatta melanjutkan: “Oleh karena krisis ini merupakan pula krisis demokrasi, maka perlulah hidup berpolitik diperbaiki, partai-partai mengindahkan dasar-dasar moral dalam segala tindakannya. Korupsi harus diberantas sampai pada akar-akarnya, dengan tiada memandang bulu. Jika tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan. Demoralisasi yang mulai menjadi penyakit masyarakat diusahakan hilangnya berangsur-angsur dengan tindakan yang positif, yang memberi harapan pada perbaikan nasib”.

Keadaan yang dilukiskan dalam pidato Bung Hatta 68 tahun lalu, sekilas seperti mewakili suasana batin (sebagian) masyarakat kita dewasa ini: ada krisis kepercayaan, ada krisis demokrasi, ada korupsi yang gila-gilaan, dan ada demoralisasi. Itulah kekuatan pikiran seorang intelektual atau cendekiawan. Mereka memiliki kemampuan memahami keadaan secara luas dan dalam. Dan karenanya pikiran mereka tetap relevan, melampaui usia, bahkan usia generasi keturunannya.

Kaum Intelegensia dan Pergerakan

Pada umumnya cendekiawan atau intelektual diartikan sebagai orang-orang yang memiliki keahlian dan pengetahuan mendalam pada suatu bidang, berpikir kritis dan analitis, serta peduli terhadap kemaslahatan orang banyak. Mereka juga orang-orang yang terlibat dalam berbagai penelitian atau penelaahan, untuk menelurkan pengetahuan dan cara-cara baru. Intelektual atau cendekiawan terus menerus melakukan refleksi atas fenomena sekitarnya, dan mengajukan berbagai gagasan sebagai solusi atas masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh Bung Hatta, orang-orang seperti ini disebut sebagai kaum intelegensia.

Di Indonesia, munculnya golongan terpelajar ini terjadi pada awal abad ke-20 yang melahirkan gerakan Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1908. Dilandasi oleh kesadaran akan keterbelakangan bangsanya, golongan terpelajar mulai bangkit menjadi kekuatan sosial baru, berjuang untuk menuntut kesejahteraan dan kemerdekaan nasional.

Kemunculan mereka dipicu oleh Politik Etis (1901), ketika pemerintah kolonial mulai memberi kesempatan pada anak-anak Boemi Poetra untuk memperoleh pendidikan. Seiring waktu, golongan terpelajar mampu menumbuhkan kesadaran nasional. Melalui berbagai kegiatan diskusi sosial-politik, mereka melontarkan kritik-kritik atas kebijakan kolonial yang merugikan rakyat banyak, dan secara organik mulai membentuk organisasi-organisasi pergerakan menentang diskriminasi dan penindasan.

Menariknya, kaum terpelajar dengan latar belakang lingkungan kolonial Belanda juga banyak yang bergabung dalam gerakan ini. Pelan tapi pasti, gerakan kaum intelegensia ini mampu menyebarluaskan gagasan dan semangat pergerakan kemerdekaan.

Semenjak itu, semua milestone penting perkembangan kehidupan bangsa kita, seperti Soempah Pemoeda (1928), Proklamasi Kemerdekaan (1945), Revolusi Politik (1966), hingga reformasi (1998) selalu diwarnai oleh tindak kepeloporan kaum intelektual. Polanya kurang lebih sama: membaca keadaan secara kritis, menyebarluaskan pemikiran, mengoreksi penyimpangan, memperjuangkan keadilan, membela hak asasi manusia, dan menentang penindasan.

Pola tindak tanduk inilah yang oleh Chomsky (1967) dirumuskan dengan lugas: “It is the responsibility of intellectuals to speak the truth and to expose lies.” Karena itu, dalam sejarah, kaum intelegensia yang setia pada nilai-nilai luhur sering kali harus menerima perlakuan buruk: ditekan, dimarjinalkan, ditindas, bahkan dipenjarakan.

Warga Makin Berdaya, Tata Kelola Memburuk?

Menyongsong 80 tahun merdeka, sesungguhnya capaian Indonesia tidaklah buruk, bahkan harus kita syukuri. Kualitas hidup warga rerata terus mengalami peningkatan. Angka Harapan Hidup (AHH) warga selama 20 tahun terakhir, meningkat dari 65,8 tahun (2004) menjadi 73,93 tahun (2023).

