Program
Webinar

Webinar

Acara terdekat

Ibu Adalah Pusat Peradaban

(Sebuah Refleksi di Hari Ibu)

Dalam peradaban manusia, peran ibu tidak hanya sekadar sebagai pengasuh atau pendidik, tetapi juga sebagai pusat dari nilai-nilai kehidupan yang menjadi fondasi sebuah masyarakat. Ibu adalah sosok sentral dalam keluarga, sekolah pertama manusia, serta penjaga nilai dan moral generasi. Melalui kasih sayang dan pengorbanannya, ibu membentuk individu yang berkontribusi pada peradaban dunia.

Ibu Sebagai Pusat Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dari sebuah masyarakat, dan ibu berada di jantungnya. Sebagai seorang ibu, ia tidak hanya bertanggung jawab atas kelangsungan fisik anggota keluarganya tetapi juga menciptakan kehangatan, cinta, dan stabilitas emosional. Kehadiran ibu memberikan rasa aman dan nyaman bagi anak-anak, sekaligus menjadi penghubung yang menyatukan seluruh anggota keluarga.

Seorang ibu berperan sebagai pengelola rumah tangga, pendidik informal, dan motivator. Ia adalah tempat pertama anak-anak belajar tentang kasih sayang, pengorbanan, dan empati. Dalam kehangatan pelukannya, seorang anak mendapatkan rasa percaya diri untuk menghadapi dunia. Tanpa kehadiran ibu, rumah tangga sering kehilangan arah dan harmoni.

Sekolah Pertama bagi Manusia

Ibu adalah sekolah pertama bagi manusia. Sebelum anak mengenal sekolah formal, ia telah mendapatkan pelajaran berharga dari ibunya. Melalui komunikasi sehari-hari, seorang ibu mengajarkan bahasa, etika, dan nilai-nilai dasar kehidupan. Dari ibu, seorang anak belajar tentang pentingnya kebenaran, kejujuran, dan tanggung jawab.

Selain itu, ibu juga menanamkan pendidikan karakter yang membentuk kepribadian anak. Ia mendidik dengan memberikan teladan langsung, menunjukkan bagaimana bersikap baik kepada orang lain, mengelola emosi, dan menghadapi tantangan hidup. Dengan demikian, ibu memainkan peran penting dalam membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga berintegritas.

Penjaga Nilai dan Moral Generasi

Salah satu tugas terpenting seorang ibu adalah menjadi penjaga nilai dan moral. Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh godaan, ibu memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga agar anak-anaknya tetap berada di jalur yang benar. Ia menanamkan nilai-nilai agama, budaya, dan etika yang menjadi bekal anak-anak dalam menjalani kehidupan.

Melalui nasihat dan pengajaran yang konsisten, ibu membantu anak-anak memahami pentingnya menghormati orang lain, bekerja keras, dan menjaga kejujuran. Ketika anak-anak menghadapi dilema moral, ibu sering menjadi tempat pertama mereka mencari bimbingan. Peran ini tidak hanya berpengaruh pada kehidupan individu tetapi juga pada keberlanjutan moral masyarakat.

 

Pengaruh Ibu dalam Peradaban

Peradaban manusia tidak akan mencapai titik seperti sekarang tanpa peran ibu. Dalam sejarah, banyak tokoh besar yang keberhasilannya tidak lepas dari peran seorang ibu di belakang mereka. Contohnya adalah Thomas Alva Edison, penemu terkenal, yang sangat menghormati ibunya, Nancy Matthews Elliott. Ketika Edison dianggap "terbelakang" oleh gurunya, ibunya mengambil alih pendidikannya di rumah dan memberinya keyakinan untuk terus belajar. Berkat ibunya, Edison mampu mengembangkan bakatnya dan memberikan kontribusi besar bagi dunia.

Demikian pula, Abraham Lincoln, presiden ke-16 Amerika Serikat, pernah berkata, "Segala sesuatu yang saya capai dan yang saya harapkan adalah karena ibu saya." Ibu Lincoln, Nancy Hanks Lincoln, mengajarkan nilai-nilai kejujuran dan kerja keras yang membentuk karakter Lincoln sebagai pemimpin besar.

Tokoh lain adalah Imam Syafi'i, salah satu imam besar dalam Islam. Ibu beliau, meskipun hidup dalam keterbatasan, memastikan anaknya mendapatkan pendidikan terbaik, bahkan berjalan jauh untuk membawa Imam Syafi'i belajar dari para ulama terbaik. Dedikasinya menjadi inspirasi bagi lahirnya seorang ulama besar yang memengaruhi dunia Islam hingga kini.

Begitu juga dengan Mahatma Gandhi, pemimpin perjuangan kemerdekaan India yang terkenal dengan filosofi ahimsa (tanpa kekerasan). Ibu Gandhi, Putlibai, adalah seorang wanita religius yang mengajarkan nilai-nilai spiritual, kesederhanaan, dan pengendalian diri. Ajaran dan keteladanan ibunya membentuk karakter Gandhi sebagai pemimpin yang penuh kasih sayang dan teguh pada prinsipnya.

Di Indonesia, Soekarno, proklamator dan presiden pertama Republik Indonesia, memiliki hubungan yang sangat erat dengan ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai. Dalam berbagai kisah hidupnya, Soekarno kerap menyebut ibunya sebagai sumber inspirasinya. Dukungan dan doa ibunya selalu menguatkannya dalam perjuangan kemerdekaan. Soekarno sering mengatakan bahwa nilai-nilai keberanian dan kebijaksanaan yang dimilikinya banyak dipengaruhi oleh ajaran dan kasih sayang ibunya.

Ketika seorang ibu mendidik anak dengan nilai-nilai positif, ia sebenarnya sedang mencetak generasi yang akan membawa perubahan besar bagi dunia. Anak-anak yang dibesarkan dengan cinta dan moral yang kuat cenderung menjadi individu yang bertanggung jawab, peduli pada sesama, dan mampu memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat.