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terus naik dari 66,53 (2010) menjadi 74,20 (2024). Index Human Capital (IHC) juga meningkat dari 0,53 (2018) menjadi 0,54 (2020). Secara ekonomi, dalam dua dekade GDP per kapita naik lima kali lipat, dari 830,58 USD (2000) menjadi 4.8761,31 USD (2023). Tentu saja dengan catatan kaki, kita masih punya PR besar untuk mengatasi ketimpangan yang kian menganga.

Di bidang pendidikan, kita mengalami kemajuan bersama. Wajib belajar telah dinikmati hampir seluruh warga. Di awal kemerdekaan 97% bangsa kita buta huruf, kini hampir 100% warga sudah mengenyam pendidikan dasar. Dewasa ini sekitar 19 juta warga telah menikmati pendidikan tinggi, memang masih terlalu sedikit dibanding jumlah penduduk kita, tetapi tetap merupakan capaian penting.

Indonesia saat ini memiliki lebih dari 77.000 doktor, dan tak kurang 8.000 guru besar. 50 ribu sarjana telah mendapatkan beasiswa dari LPDP, lebih dari 150 ribu warga negara telah menerima beasiswa dari negara-negara sahabat seperti Australia, Jepang, Amerika Serikat, Singapura, Kerajaan Inggris dan negara sahabat lainnya.

Fakta di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya rakyat kita makin berdaya. Mereka makin sehat, makin cerdas, dan makin memiliki kapasitas untuk mengurus dirinya sendiri. Fakta bahwa ratusan ribu warga negara telah menyelesaikan pendidikan tingginya di berbagai negara maju, menunjukkan bahwa semakin banyak warga yang memiliki wawasan global dan layak menjadi warga dunia.

Lebih dari itu, dalam hal partisipasi mengurus negara, Penerimaan dalam negeri sampai dengan 31 Desember 2024 mencapai Rp 2.511 triliun, atau 75,7 % dari total APBN. Ini berarti, sebagian besar biaya bernegara dipikul oleh warganya. Jika ditarik garis sejarah jauh ke belakang, adalah berkat jasa-jasa para perintis negara, yang telah berjuang sejak masa kebangkitan nasional 1908, kita sampai di titik ini.

Bagi generasi masa depan, perjalanan panjang bangsa ini akan menjadi modal besar, bila dikelola dengan mengedepankan prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan, menjunjung tinggi tata kelola yang baik, menempatkan etika dan moral sebagai panduan utama.

Sayangnya, capaian-capaian di atas seperti bertabrakan dengan kemerosotan cara mengurus negara, atau tata kelola dalam sepuluh tahun terakhir. Meskipun hampir seluruh biaya bernegara diletakkan di pundak warganya, kualitas demokrasi kita bukannya membaik, tetapi malah memburuk.

Sejak EIU mengenalkan Indeks Demokrasi pada 2006, demokrasi kita tetap masuk kategori demokrasi cacat (flawed democracy), dengan skor 6,44 (2024). Indikator lain adalah Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang sejak reformasi terus naik sampai dengan dengan skor tertinggi di angka 40 (2019), kini berada di titik balik, yaitu skor 34 (2023).

Begitupun dalam bidang politik, hak asasi manusia, dan penegakan hukum, survei-survei persepsi publik menempatkan lembaga politik dan lembaga penegak hukum pada posisi yang paling tidak dipercaya publik. Indeks kerawanan bernegara kita berada dalam posisi “warning”, alias harus diwaspadai. Tampak jelas kecenderungan yang kontradiktif: sementara rakyatnya semakin berdaya, tetapi cara mengurus negara (tata kelola) justeru semakin memburuk.

Bagaimana dengan keadaan perekonomian kita?

“Pasar” adalah pelaku paling rasional, yang tak bisa ditekan dan dipaksa-paksa untuk bersikap. Harus diterima kenyataan bahwa sikap pasar mencerminkan keadaan ekonomi kita yang rawan, baik dari sisi fiskal maupun moneter, baik aspek makro maupun mikro. Dalam enam bulan terakhir, IHSG mengalami koreksi hingga 20%, sementara kurs rupiah terus melemah, mendekati situasi menjelang krisis 1998.