Tantangan Modern dan Peran Ibu

Di era modern ini, peran ibu menjadi semakin menantang. Banyak ibu yang harus membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Namun, tantangan ini justru mempertegas pentingnya peran ibu yang tak bisa diabaikan. Dengan kemajuan teknologi dan perubahan sosial, ibu harus tetap menjadi benteng bagi nilai-nilai moral.

Para ibu masa kini dituntut untuk terus belajar dan beradaptasi agar tetap relevan dalam mendidik anak-anak mereka. Mereka harus mampu mengimbangi pengaruh media, teman sebaya, dan lingkungan sosial yang dapat memengaruhi nilai-nilai anak. Dalam situasi ini, peran ibu sebagai mentor dan sahabat anak menjadi sangat penting.

Sebagai refleksi di hari Ibu, sosok ibu perlu ditempatkan kembali pada peran sebagai pusat keluarga dan peradaban, karena dari rahim dan asuhannya lahir individu-individu yang menjadi pembangun dunia. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita menghormati dan memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada ibu, karena tanpa mereka, peradaban manusia tidak akan pernah mencapai kemajuannya yang luar biasa.

 

Korupsi, penyakit menahun yang menempatkan negeri kita di kelas paria dalam gerakan antirasuah itu.  Ini merupakan topik yang sudah lama saya geluti, 30-an tahun. Karena itu, kelak-kelok sebagian besar rute peta jelajahnya, sudah hafal. Ibaratnya, tidak perlu pakai aplikasi googlemaps atau waze lagi-lah. Makanya, biar tidak stres, sesekali kita butuh penyegaran.

Penyegaran pertama, beberapa waktu lalu melintas video stand up comedy di “Great Forbidden Show”-nya Deddy Corbuzier.  Cuplikan yang beredar, tak sampai satu menit. Perhatian saya dengan lekas tersedot sebab komediannya ternyata tentara, dari Sidoarjo. “Saya bisa ke mari karena sudah diberi izin sama komandan,” ujarnya. Ketika manggung pun ia tetap berseragam tentara, lengkap. Namanya: Sersan Mayor TNI AL, Yusuf.    Anda bisa tonton sendiri di internet, semoga belum dihapus. Begini kata Serma Yusuf:

“Saya ini tidak suka berita di luar yang jelek-jelek tentang tentara. Katanya, masuk tentara itu bayar. Itu hoaks! Eggak ada itu. Itu diembuskan sama orang-orang yang gagal. Kalau kamu enggak diterima, ya kamu harus perbaiki, dong. Gimana mau berkorban untuk negara dan bangsa kalau berkorban sawah saja nggak mau?”

Seperti itulah kondisi penerimaan atau toleransi masyarakat kita hari ini terhadap perilaku korupsi/KKN. Saking konyolnya, sampai-sampai dijadikan konten, oleh tentara lagi, sebuah profesi yang banyak disegani masyarakat kita. Topiknya pun nasib dia sendiri.

Sebulan lalu kita mendengar kecelakaan di Tol Purbaleunyi. Jika diusut-usut, sumber dari sumber penyebabnya ya korupsi: uji kelayakan kendaraan di-by pass oleh amplop. Belum lagi meledaknya judol, pinjol, narkoba, stunting atau gizi buruk, aksi lancung membanjiri bansos ini-itu saat jelang pemilu/pilkada, jalan buruk, guru dibayar murah, bapak bunuh diri karena kesulitan ekonomi, dst. Pendek kata, di luar soal nasib atau takdir, warta-warta buruk itu hampir pasti disebabkan oleh hulu yang juga buruk. ...

Penyegaran kedua, hari ini, saya memberanikan diri untuk membincang korupsi dengan memulainya dari sesuatu yang, setidaknya buat saya, relatif baru. Dan, rasa-rasanya, cocoklah untuk orang-orang seusia saya sekarang. Mengingat bahwa ini area terra incognita saya, maka kalau ada meleset-melesetnya, mohon dimaafkan.

Terra incognita saya yang saya maksud tadi adalah menembang macapat Jawa. Pasti dalam hati, Anda akan bergumam, Wah, kalau ini sih bukan penyegaran, tapi penyegaran banget. Semoga tidak fals-fals amat.” Belum pernah dengar saya nembang, kan? Kaget, kan? Jangan khawatir, saya sendiri pun kaget.

Yang mau saya tembangkan ialah Serat Wedhatama, sebuah adikarya didaktis Jawa abad ke-19 gubahan seseorang bernama Mas Sudiro. Ada yang familiar dengan nama ini? Jika belum, beliaulah pencipta gending Ketawang Puspawarna (PUSPOWARNO?), satu dari sedikit karya terpilih

umat manusia yang dicari-cari NASA dan kemudian direkam. Pada 1977, rekaman itu, oleh pesawat antariksa nir-awak NASA, Voyager-I, ditaruh di luar angkasa agar kelak ditemukan oleh kehidupan cerdas di luar sana atau manusia Bumi era masa depan.  Sebagian dari kita, pasti tahu: Mas Sudiro adalah nama kanak-kanak dari (Adipati) Mangkunegara IV.

Serat Wedhatama berisi 100 bait. Saya pinjam satu bait saja, bait ke-33. Itu saya pilih karena, selain paling kuat dan populer, pesannya pun relevan dengan acara kita. Saya coba tembangkan, ya. Metrum tembangnya: pocung.

Teks Asli Terjemahan
Ngelmu iku kalakone kanthi laku,

lekase lawan kas,

tegese kas nyantosani,

sêtya budya pangekêse dur angkara.

Ngelmu itu terlaksananya melalui aksi nyata,

dimulainya dengan kas,

kas itu bermakna sikap militan/spartan,

setia/militansi pada budya, merupakan peringkus segala bentuk kejahatan.

 

Sêtya Budya

Budya”; bahasa Jawa Kuno ini agak susah dicari padanan katanya di bahasa Indonesia. Biasanya dipadankan dengan “budaya”, tapi budya maknanya jauh lebih indah dan dalam.