Pada tataran mikro, sejumlah industri mengalami tekanan, sebagian harus menutup atau merampingkan bisnisnya, yang berakibat pada PHK besar-besaran. Ada konsensus di antara pelaku pasar bahwa ekonomi kita mengalami apa yang disebut trust issue. Terlalu banyak praktik perburuan rente dan praktik conflict of interest antara pengambil kebijakan dengan pelaku bisnis, yang mewarnai perekonomian Indonesia.

Saya sepakat dengan pandangan bahwa akar dari segala soal adalah penyakit kronis bernama Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), yang menjelang reformasi 1998 nyaris menghancurkan Indonesia. Mengapa demikian? Sebab korupsi telah menyuburkan kebiasaan mencuri, mengambil yang bukan haknya, sikap manipulatif, dan tindakan curang. Kolusi telah menerobos pagar kontrol, melumpuhkan fungsi check and balance, dan menyuburkan praktik “pagar makan tanaman”. Sementara itu, praktik nepotisme telah menempatkan kekerabatan sebagai pembuka jalan dan kesempatan; seraya meminggirkan prinsip-prinsip luhur bernama meritokrasi, kompetisi, integritas, prestasi, dan kreativitas. Bayangkan, betapa besarnya kerusakan yang ditimbulkan, bila KKN saling memperkuat sebagai warna dan tata cara kita bernegara.

Tapi inilah yang sedang berlangsung. Kenyataan yang di depan mata memang menunjukkan bahwa sendi-sendi keluhuran tidak lagi menjadi pegangan utama. Kekuasaan dan politik tidak lagi tampak dihadirkan sebagai jalan untuk melayani dan memajukan warga. Politik dan kekuasaan telah dikonversi menjadi jalan untuk memupuk kekuatan ekonomi; politik yang mahal membuat hanya yang kuat secara ekonomi yang bisa masuk ke gelanggang kompetisi. Jadilah lingkaran setan, yang lahirkan nepotisme, sirkulasi kekuasaan hanya berlangusng di antara “siapanya siapa”: anak, isteri, keponakan, mantu, adik, kakak, ipar, bahkan sudah ada yang mempersiapkan cucu.

Jangan-jangan frasa: “Atas berkat rahmat Allah SWT, dan dengan didorong oleh keinginan luhur….dst”, tidak lagi mewarnai praktik-praktik kenegaraan kita. Lantas harus mulai dari mana?

Kebangkitan Kaum Terpelajar

Menghadapi begitu banyak kerumitan dan tantangan di hari-hari ini dan ke depan, kita menunggu kaum intelegensia, para cendekiawan untuk kembali pada tanggung jawab asasinya. Tidak peduli di mana mereka berperan, bisa di dalam atau di luar kekuasaan, baik di sektor publik, korporasi, atau di kampus-kampus, maupun di pergerakan sosial-politik; harus ada spirit bahu membahu mengoreksi segala sesuatu yang menyimpang. Dengan itu, kita menaruh harapan agar mereka mampu membawa jalannya negara, kembali ke relnya, kembali kepada maksud didirikannya.

Soedjatmoko (1985) pernah mengingatkan agar kaum intelektual atau para cendekiawan terlibat langsung dalam proses pembangunan bangsa, tidak hanya berdiri (di pinggir lapangan) sebagai pengamat. Dengan demikian tulisnya: “…intelektual (harus) berperan penting sebagai agen perubahan yang menyatukan pemikiran, moralitas, dan tindakan demi kemajuan masyarakat.”

Harus diakui, pada dewasa ini, mulai menyeruak kecemasan akan lunturnya daya kritis dan keberanian dalam mengoreksi keadaan. Cendekiawan Dr. Sukidi (2024) menyoroti secara tajam fenomena ini, “Hari-hari ini keberanian itu tidak dimiliki kaum intelektual, dan intelektual justru menjadi penyokong dari kekuasaan yang sangat tirani,” ucap Sukidi dalam suatu kesempatan.

Tak dapat dimungkiri, banyak di antara intelektual kita baik yang masuk ke dalam kekuasaan maupun berada di jalur independen sempat mengalami tekanan. Di lain pihak, usaha-usaha melumpuhkan daya kritis dari kaum terpelajar terus berlangsung dengan berbagai bentuk iming-iming. Banyak di antara mereka yang terpaksa mengungsi ke “dunia maya”, meninggalkan gelanggang perjuangan di dunia nyata. Karena itu kita harus berusaha memanggil pulang mereka, kembali pada tugas dan tanggung jawab utamanya. Sudah waktunya para intelektual menata pikiran dan agenda bersama untuk meneguhkan perannya sebagaimana ditekankan oleh Chomsky: to speak the truth and to expose lies (menyuarakan kebenaran dan membongkar kebusukan).

Hari-hari ini, kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional ke-117. Lebih dari seabad yang lalu, ketika bangsa Indonesia belum lagi terbentuk, kemiskinan dan keterbelakangan menjadi keseharian kita, ketika hidup kaum Boemi Poetera masih dalam kungkungan kolonial, sejumlah kaum terpelajar bangkit menggelorakan pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan yang membuahkan kemerdekaan, setelah 37 tahun lamanya.

Patut kiranya direnungkan, bila golongan terpelajar di era perjuangan kemerdekaan, produk Politik Etis kolonial, berani bersikap, maka para cendekiawan yang lahir dari rahim bangsa merdeka semestinya punya tekad dan keberanian yang lebih kuat dalam menyikapi keadaan.

Suatu agenda besar mungkin sudah waktunya disusun oleh para cendekiawan, kaum cerdik pandai buah investasi berpuluh tahun lamanya, untuk mendorong proses lahirnya kepemimpinan yang tepercaya. Kita memerlukan kepemimpinan yang menjunjung tinggi prinsip integritas, kompetensi, meritokrasi, yang jauh dari praktik-praktik conflict of interest. Kita mendambakan kepemimpinan yang disusun “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan didorongkan oleh keinginan luhur”.

Tanpa keduanya, mungkin negeri ini akan semakin jauh tersesat, suatu keadaan yang tidak kita inginkan bersama.

*Penulis adalah Ketua Institut Harkat Negeri.

Menolak jalan pintas, menyongsong jalan kebangkitan

Jakarta (ANTARA) - Bagi pecinta novel pasti ingat sejumlah karya best seller, yang mewarnai khasanah sastra kita. Karya-karya yang laris (sebagian telah diangkat menjadi film yang juga laris) ternyata memiliki benang merah yang sama: perjuangan menembus keterbatasan demi meraih mimpi.

Di antara karya-karya penting, misalnya tetralogi Laskar Pelangi, trilogi Negeri 5 Menara, 9 Summers 10 Autumns, dan Mimpi Sejuta Dolar. Popularitas keempat novel ini tidak lepas dari kemampuan para penulisnya membangkitkan harapan dan semangat, bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk maju, melainkan pijakan awal untuk melompat lebih tinggi.

Laskar Pelangi karya Andrea Hirata mengisahkan perjuangan anak-anak miskin di Belitong yang menuntut ilmu dengan segala keterbatasan fasilitas dan ekonomi, namun tetap memelihara mimpi-mimpi besar. Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi merekam perjalanan sekelompok santri di pondok pesantren modern yang bermimpi menaklukkan dunia, berangkat dari prinsip “man jadda wajada”, siapa yang bersungguh-sungguh, pasti berhasil.

9 Summers 10 Autumns adalah memoar Iwan Setyawan, anak sopir angkot dari Batu, Malang, yang dengan kerja keras dan pendidikan, berhasil menjadi salah satu Direktur di Nielsen Consumer Research, New York. Sementara Mimpi Sejuta Dolar adalah kisah nyata Merry Riana yang terpaksa merantau ke Singapura saat krisis moneter 1998, bertahan hidup dengan sisa uang pas-pasan, hingga sukses menjadi pengusaha dan motivator kelas Asia.