Budya berasal dari kata budh (sadar, tercerahkan) dan daya (kualitas ilahiah/ketuhanan). Jadi, budya bermakna: kondisi bangkit/sadarnya kualitas ketuhanan yang sebenarnya sudah bersemayam lama dalam diri.

Apa itu kualitas ketuhanan? Pasti kita semua sudah tahulah itu: welas asih, berintegritas, bertanggung jawab, pemaaf, mustahil nyolong, mustahil korupsi, dll., termasuk punya malu karena Tuhan sendiri adalah al-Hayyiyu ‘Maha Punya Malu’.

Ini memang kesadaran level tinggi, tapi tidak susah untuk dijelaskan. Begini. Ketika kita sudah mem-budya, maka emohnya kita bertindak korupsi, misalnya, itu sepatutnya bukan lagi dimotivasi oleh takut pada pasal-pasal, dosa, ayat, sanksi, penjara, neraka, dll. Bukan. Tapi semata-mata karena kita budh ‘sadar’ bahwa Tuhan, sesembahan sekaligus sumber pengajaran kita itu, MUSTAHIL korup/nyolong, dan itu kita tempatkan sebagai cermin berperilaku. Titik.   Itulah yang dimaksud budya, benteng kualitas ketuhanan dalam diri.

Sebaliknya, ketika berbuat baik/lurus, maka motivasi kita pun seyogianya bukan untuk cari pahala, surga, apalagi insentif dan puji-sanjung, tapi semata-mata karena Tuhan kita PASTI baik/lurus, dan itu kita tempatkan sebagai cermin berperilaku. Pahala dan surga, itu domain Tuhan, bukan domain kita. Segala bentuk puji-sanjung, itu toh bukan kita punya, tapi mutlak punya-Nya: alhamdulillah.

Nah, konsep kesetiaan/militansi berperilaku seperti itulah yang, menurut Mas Sudiro, dipercaya ampuh untuk membentengi diri kita dari energi jahat: sêtya budya pangekêse dur angkara! Hal ini mirip “panoptikon”,

yakni konsep yang memungkinkan pengawasan efektif berlangung tanpa kehadiran pengawas yang terlihat.

Tuh, indah dan dalam sekali maknanya, bukan? Dalam hemat saya, proses membangun karakter semacam ini, yaitu melalui cara menemu-kenali “kedirian” kita dengan merelasikannya ke realitas keilahian sebagai sangkan-paran (titik berangkat dan berpulang) hidup, itu sangat khas manusia Nusantara!

Kas

 

Betapa pun indahnya sêtya budya, dalam praktiknya, kita toh butuh strategi. Syukurlah Mas Sudiro memberi tahu kuncinya, kas! Saya tadi mengartikan kas sebagai militansi, spartan, atau ngotot, holistik, tidak asal-asalan, teguh-kukuh, bersetia, penuh determinasi.

Pertanyaannya, mengapa kita atau negeri kita saat ini sepertinya tidak kas lagi dalam upaya-upaya memberantas korupsi? Bukankah karena itulah yang membuat negeri ini jadi buruk, jelek, sial, dan bangkrut?

Seburuk-buruk keadaan adalah ketika bahasa kejujuran-kebenaran sudah jadi tabu atau ditabukan, dan bahasa kebohongan-penipuan justru dibanjiri puja-puji apresiasi.

Sepenyok-penyok kondisi adalah ketika orang yang jujur-lurus dilibas-disingkirkan, dan para pembengkok-pelampau batas (penipu, pencuri, penggarong, pengemplang, pencuci uang, dsb) malah dielu-elukan bahkan dijadikan idola-panutan.

Sesial-sial kebangkrutan adalah ketika segala hal ditujukan buat berpuas-puas di hari ini, dan alpa bahkan "masa bodo amat" pada kenyataan generasi mendatang.

Serendah-rendah peradaban adalah ketika di mana-mana ajaran kemuliaan antusias sekali dijalankan tapi tidak lebih dari untuk beroleh citra “baik” atau “bermoral” di mata ego/sosial, sambil meludahi-memantati derajat hakiki kemanusiaan dan Tuhan.

Sehina-dina derajat manusia adalah ketika "malu bertindak cela” tidak dinajiskan, tidak disanksi, tidak dijauhi, tapi malah didekati, ditoleransi, dilegalkan, di-copy dan bahkan dijadikan way of life oleh banyak orang. Yang menentangnya malah dicap “sok suci”, dikepret, dibungkam, dikriminalisasi, disel, bahkan dijadikan pesakitan di pojok-pojok perundungan yang terorganisir-tersistematis.

Tuhan itu al-Hayyiyu, Yang Maha Punya Malu. Melaluinya, digariskanlah secara tegas derajat antara manusia dan binatang. Manusia berada di sisi yang punya malu (hiri’), dan binatang di sisi sebaliknya (ahirika). Mewabahnya perilaku ahirika yang hari-hari ini, mulai dari ujung ekor hingga terutama di kepala itu, dengan demikian, sejajar dengan aksi pembangkangan terhadap Tuhan.

Itulah mengapa, ibarat seorang imam yang ndableg salat terus padahal berkali-kali sudah ia kentut bahkan kencing, dampak kerusakan dari ahirika berjamaah ini tiada terperi, dahsyat sekali!  Kebobrokan terjadi di mana-mana. Degradasi moral jadi melazim. Terjun bebasnya etika malah disambut gemuruh tepuk tangan. Sudah pasti kehancuran bangsa tinggal tunggu waktu jika kondisi ini tidak lekas ditangani secara kas.

Bagi saya, dalam melawan korupsi, kas itu bukan soal spirit dan determinasi tinggi saja, tapi harus juga dimaknakan sebagai KAS: Knowledge, Action, System. Ketiganya modal penting kita memberesi korupsi yang dijalankannya harus secara paralel-sinergis.