Aslinya bangsa pejuang

Benang merah dari semua kisah ini adalah bahwa mimpi besar, ketekunan, kerja keras, sikap pantang menyerah, tegar menghadapi kesulitan, dan sportif untuk berkompetisi, terbukti membawa banyak orang menembus batas sosial, ekonomi, bahkan geografis.

Dan mungkin itulah sebabnya cerita-cerita seperti ini begitu digemari di Indonesia, karena ia mencerminkan kenyataan hidup jutaan orang yang berjuang naik kelas, dan menjadi inspirasi bahwa harapan selalu ada bagi mereka yang mau berproses. Artinya, sesungguhnya tata nilai masyarakat kita memang menghargai nilai-nilai perjuangan sebagaimana diceritakan dalam novel yang laris itu.

Kisah perjuangan menembus keterbatasan untuk meraih mimpi tidak hanya hadir dalam novel. Beberapa waktu lalu, saya menyaksikannya sendiri. Di Desa Jatimakmur, Kecamatan Songgo, Kabupaten Brebes, bertemu Maulida Azzahra, anak seorang petani bernama Pak Saepudin.

Zahra diterima di empat universitas top dunia dan memilih melanjutkan studi ke New York University. Hal yang mengejutkan, bukan hanya Zahra yang berprestasi. Kakaknya, Khaidar Khamzah, pada tahun 2023 diterima di 13 universitas terbaik di Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada; dan akhirnya lulus dari University of Toronto, Kanada.

Mereka tumbuh dalam keluarga sederhana, ayah mereka seorang petani, Ibunya Bu Khotimah lulusan madrasah tsnanawiyah. Tentu saja, meraih pendidikan terbaik dari kampus kelas dunia tidak ada dalam jangkauan mereka. Jangankan kuliah di luar negeri, meneruskan pendidikan sampai SMA saja sudah merupakan perjuangan luar biasa.

Namun di tengah segala keterbatasan, Zahra dan Khamzah membuktikan bahwa dengan tekad, kerja keras, dan kompetisi, ternyata mereka bisa menjangkau cakrawala dunia.

Selain keluarga Pak Saepudin, saya juga pernah bertemu dengan Angga Fauzan, CEO MySkill, salah satu platform edutech yang berkembang pesat di Indonesia. Angga berasal dari keluarga kurang mampu. Dahulu orang tuanya berjualan ayam goreng di Pasar Kramat Jati untuk menopang hidup keluarga. Digusur dari keramaian ibu kota, mereka harus pulang ke kampung halaman di Boyolali dan tinggal di bekas kandang kambing.

Namun keterbatasan tidak mematahkan semangatnya. Fauzan belajar keras hingga diterima di Institut Teknologi Bandung (ITB). Dari sana, wawasannya terbuka luas, dan ia berhasil meraih beasiswa ke University of Edinburgh, Skotlandia.

Sepulangnya ke Tanah Air, Angga bekerja di sejumlah startup sebelum akhirnya mendirikan MySkill dan mendapatkan investasi dari East Ventures. Lewat perusahaannya, Angga ingin membantu lebih banyak pemuda dari latar belakang serupa. “Saya ingin menolong lebih banyak Angga-Angga lainnya agar bisa meraih mimpinya,” ujarnya.

Prestasi zonder previlese

Kisah-kisah ini menyuarakan satu hikmah penting: proses adalah hukum alam yang tidak bisa dihindari. Sebaliknya, metode jalan pintas terbukti sering membawa musibah. Cara jalan pintas, menerobos tahapan normal bukan saja mencederai nilai-nilai kejuangan, tetapi juga membawa risiko urusan-urusan penting ditangani oleh pribadi yang tidak memiliki kapasitas memadai. Bila kita buka mata dan buka hati, kisah-kisah perjuangan juga dialami oleh putra-putri para pemimpin bangsa kita sejak dahulu.

Megawati Soekarnoputri, putri Presiden Pertama RI, mengalami masa sulit, setelah ayahnya dilengserkan pada 1966. Cukup lama, ia dan keluarganya dipinggirkan secara politik. Megawati baru masuk DPR pada 1987, lalu didepak dari PDI versi pemerintah, dan harus melalui peristiwa Kudatuli 1996 yang tragis.