Knowledge soal antikorupsi, dalam sebait tembang tadi paralel dengan diksi ngelmu ‘punya ilmu/pengetahuan’. Aksi tanpa ilmu, itu seperti mendayung sampan di padang sabana. Bergerak atau bekerja sonder ilmu akan sia-sia, tidak akan nyampe ke tujuan, sebab tak ada penuntun.

Adalah suatu kekonyolan dan kesia-siaan besar saat push diberikan untuk misi kerja-kerja-kerja tapi ilmu, visi, target, apalagi etika dan malunya zero.

Sehingga, yang pemandangan umumnya adalah: program-program antikorupsi hebohnya hanya saat seremoni belaka, bukan saat aksi. Alhasil, tanpa ilmu, semangat dan program antikorupsi hanya akan tergolek sebagai proyek belaka, buang-buang anggaran, kerja-kerja-kerja belaka, padahal korupsi merupakan kejahatan luar biasa.

Action tentang antikorupsi, dalam sebait tembang Mas Sudiro tadi paralel dengan diksi laku. Ilmu tanpa aksi dan perilaku, itu seperti pepohon yang gagal berbuah. Maka, konsep-konsep yang bagus dan komprehensif di langitan harus diturunkan ke bumi, dijabarkan hingga ke level aksi. Konkret.

Tanpanya, seperti sudah bisa diduga, program-program antikorupsi akan teronggok semata-mata hanya jadi jargon, gincu-gincu politik, atau konten entertaintment. Supaya masing-masing aksi bisa berjalan sinergis, dibutuhkanlah sistem.

System antikorupsi, dalam sebait tembang di Serat Wedhatama tadi paralel dengan diksi nyantosani ‘menguatkan, terkendali’. Dengan sistem yang baik, masing-masing pemangku kepentingan antikorupsi jadi tahu di mana, kapan, dan dengan siapa saja mereka bekerja atau berkoordinasi. Terobosan-terobosan antikorupsi yang dilancarkan akan berjalan efektif, efisien, terkendali.

Redundansi atau tumpang-tindih kewenangan jadi tereduksi. Aspek-aspek knowledge bisa dipertautkan secara pas dan komprehensif dengan aspek action; begitu pula sebaliknya. Masing-masing aspek jadi beroleh porsinya yang sepadan, tidak berat sebelah. Hanky-panky di antara pihak-pihak yang bersangkutan jadi bisa diantisipasi, diprediksi, dan diidentifikasi jauh sebelum terjadi.

Demikianlah kira-kira pendekatan kas terhadap gerakan antikorupsi yang saya dapat dan gali dari Serat Wedhatama-nya Mas Sudiro. Semoga bermanfaat, syukur-sukur jika bisa menawarkan sejenis perspektif yang lebih segar terhadap penanganan korupsi di masing-masing “pekarangan” kita, para pengampunya.

Akhir kata, tidak mau kalah dengan Mas Sudiro, saya akan tutup pidato ini dengan sebait “tembang” yang saya gubah dan lalu terbitkan di twitter pada 20 Maret 2016. Begini:

 

Jaga Pekarangan

Setiap zaman punya pemimpinnya.

Setiap pemimpin punya tantangannya.

Di masa revolusi, Panglima Soedirman berpesan:

“Jaga pekarangan masing-masing.”

 

Salam kas!

 

Pahlawan dan Korupsi

"...tatkala negara yang dibentuknya sendiri telah bergerak jauh dari tujuan, maka rakyat bergerak membentuk ruang kemungkinan baru agar perbaikan bisa dilakukan."

Apa kaitannya pahlawan dan kepahlawanan dengan korupsi? Percaya atau tidak, pertanyaan ini terus terngiang-ngiang, terutama setelah ada elite politik yang mengingatkan bahwa pada masa awal kemerdekaan para pejuang mengandalkan dukungan rakyat. Tanpa dukungan rakyat, para pejuang akan mati kelaparan, dan sangat mungkin langkah tidak sampai.

Pandangan ini sendiri mungkin sekali dalam satu garis teori yang mengatakan bahwa jika suatu gerilya bertahan lama, pastilah gerakan tersebut memperoleh dukungan rakyat. Jika tidak, maka dengan isolasi pergerakan makanan, akan dengan segera berakhir suatu perlawanan.

Dalam berbagai kisah perubahan di banyak negeri, kerangka kerja tersebut juga muncul. Apa yang terjadi di Filipina, dan di Indonesia sendiri pada 1998, sebenarnya memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa keberadaan dukungan rakyat akan memberi makna yang sangat besar. Bukan hanya dukungan bahan kebutuhan, tetapi juga legitimasi.

Oleh sebab itulah, setiap abuse of power akan senantiasa memutus hubungan antara kekuatan perubahan dan rakyat. Apakah melalui pembatasan pertemuan, restriksi berorganisasi, hingga menekan kebebasan berbicara. Dan, barangkali karena faktor itu pula, mereka yang menguasai tribune kekuasaan, juga berlomba untuk mendekat kepada rakyat dan memelihara dukungan, walaupun telah tidak lagi di panggung formal.

Dukungan rakyat demikian penting artinya, dan bahkan apabila kita menarik garis waktu ke belakang, maka akan juga terlihat jelas bahwa rakyatlah yang sesungguhnya memberi makna nyata pada kemerdekaan Indonesia. Mengapa demikian? Pertama, jika kita kembali kepada konfigurasi politik nasional dan politik global pada Agustus 1945, akan tergambar bahwa faktor eksternal lebih memberi ruang kesempatan ketimbang konfigurasi politik nasional.

Para pemimpin dengan keberanian dan jiwa patriot telah mengambil langkah yang tidak terduga, yakni menyatakan Indonesia merdeka. Padahal apa yang kita punya? Dalam amanat kemerdekaan tahun 1946, Bung Karno secara gamblang mengatakan bahwa modal kita hanya spirit, yakni rasa ingin yang sangat kuat untuk merdeka.