Butuh puluhan tahun hingga akhirnya ia dipercaya memimpin bangsa sebagai Presiden kelima RI. Putrinya, Puan Maharani, pun meniti jalan panjang. Ia memulai kariernya sebagai wartawan magang di Majalah Forum Keadilan, dan baru setelah bertahun-tahun aktif di PDIP, memimpin fraksi, masuk ke eksekutif menjadi menteri koordinator, hingga kemudian dipercaya menjadi Ketua DPR perempuan pertama dalam sejarah Indonesia.

Putri-putri dari Bung Hatta, Meutia Farida Hatta, Halida Nuriah Hatta, dan Gemala Rabi’ah Hatta, tidak satupun mendapat perlakuan istimewa dari ayahnya. Mereka tumbuh besar melalui jalan perjuangannya sendiri. Ada yang menjadi akademisi, ada yang menempuh jalan sebagai profesional. Kalaupun belakangan ada yang mendapat amanah menjadi menteri, itu karena prestasi yang bersangkutan, pun waktu pengangkatannya baru terjadi jauh setelah ayahnya berpulang.

Putri-putri Gus Dur, Alissa, Yenny, Inayah, dan Anita Wahid, menunjukkan bahwa menjadi anak presiden bukan alasan untuk menghindari proses. Alissa membangun Jaringan Gusdurian untuk memajukan toleransi dan keadilan sosial; Yenny memulai sebagai jurnalis perang di Timor Timur hingga Aceh sebelum memimpin Wahid Foundation; Inayah menempuh jalur seni dan budaya sambil vokal menyuarakan keberagaman; sementara Anisa fokus pada literasi digital dan gerakan anti-hoaks. Keempatnya membuktikan bahwa kontribusi bermakna lahir dari kerja keras dan dedikasi, bukan warisan nama besar.

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), putra Presiden keenam RI, juga ditempa dalam proses panjang. Menjadi lulusan terbaik di SMA Taruna Nusantara, lalu masuk Akademi Militer dan meraih Adhi Makayasa. Pendidikannya di luar negeri diselesaikan dengan track record yang jelas, di kampus-kampus ternama dunia.

Ia bertugas di berbagai misi internasional sebelum memutuskan meninggalkan karirnya dari dunia militer untuk terjun ke dunia politik. AHY pun memulai dari bawah, gagal berkompetisi sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta, ditugasi memimpin suatu gugus tugas (Kogasma) Partai Demokrat, dan baru setelah melewati berbagai ujian dipercaya memimpin partai.

Di dunia bisnis, sejumlah pengusaha besar mendidik anak-anaknya dengan kerja keras dan prinsip meritokrasi. Para pengusaha yang serius melakukan regenerasi pada umumnya menempuh pola yang sama, dikirim ke sekolah terbaik, didorong untuk magang atau bekerja di luar negeri, setelah cukup pengalaman dan kematangan baru secara bertahap dilibatkan dalam mengurus bisnis orang tuanya.

Tidak ada proses yang melompat, tidak ada jalan pintas, meski bisnis yang diurus adalah milik orang tuanya sendiri.

Menolak jalan pintas

Semua kisah ini menunjukkan bahwa tidak ada keunggulan tanpa perjuangan, dan tidak ada perjuangan tanpa proses. Begitu pula putaran sejarah bangsa Indonesia. Gerakan kebangkitan nasional (1908), Soempah Pemoeda (1928), Proklamasi Kemerdekaan (1945), hingga revolusi (1966) dan Reformasi (1998), kesemuanya adalah buah dari perjuangan yang melalui proses panjang. Namun sayangnya, hari ini, jalan pintas dan praktik nepotisme tampaknya tengah menggerogoti resiliensi bangsa kita. Karena itu harus ditolak dan dilawan.

Di Hari Kebangkitan Nasional ini, penting bagi kita untuk meyakini, bahwa bangsa ini akan terus berderap maju jika menghargai proses, menolak jalan pintas, dan memberi tempat bagi mereka yang berjuang berdasarkan kapasitas.