Kedua, masalah muncul persis setelah kemerdekaan dinyatakan. Pemerintahan Bala Tentara Pendudukan masih eksis dan memegang kendali pemerintahan. Pada saat yang bersamaan ada kabar bahwa sekutu akan segera masuk. Bagaimana mengatasi situasi yang pelik dan menentukan hari depan kemerdekaan? Secara tidak terduga, terutama jika dilihat dari perspektif yang lebih strategis, kendati mungkin para pejuang terus merintis jalan, muncul suatu peristiwa yang demikian penting artinya. Yakni, mobilisasi besar di Lapangan Ikada (19 September 1945) dan perjuangan 10 November 1945 yang demikian menyejarah.

Pada 10 November, kendati elite Jakarta kurang mendukung karena tengah melakukan diplomasi, gelora rakyat yang tidak terbendung menunjukkan kepada dunia bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan peristiwa besar yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh dunia.

Apa yang menjadi penting untuk menjadi bahan refleksi adalah bahwa dukungan rakyat yang kuat, jiwa dan raga, serta harta benda, telah menjadikan gagasan Indonesia menjadi nyata dan hidup.

Pada tahap selanjutnya, dukungan rakyat makin luas, terutama jika dikaitkan dengan perlawanan bersenjata dan gerilya, yang kesemuanya itu dimungkinkan karena adanya bantuan dari pihak rakyat. Para sejarawan dengan pendekatan yang tidak hanya memberikan perhatian pada peran elite, makin membuka mata publik bahwa peran rakyat demikian besar dalam mewujudkan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara.

Bukan hanya itu, tatkala negara yang dibentuknya sendiri telah bergerak jauh dari tujuan, maka rakyat bergerak membentuk ruang kemungkinan baru agar perbaikan bisa dilakukan.

Korupsi

Dari mana datangnya korupsi? Para ahli mungkin bisa bertukar pikiran untuk menjelaskan secara baik asal-usulnya. Namun, bagi publik, korupsi jelas merupakan problem mendasar yang mengganggu bangunan tata hidup bersama. Masalahnya: mengapa praktik korupsi dari waktu ke waktu menunjukkan gerak grafik yang naik?

Sementara langkah pemberantasan korupsi terus diperbaiki dan pada masa kampanye terus disuarakan sebagai agenda utama? Apakah ada yang salah dalam strategi, atau bahkan kesalahan pada tingkat yang lebih awal: mendefinisikan apa itu korupsi? Para ahli telah memberi penjelasan, termasuk di antaranya B Herry Priyono, yang dari padanya dapat diduga bahwa sangat mungkin kesalahan datang dari pangkal.

Memang, dalam praktik hari-hari ini, apa yang disebut sebagai korupsi sangat lekat dengan bagaimana perbuatan itu didefinisikan. Jika dilihat dari kerangka hukum, jelaslah bahwa sesuatu dinyatakan tindak pidana korupsi jika dan hanya jika masuk dalam kategori hukum atau ada di dalam pasal.

Apabila publik, dengan rasa keadilannya, memandang bahwa suatu perbuatan telah masuk kategori korupsi, sementara ketentuan tidak memasukkannya, maka jelas perbuatan tersebut tidak akan terkena sanksi hukum. Demikian itulah yang berlangsung. Publik dapat segera paham bahwa pada akhir perdebatan yang terjadi ialah perdebatan tentang pasal, pengertian dan tentu tafsir atasnya. Soalnya: siapa yang paling berhak memberikan tafsir?

Pertanyaan terakhir tersebut tentu bukan dimaksudkan untuk memproblematisasi, tetapi demi mengangkat problem tersebut ke level yang melampaui teks formil dan meletakkan problem ke arena publik (republik). Masalahnya, bukan lagi sekadar apakah ada di wilayah legal formal, melainkan di dalam arena hidup publik, yang dalam hal ini hendak digunakan kategori wajar ataukah tidak.

Adapun kewajaran sendiri hendak dilandaskan pada esensi dari apa yang di atas disebut sebagai dukungan rakyat. Kemerdekaan adalah reaksi publik atas relasi yang tidak wajar. Suatu relasi di mana yang berhak justru berkuasa dan mengatur nasib bangsa lain. Ketidakwajaran tersebut dirumuskan secara sangat adi manusiawi: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa….”

Dengan perspektif tersebut, korupsi bukan sekadar peristiwa hukum, melainkan peristiwa kebangsaan. Praktik korupsi sudah tidak memadai dipandang sebagai ‘tindak mengambil’, tetapi suatu ‘tindak merusak’. Lantas apa yang dirusaknya? Jika diperkenankan untuk memberikan pandangan atas apa yang sungguh-sungguh dirusak, dapat dikatakan bahwa yang dirusak ialah jiwa bangsa itu sendiri. Apa maksudnya? Yakni bahwa apa yang diperjuangkan, dibela dengan jiwa raga, ternyata menjadi tempat subur bagi tindakan yang ingin dihilangkan dari bumi pertiwi.

Kemerdekaan adalah pintu bagi hari depan yang baru. Hari depan di mana tidak ada lagi tindakan yang tidak dibenarkan oleh moral merdeka. Adanya tindak korupsi berarti mengabaikan segala pengorbanan para pahlawan yang membentuk Indonesia.

Lewat nalar itu pula, barangkali akan lebih mudah dijelaskan mengapa korupsi masih tetap ada dan malah berkembang? Salah satu sebabnya tentu karena negara telah dirusak lapisan moralnya, sehingga kesanggupannya untuk melahirkan tata hidup yang tidak memberi tempat pada segala tindakan yang anti-republik telah mengalami penurunan.

Tidak saja kerangka legal formal yang mengalami penurunan kemampuan, tetapi juga politik, ekonomi, dan sosial budaya. Kontestasi politik yang dimaksudkan untuk menemukan dia yang paling baik moral politiknya, dalam kenyataan justru menjadi pintu bagi mereka yang sanggup menerobos batas-batas kepatutan. Demikian halnya ekonomi dan sosial, yang konstruksinya memungkinkan kesenjangan yang lebar dan membiarkan sebagian besar hidup di bawah garis kemiskinan.

Jalan Kewajaran

Kita tentu tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa dunia berkembang demikian cepat. Ragam penyesuaian telah dan sedang serta mungkin akan terus berlangsung. Apa yang dulu dianggap ideal, bisa jadi kini telah berkebalikan. Generasi baru bisa saja punya pandangan-pandangan baru, sebagai akibat pergaulan global dan barangkali juga akibat dari keadaan yang berubah.

Meski demikian, kita dapat mengatakan bahwa di antara berbagai perubahan tersebut, terdapat hal-hal yang tidak terbantahkan, yang akan memaksa kita sebagai bangsa untuk pulang kepada nilai-nilai dasar republik. Salah satu yang paling aktual ialah kenyataan perubahan iklim, yang apabila digunakan kacamata Gandhi, maka dapat dikatakan bahwa kesemua itu merupakan akibat dari ketidakwajaran (baca: keserakahan).

Secara teknis, keadaan tersebut tentu akan memaksa penyesuaian di sana-sini. Ekologi tidak mungkin lagi sepenuhnya ada dalam kendali ekonomi, bahkan mungkin harus diubah 180 derajat? Apa mungkin secara drastis. Rasanya tidak, walaupun jalan ke arah itu mau tidak mau harus dilewati, jika kita tidak ingin keadaan semakin buruk.

Pada titik inilah kita ingin mengatakan bahwa telah tiba waktunya di mana kewajaran menjadi paradigma dalam hidup bersama kita, sedemikian rupa sehingga segala ketidakwajaran dapat dikendalikan oleh hukum, karena memang sedari awal dikonstruksi untuk mengendalikan dan bukan untuk melayani ketidakwajaran.

Jalan kewajaran inilah yang kita harapkan dapat memulihkan jiwa republik yang telah dirusak oleh tindak korupsi. Namun, kita juga menyadari bahwa kesembuhan total dari sesuatu yang telah berbentuk laksana kanker harus mungkin terjadi jika ada tindakan khusus pada penyebab utama. Terhadap hal yang besar dan berat, tidak mungkin diselenggarakan dalam tempo bertahap.

Rumus yang tersimpan dalam teks Proklamasi dapat digunakan, yakni perlunya suatu operasi, atau tindakan cepat, agar sumber penyakit bangsa dapat diatasi. Baru setelah sumber utama diangkat, dibutuhkan cukup waktu untuk pemulihan. Apakah mungkin dilakukan?

Pernyataan pemimpin nasional dan langkah-langkah yang ingin diambil menampilkan secara terang suatu watak patriotik. Sebagaimana disinggung di atas bahwa sikap memberi hormat kepada rakyat, atas jasa-jasa ketika menolong para pejuang kemerdekaan, memberi pesan kuat suatu keinginan untuk tidak menyia-nyiakan segala yang telah diberikan oleh para pahlawan.

Gerak negara yang benar, yang sepenuhnya dalam koridor dasar negara dan konstitusi serta mengabdi untuk kepentingan publik, akan dapat dibaca sebagai sikap terpuji dan luhur untuk menghormati pengorbanan para pahlawan yang membentuk Indonesia. Dengan teguh dan sikap setia pada apa yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan, maka segala bentuk korupsi dan derivasinya akan bisa dihilangkan dari Indonesia.

 


Artikel ini dipublikasikan pertama kali oleh penulis melalui https://mediaindonesia.com/opini/715687/pahlawan-dan-korupsi pada 7 Novermber 2024.

Kembali Kepada Indonesia

"Indonesia adalah sumur harapan yang tidak akan kering, kendati setiap saat diambil tanpa henti."

Pidato Presiden Prabowo Subianto saat pelantikannya di hadapan sidang MPR RI, jika dilihat dari isi maupun bagaimana hal tersebut disampaikan, memiliki bobot tersendiri. Mungkin ada pro dan kontra di sini, terkait bagaimana menilai pidato tersebut. Namun demikian, jika dilihat sebagai pidato perdana sesaat setelah pelantikan, maka dapat diduga bahwa apa yang disampaikan adalah suatu manifestasi dari keinginan kuat yang telah lama terpendam.

Publik yang kerap mendengarkan pidato di masa kampanye, tentu tidak bisa disalahkan jika bersikap pesimistis. Namun karena pidato disampaikan di forum resmi dan merupakan pesan yang disampaikan oleh Presiden RI, bukan hanya di hadapan sidang MPR RI dan tamu undangan, melainkan di hadapan dunia karena disiarkan secara langsung, pidato tersebut merupakan pesan politik yang pada waktunya akan tiba sebagai kebijakan publik.

Dalam kerangka itulah, pidato Presiden Prabowo, seperti memanggil "kembali", apa yang mungkin telah terjalan di luar jalur, menyimpang atau bahkan lebih buruk dari itu. Jika demikian, masalah yang segera muncul adalah apakah gerak “kembali” dimungkinkan di tengah dunia yang melaju cepat? Andaikata dimungkinkan, lantas apa yang sesungguhnya dapat dijadikan rujukan dalam menilai situasi dan merancang masa depan? Pada titik inilah, kita memandang pentingnya "kembali" kepada gagasan Indonesia yang berkembang sejak awal abad XX.

Indonesia

Keadaan hidup rakyat yang terus merosot, baik jika ditinjau sejak perang Jawa hingga akhir abad XIX, telah menimbulkan ragam reaksi di kalangan pejuang kemerdekaan, khususnya di kalangan angkatan muda. Pledoi Bung Hatta pada Maret 1928, yang berjudul "Indonesia Merdeka", dan peristiwa politik sebelumnya pada 1925, memperlihatkan dengan jelas apa yang diyakini akan tiba, yakni Indonesia Merdeka. Soalnya adalah apakah atau siapakah itu Indonesia? Hal yang barangkali paling jelas adalah bahwa penguasa kolonial keberatan dengan nama Indonesia.