Ketika kebiasaan menerobos aturan dibiarkan dan meritokrasi digantikan oleh nepotisme, maka keadilan dan kualitas akan ikut terkubur.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang percaya pada keringat, bukan pada garis keturunan. Mari rawat keyakinan bahwa proses tidak pernah mengkhianati hasil. Dan mereka yang membajak proses, cepat atau lambat, akan tertinggal oleh sejarah.

*) Sudirman Said adalah Ketua Institut Harkat Negeri

Copyright © ANTARA 2025

Menyikapi Ketidakpastian dengan “Ambidexterity”

Semua pasti kenal Albert Einstein dan Leonardo Da Vinci. Dua orang jenius ini memiliki keterampilan ambidextrous. Apa maknanya? Sir Thomas Browne (1646), seorang dokter yang juga penulis, berkebangsaan Inggris mendefinisikan istilah ambidexterity dengan, “orang-orang yang kedua sisi indranya dapat berfungsi sama baiknya”.

Ia menggabungkan dua kata, yaitu “dexter” yang berarti cekatan atau terampil, dengan prefix latin “ambi”, yang berarti keduanya. Secara sederhana dapat dimaknai manusia ambidextrous adalah mereka yang mampu menggunakan kedua sisi indranya (kiri dan kanan), sama terampil dan cekatannya.
Mengapa manusia ambi-dexter istimewa? Karena kebanyakan dari kita memiliki kebiasaan dan kemampuan menggunakan tangan dan kaki kanan saja, atau kiri saja (bagi yang kidal) untuk menjalankan kehidupan sehari-hari: makan, minum, menulis, menendang bola, sikat gigi, mengangkat beban, dan mengerjakan tugas sehari-hari. Manusia ambidexter terbilang langka, dari 100 orang di sekeliling kita, hanya ada 1 orang yang memiliki keterampilan ambidexter. Dua tokoh dunia yang kita kenal, yang memiliki keterampilan ambidestrous adalah Einstein dan Da Vinci.
"Einstein dapat menulis sama baiknya, dengan tangan kiri maupun kanannya. Tangan kirinya juga mahir memainkan biola. Demikian pula Da Vinci, jejak sejarahnya mengatakan ia melukis dengan kedua tangannya, baik kanan maupun kiri."
Apakah ambidexterity bisa dilatih? Ternyata bisa. Leonardo Da Vinci terlahir kidal, tetapi sejak kecil dilatih untuk menulis dengan tangan kanannya. Ketika dewasa kedua tangannya memiliki kemampuan yang relatif sama baiknya. Sekarang banyak orang yang berusaha melatih dirinya menjadi ambidextrous, baik dengan motif jaga-jaga maupun memperbanyak instrumen untuk menjalankan hidup, sebagai bagian dari life skills development. Sejumlah saran untuk melatih ambidexterity misalnya dengan menulis, menggambar, menyikat gigi, mengangkat beban, berolahraga, dan lain sebagainya.
*****

Ilustrasi dosen Pria. Foto: Shutter Stock

Cerita di atas adalah makna teknis dari ambidexterity. Bisakan kita memaknai kapasitas semacam itu dengan lebih luas, lebih filosofis? Bila diterjemahkan lebih luas, maka sikap ambidextrous adalah kesiapan untuk melengkapi diri dengan sebanyak mungkin keterampilan, dengan mengoptimalkan kemampuan tak sekadar fisik kita, tetapi juga mental model, dan kemampuan otak kita. Filosofi ambidextrous juga bisa dimaknai dengan kesiapan untuk menjalani berbagai peran dan tugas, dalam ketidakpastian; dalam suasana terbaik, maupun dalam keadaan terburuk sekalipun.

Bila bukan pejabat struktural, ia bisa jadi spesialis. Bila tak ada kesempatan jadi spesialis, turun pangkat pun siap, tak harus merasa turun martabat. Bila tak ada kerja kantoran, bisa juga menjalankan usaha kecil-kecilan. Sebagai praktisi, ia juga terampil menjadi pembicara dan pendidik, pun antusias untuk menjadi penulis dan story teller.