Sumpah Pemuda/i, dalam hal ini dapat dipahami sebagai peristiwa yang memperjelas sosok Indonesia lewat tiga poin pokoknya yakni tanah air, bangsa dan bahasa. Jika boleh disederhanakan, maka peristiwa tersebut merupakan momen terbentuknya suatu bangsa, yang diinisiasi oleh generasi baru. Apabila periode sebelumnya, mulai akhir abad XIX hingga awal abad XX, adalah gerakan peristiwa yang menghadirkan jiwa Indonesia atau suatu cita-cita luhur, maka 28 Oktober 1928, adalah kejadian formil, yang akhirnya memberi badan wadag bagi spirit emansipasi bernama Indonesia

Hal yang penting untuk mendapatkan perhatian lebih adalah bahwa bangsa yang baru lahir tersebut, berada di dalam tata kolonial yang tidak menghendaki kelahirannya. Pleidoi Bung Karno di hadapan pengadilan kolonial pada 1930, dapat dikatakan menjadi saksi bagaimana ketegangan antara dua entitas yang berlawanan kepentingan. Sebagaimana Bung Hatta, Bung Karno juga tidak menempatkan peristiwa atas pribadinya adalah peristiwa personal, melainkan peristiwa politik atas sebuah bangsa. Dan mungkin, karena itu pula, Bung Karno menulis: "… selama rakyat belum mencapai kekuasaan politik atas negeri sendiri, maka sebagian atau semua syarat-syarat hidupnya, baik ekonomi maupun sosial maupun politik, diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan yang bukan kepentingannya, bahkan bertentangan dengan kepentingannya."

Pernyataan tersebut laksana sebuah formula, yang menjelaskan bahwa tidak mungkin keadaan berpihak pada rakyat, jika rakyat tidak memiliki kendali atas kekuasaan dan pergerakannya. Oleh sebab itulah, kemerdekaan menjadi kemutlakan. Teks Proklamasi, dalam batas tertentu, dapat dikatakan sebagai manifestasi dari formula tersebut. Dalam teks, tidak hanya memuat pernyataan merdeka (bebas dari), akan tetapi juga “pemindahan kekuasaan”, dengan sesegera mungkin dan dengan cara yang tepat.

Apa yang akan terjadi setelah pernyataan kemerdekaan? Bung Karno menyampaikan: "Kita sekarang telah merdeka! Tidak ada suatu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita. Mulai saat ini kita menyusun negara kita!" Suatu peristiwa sangat penting terjadi: penyusunan sebuah negara.

Kenyataan

Apakah dengan berdirinya negara, maka dengan sendirinya kekuasaan yang ditunjuk teks proklamasi sebagai peristiwa "pemindahan kekuasaan", telah secara langsung dapat diambil sepenuhnya? Atau, apakah seluruh kekuasaan dengan itu telah berada di tangan negara, dan negara itu sendiri ada di dalam (kendali) kekuasaan bangsa, sebagaimana maksud formula Bung Karno? Masalah ini penting diajukan, karena akan diperoleh "lensa kritis" dalam melihat dinamika sejarah yang berkembang pada waktu itu.

Dua kemungkinan dapat saja terjadi. Satu, suatu keadaan ideal dimana kekuasaan telah sepenuhnya ada dalam negara dan seluruh gerak negara ada dalam kendali rakyat atau bangsa Indonesia. Jika keadaan ideal ini yang berjalan, maka dapat dipastikan kekayaan negeri akan dikelola untuk kemakmuran rakyat, dan tidak ada lagi isu kebocoran, korupsi dan berbagai aspek yang merupakan kolonial. Bukan itu saja, negara akan mampu membawa bangsa kepada derajat kehidupan yang tinggi.

Dua, suatu keadaan kurang ideal, dimana kekuasaan telah sepenuhnya ada di dalam negara, namun tidak sepenuhnya gerak negara ada dalam kontrol rakyat. Dalam hal ini, kita dapat menghadirkan peringatan Hatta pada sidang BPUPK (15/7/1945) yang khawatir adanya kekuasaan negara di dalam negara: " … janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan." Apa yang dikhawatirkan adalah negara menjadi kekuatan tidak sejalan dengan kehendak rakyat.

Pada titik inilah publik seperti mendapatkan pencerahan, tatkala Presiden Prabowo mengatakan: "Marilah kita berani mawas diri, menatap wajah sendiri, dan mari berani memperbaiki diri sendiri, berani mengoreksi diri kita sendiri." Mengapa melihat kenyataan membutuhkan jenis keberanian tertentu?

Apabila ditinjau dari sudut negara bangsa, maka kemungkinan ada tiga soal yang membutuhkan keberanian dalam mengungkapkannya. Satu, kenyataan tentang (kekuasaan) negara, baik susunan, tata kelola dan kinerjanya dalam melayani rakyat. Dua, kenyataan tentang (seluruh) kekayaan bangsa, baik yang nyata berwujud maupun tak berwujud. Tiga, kenyataan tentang hidup dan kualitas hidup rakyat. Apa yang sesungguhnya sedang terjadi pada ketiganya, jika Presiden mengatakan: "Terlalu banyak saudara-saudara kita yang berada di bawah garis kemiskinan. Terlalu banyak anak-anak yang berangkat sekolah tidak makan pagi. Terlalu banyak anak-anak kita yang tidak punya pakaian untuk berangkat sekolah."

Harapan

Indonesia adalah sumur harapan yang tidak akan kering, kendati setiap saat diambil tanpa henti. Pandangan ini diperoleh dari kenyataan historis, yakni tatkala generasi baru pada 28 Oktober 1928, menyatakan diri sebagai Indonesia, dan dengan demikian pula telah terjadi transformasi menjadi dan berada di dalam Indonesia. Peristiwa tersebut dapat pula dipandang sebagai lahirnya pihak baru yang berhadapan dengan kekuasaan kolonial. Dengan lensa Indonesia, tampak jelas bagaimana kekayaan negeri tidak menjadi bagian dari kehidupan rakyat. Bung Karno menggambarkannya sebagai "penyerotan rezeki keluar".