Jadi kasir, jadi penjaga gudang, petugas ekspedisi, sampai menjadi pengemudi, oka-oke saja. Sebaliknya, orang-orang ambidextrous juga Bersiap untuk menangani peran-peran baru yang lebih penting: dipromosikan, dipindahtugaskan, atau diberi tantangan mengerjakan hal-hal jauh lebih besar.
Manusia ambidextrous, dengan demikian, adalah orang-orang yang tak kenal menyerah, bila gagal di satu urusan atau usaha, mereka akan terus berikhtiar dengan usaha lainnya. Atau meneruskan usaha atau urusan yang sama tetapi dengan cara yang berbeda. Mereka akan terus mencoba hal-hal baru, cara-cara baru, pendekatan baru, mitra baru, bahkan menata horizon dan tujuan baru bila diperlukan.
"Dapatlah dikatakan, manusia ambidextrous adalah manusia yang terus melengkapi diri dengan segala keterampilan: memimpin dan dipimpin, keterampilan teknis dan manajerial, berbicara dan menulis, belajar dan mengajar, menjadi karyawan dan menjalankan bisnis, hingga menjadi penggerak organisasi sosial kemasyarakatan.
Mereka adalah manusia pembelajar, long live learners. Mereka tak membatasi pembelajaran hanya pada ilmu dan keterampilan yang berhubungan erat dengan bidang kerjanya, tetapi terus menerobos batas-batas disiplin ilmu asal-usulnya. Mereka adalah orang-orang yang Bersiap menjadi: “spesialis-generalis”: punya skills tertentu, tetapi siap untuk mengerjakan apa saja.
******

Ilustrasi bekerja. Foto: Shutter Stock

Nah, dunia (Indonesia di dalamnya) sedang dan akan terus menghadapi ketidakpastian. Bila dikerucutkan ke dunia kerja, segala sesuatu bisa terjadi dengan tiba-tiba. Instansi pemerintah berubah bentuk atau tupoksi, bisa memicu mutasi besar-besaran. Perusahaan merger, ekspansi, atau bangkrut, membawa dampak PHK atau bisa juga membuka peluang promosi, dan keharusan mutasi bagi banyak orang.

 

Perang dagang dan dinamika geopolitik memancing ketegangan, dan perubahan orientasi ekonomi banyak negara, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada lapangan kerja. Kecenderungan pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) yang akan makin masif, akan membawa perubahan signifikan dalam dunia profesi dan kesempatan kerja.

 

Bila kita menyikapi semua gejala di atas dengan cara konvensional: menunggu penugasan, terpaku pada disiplin ilmu, mengandalkan pengalaman masa lalu, bertumpu pada jejaring konvensional; sudah pasti hidup kita sebagai professional ada dalam ancaman besar. Sebaliknya, bila kita menyongsong ketidakpastian dengan sikap dan filosofi “ambidextrous”: serba siap, fleksibel, menyukai hal-hal baru, terus menjadi pembelajar, maka yang di depan mata adalah suatu excitement.
"Bagi manusia ambidextrous, ketidakpastian adalah sumber gairah baru, karena di dalamnya ada kesempatan besar untuk belajar, bergelut, dan hidup bersama, co-exist dengan hal-hal baru.
Jadi, jangan cemas menghadapi masa depan, bersiapkan menjadi manusia ambidextrous. Kuncinya: terus bersyukur dan berikhtiar, dan jangan pernah berhenti belajar. Belajar apa saja, agar bisa menjalankan peran apa saja. Sebab, kita tak pernah tahu masa depan kita.

Acara yang lalu

Webinar

Negara yang Melayani, Bukan Menguasai

Webinar

Menunggu Kebangkitan Kaum Terpelajar

Webinar

Menolak jalan pintas, menyongsong jalan kebangkitan

Webinar

Menyikapi Ketidakpastian dengan “Ambidexterity”

Webinar

Jalan Idealisme Ki Hajar Dewantara

Webinar

Pelajaran 100 Hari Pertama dan Pentingnya Penguatan Peran “Delivery Unit”

Institut Harkat Negeri
Komplek Kavling Kowilhan I
Blok A3 No. 4,
Jl. Siung,
Setu, Cipayung,
Jakarta Timur 13880
Hotline : 0811 911 2016
Email : sekretariat@ihn.or.id

Institut Harkat Negeri

Institut Harkat Negeri
All rights reserved | 2024