Frans Magnis-Suseno, dalam “Etika Politik” (1987), menggambarkan sulitnya mengatasi ketidakadilan sosial jika mengandalkan kekuatan yang sebenarnya ikut bertanggungjawab atas keadaan tersebut. Hal itu pula yang mungkin menjelaskan mengapa generasi baru memilih membentuk suatu entitas baru, dan tujuhbelas tahun kemudian: Indonesia Merdeka.

Makna dalam peristiwa tersebut adalah bahwa dengan dan dalam Indonesia, harapan selalu tersedia, dan dari harapan itu pula lahir langkah-langkah bertenaga yang mengubah sejarah. Ketika muncul kesadaran bahwa tulang punggung perjuangan kemerdekaan dan pendirian negara, adalah rakyat, maka hal itu dapat dikatakan sebagai suatu pesan bahwa cita-cita luhur bangsa hanya mungkin dicapai, jika dan hanya jika "kembali kepada Indonesia". Dengan langkah itu, tidak saja akan diperoleh keberanian mengungkapkan kenyataan secara apa adanya dan jujur, akan tetapi keberanian mengatasi masalah yang telah berakar dalam struktur.

Sampai di sini, rasa pesimistis mungkin akan menghadang. Apakah kesadaran baru akan dengan sendirinya diikuti oleh langkah-langkah yang sejalan? Sebagian kalangan meragukan, mengingat pembentukan tim kerja (kabinet Merah Putih), dianggap kurang mencerminkan kesadaran bahwa situasi penuh keterbatasan. Sebagian yang lain justru punya optimisme: yang berlangsung bukan suatu inefisiensi, melainkan suatu pesan bahwa tanpa kebersamaan seluruh kekuatan negeri, mustahil keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat diwujudkan.

Jika demikian itu yang berlangsung, yakni suatu inovasi politik dalam bentuk bangunan kerja sama dengan spektrum lebar, maka yang menjadi masalah berikutnya adalah bagaimana membuktikan bahwa metode tersebut adalah benar dan optimal? Jika muncul masalah di mana elemen-elemen yang ada berpotensi bekerja untuk arah dan kepentingan yang berbeda, bagaimana mengatasinya? Apakah dimungkinkan suatu terobosan politik, agar kesadaran "kembali kepada Indonesia", dapat menjadi landasan bagi langkah-langkah utama pembaruan pembangunan bangsa?

Inovasi

Tentu tidak bisa dipungkiri bahwa dia yang dilantik adalah representasi formal dari mayoritas kehendak rakyat. Artinya, rakyat memberikan mandat agar yang terpilih bertindak atas rakyat dan demi kepentingan rakyat. Segala halangan mestinya tidak ada lagi, karena kekuasaan eksekutif telah sepenuhnya diberikan untuk dipergunakan sesuai dengan ketentuan hukum. Namun kenyataan kerap berkehendak lain. Sejarah menyodorkan bukti peluang terjadinya penyimpangan atau keadaan dimana kata dan tindakan berselisih jalan.

Dasar historis itulah yang seharusnya membuka kemungkinan bagi terobosan sejarah. Yang dimaksud adalah langkah inovasi yang merupakan terjemahan dari kehendak kembali kepada Indonesia.

Satu, alih-alih mengadakan pembatasan demi efektivitas jalannya kekuasaan, yang dikembangkan justru memperbesar ruang kebebasan politik bagi warga, dengan arah melebarkan ruang partisipasi publik. Pandangan ini didasarkan pada prinsip bahwa hanya dengan melihatkan rakyat dalam pembangunan bangsa, maka akan dapat lebih dijamin ketercapaiannya.

Dua, perubahan mendasar yang mengangkat kualitas hidup rakyat, dalam kenyataannya sangat mengandalkan daya hidupnya. Bahkan dalam keterbatasan, dan dalam skala mikro, namun ekonomi tidak hanya mampu bertahan dalam hantaman krisis, namun juga dapat menyumbang ketahanan ekonomi. Oleh sebab itulah, cara berpikir yang hanya mengandalkan ekonomi besar dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi, perlu dilengkapi dengan memperkuat ekonomi akar rumput, yang dengan demikian meningkatkan partisipasi ekonomi, akses adil atas kekayaan secara adil, perluasan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan.

Tiga, pola relasi kekuasaan konvensional, yang menempatkan rakyat atau suara akar rumput hanya sebagai penghuni TPS, perlu ditransformasi menjadi suatu relasi baru yang berbasis pada prinsip bahwa rakyatlah pejuang, pelindung dan patriot penjaga eksistensi negara bangsa. Untuk itulah, relasi tidak lagi sebagai relasi kontrol, melainkan relasi partisipasi-emansipatif, yang merepresentasikan relasi demokratik antara rakyat dan negara. Suatu formasi demokrasi yang merepresentasikan kepribadian Indonesia. Adonan ketiganya, yang berporos persatuan nasional, tentu akan menghadirkan kembali Indonesia, yang mampu membawa bangsa kepada cita-cita luhurnya.

 


Artikel ini dipublikasikan pertama kali oleh penulis melalui https://www.antaranews.com/berita/4439941/kembali-kepada-indonesia pada 3 Novermber 2024.

Acara yang lalu

Webinar

Ibu Adalah Pusat Peradaban

Webinar

Kas!

Webinar

Pahlawan dan Korupsi

Webinar

Kembali Kepada Indonesia

Webinar

Berdagang “Emphaty”

Webinar

Sedikit Membedah “TILIK”

Institut Harkat Negeri
Jl. H Sa’aba No. 7A
Cipete Utara, Kebayoran Baru
Jakarta Selatan, Indonesia – 12150
Hotline : 0811 911 2016
Email : sekretariat@harkatnegeri.org

Institut Harkat Negeri

Institut Harkat Negeri
All rights reserved | 2024